CHEERFULL SERIES #1

.

.

aLpHa Chapter 1

.

.

.

Cast : OOC (Member Cheerfull), Hyungwon (MonstaX), Yoon Sanha (ASTRO), and Other

Genre : Mistery and Psycho

Lenght : Chapter

.

.

.

Summary : Apa yang terjadi saat kau mempercayai orang yang kau anggap dapat melindungimu ternyata merupakan sumber bencana bagimu. Dan mau tidak mau kau harus menerima kenyataan yang menyakitkan. Dan saat kau tau kebenarannya, kau hanya bisa diam seribubahasa. Apa yang kau lihat bukanlah segalanya.

.

.

.

TYPO(s) Bertebaran Dimana-mana

.

.

.

Happy Reading(?)

.

.

Sinar bulan purnama seakan menyombongkan diri dan tak ingin membagikan cahayanya. Dengan hati yang angkuh ia hanya memberikan setitik cahaya ke dalam ruangan kecil yang berisi seorang gadis berseragam dan sedang menelungkupkan kepalanya di meja yang ada.

Entah apa yang terjadi dan apa yang telah dilakukan, gadis berseragam itu merasakan bahwa malam ini adalah malam yang panjang dan begitu mencekam. Terlebih lagi ia tidak mengingat apapun sebelum ia akhirnya berada di ruangan tersebut. Semuanya terasa begitu gelap, hati dan juga pandangannya.

Tuk!

Kepalanya mendongak. Baru saja ia mendengar sebuah ketukan di mejanya. Dan benar saja, di depannya sudah berdiri seseorang dengan pakaian serba hitam. Dahinya mengeryit menatap orang itu. Ruangan di tempatinya itu memang benar-benar membutuhkan sebuah cahaya. Ia tak bisa melihat wajah orang di depannya karena kurangnya cahaya serta orang itu mengenakan topi.

Dari postur tubuhnya, orang itu terlihat seperti seorang wanita. Tapi bentuk wajahnya yang tegas itu memberi petunjuk bahwa orang itu adalah seorang pria. Disaat ia masih berkutat dengan pikirannya untuk menebak siapa orang itu, tiba-tiba ada selembar kertas mendarat di depannya. Belum selesai dengan kebingungannya sebelumnya, sekarang orang itu kembali menambah teka-teki untuknya.

Jari telunjuk orang itu memberi isyarat kepadanya untuk membalikkan kertas tersebut. Tunggu! Apa yang akan dilakukan oleh orang di depannya? Di atas kertas tadi bertuliskan sesuatu yang tidak menjawab sedikitpun rasa penasarannya. Justru rasa penasaran itu terus bertambah dan bertambah.

Sedetik setelah membaca tulisan di atas kertas itu, kepalanya kembali mendongak. Mencari tahu apa kelanjutan dari kata-kata yang tertulis di atas sana. Dan orang itu meletakkan sebuah buku yang cukup tebal di atas meja, lengkap dengan pena. Apa yang harus dilakukannya?

Gadis berseragam itu benar-benar tak mengerti apa yang telah terjadi kepadanya. Tapi yang jelas otak serta tubuhnya merespon perintah orang itu yang tidak secara langsung. Tidak dengan hatinya. Sejujurnya saat ini ia sangat takut dan ingin segera keluar dari tempat itu. Tapi ia tak tahu bagaimana caranya.

Atau dengan menuruti perintah orang itu ia bisa keluar dan selamat dari tempat ini? Benar, siapa tahu bahwa orang itu memang berniat untuk menyelamatkannya. Dan sekarang orang itu meminta imbalannya terlebih dulu. Ayolah, ia akan memberikan imbalan itu asal ia bisa keluar dari ruangan mengerikan tersebut. Hanya menuliskan kisah hidupnya kan? Ia bisa memberikan itu berapapun.

Tanpa diketahuinya, seulas senyuman terpahat di wajah orang itu saat melihatnya mulai meraih buku dan juga pena. Senyuman puas yang bisa digambarkan seperti seseorang yang baru saja menyelesaikan tugas matematika. Dan entah apa yang terjadi, setitik cahaya rembulan menjadi tertuju tepat pada senyuman orang itu.

#

Hakim paruh baya itu mengangkat palunya dan bersiap untuk mengetuknya sebanyak tiga kali. Seluruh pasang mata yang berada di ruangan itu menebak-nebak apa keputusan hakim untuk tersangka pemerkosaan tersebut. Suasana begitu menegangkan karena pelaku telah membuat masyarakat merasa resah selama beberapa bulan terakhir. Dan tentu sebuah kebahagiaan tersendiri bahwa akhirnya pelaku berhasil ditangkap.

"Tunggu!" teriak seorang gadis saat palu mulai menghasilkan ketukan yang pertama.

Seketika pandangan semua orang tertuju ke arah sumber suara. Terlihat seorang gadis berambut cokelat sebahu berdiri di depan pintu ruang sidang dengan terengah-engah. Dahinya yang tidak berponi itu basah oleh peluh. Bisa dipastikan bahwa gadis itu telah berlari cukup jauh dan dalam waktu yang tidak sebentar.

Tanpa memerhatikan tatapan orang-orang itu yang menyudutkannya dan membuatnya seketika menjadi penjahat tersebut, ia melangkahkan kaki mendekati kayu pembatas area persidangan dengan tempat duduk penonton. Sekilas ia memandang tersangka yang terkejut melihat kedatangannya. Lalu beralih ke arah hakim.

"Pria ini tak bersalah!" ia mengacungkan telunjuknya ke arah tersangka. Suaranya terdengar bergetar walau napasnya sudah teratur setelah berlari. "Dia telah membuat kesaksian palsu!"

Semua orang terdiam setelah sebelumnya menghujat gadis itu karena masuk ke ruang sidang dan menyela keputusan hakim. Siapa gadis ini? Kenapa ia tiba-tiba muncul dan dengan tegasnya mengatakan bahwa tersangka tidak bersalah? Setelah semua bukti yang telah ada tertuju pada tersangka.

"Nona, apa maksudmu?" tanya hakim. Pria yang kira-kira berumur sekitar lima puluhan itu memiringkan kepalanya untuk mencari jawaban melalui raut wajah gadis tersebut.

"Dia bukan pelakunya, jadi tolong jangan penjarakan dia!" ucapan yang sekuat tenaga ia utaran dengan tegas itu entah kenapa justru terdengar seperti memohon.

Suasana menjadi sedikit memanas. Orang-orang yang melihat adegan tersebut kembali berbisik. Menduga bahwa gadis itu adalah salah satu korban yang tidak disebutkan dan lebih ingin dinikahi oleh tersangka sebagai pertanggung jawaban dibandingkan penjara.

"Aku bisa membuktikannya!" teriak gadis itu saat ada dua petugas yang menyeretnya keluar ruangan. " Jadi jangan penjarakan dia, kumohon!"

"Cut!" terdengar suara seorang pria dengan lantang yang langsung disambut tepuk tangan oleh semua orang yang ada di dalam ruangan itu.

Gadis tadi kembali memasuki ruang sidang dan menghampiri pria yang berteriak tersebut. Ia membungkukkan badan seraya mengucapkan terima kasih kepada setiap orang yang terlibat dalam adegan tadi. Termasuk dua petugas yang hanya muncul sekali dan untuk beberapa detik.

"Yoon Rae In, kemampuan aktingmu memang yang terbaik!" ujar pria itu sambil menepuk pundak Yoon Rae In, sang gadis, dengan perlahan.

"Bagaimana denganku, Sutradara?" seru sebuah suara.

Pria yang menjadi tersangka tadi menghampiri Rae In dan pria yang ia panggil sutradara tersebut. Ia menunjukkan senyum lebarnya sembari mengusap puncak kepala Rae In. Sedangkan gadis yang ia ganggu itu sedang sibuk dengan asistennya yang membersihkan keringatnya dengan tisu.

"Noona, jadwal selanjutnya pemotretan di Incheon. Dan kita hanya punya waktu empat puluh lima menit. Jadi kita harus cepat," bisik seorang pria kepada Rae In.

"Aku mengerti," jawab Rae In singkat. "Sekali lagi terima kasih semuanya," ia kembali membungkukkan badan beberapa kali sebelum benar-benar meninggalkan ruang sidang.

#

Rae In meraih remote yang ada di dekatnya lalu menekan tombol merah di atas sana. Beberapa detik kemudian terlihat seorang wanita pembawa berita yang menjelaskan tentang kasus yang sedang menjadi pembicaraan masyarakat Korea saat ini. Kasus pembunuhan huruf garis.

Demi apapun Rae In ingin sekali melihat korban yang menjadi orang kelima itu. Namun dengan paksa asistennya memegangi kepalanya untuk menata rambutnya. Dan alhasil ia tidak bisa menghadap depan dan hanya bisa mendengar penjelasan pembawa berita.

"Aku ingin sekali bertemu dengan pembunuhnya," celetuk Rae In setelah sudah bisa melihat korban. Kali ini korbannya seorang gadis sekolah menengah atas yang menjadi murid di salah satu sekolah elit Korea.

Sebenarnya apa alasan pembunuh untuk mengambil nyawa orang-orang tersebut. Dan apa maksud dari huruf serta garis yang tertera di lengan korban. Semacam nomer urut atau bagaimana? Tapi yang jelas pembunuh tersebut merupakan orang jenius. Karena dalam kurun waktu tiga tahun sang pembunuh sudah menghabisi lima orang berbeda profesi dan jabatan tanpa meninggalkan jejak sedikitpun selain huruf dan garis tadi.

#

Gadis berparas cantik itu meletakkan sebuah file yang cukup tebal di atas mejanya. Selama beberapa menit yang lalu pandangan serta pikirannya hanya tertuju pada file tersebut. Dan sekarang ia beralih kepada seorang wanita dan pria yang ada di depannya.

Sama seperti dirinya, kedua orang itu terlihat frustasi dengan apa yang baru saja mereka lihat dan dengar. Tim investigasinya telah menjadi penanggung jawab dari kasus pembunuhan huruf garis sejak korban pertama ditemukan. Jadi bisa dikatakan bahwa mereka menangani kasus yang sama selama hampir tiga tahun. Dan mereka telah bekerja sangat keras menggunakan segala cara untuk mencari tahu siapa manusia kejam yang melakukan hal keji ini. Tapi sekarang yang mereka dapat adalah satu korban lagi.

"Sialan!" umpatnya geram. Ia membanting tubuhnya ke salah satu kursi kosong. "Monster ini sepertinya memilikki banyak kekuatan,"

"Aku tahu, dan sepertinya dia ingin bermain-main dengan kita," sahut sang pria dengan ID Nam Joo Hyuk.

"Sudah pasti, dan apa kode kali ini?" tanyanya sambil memijat keningnya yang terasa berdenyut itu.

Nam Joo Hyuk menyerahkan selembar kertas yang berisi foto korban. Ada sebuah huruf K dan garis miring yang berbeda dari sebelumnya. Apa pembunuh itu mengikuti cara dari salah satu drama yang dibintangi oleh Shin Se Kyung? Pembunuh dalam drama itu meninggalkan barcode dan pembunuh ini meninggalkan huruf dan garis.

Tapi tak mungkin. Pasti drama itu yang mengangkat kasus ini sebagai cerita sebuah drama. Karena kasus ini dimulai pada tahun 2013 sedangkan drama tersebut ditayangkan tahun 2015. Dan jika dipikir-pikir lagi, seharusnya pembunuh nyata ini lebih mudah ditemukan karena menggunakan dua petunjuk. Satu bisa dibaca dan yang satu lagi tak bisa dibaca.

"Oh Rae Sun, kau mau ke gereja bersamaku minggu ini?" ia meletakkan lembaran itu di atas meja. Gadis yang bernama Oh Rae Sun hanya tersenyum menanggapi ucapan atasannya itu yang menyiratkan keputus asa-an.

Kursi yang didudukinya berputar dan menghadap sebuah layar proyektor yang menampilkan foto-foto para korban, termasuk korban baru yang ditemukan di sebuah taman bermain hari ini. Pembunuh ini, bisa dibilang sebagai orang jenius. Tak ada jejak sedikitpun yang mengarah kepada pembunuh. Siapapun pembunuhnya, sudah pasti seorang Phsycopat.

" K?" gumamnya sambil membaca tanda yang dibuat oleh pembunuh.

Sebenarnya apa maksud dari huruf-huruf itu? Inisial? Atau awalan? Oh Tuhan! Selama bertahun-tahun ia menjadi anggota detektif, baru kali ini ia merasakan memiliki kasus yang menyenangkan. Karena jika suatu kasus kejahatan sudah ditanganinya, dalam waktu kurang dari satu hari pelaku sudah akan ditanggap. Tapi kasus ini membutuhkan waktu tiga tahun. Atau bisa saja lebih.

"Menurut kalian apa maksud dari huruf-huruf ini?" ia kembali bersuara. Nada bicaranya terdengar sudah sangat putus asa.

"Entahlah, tapi aku merasa bahwa huruf-huruf ini memiliki fungsi yang sangat besar sampai sang pembunuh menggunakannya sebagai kode," Rae Sun berpendapat. Sebenarnya ia juga sudah tidak bisa berpikir lagi mengenai kasus ini.

Saat ia pertama kali masuk di kepolisian, ia sangat bahagia karena langsung mendapat kasus. Apalagi di bawah pimpinan Letnan sehebat gadis di depannya, Park Hye Ra. Namun setelah tiga tahun hanya menyelidikki satu kasus yang sepertinya tak berujung, ia sekarang merasa pikirannya buntu.

Jika Letnan Park saja sudah merasa bahwa urat nadinya akan putus, bagaimana dengannya? Apa seluruh tulangnya akan patah sebelum berhasil menangkap orang menjijikkan ini? Saat itu juga ia berdoa kepada Tuhan agar mengampuni dosa-dosanya dan membuat lampu di jalannya yang sudah semakin gelap ini.

"Huruf itu memang penting, tapi kita tak bisa melupakan kode lain yang jauh lebih membingungkan." Nam Joo Hyuk berdiri dan menunjuk satu persatu garis.

Benar juga. Selama ini mereka terlalu fokus dengan kode huruf karena menganggap kode tersebut lebih mudah untuk dipahami. Setidaknya bisa dibaca. Mereka tak berpikir bagaimana jika saja justru kode garis yang lebih mudah untuk dipecahkan. Tapi hanya dengan melihat dua jenis kode itu saja sudah jelas bahwa orang-orang juga akan memilih lebih fokus kepada kode huruf dibanding kode garis.

"Tapi tetap saja keduanya sangat sulit untuk ditebak," seru Rae Sun. Ingin sekali rasanya ia meminjam otak detektif yang masih magang agar bisa merasakan kelegaan walau hanya untuk beberapa saat. Atau merasakan bagaimana rasanya bersantai. Oh tidak! Ia bahkan hampir lupa bagaimana rasa dari perasaan tersebut.

"Jika kasus ini mudah, maka tak akan membuat Letnan Park merasa bertambah usia dengan cepat, bodoh!" umpat Joo Hyuk tak mau kalah. Entah kenapa selalu saja saat ia berpendapat, gadis yang jelas-jelas lebih muda darinya itu selalu menimpali dengan pendapat yang tidak berguna.

"Dan jika aku bodoh, mana mungkin aku masuk ke tim Letnan Park?"

Hye Ra menggigit bibir bawahnya. Inilah akibat dari memilikki dua anak buah yang hanya tahu bagaimana bersaing dengan cara yang buruk. Satu orang melempar batu, dan orang lainnya membalas dengan melempar batu yang sama pula. Jika seperti itu kenapa mereka tak saling berbagi batu saja?

"Kalian berdua!" potong Hye Ra. Sekarang kepalanya sudah terasa amat sangat panas sehingga akan meledak setiap saat. Dan bukannya melonggarkan sedikit sesak di dadanya, kedua pemuda-pemudi itu justru menambah muatan ke dalam sebuah truk yang sudah penuh. "Lebih baik pergi ke TKP dan cari bukti!"

Hanya dengan sekali gertakan, Joo Hyuk dan Rae Sun tergopoh-gopoh untuk menuju tempat yang diperintahkan atasannya. Dan sekarang hanya ada Hye Ra sendiri di ruang rapat. Menatap layar proyektor dengan teliti dan dalam. Kode-kode itu, bagaimana jika memiliki arti yang sangat sederhana sehingga tak terpikirkan oleh orang yang berpikir rumit sepertinya.

"Aku akan membawamu ke tempat yang layak untukmu. Dengan cara apapun." Gumamnya. Walau ia sudah merasa putus asa, ia masih tetap memiliki keyakinan bahwa ia akan memberikan makhluk keji itu dengan sesuatu yang setimpal dengan perbuatannya.

#

Mata cokelatnya menatap pria itu dengan iba. Bagaimana tidak, di umur yang baru saja menginjak tujuh belas tahun itu ia sudah memakai kaca yang super tebal. Tapi tak perlu diragukan lagi. Karena sejak ia memulai konsultansi dengannya tiga puluh menit yang lalu, aktifitas yang dilakukan remaja itu hanyalah berkutat dengan smartphone.

"Yoon San Ha, apa matamu tak sakit?" tanyanya kemudian. Ia memang tetap akan dibayar ketika hanya terlihat membawa pasien ke ruangannya walau tanpa melakukan tugasnya sesuai kode etik. Tapi masalahnya ia bukan tipe gadis seperti itu.

"Rasa sakitnya tak sebanding dengan rasa bahagia karena menang. Tenang saja," ujar pria bernama Yoon San Ha itu tanpa beralih sedikitpun dari ponselnya.

Ia mendesah pelan. Jika ia adalah orang yang tak bertanggung jawab, ia pasti akan langsung meninggalkan San Ha dan melanjutkan aktifitasnya yang lain. Namun bukankah ia sudah mengatakan bahwa ia bukan orang yang seperti itu tadi? Dan selain itu, San Ha adalah adik..

"Bocah tengik! Kau bilang setuju untuk berkonsultasi dengannya!" seru seseorang.

Seketika matanya membulat saat melihat seorang gadis yang sangat cantik tiba-tiba memasukki ruangannya. Dengan kasar gadis itu meraih ponsel San Ha yang dibalas dengan tatapan tajam oleh pemiliknya. Baiklah, sebentar lagi ruangannya akan menjadi ring tinju untuk yang kesekian kalinya.

"Oh Tuhan!" desahnya.

"Aku memang setuju untuk berkonsultasi, tapi aku tak bilang untuk berhenti bermain," jawab San Ha tak mau kalah. "Dan sekarang kau bahkan tak mengerti bahasa manusia?"

Plak!

Telapak tangan yang putih milik gadis itu mendarat di pipi kiri San Ha dengan keras. Tunggu! Ini pertama kalinya ia melihat gadis itu melakukan kekerasan selain di dalam televisi.

"Yoon Rae In!" ia menyebutkan nama gadis itu.

Benar. Gadis itu adalah salah satu aktris terkenal dunia dan baru saja memukul Yoon San Ha. Adiknya. Sungguh bagus, gadis itu selalu saja memberi kejutan tak terduga bagi setiap sahabat dan kerabatnya. Termasuk dirinya. Seperti saat ini.

Biasanya Rae In hanya akan membanting barang-barang adiknya jika marah dan tidak sampai menyakiti keluarga satu-satunya itu. Tapi apa yang baru saja dilihatnya merupakan kejutan terbesar dari Rae In bagi dirinya.

"Jung Seung Hye, seingatku aku sudah memintamu untuk menghentikan hobi sialannya ini!" Rae In beralih memandangnya.

"Aku sangat ingat akan hal itu, tapi menyembuhkan penyakit tidak secepat memanggang roti! Segala sesuatu membutuhkan proses," jelas Seung Hye.

Sebagai psikiater, ia sudah berusaha sangat keras untuk menahan emosinya dan bersikap sabar. Dan semua itu sangat bertolak belakang dengan kepribadiannya yang bebas dan selalu mengungkapkan kebenaran dengan gamblang tanpa memikirkan perasaan orang lain.

"Untuk orang instan sepertimu, mana mungkin kau tahu apa itu proses! Jadi untuk apa kau repot-repot mengurusiku?" San Ha kembali bersuara.

Dua Yoon bersaudara ini benar-benar membuat Seung Hye kesal sekaligus tertegun. Keduanya sama-sama memilikki watak yang kaku dan sangat sulit untuk mengalah. Persis dengan almarhum ayah mereka. Yah, karena buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Dan setelah bersahabat dengan Rae In selama hampir tiga belas tahun, ia masih belum menemukan cara untuk menghancurkan batu yang bersarang di dalam diri gadis itu.

"Yoon San Ha, jangan bicara seperti itu. Jika ia tidak-" ucapan Seung Hye terpotong dengan perkataan San Ha yang langsung menohok tenggorokkannya.

"Aku tidak peduli,"

Rae In menghela napas panjang. Sulit sekali baginya untuk mengurus adiknya itu setelah Ibunya meninggal satu tahun yang lalu. Dan sejujurnya, ia tahu betul bahwa kehidupan San Ha akan berubah menjadi lebih menyebalkan karena dialah orang yang akan mengurusnya. Ia sadar betul bahwa wataknya sama dengan San Ha. Ia juga tahu San Ha membutuhkan orang berwatak kalem untuk menghadapinya.

Lalu Jung Seung Hye? Hanya dengan menyebut namanya saja gadis itu sudah akan di eliminasinya. Jangan coba-coba untuk menilai seseorang dari luarnya. Karena mungkin saja ada hal lain di dalam orang tersebut. Contohnya Jung Seung Hye. Ia terlihat begitu anggun dan kalem disaat di dalam dirinya ia memelihara seekor rubah pegunungan.

Demi apapun, ia membawa San Ha kepada Seung Hye bukan karena gadis itu adalah orang kalem yang dibutuhkannya. Namun gadis itu adalah manusia rubah yang kalem. Hanya dengan Seung Hye setidaknya San Ha mau berhenti memegang ponselnya walau hanya dalam beberapa menit.

Ia sempat heran. Sebenarnya San Ha itu adiknya atau adik Seung Hye. Sampai mulutnya berbusapun San Ha tidak akan pernah mendengarkannya. Tapi jika orang itu adalah Seung Hye, adiknya itu akan menurut. Padahal gadis itu hanya bicara dengan tenang mengenai suatu hal yang tidak ia pahami. Sedangkan ia berbicara dengan mempertaruhkan pita suaranya dan hanya berakhir sebagai sebuah angin lalu.

"Kalau begitu pergilah dari rumah," Rae In memiringkan kepalanya. Wajahnya memandang San Ha dengan sungguh-sungguh.

"Apa kau gila?" pekik Seung Hye.

Bagus sekali Yoon Rae In. Akhirnya kata-kata yang paling dikhawatirkan Jung Seung Hye terlontar dari bibir merona gadis itu. Ia tahu betul bagaimana kedua anak itu. Sama-sama keras dan akan melakukan apapun sesuai yang ia ucapkan. Jika Rae In mengusir San Ha, itu bukan berarti ia membiarkannya untuk pergi. Tapi justru menyuruhnya untuk pergi. Dan hal itu benar-benar akan terjadi jika San Ha juga mengatakan sesuatu yang juga membuatnya gelisah.

"Baiklah, lagipula aku tak membutuhkan uang-uangmu!"

Seung Hye menggigit bibir bawahnya. Ia sudah tak tahu lagi bagaimana cara mengatasi peperangan dua Yoon saudara yang sangat luar biasa ini. Perang yang bisa dijuluki sebagai perang dunia ketiga. Ia merasa sudah segala cara ia lakukan untuk menyusun potongan gelas yang tidak sengaja terjatuh sehingga pecah tersebut. Perlu diketahui, sebenarnya hubangan mereka baik-baik saja. Namun ada suatu hal yang terjadi sehingga membuat gelas ini hancur dan bahkan susah untuk kembali menyusunnya.

#

Seung Hye tak bisa menyembunyikan keterkejutannya saat melihat seorang gadis yang sedang sibuk meminum americano di depannya. Matanya tak berkedip sejak pertama kali memasukki cafe yang tak jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja tersebut.

Apa gadis yang dulu terkenal begitu seksi dan menggiurkan itu kini berubah seperti seorang ibu rumah tangga yang baru saja selesai memandikan anaknya dan tak sempat berganti pakaian. Gadis itu hanya mengenakan kaos putih polos yang ditambah dengan jaket kain berwarna hijau tua serta celana jeans semata kaki yang berlubang di bagian lututnya. Dan yang lebih parahnya adalah rambut kemerahan gadis itu benar-benar tak teratur. Hanya diikat tinggi dengan asal-asalan.

Walaupun ia tidak begitu memahami bagaimana fashion seperti Yoon Rae In, setidaknya ia masih bisa memadukan pakaiannya agar terlihat pantas. Setidaknya saat bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Ayolah, Seung Hye sudah sangat tahu cara berpakaian gadis di depannya. Tapi jika zaman sudah semakin maju, bukankah seharusnya gadis itu mengetahui sedikit saja mengenai fashion? Setidaknya bagaimana cara berpakaian dengan layak.

Ingatannya melayang ke masa-masa saat ia dan gadis itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Gadis itu memang sudah terlihat menarik walau hanya mengenakan seragam polos dan tanpa tambahan apapun. Gadis itu akan tetap menarik hanya dengan sebuah hanbok. Dan jika saja Rae In tidak membantu gadis itu untuk berpakaian, pasti tak hanya ada beberapa pria yang mengantri untuk dirinya.

"Kau.. benar-benar Park Hye Ra?" tanya Seung Hye gelagapan.

Ia benar-benar masih tak habis pikir dengan sahabatnya itu yang berubah ke arah yang lebih buruk dalam berpenampilan. Di usianya yang sudah sangat siap untuk menikah itu bagaimana ia bisa menarik lawan jenis jika pakaiannya saja seperti orang yang tidak meyakinkan.

Sekilas Park Hye Ra melirik Seung Hye sebelum merogoh saku jaketnya. Lalu ia mengeluarkan sesuatu di atas sana. Pandangan Seung Hye beralih ke arah benda yang baru di keluarkan Hye ra dari sakunya. Sebuah ID detektif bertuliskan 'Park Hye Ra'. Gadis di depannya memang Park Hye Ra!

Hye Ra tak begitu memperhatikan Seung Hye karena ia tak akan heran dengan keterkejutan sahabatnya itu. Dan sebagai gantinya ia kembali menyesap kopinya. Sudah diduga, hanya americano-lah salah satu sumber energinya selain sahabat-sahabatnya. Ia hanya perlu meminumnya jika merasa otaknya sedang berjalan tak normal. Ia tidak perlu alkohol untuk memperbaiki otaknya. Percayalah.

"Apa kantor polisi tidak memberimu jatah makan? Haruskah aku menuntut mereka?" Seung Hye masih tak bisa menghilangkan rasa penasarannya.

Lagi-lagi Hye Ra tak bersuara menanggapi ucapan Seung Hye. Ia hanya mengangguk-angguk paham. Karena jika ia bersuara, maka gadis di depannya akan langsung menembakinya dengan berbagai jenis pertanyaan yang ia sendiri tidak yakin bisa menjawabnya.

Lagipula tidak heran juga kalau Seung Hye terkejut melihat keadaannya saat ini. Pipi chubby-nya yang dulu selalu dicubiti oleh Seung Hye benar-benar menghilang dan digantikan sepasang kantung hitam di bawah matanya. Dan semua itu bukan karena kantor polisi tidak memberinya makan.

Tempatnya bekerja itu memang tempat yang dibuat untuk menerima keluhan dari masyarakat. Dan walaupun salah satu dari orang kantornya harus pergi ke suatu desa demi melayani masyarakat, mereka tidak pernah melewatkan jam makan. Jatah makan? Ia sudah menerimanya setiap hari. Tidak pernah terlambat atau kurang sekalipun. Alasannya menjadi seperti ini tidak lain adalah karena kasus yang sedang ditanganinya.

"Itukah yang ada di pikiran seorang psikiater? Tentang makanan?" sambar Rae In sambil membawa dua gelas float di tangannya. Saat ini ia sudah berubah menjadi seorang detektif yang melakukan penyamaran. Ia menutupi sebagian dari wajahnya dengan masker serta mengalungkan syal merah di lehernya. Bahkan Hye Ra mungkin tidak seperti itu jika sedang menyamar.

"Apa terjadi sesuatu?" Seung Hye meraih salah satu float yang dibawa Rae In lalu menyesapnya dan kembali kepada Hye Ra. Inilah hal yang paling Hye Ra benci dari sosok Seung Hye. Gadis itu tidak akan berhenti bertanya sebelum mendapatkan jawaban yang menurutnya layak untuk diterima.

Setelah mendesah pelan, Hye Ra akhirnya meletakkan minumannya dan menatap Seung Hye datar. Telunjuknya berayun dan memberikan isyarat kepada Seung Hye agar gadis itu mendekat. Seperti yang diperintahkannya, Seung Hye memajukan kepalanya sebelum akhirnya Hye Ra juga melakukan hal yang sama. Jarak di antara mereka hanya beberapa inch. Dan merasa tak ingin tahu dengan percakapan dua sahabatnya, Rae In tetap pada tempatnya sambil terus meminum floatnya.

"Kau memerlukan televisi," bisik Hye Ra.

Alih-alih paham, Seung Hye justru semakin bingung dengan apa yang dikatakan detektif muda itu. Apa maksudnya dengan membutuhkan televisi? Tunggu! Apa Hye Ra baru saja mengejeknya? Dan apakah tidak memiliki televisi itu hal yang salah? Apa Hye Ra juga menjadi artis seperti Rae In dan mendapat tawaran untuk bermain sebagai gadis bayaran? Karena kepribadiannya yang tidak serupa, lalu Hye Ra merasa dilema dan akhirnya menjadi kurus? Begitukah?

"Bukankah kau psikiater, seharusnya kau tahu!" celetuk Rae In tak sabar.

Oho! Sekarang Rae In menyangkut pautkan masalah pribadi Hye Ra dengan profesinya. Jangan bilang bahwa maksud Rae In adalah ia harusnya mengerti apa yang dipikirkan oleh Hye Ra. Oh Tuhan! Kali ini ia setuju dengan jalan pikiran San Ha mengenai Rae In yang tidak terlalu pintar.

Jangan bilang Rae In menyamakan profesinya dengan seorang peramal yang bisa melihat pikiran orang lain tanpa mengutarakannya. Ayolah, bagaimana ia bisa tahu jalan pikiran orang lain kalau orang itu tidak memberitahunya terlebih dahulu. Perlu diakui, Yoon Rae In memang gadis yang paling memikat di antara mereka bertiga. Tapi otak gadis itu berada di urutan terakhir di antara mereka.

"Sepertinya ada salah paham disini." Seung Hye menatap Rae In dan Hye Ra bergantian. "Psikiater berbeda dengan peramal, teman-teman"

Hye Ra terkekeh. Seung Hye memang paling susah jika disuruh untuk membahas tentang misteri. Seperti sekarang. Karena gadis itu selalu saja terbuka dan bahkan hampir saja tidak memiliki rahasia. Jika ada seseorang memberitahu tentang sesuatu dengan kata kiasan atau semacamnya, jangan harap untuk mendapatkan jawaban yang tepat dari Jung Seung Hye.

"Baiklah, akan kuberitahu!" Rae In ikut meletakkan minumannya di atas meja. Ia memandang Seung Hye lekat-lekat seakan-akan apa yang akan diberitahukannya adalah sesuatu yang sangat rahasia dan serius. "Kau tahu kasus huruf garis?"

"Setidaknya aku masih mengikuti berita mengenai Korea," Seung Hye mengangguk-angguk bangga. Bagi seseorang yang tidak membutuhkan televisi sepertinya, bisa mengetahui berita yang sedang dibincangkan merupakan keajaiban sekaligus kebanggaan tersendiri.

"Dan dialah yang menangani kasus itu sejak tiga tahun terakhir!" Rae In menunjuk Hye Ra yang lagi-lagi hanya mengangguk-angguk sambil menenggak habis americano-nya. Mata Seung Hye memicing melirik Hye Ra.

Seung Hye menghela napas panjang. Ia tidak tahu bahwa sahabatnya telah menjalani masa-masa sulit dengan masalah orang lain.

"Kenapa kau tidak memberitahuku?" tanya Hye Ra yang sudah paham perihal keadaan Hye Ra.

"Apa pelakunya akan datang jika kau mengetahuinya?" desis Hye Ra.

Benar juga. Apa yang bisa dilakukan oleh psikiater seperti Seung Hye untuk menangani kasus yang bahkan detektif yang termasuk ulung seperti Hye Ra saja kewalahan. Dan mungkin yang terjadi Seung Hye hanya bisa terdiam mendapati data-data kasus yang tidak dipahaminya.

#

Untuk kesekian kalinya dalam kurun waktu tiga menit gadis langsing itu kembali melirik jam biru yang melingkari pergelangan tangannya. Hampir selama itu pula ia menunggu seseorang yang bahkan sampai saat ini belum terlihat batang hidungnya. Apa orang itu termasuk orang yang tidak disiplin?

Karena merasa sedikit bosan untuk menunggu orang itu, ia sekilas melirik orang-orang di sekitarnya yang sibuk dengan aktifitas masing-masing. Kakinya melangkah untuk mendekati seorang gadis yang sedang mencuci piring.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya kepada gadis itu.

Sekilas gadis itu tersenyum kearahnya sebelum akhirnya kembali mencuci piring. "Tugas Sous Chef adalah memasak, bukan mencuci piring,"

Ia tertegun mendengar jawaban gadis itu. Benar juga, ia bekerja di salah satu restoran elegan ini sebagai seorang Chef dan bukan pegawai pencuci piring. Tapi sekarang adalah hari pertamanya bekerja. Dan seperti apa yang telah dipelajari dalam hidupnya, kesan pertama menentukan bagaimana orang lain akan memperlakukan kita.

"Hei, Sous Chef!" teriak seseorang. Kepalanya mendongak untuk mencari sumber suara.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, ia melihat seorang pria dengan celemek bertuliskan Park Ji Min melambaikan tangan ke arahnya. Tanpa pikir panjang ia berjalan mendekati pria yang lumayan tampan itu. Dan ketika ia sudah sampai di depan Ji Min, pria itu mengetuk-ngetuk jari telunjuk di atas meja yang berisi bungkusan-bungkan udang dan kerang.

"Kau bisa bantu aku mengupasnya?" tanya Ji Min.

"Tentu saja," jawabnya spontan. Ingat! Kesan pertama sangat penting.

Baru beberapa menit ia berkutat dengan berbungkus-bungkus kerang dan udang di depannya, ia mendengar orang-orang di sekitarnya menyapa seseorang. Oh! Apa sudah ada pelanggan yang datang? Walau restorannya belum buka?

"Oh! Chef Chae!" pekiknya saat melihat siapa orang yang di sapa oleh rekan-rekannya. Ternyata orang itu adalah selebriti chef Chae Hyungwon yang sekaligus menjadi pemilik restoran tempatnya bekerja.

Merasa namanya dipanggil, Hyung Won menghentikan langkahnya. Dan detik berikutnya sudah berdiri gadis langsing yang membungkukkan badannya beberapa derajat. Dahinya mengeryit. Ini pertama kalinya ia memiliki pegawai yang repot-repot keluar dari dapur hanya untuk menyapanya.

"Selamat pagi, chef!" sapa gadis itu dengan riang namun tetap sopan.

"Selamat pagi," jawab Hyungwon sambil terkekeh melihat tingkah gadis itu.

"Saya Kim Haerin, Sous Chef yang baru"

"Iya, aku tahu. Dan kuharap kau bisa mengerjakan tugasmu dengan baik," setelah mengucapkan kalimat itu, Hyungwon melangkahkan kaki untuk meninggalkan gadis bernama Kim Haerin tersebut.

"Siap chef! Semoga hari Anda menyenangkan,"

Hae Rin kembali membungkukkan badannya walaupun Hyung Won sudah tak lagi melihatnya. Senyuman menghiasi wajah putih Hae Rin saat melihat punggung Hyung Won semakin menjauh dan hilang dibalik rak buku. Sebuah senyuman yang tidak bisa diartikan. Tapi jelas terlihat di dalam manik mata cokelatnya bahwa gadis itu puas akan suatu hal.

#

Hari pertama bekerja terasa sungguh melelahkan. Sambil terus melangkahkan kakinya menuju halte bus terdekat, Hae Rin memukul-mukul pundaknya yang terasa akan patah. Ia tidak tahu bahwa Pasta Seafood buatan seniornya Park Ji Min mampu membuat setiap orang yang mencium aromanya menjadi tergiur.

Termasuk dirinya. Ketika ia berdiri di samping chef pendek itu saat sedang membuat saus pasta seafood-nya, ia merasakan ada sesuatu di dalam dirinya yang terus mendorong untuk segera merasakannya. Dan beberapa menit setelah restoran tempatnya bekerja tutup, akhirnya ia bisa ikut merasakan bagaimana sentuhan magic dari chef yang terkenal dengan tangan Tuhannya.

Saat ia masih menyelesaikan sekolah memasaknya di Australia, ia sudah banyak mencari tahu mengenai restoran terkenal di Korea Selatan. Dan tentu saja hatinya langsung tertuju pada restoran milik Chae Hyung Won. Karena selain pemiliknya adalah seorang selebriti chef, setiap koki yang bekerja di sana juga terkenal sebagai koki masak terkenal yang sering muncul dalam acara memasak.

Salah satunya adalah Park Ji Min. Oleh karena itu ia langsung menurut ketika pria itu memerintahnya. Sebelumnya ia pernah melihat pria itu pernah muncul di salah satu acara televisi dang pria itu menjadi juri yang begitu dihormati karena kemampuan memasaknya. Dan ia ingin menjadi koki yang seperti itu, koki yang dihormati karena kemampuan memasaknya.

Dan perlu diketahui, bukan hanya seorang dokter bedah yang memiliki tangan Tuhan. Tapi koki juga bisa menyandang gelar tersebut. Contohnya adalah Park Ji Min dan Chae Hyung Won. Seperti apapun bahan makanan yang dipegang kedua pria itu, maka bahan tersebut memiliki takdir untuk menjadi sebuah makanan yang menggiurkan. Sekali lagi ia ingin menjadi koki semacam itu. Terdengar egois memang, tapi bukankah itu hal yang manusiawi?

Srek!

Langkah kaki seketika terhenti ketika mendengar sesuatu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Dahinya mengernyit saat suara itu kembali tertangkap oleh indera pendengarnya. Kepalanya mendongak dan melihat ada sebuah gang yang gelap di samping kanannya.

Sejenak ia memiringkan kepalanya. Meyakinkan dirinya untuk memasuki gang tersebut atau tidak. Dan ternyata ia mewujudkan keyakinannya yang pertama. Memasukki gang tersebut.

Ia sebenarnya takut dengan tempat yang gelap dan sempit seperti gang yang dilewatinya, tapi ia berpikir pasti ada sesuatu terjadi di dalam jalanan yang dipenuhi dengan gambaran di dindingnya itu. Dan seandainya memang benar terjadi sesuatu di dalam sana, ia pasti akan melakukan sesuatu untuk menghentikan sesuatu tersebut.

"Kau bilang kau akan membelikanku sepatu itu!"

Tenggorokan Hae Rin tercekat saat mendengar sebuah suara di ujung gang. Lagi-lagi langkahnya terhenti. Ia kembali berpikir untuk melanjutkan langkahnya atau tidak. Tapi sepertinya ada pertengkaran di sana. Dan jika ia tidak kesana, pasti seseorang akan terluka.

"Tapi kenapa aku masih belum melihatnya sampai sekarang!?"

Hae Rin menggigit bibir bawahnya. Apa yang harus ia lakukan? Di ujung sana ada beberapa murid pria sedang membully pria dengan seragam yang sama. Oh, di tahun dua ribu enam belas masih ada hal bullying semacam ini? Tapi tunggu, kenapa ia merasa tak asing dengan wajah pria yang di bully tersebut?

"Yoon San Ha!" teriaknya kemudian. Dengan menutup mulutnya yang terbuka, Hae Rin menghampiri anak-anak nakal itu.

"Noona.." panggil San Ha sambil memegangi perutnya.

"Noona? Bukankah kakakmu adalah Yoon Rae In? Lalu ini kekasihmu?" sahut salah satu dari anak-anak itu.

Tanpa memperhatikan ucapan anak-anak itu, Hae Rin membantu San Ha untuk berdiri dan membopongnya. Meninggalkan para gangster itu yang masih tak percaya dengan apa yang dilakukannya.

Hae Rin akhirnya sampai di halte bus. Ia mendudukkan San Ha di salah satu kursi lalu merogoh tasnya. Beberapa detik kemudian ia mengeluarkan ponselnya. Mengetikkan sesuatu di atas sana sebelum tangan San Ha menghentikannya.

"Jangan beritahu Rae In noona," ucap San Ha.

"Kau bertengkar lagi dengannya?" tebak Hae Rin. Dan sebagai jawaban, San Ha hanya menundukkan kepalanya. "Astaga! Park Hye Ra sibuk dengan kasusnya lalu Jung Seung Hye repot karena kau dan kakakmu!"

Hae Rin kembali merogoh tasnya. Kali ini ia mengeluarkan sebuah plester dan alkohol. Ia adalah seorang koki. Tak pernah sedetikpun ia tidak memegang pisau, dan ia bisa saja menusuk tangannya dan bukan daging ikan. Oleh karena itu membawa plester dan alkohol adalah sebuah keharusan baginya. Dan lagi-lagi hal itu tidak hanya dilakukan oleh dokter yang peduli akan kesehatannya.

"Lalu kau akan tidur di rumah siapa?" tanya Hae Rin sambil mengobati luka-luka San Ha.

"Bolehkah aku menginap di rumahmu?"

Seketika Hae Rin menghentikan aktifitasnya. Ia tak salah dengar kan? Bukan begitu, ia baru kembali ke Korea kemarin pagi setelah selama enam tahun berada di Australia dan kini ia sudah mendapat tamu yang akan menginap di rumahnya? Bahkan kakak dari pria ini pun belum mengunjunginya setelah selama enam tahun tidak bertemu. Apa Yoon Rae In sengaja menyuruh adiknya untuk menyambut kedatangannya? Bagaimana dengan dua sahabatnya yang lain, Park Hye Ra dan Jung Seung Hye? Apa Hye Ra akan memerintah petugas kepolisian dan Seung Hye menyuruh pasiennya.

"Yoon San Ha, kakakmu tidak tahu bahwa aku sudah kembali ke Korea kan?"

#

"Terima kasih atas kerja samanya, Chef Chae!" ujar gadis berambut hitam sepinggang saat Hyung Won lewat di hadapannya.

Hyung Won hanya tersenyum menanggapi ucapan gadis itu. Semua yang dilakukanny tidak akan menjadi hal yang berarti tanpa adanya gadis itu yang sebagai seorang produser. Jadi ia juga sangat berterima kasih kepadanya. Namun ucapan terima kasih secara langsung bukanlah caranya. Ia ingin mengajak gadis itu ke restorannya sebagai ucapan terima kasih.

"Shin Hyun Ri-sshi, apa kau ada waktu nanti malam?" tanya Hyung Won.

Sekilas gadis bernama Hyun Ri itu melirikkan matanya ke sekeliling sebelum memukul Hyung Won tepat pada dadanya. Tentu saja secara perlahan. Karena dia bukan tipe gadis yang selalu mencari perhatian dengan cara menyakiti orang di sekitarnya. Hyun Ri terkekeh mendengar pertanyaan Hyung Won.

"Kau mau mengajakku makan malam?" bisik Hyun Ri.

Sudah diduga, pasti Hyung Won tidak akan berhasil menyimpan rahasianya jika bersama dengan gadis di depannya. Tidak menarik! Padahal ia juga ingin membuat kejutan bagi Hyun Ri. Tapi selalu saja Hyun Ri yang mengejutkannya. Dan perlu diketahui, Hyung Won hampir tak memiliki rahasia untuk Hyun Ri.

"Datanglah ke restoranku," Hyung Won mengusap puncak kepala Hyun Ri dan langsung mendapat pukulan di dadanya.

"Hanya berdua? Bagaimana jika wanitamu mengetahuinya?"

Kini giliran Hyung Won yang terkekeh. "Kau sudah hampir seribu kali memberitahunya bahwa kita sekedar sahabat seperti dirinya dengan teman detektifnya,"

"Bodoh! Tidak ada yang namanya sahabat di antara pria dan wanita,"

Hyung Won menghentikan langkahnya. Ia memandang Hyun Ri dengan tatapan penuh selidik. Ada apa dengan gadis di depannya? Apa dia salah makan saat sarapan? Sikapnya sedikit aneh.

Merasa terintimidasi dengan tatapan pria tinggi di depannya, Hyun Ri menggedikkan bahunya lalu pergi meninggalkan Hyung Won yang masih terdiam di tempatnya. Sadarlah, Shin Hyun Ri!

#

Tepat pada pukul tujuh Hyun Ri telah memasukki restoran yang sudah gelap itu. Apa baik-baik saja memasukki restoran yang sudah tutup seperti ini? Walau pemiliknya langsung yang memintanya untuk datang, tapi apa kata orang lain? Bagaimana jika mereka menganggapnya sebagai pencuri? Eih, tapi tak mungkin. Mana ada pencuri berpakaian anggun seperti dirinya saat itu?

"Anda mencari seseorang?" bisik sebuah suara.

Hyun Ri terjingkat saat mendengar suara seseorang dari belakangnya dan juga hembusan napas yang menyapu lehernya. Secara otomatis Hyun Ri membalikan badannya dan melihat siapa orang gila yang mengejutkannya itu. Dan seperti duagaannya, pemilik restoran-lah yaang menggodanya. Hyung Won tahu betul bahwa dirinya takut dengan hal-hal semacam makhluk tak kasat mata, tapi pria itu selalu saja menggodanya dengan cara seperti itu.

"Duduklah," Hyung Won menarik salah satu kursi kemudian Hyun Ri duduk di atas sana. Detik berikutnya lampu restoran kembali menyala dan menghilangkan sedikit demi sedikit rasa takutnya. "Tunggu sebentar, aku akan memasakkan sesuatu untukmu,"

"Baiklah, kau tahu aku sangat benci menunggu kan? Apalagi jika itu kau," Hyun Ri meraih ponselnya yang berada di dalam tas tangannya.

Dalam sekejap Hyun Ri sudah hanyut ke dalam dunia ponselnya. Jari-jari tangannya yang panjang itu tidak berhenti mengetikkan sesuatu di atas sana dengan lihai. Salah satu hobinya adalah membuat sebuah novel digital. Dan untungnya dia adalah pengguna smartphone yang memiliki fitur semacam microsoft office sehingga ia bisa menuangkan idenya di sana.

Dan mungkin karena ia benar-benar sibuk dengan dunianya, sampai-sampai ia tak sadar bahwa ada sebuah bayangan gelap melintas dari balik rak buku di samping kanannya. Walau begitu, perasaannya begitu peka. Ia langsung membeku ketika kembali merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Mungkinkah sesuatu di belakangnya adalah Hyung Won? Tapi Hyung Won sedang memasak di dapur terbuka yang ada di depannya. Lalu..

"Chef Chae!" teriak seorang pria.

Hyun Ri menolehkan kepalanya. Terlihat seorang pria pendek berjalan mendekati Hyung Won dengan kedua tangan yang dipenuhi dengan kantong plastik. Alis Hyun Ri mengernyit. Sepertinya ia pernah melihat pria itu sebelumnya. Tapi dimana?

"Chef Park Ji Min?" panggil Hyun Ri dengan ragu-ragu.

Merasa namanya disebutkan, Ji Min memandang Hyun Ri dengan bingung. Gadis itu mengenalnya? Apa gadis itu pelanggan tetap Hyung Won? Restoran sudah tutup dan gadis itu masih duduk di sana. Terlebih lagi yang memasak adalah Hyung Won.

"The second one?" bisik Ji Min kepada Hyung Won.

Entah memang dia tipe pria yang ramah atau suka tertawa, kali ini Hyung Won juga kembali terkekeh untuk menanggapi sebuah ucapan. Terkadang Ji Min bingung dengan atasannya itu. Ia merasa bahwa Hyung Won seperti tidak memiliki masalah sehingga selalu saja tersenyum dan tertawa kepada setiap orang. Jika hanya bersikap sopan kepada orang lain saja itu sudah biasa dan menjadi kewajiban, tapi pria itu selalu bersikap baik seakan-akan tak ada hari esok untuk melakukannya.

"Aku adalah Sutradara Shin Hyun Ri," tanpa sepengetahuan Ji Min, kini Hyun Ri tiba-tiba sudah berada di depannya sambil mengulurkan tangan kanannya.

"Ah iya, aku Park Ji Min. Kepala Chef di sini," mau tak mau Ji Min menyalami Hyun Ri.

"Shin Hyun Ri, kau kesini untuk menemui seseorang? Kenapa kau memakai make-up padahal sebenarnya kau anti?" celetuk Hyung Won yang sudah mulai menata pastanya di atas dua piring. Untuk gadis seaktif dan sejahat Hyun Ri, pasta daging asap adalah yang terbaik.

"Kau bahkan tak tahu wajahku, Chae Hyung Won!" balas Hyun Ri. Mendengar ucapan Hyun Ri, Hyung Won merasa seakan ada sebuah panah yang langsung menusuk tepat pada jantungnya sehingga badannya membeku. Hyun Ri yang tak sadar akan hal itu hanya melenggang kembali menuju kursinya.

"Chef, kau baik-baik saja?" tanya Ji Min.

"Tentu saja, dia memang suka bercanda," Hyung Won kembali melemparkan senyumannya sebelum membawa dua piring pasta yang dimasaknya ke meja Hyun Ri. "Chef Park, kau bisa makan bersama kami,"

"Tidak perlu, aku hanya akan mengambil kunci ruang penyimpanan yang ditinggalkan oleh Hae Rin." Ji Min mendekati Hyung Won dan Hyun Ri sambil menunjukkan sebuah kunci di tangannya. "Selamat bersenang-senang," bisik Ji Min sebelum meninggalkan kedua pasangan tersebut.

#

Kepalanya mengangguk-angguk mengikuti irama sebuah lagu yang diputar di toko pakaian tersebut. Beberapa jam yang lalu Jung Seung Hye menerima telepon dari seseorang bahwa satu lagi sahabatnya telah kembali ke Korea. Dengan mempertimbangkan apa yang disukai sahabatnya itu, Seung Hye akhirnya memutuskan untuk membeli coats sebagai hadiah penyambutan.

Kali ini ia menyambut sahabatnya itu sendiri. Tentu saja karena profesi dari kedua sahabatnya yang tidak memungkinkan. Park Hye Ra sudah dipastikan sedang menikmati kepusingan dengan kasus pembunuhan huruf garisnya. Sedangkan Yoon Rae In sudah jelas berada di dalam penjara manajernya. Tidak seperti satu tahun yang lalu, disaat sahabatnya yang satu ini berkunjung ke Korea, Rae In dan Hye Ra ikut datang untuk menyambut.

"Permisi," ujarnya kepada salah satu pelayan.

Seorang pelayan wanita menghampirinya. Setelah beberapa kali mengelilingi toko yang tak begitu luas itu, perhatian Seung Hye tertuju pada sebuah mantel berwarna hijau cyan. Sebelumnya ia sempat membayangkan bagaimana penampilan sahabatnya itu jika mengenakannya. Dan senyuman langsung menghiasi wajahnya saat merasa puas dengan bayangannya.

""Tolong ukuran M," tambahnya sambil menunjuk mantel yang menarik perhatiannya.

Pelayan itu mengangguk dan pergi dari hadapan Seung Hye. Baik, setelah mencari hadiah untuk sahabatnya kini giliran orang spesialnya yang menerima hadiah. Kira-kira hadiah apa yang cocok untuk seorang pria tinggi yang berprofesi sebagai hakim. Apa ia belikan mantel juga? Atau dasi? Seorang hakim biasanya lebih sering mengenakan pakaian berdasi.

Disaat Seung Hye sedang sibuk memilih dasi, tiba-tiba ada seseorang yang tak sengaja menabraknya. Tak pelak ia langsung terjatuh karena tabrakan dari orang yang ternyata seorang pria itu. Belum sempat Seung Hye berdiri, suasana di dalam toko tempatnya belanja seketika menjadi ramai. Dan pria yang menabraknya tadi menariknya lalu meletakkan sebuah pisau di lehernya.

Tunggu, ada apa ini? Kenapa pria itu meletakkan pisau di lehernya? Oh! Perampok! Pria ini perampok. Dan sekarang ia sedang dijadikan tawanan. Oh tidak, ia tak ingin mati dengan cara seperti ini. Lagipula ia belum sempat mengakui dosa-dosanya dan ia telah berjanji untuk menemui orangtuanya minggu ini. Bagaimana jika justru orangtuanya itu yang menemuinya dengan keadaan sudah tidak bernyawa? Tidak, siapapun tolong selamatkan dirinya dari pria ini.

"Berikan semua uang kalian atau akan memotong kepala gadis ini!" pria itu semakin mendekatkan pisaunya di leher Seung Hye.

"Ibu.." gumam Seung Hye gemetar.

Sesuai permintaan dari si perampok, semua pegawai dan pengunjung yang ada di dalam toko memberikan uang mereka. Kenapa mereka tak ada yang keluar dari tempat ini dan melapor kepada polisi? Dan kenapa mereka justru memberikan uang-uang mereka? Sekilas matanya melirik ke arah satu-satunya pintu untuk keluar dan masuk ke toko ini.

Sial! Mana ada perampok yang bodoh. Pintu itu terkunci, jadi tentu saja orang-orang itu tak ada yang keluar. Oh Tuhan, jika saja ia tidak jadi mati sekarang, ia akan berjanji untuk tidak membantah ucapan orangtuanya lagi. Dan ia akan pergi ke gereja secara rutin.

Brak!

Seung Hye memejamkan matanya saat mendengar sebuah suara dobrakan. Dan detik kemudian ia mendengar suara seseorang yang merintih. Perlahan ia membuka matanya untuk melihat apa yang terjadi. Begitu terkejutnya ia saat melihat pintu kaca telah pecah.

Kepalanya menoleh saat lagi-lagi mendengar suara rintihan. Oh, pria yang menyanderanya telah tersungkur di tanah. Dan di kedua tangan pria itu sudah melingkar sebuah borgol. Kemudian matanya beralih ke arah seorang pria tinggi yang memandang perampok dengan tatapan seekor singa yang siap memakan mangsanya.

"Apa kau baik-baik saja? Tanya pria itu.

Dengan ragu-ragu Seung Hye menganggukan kepalanya. Pria ini bukan perampok dari geng lain yang juga akan menyanderanya kan? Bukan begitu, tapi penampilan pria ini tidak terlihat seperti pria baik-baik. Rambut yang sedikit panjang dan berantakan serta celana jeans yang robek di bagian lutunya tidak membuat pria itu terlihat seperti seorang polisi.

.

.

.

*To Be Continued*

.

.

.

Annyeong chingu! Kali ini Zie ga bawa ff romance tapi bawa ff bergenre mistery nih^^ Dan maaf sebelumnya Zie ga bisa ngelanjutin ff sebelumnya. Sebenernya tinggal publish aja. Tapi Zie males ah nerusin.

Okelah, FF ini bakal lanjut. Dan Chapter 2 sudah ada tingga publish doang. Rencananya bakal Zie publis minggu depan. Readers yang baik tolong tinggalkan jejak anda ya. Review kalian sangat membantu buat kelangsungan ff ini. Gomawo^^