For Eyeshield 21 Awards December : Metamorphose.

Lagi-lagi, saya menulis sebuah fic gaje nan abal. =w=

Yah, saya mencoba lagi untuk mengikuti Eyeshield 21 Awards. Bedanya, kali ini saya akan menggunakan salah satu pair yaoi yang saya favoritkan di ES21, yakni AkaKei.

Oke, nggak banyak bacot, selamat membaca, semoga minna-san menyukai fic ini.

Disclaimer : Eyeshield 21 bukan punya Nadeshiko.

Warning : AU, OOC, lemon, miss typo, dll.

Pair : AkaKei, slight KakeiYamato

Genre : Romance, Crime, Hurt/Comfort

Rate : M for lemon.

-OooOooO-

New York City.

Salah satu dari sekian banyak kota besar di Amerika Serikat itu, tampak seperti sebuah kota yang biasa, dan aman. Lampu-lampu berwarna-warni menerangi setiap penjuru kota. Orang-orang, baik pria maupun wanita, asyik dengan kegiatan mereka masing-masing.

Tapi, jangan biarkan penampilan menipumu, kawan.

Akhir-akhir ini, New York City dihantui oleh teror pembunuhan yang sadis. Pembunuh tidak diketahui identitasnya, namun ia menjuluki dirinya sendiri Black Angel—Malaikat Hitam. Modus operandinya sama, dini hari, di gang-gang sepi yang biasanya luput dari pandangan masyarakat kota. Jejak yang diberikan oleh sang pembunuh pun selalu sama. Korban tewas dengan liver tertusuk, dan bola mata korban menghilang. Di pipinya tertulis 'Black Angel' menggunakan darah korban.

Korbannya pun tak memilik hubungan satu sama lain. Sang Malaikat Hitam hanya mengambil korban secara acak, siapapun yang menurutnya menarik untuk dibunuh.

Sejauh ini, polisi masih belum menemukan satu bukti yang berarti untuk mengejar Malaikat Hitam itu.

Mereka hanya bisa memperingatkan masyarakat, untuk tidak mendekati tempat-tempat sepi, terutama pada dini hari. Karena siapapun bisa menjadi korban Sang Malaikat Hitam.

-OooOooO-

New York City, 17 Maret 20XX, pukul 02.00

Malam sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu. Langit biru yang tadi gelap kini mulai membaur dengan sedikit warna muda. Gemerlap lampu kota New York masih terlihat dengan jelas. Jalanan masih ramai, seperti saat matahari baru saja tenggelam.

Di salah satu jalan di sudut mati New York, tampak seorang pemuda yang mengenakan jaket hitam dan topi sedang berjalan. Tubuhnya tinggi besar. Di sampingnya ada seorang gadis cantik berambut pirang. Gadis itu tampak sedang bercakap-cakap dengan pemuda tinggi disampingnya sambil sesekali tertawa.

Pemuda tersebut membimbing gadis pirang tadi ke salah satu gang yang sepi dan gelap. Gadis itu tampak tidak curiga dengan ajakan pemuda bertopi itu. Ia menurut saja, matanya yang biru itu sesekali mengerling kearah pemuda di sampingnya.

"Maria…" suara pemuda itu berat. Gadis bernama Maria tadi menoleh. "Ya, ada apa ?"

Seulas seringai muncul di wajahnya. Ia mendekati Maria, dan menghimpitnya ke tembok bata. Maria tak menolak, dan ia tersenyum menggoda.

"Oh, jadi kau mau-?" ia mengangguk, kemudian mencium bibir gadis tersebut. Sekali lagi, Maria tak menolak, dan malah merespon ciuman pemuda asing itu, tanpa menyadari bahwa di balik punggungnya, pemuda itu sudah menyiapkan sebilah pisau.

Masih mencium Maria, dengan cepat pemuda tersebut menusukkan pisau tersebut kearah liver Maria, yang mana gadis itu langsung menjerit, namun tertahan oleh bibir pemuda itu. Ia melepaskan ciumannya, dan Maria terjatuh di depannya, menggeliat kesakitan. Matanya yang biru itu mengeluarkan air mata, dan tenggorokannya mengeluarkan erangan-erangan tertahan.

"K-kenapa ?" ia bertanya, diantara erangannya.

Pemuda itu mengangkat bahu, masih menyeringai. Mata Maria melebar ketika pemuda di depannya mengangkat pisaunya tinggi-tinggi kearahnya.

"Kau terlalu cantik untuk disiksa. Jadi, aku akan langsung menuju 'Main Course'-nya saja." Ia mengarahkan pisau tersebut ke matanya. "Darahmu sudah berwarna hitam, Maria. Itu berarti mengenai livermu. Kau hanya akan bertahan sekitar 8-10 menit lagi. Oleh karena itu, akan kupercepat jalanmu menuju surga, ya ?"

Maria sempat membisikkan nama pemuda itu, "Ka—akkkhhh !" sebelum pemuda tersebut menghunuskan pisaunya ke kepala Maria.

Pemuda itu berdiri, tersenyum sadis. Tangan dan sebagian wajahnya terkena cipratan darah Maria. Ia memutar-mutar pisaunya, dan tertawa sinis. Jarinya lalu mencongkel kedua bola mata biru milik Maria, dan menyimpannya di saku celananya. Setalah itu, ia mengambil sedikit darah Maria di ujung jarinya, kemudian menulis sesuatu di pipi gadis itu.

Black Angel.

"'Ka' ? Apa maksudmu ?" ia menendang kepala Maria, sebelum meninggalkan mayat tersebut dan menghilang di kegelapan malam.

-OooOooO-

New York City, 17 Maret 20XX, pukul 08.00

Kakei Shun, seorang mahasiswa semester 5 di Universitas Kedokteran sedang duduk di sofa di apartemennya. Ia memegang secangkir kopi, dan matanya yang berwarna biru gelap itu tertuju ke TV, yang sedang menayangkan berita pagi.

"Pemirsa, telah ditemukan mayat seorang gadis di sebuah gang sepi di NYC. Korban bernama Maria Campbell, 16 tahun. Korban ditemukan dengan kondisi kehilangan bola mata. Polisi belum menemukan bukti-bukti yang spesifik, namun polisi memperkirakan bahwa mayat tersebut adalah korban dari Black Angel…"

Pet.

Kakei mematikan TV. Ia meneguk sedikit kopinya, sebelum seulas seringai dingin terpatri di wajahnya yang tampan.

"Cih. Dasar pelacur. Salahnya kenapa bertemu denganku malam itu." Kakei tertawa. Ia melirik meja makannya, dimana terdapat sebuah ember dengan pisau penuh darah. "Rupanya, aku masih punya hati juga, untuk tidak menyiksa perempuan, tapi…" Kakei merogoh sakunya, dan mengeluarkan dua buah bola mata berwarna biru. "…souvenir seperti ini bagus juga."

Pemuda itu memasukkan dua bola mata tersebut kedalam sebuah peti, dimana banyak bola mata di dalamnya. Kemudian ia berdiri dan menyeringai lagi, sebelum bersiap untuk pergi ke kampus.

-OooOooO-

"Hei, sudah dengar berita di TV pagi ini ?"

"Iya ! Mengerikan sekali ! Wanita malang…"

"Aku jadi takut keluar malam."

"Ya, aku juga. Apalagi, Maria ditemukan dalam kondisi kehilangan bola mata. Ih, aku tidak bisa membayangkannya !"

"Polisi bilang, ia korban dari Black Angel. Padahal, sudah banyak sekali orang yang dibunuh oleh Black Angel."

Kakei mendengar percakapan teman-teman wanita di kelasnya dengan cuek. Heh, rupanya cepat sekali berita itu menyebar. Tapi Kakei tak peduli. Ia yakin di dalam hatinya, bahwa takkan ada seorang pun yang mengetahui jati dirinya, maupun mampu untuk menghentikan hobinya membunuh dan menyiksa orang.

Pemuda berambut biru gelap itu membereskan tasnya, bersiap untuk pulang ketika seseorang menepuk bahunya.

"Kakei !"

Kakei menoleh, menemukan seorang pemuda bermata cokelat hangat. Takeru Yamato. Pemuda yang berasal dari negara yang sama dengannya itu tersenyum ramah.

"Mau apa kau ?" tanya Kakei dingin. Yamato tertawa kecil. "Tak usah pasang muka serius seperti itu melulu, Kakei. Wajahmu selalu saja terlihat seperti ada orang yang mengintaimu setiap malam." Gurau Yamato.

'Ya, dan orang itu kamu, Yamato.' Batin Kakei sinis. Ia mengurut dahinya yang terasa berdenyut. Terkadang, ia merasa seakan-akan ia ingin menghunuskan pisau kesayangannya itu ke liver Yamato, lalu menyobek mulut pemuda itu sehingga ia tak bisa berbicara lagi. Tapi Kakei tahu, ia tak bisa melakukan itu. Yamato adalah sahabatnya sejak SMP, dan Kakei sudah terlanjur menyayanginya seperti saudaranya sendiri.

Tapi, terkadang saudara pun bisa membuat sakit kepalamu kambuh, ya kan ?

Hal yang sama juga berlaku pada Kakei.

Yamato terkadang membuat migrain Kakei kambuh berulang-ulang. Yamato selalu menempel kepadanya seperti perangko—bukan hal yang aneh, karena hal itu sudah berlangsung sejak Kakei dan Yamato masih SMP. Tapi, sekali lagi kawan, Kakei sudah terlanjur menganggap Yamato seperti saudaranya.

"Jadi, ada apa, Yamato ?" tanya Kakei berusaha tenang. Mata cokelat Yamato berbinar. Ia menarik tangan Kakei sekuat tenaga, menyeretnya keluar kelas.

"Ikut aku !" dan Yamato menyeret Kakei ke toilet.

Pemuda berambut biru gelap itu menghela nafas pasrah. Setiap kali akan membicarakan sesuatu yang menurutnya mengasyikkan, maka Yamato akan menyeret Kakei ke kamar mandi.

"Ini." Yamato memberikan sebuah poster ke Kakei yang menerimanya dengan setengah hati. "Ini poster konser Akaba Hayato, seorang pemusik dari Jepang, sama seperti kita. Malam ini, ia akan konser di sebuah Bar. Aku ingin menontonnya, tapi tak ada yang mau ikut. Jadi, hanya kamu satu-satunya orang yang bisa kuajak !" ujar Yamato ceria.

Kakei menghela nafas lagi.

"Ikut aku, ya ?" pinta Yamato.

"Aku tak bisa, Yamato. Ada hal yang harus kuurus malam ini." 'Maksudnya untuk mengurus mayat baru yang besok akan menjadi berita utama di berita pagi.' Batin Kakei.

Ekspresi ceria Yamato langsung luntur mendengar jawaban Kakei. Ia lalu mengeluarkan salah satu jurus yang bisa membuat Kakei luluh : Puppy Eyes.

"Hiks… Kakei kejam…" Yamato merajuk sambil memasang Puppy Eyes-nya itu. Kakei yang awalnya tidak punya keinginan untuk melihat Yamato, mau tak mau melihat mata Yamato mendengar rajukannya.

Deg.

Hati Kakei langsung luluh melihat pancaran Puppy Eyes yang diberikan oleh Yamato itu. Kakei mendesah pelan, lalu mengelus kepala Yamato.

"Baiklah, baiklah, aku akan datang."

Seperti biasanya, jika Kakei sudah setuju, maka Yamato akan memeluknya erat, sangat erat. Hingga Kakei merasa ia akan mati kehabisan napas. Ah, betapa ia menyayangi pemuda berambut cokelat yang sedang memeluknya saat ini.

Oke, Kakei tahu ia adalah seorang gay, tapi entah kenapa libido-nya tidak terangsang meskipun Yamato memeluknya sangat erat sampai-sampai selangkangan mereka saling bersentuhan. Mungkin, karena gelar 'saudara' yang sudah ada sejak dulu itu membuatnya tidak tertarik pada Yamato.

'Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang panjang.' Batinnya masih memeluk Yamato.

-OooOooO-

Sesuai janjinya dengan Yamato, Kakei menunggu di depan Bar yang Yamato maksud pada pukul 8 malam. Kakei melihat jam tangannya.

Masih jam 8 kurang 15 menit. 15 menit lagi, pemuda kesayangannya itu akan datang.

Kakei tersenyum kecil. Baiklah, ia memang seorang pembunuh berdarah dingin yang sangat senang menyiksa dan membunuh orang. Tapi, itu bukan berarti Kakei tak diizinkan untuk menyayangi seseorang seperti Yamato. Mungkin sesekali ia harus beristirahat dari hobi membunuhnya tersebut, dan menghabiskan waktu dengan saudara yang tak berhubungan darah dengannya itu.

Yah, walaupun kadang Yamato membuat migrain-nya kambuh selama 3 hari 3 malam, sih.

"Kakei !" sebuah suara yang sangat familiar memanggil namanya, dan Kakei tak perlu melihat untuk mencari tahu siapa yang memanggilnya tersebut.

Terilhat Yamato berjalan kearahnya. Wajahnya ceria, dan mata cokelatnya berbinar. Terkadang Kakei ingin tertawa sendiri melihat Yamato yang hampir setiap saat selalu bertingkah seperti anak kecil.

"Ayo masuk," ajak Yamato sembari menarik tangan Kakei kedalam Bar tersebut.

-OooOooO-

Suasana di bar begitu riuh. Lampu disko berpendar, memancarkan warna-warni cemerlang. Puluhan pria dan wanita asyik dengan kegiatannya masing-masing. Entah itu menari, minum, berpacaran, ataupun hanya sekedar mengobrol. Di tengah-tengah bar, terdapat sebuah panggung besar.

Kakei duduk di salah satu sofa sambil meminum es teh manis. Di sampingnya, Yamato asyik membaca sebuah majalah. Mata birunya menatap kosong kearah panggung. Ia bertanya-tanya, seperti apakah Akaba Hayato yang dikatakan oleh Yamato.

Dan pertanyaan Kakei terjawab ketika Akaba Hayato muncul diatas panggung tersebut.

Pemuda itu berambut merah menyala, dan ia mengenakan kacamata hitam serta membawa gitar. Tubuhnya tinggi, namun ramping. Sebuah jaket berwarna biru tua menutup kemeja putih yang ia kenakan. Tangannya membawa gitar.

Entah kenapa, tak seperti biasanya, Kakei terpana melihat Akaba. Terpana akan segalanya. Tubuhnya, wajahnya, semuanya. Padahal, meskipun ia gay, ia tak pernah merasakan dirinya terpana ketika melihat seorang pemuda tampan ada di depannya.

Tapi sekarang berbeda.

Kakei bahkan tak sadar kalau matanya sudah terpaku kepada sosok pemusik Jepang di depannya itu.

Sepertinya Akaba sadar bahwa Kakei memperhatikannya. Maka, ia melepaskan kacamata hitamnya, memandang Kakei balik, lalu mengedipkan sebelah matanya sambil memberikan gestur yang kurang lebih berarti seperti : 'Halo juga. Kita berbicara nanti, ya, setelah acara.'

Kakei tersentak ketika melihat Akaba memandangnya. Matanya merah, semerah batu Ruby. Mata Akaba adalah mata terindah yang pernah Kakei lihat seumur hidupnya.

"Untuk malam ini, akan saya nyanyikan sebuah lagu spesial. Judulnya adalah : Later." Kemudian sebuah lagu bernada lembut namun bersemangat mengalun.

I stand here, alone

Without anyone to realize

But there you are

Stuck between crowd, looking at me

Your eyes are gleaming with hope

I smile, at least someone is there

But later, I've something to do

Later, I promise

I'll meet you, later

Kakei menikmati lagu yang dinyanyikan oleh Akaba itu. Ia juga memiliki firasat bahwa lagu ini Akaba nyanyikan untuknya. Tapi, ia tak mau terlalu percaya diri. Untuk sekarang, ia cukup menikmati lagu itu, dan lihat apa yang akan terjadi nanti.

To Be Continued…

-OooOooO-

Chapter 1 selesai sudah. Saya sangat lega, akhirnya ide yang saya tahan dari awal liburan bisa dituangkan juga. Walaupun sebentar lagi liburan sudah mau selesai. Baiklah, dari Chapter 1, minna-san sudah bisa mengambil kesimpulan, bahwa Black Angel adalah Kakei. Tapi, kelanjutan dari cerita ini, silahkan minna-san tebak sendiri. :D

Untuk lagu yang dinyanyikan Akaba, tolong jangan cari lagu itu. Itu hanya sekedar karangan saya sendiri. ._.

Akhir kata, nggak ada yang bisa saya sampaikan selain…

R&R, please !