Naruto menendang pintu di depannya dengan cukup keras sekali lagi, hingga ia sendiri yakin kakinya pasti dihiasi oleh memar-memar sialan yang mungkin sampai besok tidak akan hilang. Tapi bukan itu masalahnya, abaikan dulu kakinya yang sudah—sangat—sakit di bawah sana. Sekarang ini jam setengah tujuh dan pintu kamar mandi itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbuka, hal paling menyebalkan yang setiap hari harus pemuda blonde ini lalui—selain menunggu ramen miliknya matang, tentunya. Dia sudah cukup bersabar sejak tadi, tapi pemuda lain yang ada di dalam sana sepertinya tidak bisa diajak kompromi.

"Sialan," desisnya pelan, kemudian kembali menendang dan menggedor pintu kayu itu, "THE HELL! TEME! SAMPAI KAPAN KAU MAU BERENDAM, HAH!"

Dok… dok!

Dua gedoran terakhir yang dilancarkan Naruto sebelum pemuda tujuh belas tahun itu berjalan mundur beberapa langkah, kemudian berlari dengan kencang sembari bersiap menendang pintu kayu tersebut—tepat ketika pemuda raven yang ada dalam kamar mandi memutar kenop pintu.

Braak! Jduak! Bruk… Gabruk… Nyeeeetttt… "Aaarrgh!"

Pemuda lain yang tidak sengaja mendengar suara keras saat melewati kamar kedua adiknya itu pun segera masuk ke dalam tanpa permisi, "Naruto! Sasuke! Ada ap—!"

Itachi lebih memilih menelan bom milik Deidara dibandingkan dengan tinggal di rumah yang sama dengan adik kandung dan angkatnya.

~(^v^-~)~(-^v^-)~(~-^v^)~

Naruto © Masashi Kishimoto

Warning: sekuel Baka TemeDobe, alur cepat, miss typo(s), OOC! AU.

"Italic" : Telepon.

~(^v^-~)~(-^v^-)~(~-^v^)~

If you don't like… please, don't read! I've warn you…

~(^v^-~)~(-^v^-)~(~-^v^)~

"Aku tidak mengada-ada kaa-san… aku melihat dengan mata kepalaku sendiri! Bocah mesum itu—bukan Naruto, kaa-san. Ya, Sasuke—dengarkan dulu ceritaku dan jangan berteriak histeris di telingaku. Tenang kaa-san… sudah tenang? Baik, aku lanjutkan. Aku melihat Sasuke yang saat itu hanya memakai sehelai handuk sedang menindih Naruto di dalam kamar mandi, kaa-san! Mana mungkin aku bisa biasa-biasa saja setelah melihat adengan seperti itu! Setidaknya mereka harus tahu tempat dan waktu, kaa-san! Mereka itu tahu kalau aku ini masih normal, kaa-san!"

Itachi yakin ia sedang menjeduk-jedukkan kepalanya pada tembok terdekat saat mendengar suara Mikoto sedang tertawa senang dari telepon. WHAT THE—walaupun ia tahu bahwa ibunya itu seorang fujoshi, tapi tetap saja ia merasa tidak nyaman. Terlebih lagi kedua adiknya yang sering—bahkan setiap hari—menyuguhkan berbagai macam adegan—piiip—dan—piiiip, seolah-olah mereka ingin mengusir dirinya keluar dari apartemen secara halus.

Hela napas berat keluar dari bibirnya. Dibesarkan dalam keluarga yang penuh dengan 'orang-orang seperti itu', mana mungkin bisa ia bertahan lebih dari ini? Apa perlu ia juga menjadi salah satu dari—HEEHH! Itachi membelalakkan matanya, "Apa yang baru saja aku pikirkaaaan!" tanpa sadar, pemuda itu menjambak ramburnya sembari meneriakkan seruan batinnya. Poor Itachi…

"—chi. Itachi. Kau tidak apa-apa? Apa kau masih mendengarkan kaa-san, Itachi?" suara lembut Mikoto membuyarkan lamunannya.

Itachi memandang telepon yang digenggamnya dengan wajah sayu. Dosa apa dirinya di masa lalu? Apakah ia seorang ninja jenius yang membantai seluruh klannya kemudian bergabung dengan suatu organisasi bernama Akatsuki yang memburu jinchuuriki Kyuubi? Ya, ya, ya… sepertinya memang begitu. Atau inikah yang dinamakan dengan hukum karma? Entahlah, ia tidak mau berpikir terlalu keras sekarang. Cukup masalah kedua adiknya yang membuatnya pusing. Tidak perlu ditambah dosa masa lalu.

Pemuda itu menempelkan telepon ke telinganya dengan enggan sembari menata rambutnya yang berantakan, "Maaf kaa-san… aku 'sedikit' kacau tadi. Memangnya apa yang kaa-san katakan?"

Di lain tempat, Mikoto hanya mampu tersenyum maklum atas jawaban putra sulungnya. Wanita yang terkenal anggun itu sebenarnya sudah tahu 'hal ini' akan terjadi, cepat atau lambat. Karena itu—beberapa tahun terakhir—ia dan Fugaku mempersiapkan sesuatu yang bukan hanya menyusahkan putra sulungnya tetapi juga mengikat putra bungsu dan angkatnya.

"Karena situasinya sudah sampai ke tahap ini. Maka rencana' tou-san dan kaa-san akan segera dilaksanakan. Kaa-san harap, apapun yang terjadi setelah ini, kau dapat menerimanya dengan baik, Itachi."

Pemuda itu mengernyitkan dahi mendengar penuturan ibunya, "Rencana apa kaa-san?"

Diseberang sana, diam-diam Mikoto merasa bersalah pada putra sulungnya,"Sebenarnya, tanpa kaa-san memberitahumu, kaa-san yakin kau pasti tahu rencana ini. Maafkan keegoisan kaa-san dan tou-san, Itachi."

Untuk pertama kali seumur hidup, Itachi merasa lebih baik tidak dilahirkan sebagai seorang Uchiha.

~(^v^-~)~(-^v^-)~(~-^v^)~

[Konoha High School, XII-B]

Inuzuka Kiba memandang pemuda bermata sapphire di depannya dengan pandangan bosan. Kalau saja pemuda itu bukan sahabatnya, dia tidak akan mau bersusah-payah mendengarkan rancauan tidak jelas yang sejak tadi hanya berbelit dalam topik membosankan bernama g-a-l-a-u.

Memang bukan hal yang biasa bagi manusia penyandang gelar Orang Paling Ceria seperti Naruto itu galau. Dan sebagai sahabat, tentu dia harus memberikan semangat atau hal lain yang dapat membuat si Blonde kembali ceria. Karena kalau boleh dia jujur—dibanding biasanya—Naruto yang seperti ini seratus kali lebih menyusahkan dan mengkhawatirkan! Inilah susahnya kalau temanmu mempunyai kakak bernama Uchiha Sasuke. Pfftt… damn you, Sasuke-senpai!

"Dia bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa, Kiba! Dia itu… sepertinya, sudah terbiasa melakukan hal-hal semacam 'itu'. Tapi aku… AKU TIDAK TAHU HARUS BERSIKAP BAGAIMANA SETELAH INI! " Naruto kembali membenamkan kepalanya di sela-sela tangannya yang menelungkup di atas meja setelah berhasil mengubah ekspresi bosan sahabatnya—yang sejak pagi tadi ia culik dari Nanas Tidur di ujung sana—menjadi seperti orang yang baru saja melihat hantu.

"HAH! Aku tahu kau sedang galau, tapi tidak perlu mengagetkanku seperti itu, Bodoh! Kau pikir itu lucu? Huh," Kiba memegang kerah seragamnya erat. Mencoba meredakan jantungnya yang tiba-tiba seperti ingin lari dari tempatnya akibat teriakan Naruto. Untung saja dia tidak punya penyakit jantung, kalu punya… dapat dipastikan dia sudah terkapar tak bernyawa sejak tadi. Pemuda berambut coklat itu melirik sebal pada satu-satunya orang yang kini memasang wajah memelas, persis menyerupai anak rubah dan sukses meluluhkan kesebalannya terhadap si Blonde.

"Hhh… bagaimanapun juga, kejadian tadi pagi tidak akan terjadi kalau kau bisa lebih bersabar menghadapinya. Kau sendiri tahu kan, kalau dia suka melihatmu sebal dan uring-uringan? Saranku, untuk sementara… akan lebih mudah untukmu bersikap biasa saja. Toh dia juga sepertinya tidak peduli. Well, setidaknya dengan begitu kau tidak perlu merasa sakit hati atas sikapnya yang menyebalkan, Naruto."

Naruto merasa ada yang salah dengan kedua telinganya. Mudah saja, sejak dia masih kecil hingga sekarang, hanya ada tiga sahabat yang menurutnya bijaksana. Garra, Neji dan Shikamaru. Yang lain, tidak begitu jauh dari sikap cerewet dan ceroboh. Termasuk pemuda pecinta anjing di depannya. Dan sekarang… apa yang baru dia dengar?

Naruto mengerjapkan mata beberapa kali sebelum ia membuka mulut, "Kau pasti bukan Kiba yang kukenal."

Kiba melongo mendengar pernyataan Naruto. Ini dia yang paling dibenci Kiba dari si Blonde. Well, walaupun ia juga tidak percaya kalau bisa mengatakan nasehat seperti tadi, tapi setidaknya jangan meragukannya seperti itu, kan? Bisa saja kepintaran kekasihnya yang mempunyai rambut seperti nanas itu menular padanya. Siapa tahu…

"Naruto," bisik Kiba, mengancam.

"Huh? Apa—" belum sampai Naruto menyelesaikan ucapannya, matanya menangkap aura-aura hitam yang menguar dari belakang tubuh sahabatnya yang kini menundukkan wajahnya. Naruto meneguk ludahnya, entah kenapa mulutnya begitu kering, "Errr… Kib—GYAA!"

Tanpa ba-bi-bu, Naruto meloncat keluar jendela dan berlari secepat yang ia bisa, sebelum Kiba menunjukkan taringnya.

"NARUTO! KUBUNUH KAU!"

~(^v^-~)~(-^v^-)~(~-^v^)~

Naruto menengok ke belakang sekali lagi. Meyakinkan bahwa dirinya telah lolos dari kejaran sahabatnya, "Hhh… lain kali ingatkan aku supaya tidak menggoda Kiba seperti itu. Kalau sampai tertangkap, aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya padaku," gumamnya pada diri sendiri.

Pemuda itu melirik jam tangan yang melingkari tangan kirinya, setengah empat sore. Ia mendecak pelan. Hanya karena kejadian menyebalkan tadi pagi, ia jadi melupakan latihan basket yang seharusnya ia hadiri satu jam lalu. Kalau sudah begini, mau datang latihan pun percuma. Hanya akan menambah beban. Capek pikiran, juga fisik. Tidak, terima kasih. Ia sudah cukup pusing saat ini.

Jendela perpustakaan terlihat mengintip dari gedung utara. Mungkin dia bukan salah satu dari sekian banyak orang yang mempunyai hobi belajar ataupun membaca. Tapi untuk saaat ini, perpustakaan adalah pilihan terbaik.

Awalnya, ia berniat pergi ke atap atau ke kedai ramen langganannya. Tapi, kedua tempat itu sudah sangat sering ia kunjungi. Lagipula, sebentar lagi, Sasuke-Teme pasti menjemputnya. Dan ia masih belum siap bertemu atau bertatap muka dengan orang yang satu itu. Ya… satu-satunya tempat menenangkan yang tersisa adalah perpustakaan. Setidaknya, Sasuke tidak akan mencarinya di sana.

Naruto berjalan melewati pintu kaca di depannya dan pemandangan yang—menurutnya—membosankan pun terpampang jelas. Ia menarik napas pelan kemudian menghembuskannya dengan berat. Entah kenapa, ia merasa tidak nyaman. Seperti akan ada sesuatu yang buruk yang sebentar lagi terjadi.

Naruto menggelengkan kepalanya kuat-kuat, "Hanya perasaanku saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Dia tidak akan tahu aku ada di sin—" gumamannya terhenti saat sapphire yang ia punya menangkap bayangan pemuda tinggi berambut raven dengan model jabrik ke belakang tengah berbicara dengan seorang wanita di pojok kiri ruangan ini. Dapat dilihatnya pemuda itu sesekali tersenyum menanggapi ucapan wanita berambut pink di depannya. Naruto terhenyak, "Sasuke…"

Pikirannya melayang jauh. Sudah berapa lama dirinya tidak mendapat senyuman seperti itu dari pemuda raven di sana? Tiga tahun atau empat tahun, Naruto tidak tahu. Yang pasti sudah lama sekali. Dan kini, pemuda itu sedang tersenyum dengan seorang wanita yang tidak ia kenal di pojok ruangan. Berdiri berhadapan, terlalu dekat. Hanya berdua. Seakan mereka tidak mau seorangpun mengganggu. Mungkin, termasuk dirinya.

Semua pikiran negatif seakan mendapat jalan keluar dari hatinya. Kemungkinan-kemungkinan terburuk yang sejak dulu dipendamnya seorang diri, kini perlahan menghancurkan harapannya. Dia memang bukan orang yang mudah putus asa. Tapi keadaan dan sikap Sasuke lah yang membuatnya berdiam diri. Kakaknya itu, selama ini selalu berada di dekatnya. Mereka… walaupun bertolak belakang tetapi saling menguatkan satu sama lain. Mereka selalu bertukar masalah, dan diam-diam saling membantu. Kali ini, Sasuke tidak mengatakan apapun padanya. Tentang perasaannya dan wanita itu.

Naruto menggeram pelan melihat kedekatan keduanya. Dia tidak suka apa yang seharusnya menjadi miliknya disentuh oleh orang lain. Siapa pun itu. Ia akan dengan senang hati menghancurkannya, sama seperti perasaannya saat ini. Rasa sukanya terhadap si Raven yang membuatnya ingin memiliki pemuda itu seorang diri. Dan Naruto tidak pernah bermain dengan ucapannya. Setidaknya hanya pada saat ia merasa sangat marah. Tapi, ia tidak sedang sangat marah saat ini.

Buktinya, ia akan melepaskannya bila hal itu dapat membuat pemuda raven di sana bahagia. Mencintai tidak harus memiliki. Cinta adalah sebuah pengorbanan. Dan Naruto mencintai pemuda itu. Lebih dari dirinya sendiri. Ia akan mendukung keputusan Sasuke.

Naruto… tanpa disadari oleh dirinya sendiri, kaki berbalut seragam hitam miliknya melangkah pelan mendekati pasangan yang sedari tadi diperhatikannya. Semakin dekat dan semakin dekat, hingga samar-samar ia dapat mendengar pembicaraan mereka dari balik rak buku yang ia gunakan sebagai tempat bersembunyi.

"Kenapa kau tidak meyukainnya, Sasuke-kun? Padahal, menurutku dia menyenangkan dan penuh semangat," suara wanita itu terdengar lembut di telinga Naruto. Namun menikam di ulu hatinya.

Kali ini, baritone Sasuke menyahut, "Karena dia menyebalkan dan juga cerewet. Aku tidak suka orang bodoh sepertinya."

Naruto bersandar pada rak buku di belakangnya. Kepala bersurai pirang itu mendongak, sapphire indah yang dimilikinya tertutup.

"Sasuke-kun… kau sama sekali tidak berubah. Tetap saja dingin dan pedas. Ngomong-ngomong, bagaimana reaksinya kalau mendengar komentarmu? Aku yakin dia pasti menangis. Hahaha… kau itu, jahat juga ya, Sasuke-kun. Aku jadi kasihan padanya."

"Cih, dia pasti menangis meraung-raung dengan penuh semangat. Seperti katamu."

"Sasuke-kun."

"Hn?"

Jeda sesaat sebelum wanita itu melanjutkan, "Bagaimana kalau aku yang ada pada tempatnya? Apa kau juga akan menolakku?"

"Tidak—"

Naruto tidak mendengar lanjutannya, karena telinganya mendengar namanya dipanggil oleh suara lain, "Naruto? Tumben kau ada di sini."

Naruto membuka matanya cepat dan menoleh ke kiri. Mendapati salah satu sahabatnya yang berambut coklat panjang bermata lavender sedang menatapnya datar, " N-neji," ucapnya tanpa sadar dengan suara yang cukup keras.

.

.

"Tidak—" belum sampai Sasuke melanjutkan ucapannya, terdengar sebuah percakapan singkat yang berhasil membuatnya membeku dari balik rak tempatnya berdiri dengan teman wanitanya.

"Naruto? Tumben kau ada di sini."

"N-neji."

Dan Sasuke tidak pernah salah mengenali suara terakhir itu. Suara serak-serak basah yang sering meneriakinya dengan sumpah serapah. Suara yang tiap kali memanggilnya Teme. Suara milik adiknya, Naruto-nya.

Tanpa berpikir panjang, kaki jenjangnya melangkah besar ke sumber suara. Hatinya merasa kalut. Kalau sampai Naruto mendengar percakapannya dengan Sakura, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk meluruskan semuanya.

Berurusan dengan Naruto dalam segala masalah selalu merepotkan dan dia tidak suka itu. Terlebih dalam hal ini, akan terasa berat baginya.

Onyx-nya menatap pemuda pirang itu lekat, "Sudah puas mengupingnya, Dobe?" panggilnya.

.

.

Naruto merasa ingin menghilang saat itu juga.

Tatapan mengintimidasi yang dilancarkan oleh pemuda raven di ujung rak itu memperburuk suasana hatinya. Masih belum kelar masalah pagi tadi, sekarang harus ditambah dengan katahuan menguping pembicaraan orang. Naruto yakin setelah ini pasti akan ada hal yang lebih parah lagi.

Naruto memutar bola matanya, "Ck… siapa bilang aku menguping?" jawabnya asal, kemudian melirik Neji sebentar yang juga tengah menatapnya. Mengirimkan sinyal-sinyal permintaan tolong.

"Lalu apa yang kau lakukan di 'perpustakaan' sekarang, hn?" Sasuke tahu pemuda itu berbohong padanya. Karena bagaimanapun juga, sapphire-nya tidak akan pernah berbohong pada onyx yang yang ia miliki.

Melihat kedua kakak-beradik yang kelihatannya seperti ingin membunuh satu sama lainnya pun menggugah hati Neji untuk melerai. Dia cinta damai. Setidaknya untuk pasangan yang satu ini. Neji berdeham pelan, "Ehem. Kalau boleh saya menyela, Sasuke-san. Naruto kemari bersama saya karena ada tugas kelompok yang harus kami kerjakan."

Pemuda bersurai pirang di samping Neji merasa bahwa Dewi Fortuna sedang berbaik hati padanya tepat sebelum Sasuke mendengus meremehkan.

Sasuke menunjukkan seringai tipisnya. Alasan murahan. Sudah berapa ratus kali telinganya mendengar alasan semacam itu dari bibir seorang bocah hanya untuk menghindari para orang tua yang anaknya suka keluyuran sampai malam. Sasuke berjalan mendekati Naruto sembari berkata, "Hyuuga Neji. Kukatakan padamu hanya untuk saat ini saja dan kuharap kau selalu mengingatnya."

Naruto meneguk ludahnya sekali lagi. Setiap kali Sasuke melangkah, langkah itu mengatakan sendiri kalau dia sedang berada dalam kondisi di mana membunuh adalah jalan terbaik. Naruto melirik Neji yang tetap berwajah datar.

"Katakan saja, Sasuke-san. Tapi asal Anda tahu, kalau ucapan Anda tidak penting, saya akan melupakannya," Neji balas menyeringai.

Kilatan murka seorang Uchiha terlihat di ujung mata Sasuke, "Apa untungnya membantu si Idiot Naruto ini keluar dari masalah yang dia buat sendiri, Hyuuga? Apa kau menerima bayaran dari si Bodoh ini, hn? Disgusting."

Buagh!

Satu hantaman keras yang cukup membuat pengunjung perpustakaan berdatangan melihat kejadian itu pun telak mengenai pipi porselen Sasuke. Seketika itu juga Sasuke sadar apa yang telah ia perbuat. Pemuda raven itu merasa pundaknya membentur rak buku yang kini berada di belakangnya. Sedang orang yang menghantamnya tadi menghimpitnya dari depan.

"K-kau… kalau mulutmu itu hanya bisa mengucapkan hinaan untukku, Teme… lebih baik kau pergi menjauh dariku. Atau aku yang akan menjauhimu mulai detik ini juga," suara berat Naruto sukses membuat Sasuke membelalakkan matanya tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

Himpitan Naruto melonggar beriringan dengan tarikan Neji dari samping tubuhnya, "Naruto… tenangkan dirimu. Ini masih di perpustakaan…"

Satu tatapan mematikan dikirimkan Naruto untuk terakhir kalinya pada pemuda raven yang kini menatap kosong dirinya, "Kita selesaikan hal ini di rumah, Sasuke-nii."

Sasuke tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain berjalan mengikuti Naruto keluar dari gedung tersebut.

.

.

.

TBC

Huah! Tenang aja, cerita ini ga akan panjang kok. Heheheu~ cuman dua kalau ga tiga chapter.

So~ mind to review?