Happy NijiAka Week!
Disclaimer: Kuroko no Basuke adalah hasil karya Fujimaki Tadatoshi. Tidak ada keuntungan materi yang saya dapatkan dari fanfiksi ini.
Warning: random!timeline, random!genre, OOC, typo(s).
A/N: Fanfiksi multichapter pertama setelah sekian lama nggak bikin, yey~! Ini bakal jadi kompilasi dan nanti di chapter 3 bakal naik rating. Selain day 3, semuanya aman.
Day 1: Regrets
["Aku menyukaimu, Senpai."]
Seijuurou duduk menyandar pada pagar besi sembari memakan bekalnya yang dibuat oleh sang ibu. Dia duduk di sana hanya ditemani angin sepoi-sepoi; atap Rakuzan lumayan juga. Pantas kakak kelasnya di OSIS selalu menikmati istirahatnya di sini sembari membaca light novel.
Pemuda merah itu diam-diam penasaran. Kok kakak kelasnya itu tidak mampir ke sini ya? Tumben sekali. Padahal dulu kalau mau mencari dia tinggal—
—ah iya, kalau tidak salah, kan kelasnya sedang ada kunjungan ke suatu tempat, begitu pikirnya ketika mengingat pembicaraannya dengan sang adik kembar pagi tadi.
["Aku tidak peduli Senpai berpikir apa tentangku."]
Satu suap nasi kembali masuk ke mulutnya. Setelah istirahat guru yang seharusnya mengajar mendadak tak bisa masuk. Katanya sih tidak enak badan.
Tidak apa-apa, dia bersyukur. Akashi Seijuurou bukan murid yang selalu rajin belajar meski nilai-nilainya jauh di atas rata-rata. Momen langka ini harus dia manfaatkan dengan baik. Kapan lagi guru yang terkenal killer seantero sekolah itu tidak masuk sekolah karena sakit perut? Dia bertaruh penyebabnya adalah sarapan yang dimakannya pagi ini.
Angin berhembus agak keras, membuat helaian merah indahnya menari-nari seperti api yang berkobar.
["Tapi meski Senpai tidak memiliki perasaan yang sama denganku,"]
Pemuda itu menghela napas berat. Ditaruhnya kotak bekal itu di sampingnya dan dia mengambil botol minumannya. Dua teguk air mineral jatuh menuruni kerongkongannya.
Seijuurou mendadak tak nafsu makan—meski dari awal dia memang tak ingin memakan bekalnya. Dia hanya menyandar, berharap pagar yang menempel dengan punggungnya yang dilapisi seragam Rakuzan tidak rubuh dan membuatnya jatuh menghempas tanah.
Lama dia terdiam dan hampir saja melamun kalau pintu atap berkarat itu tidak terbuka dan menimbulkan bunyi berisik.
["aku mohon agar kita tetap saling mengenal ya, Senpai."]
"Sei-chan?"
Tanpa sadar ujung bibirnya tertarik beberapa mili.
"Tidak ada Sei-chan di sini, Sei-chan-nya Mibuchi-san ada di tempat lain," godanya. Melihat reaksi dari kakak kelasnya yang kini malah mengerucutkan bibirnya kesal membuat tawa kecilnya lepas.
"Kau juga Sei-chan-ku, Seijuurou-chan," Mibuchi berjalan menghampiri adik kelasnya yang satu itu dan duduk di sampingnya. Tangannya terangkat, mengelus kepala Seijuurou dengan lembut.
"Aku sudah tahu."
"Tahu apa?" Sebenarnya dia tahu apa yang Mibuchi bicarakan, tapi dia lebih memilih bertanya seperti itu, layaknya orang yang tak tahu apa-apa.
Mibuchi tersenyum sedih. Dia menarik adik kelasnya itu berdiri dan membawanya ke sisi atap yang lain. Tangannya menunjuk dua orang yang sedang berbicara di dekat koridor menuju gerbang sekolah.
"Itu, Sei-chan yang itu membuatmu sedih, kan?"
Seijuurou terdiam.
"Sei-chan, sudah kubilang katakan saja. Lihat apa yang terjadi sekarang."
Dia masih bergeming.
"Aku menyayangi kalian berdua, jadi kalau misalnya salah satu di antara kalian se—"
"Kalau yang spesial bisa kalah dengan yang selalu ada, apa yang selalu ada bisa kalah dengan yang selalu berusaha? Mau aku berusaha sekeras apapun, hati Nijimura-san hanya milik Seijirou, kan? Padahal sudah lama aku mengenalnya, sudah dari SMP aku menyukainya. Tapi tetap saja ..."
.
["Apa sih yang sedang kau katakan? Belum dengar jawabanku saja kau tampak sedih seperti itu. Padahal aku juga menyukaimu lho."]
Dua orang, berdiri berhadapan.
Satu orang, berdiri menyaksikan.
Satu orang, menatap dari jauh—bergumam dalam hati,
"Sei-chan, kau baik-baik saja?"
Day 1: Acceptance
Akashi merasakan ponselnya bergetar namun dia memilih untuk tidak menghiraukannya. Pikirannya penuh karena pertandingan hari ini yang berhasil membuat kepalanya pening. Dia memikirkan banyak orang—terutama sang ayah yang kini entah berada di mana. Masih di Inggris, mungkin.
Dia menghela napas berat untuk kesekian kalinya. Netra merahnya menatap kumpulan pemain first string Rakuzan di hadapannya yang kebanyakan lebih tinggi darinya. Ketika biasanya dia berjalan di depan sebagai seorang kapten, kali ini dia memilih berjalan di barisan paling belakang. Pun memelankan langkahnya.
"Kau masih syok?"
Dirinya berjengit. Kepalanya menoleh ke samping.
"Tidak juga."
Pelatih Shirogane melirik sekilas.
"Kuharap besok kita bisa membicarakan pertandingan hari ini dan aku ingin membahas mengenai sikapmu tadi selama pertandingan berlangsung."
Sejenak dia merasakan ada beban yang menimpa dadanya tiba-tiba, membuatnya kesulitan bernapas.
"Baiklah."
Setelah itu, mereka berdua kembali terdiam satu sama lain.
Dan lagi-lagi ponsel di saku celana Akashi bergetar. Baru juga tangannya merogoh, sebuah sahutan berhasil membuat kepalanya mendongak.
"Akashi!" Suaranya tak terlalu keras, tapi baginya yang sudah hampir dua tahun ini mendengarnya via telepon mau tak mau membuat bibirnya melengkungkan senyum tipis. Tubuhnya refleks berbalik. "Nijimura-san?"
Pelatih Shirogane mengikuti arah pandangan anak asuhnya. Menatap seorang pemuda berjaket abu-abu yang berlari kecil menghampiri sang kapten Rakuzan.
"Shirogane-san, boleh kupinjam dulu Akashi-nya sebentar?"
Akashi menatap pelatihnya penuh harap. Daripada pulang bersama tim yang terus-menerus menatapnya dengan pandangan menuduh, dia lebih memilih untuk berbincang dengan sang mantan kapten yang sudah berjanji akan menonton pertandingan final Winter Cup pertamanya ini. Terlebih lagi mereka bertemu secara langsung. Kapan lagi akan ada kesempatan seperti ini kalau bukan sekarang?
"Silakan," jawab pelatih itu pada akhirnya sebelum kemudian pergi menyusul timnya yang sudah berjalan agak jauh.
Tanpa banyak bicara, Nijimura menarik lengan Akashi menjauh dari sana. Mereka berjalan memutar, keluar dari gimnasium menggunakan pintu di sayap barat.
"Otsukaresama."
"Eh?" ucapnya refleks.
"Pertandingan yang bagus."
"Bagus apanya? Kalah kok bagus." Pemuda berambut hitam itu tersenyum geli dan mengacak rambut merah sang adik kelas sebelum kemudian merangkul pundaknya. "Tapi kau, kan sudah berusaha sekuat mungkin. Tidak ada usaha yang tidak patut dihargai."
"Tapi tetap saja—"
"Oke, aku sebenarnya tak pantas mengatakan hal ini mengingat Teikou dan aku dulu juga menganut prinsip yang sama. Tapi apa sih arti sebuah kemenangan? Bagiku kau tetap pemenangnya kok."
Akashi memutar bola matanya malas. "Aku bukan anak kecil yang bisa dihibur dengan cara seperti itu."
"Lalu dengan cara apa aku harus menghiburmu hm?"
"Menemaniku membeli camilan? Tidak buruk."
"Kau sudah mulai jajan yang aneh-aneh ya?"
"Siapa yang pertama kali mengajariku membeli makanan sebelum makan malam?" Pemuda itu membuang mukanya, pura-pura kesal sebelum akhirnya ujung bibirnya tertarik saat tangan yang merangkul pundaknya kini mengacak-ngacak rambutnya sekali lagi.
"Kau masih belum bisa terima?" tanya Nijimura sembari membuka pintu keluar dan mempersilakan kapten Kisedai itu berjalan lebih dulu.
"Kekalahan hari ini maksudnya?"
"Memangnya kau pikir apa lagi—oh, ayahmu ya?"
"Kau sudah tahu, Senpai." Mereka berdua kembali berjalan beriringan. Nijimura memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, berusaha meminimalisir hawa dingin yang mendera tubuhnya tiba-tiba.
"Di mana Akashi-san sekarang?"
"Inggris. Baru pulang dari sana besok."
"Berniat mengabari?"
"Tidak sama sekali."
"Dasar anak durhaka."
"Setidaknya aku tidak ingin membuat ayah marah-marah di dalam pesawat."
Nijimura Shuuzou menghembuskan napas lewat mulut, menghasilkan uap putih yang bisa dia lihat dengan jelas. Sekilas kelabunya melirik sebelum kembali menatap lurus ke depan. "Bagaimana rasa kekalahan, Tuan yang Baru Sekali Dikalahkan?"
Orang yang diajak bicara olehnya itu tertawa getir. Akashi mengangkat bahunya. "Sakit? Perih? Tidak percaya? Yah seperti itu lah."
"Tapi aku yakin, ini ada dampak yang lebih besar dari itu, kan?"
"Kalau maksud Nijimura-san itu tentang cara pandangku atau prinsipku, maka ya. Kupikir ... aku tidak terlalu haus akan kemenangan lagi. Dikalahkan oleh tim yang baru terbentuk dua tahun, oleh Kuroko orang yang kutemukan bakatnya—orang yang bahkan bukan anggota Kiseki no Sedai, Nijimura-san pikir saja sendiri bagaimana perasaanku." Meski awalnya tak berniat sarkastis, tapi ujung-ujungnya terselip juga nada sebal di akhir ucapannya.
"Itu mengajarimu satu hal. Bahwa tak selamanya yang di atas akan selalu di atas. Kehidupan itu seperti roda, tahu. Lagipula, yang menanglah yang kuat. Akui saja, untuk kali ini Seirin lebih kuat dari Rakuzan."
"Aku ingin mengakuinya tapi ... aku masih dalam tahap tidak percaya."
Nijimura berhenti berjalan, yang mau tak mau membuat pemuda yang berjalan di sebelahnya juga ikut berhenti. Pemuda yang sekarang jauh lebih tinggi dibanding dulu itu tersenyum dan tatapan matanya melembut.
"Hey, tidak semua di dunia ini bisa didapat dengan kemenangan. Setidaknya hasil pertandingan kali ini mengajarkan ayahmu bahwa anaknya juga manusia biasa. Mungkin dia akan kecewa, tapi toh kau bisa memperbaikinya di masa depan, kan? Masih banyak pertandingan lain. Winter Cup ini hanya pemicu agar kau lebih semangat ke depannya."
Akashi sempat tertegun sebelum akhirnya dia tersenyum geli. "Nijimura-san ini kakakku ya?" godanya.
"Eyy, kau mau kusentil hah? Dasar bocah."
Tangan berlapis jaket jersey itu menyingkirkan poni yang menutupi dahinya. Netra merahnya terpejam. "Hukum aku saja. Dua tahun ini aku bersikap buruk, Senpai," katanya melanjutkan candaannya.
"Kau mau forehead kiss?"
Satu tendangan dilayangkan ke tulang kering kaki kiri Nijimura.
"Oi!"
"Sudah, ayo kita lanjut jalan saja. Aku ingin makan bakpau daging." Akashi berbalik dan melanjutkan jalannya, meninggalkan mantan kaptennya yang masih mengelus kakinya yang perih.
Masih sambil berusaha menahan rasa sakitnya, pemuda yang kini sudah kelas dua SMA itu berjalan menyusul Akashi. Langkahnya sempat terhenti sejenak saat matanya tak sengaja menangkap bangunan kecil yang berdiri di sebrang jalan sana. "Tapi minimarket terdekat sudah lewat. Itu di sebrang—"
"Tidak mau. Bakpaunya tidak enak," potong Akashi langsung.
"Lalu kau tidak dimarahi nih kalau pulang telat ke hotel?" Nijimura bertanya lagi; meski jujur sebenarnya dia penasaran kapan Akashi sempat membeli bakpau dari minimarket di sana sementara hari-harinya dihabiskan di Kyoto.
"Untuk apa pulang ke hotel? Rumahku, kan di sini. Dari awal aku juga tidak pernah menginap di hotel—bukannya dulu aku sudah pernah cerita ya?"
"Ah iya aku lupa. Ya sudahlah. Selama aku tidak dilibatkan dengan urusanmu, aku sih oke-oke saja."
Akashi tersenyum kecil. Dia melirik orang di sampingnya sebelum berbisik pelan, "Lagipula ..."
"Hm? 'Lagipula'?"
Senyumnya mengembang. "Lagipula banyak hal yang ingin kuceritakan pada Nijimura-san; hal-hal yang tak bisa kuceritakan lewat telepon. Makanya hari ini kita jalan ya ke rumahku."
Nijimura bisa apa kalau dia melihat adik kelasnya yang tadi murung kini malah tersenyum seperti itu?
"Baiklah. Tapi yang soal hari ini, nanti jangan lupa kabari aku. Kalau ayahmu tiba-tiba mencoret namamu dari daftar warisan kabur saja ke Los Angeles."
"... aku tidak menyangka aku diajak kawin lari."
"Berisik, Akashi. Candaanmu tidak lucu. Aku masih normal, Bodoh."
Owari
Terima kasih bagi semua yang telah membaca fanfiksi ini!
