09- September -2012

04:00 A.M


Terlelap di bawah langit tua

Alur mimpi membawanya jauh

Disinilah ia sampai terbawa

Langit keemasan

Hutan kuning pucat tanpa bulir air padat

Tembok kelabu dan menara dadu

Memandang karang kokoh dari atas gunung batu

Dedaunan berjatuh ringan

Berpendar di bawah sinar bulan pasih

Hilanglah desauan tenang angin di malam jingga

Dan istana berhias luka

Amethyst dan Bacchus terpisah rupa

Tulang pulang pada asalnya

.

.

Disclaimer : All Characters is belong to Masashi Kishimoto

This Fic is Dedicated to SHDL

.

.

Pindah rumah pada saat musim salju memang ide yang buruk, bisa bekerja dua kali lipat lebih berat ketimbang berpindah rumah pada musim semi atau yang lainnya.

Pertama tiba di rumah baru, kami – tepatnya Aku dan Kakak— harus rela mengeluarkan tenaga untuk menyingkirkan salju-salju yang memenuhi jalan pintu masuk, padahal hari itu dinginnya luar biasa sekali. Sementara itu Ayah malah enak-enak mengomandoi kami. Hah...Ayah memang tidak profesional, kadang – atau lebih sering tepatnya—, Ayah selalu membawa-bawa kebiasaan di kantornya. Memerintah kami dengan wibawanya yang tak tertandingi oleh bapak-bapak lain yang pernah aku temui di kota-kota yang pernah aku tinggali.

Ini tidak terlalu buruk, bahkan aku sempat menahan tawa –karena takut Ayah melemparkan pandangan tajam— saat Kakak ku benar-benar melepaskan manner Uchiha nya dengan berekspresi aneh ketika sedang mengangkat sekop yang berat di penuhi tumpukan salju. Kami bekerja dalam diam, sementara Ayah dan Ibu masih mengawasi kerja kami. Adakah yang bisa menjelaskan kapan Jepang merdeka dan mengapa hanya kami yang masih di jajah?. Bekerja keras sampai keluar keringat di musim dingin, rasanya itu sangat mengerikan.

Akhirnya pintu dapat terbuka, dan pekerjaan menyingkirkan salju sudah benar-benar selesai – setelah memakan waktu satu jam penuh—. Setelah memasuki rumah, awalnya aku kira akan bebas dan berbaring santai sambil mendengarkan lagu dari Ipod baru ku, tapi ternyata rumah ini luar biasa kotor dan bagaimana bisa ini di sebut rumah baru?. Aku membuang napas keputusasaanku – dengan diam-diam tentunya—. Aku dan Kakak saling tukar pandang dan jika barter pandang ini di artikan maka artinya 'matilah kita'.

"Nah...Sasuke, kamar mu ada di lantai dua." Ibu meletakkan beberapa kardus berat "Dan kau Itachi, kamarmu juga di lantai dua. Pilih sesuka kalian. Jangan berebut."

"Hn." Jawab kami hampir bersamaan.

"Ruangan ini biar Ibu yang bereskan." Ibu mengedarkan pandangan keseluruh penjuru ruangan. "Kotor sekali." Gumamnya, lalu pergi entah ke ruangan apa karena aku tidak tahu itu ruangan apa.

Tidak mau membuang waktu, aku langsung menaiki anak tangga. Aku memilih kamar urutan kedua dari dua kamar yang berjejer. Aku ingin yang paling pojok karena aku tidak mau ada orang yang lewat di depan kamarku dan mengganggu tidurku dengan suara langkah kakinya. Egois memang.

Ternyata kamar ku tidak terlalu 'kejam' seperti di lantai bawah. Kamar ini bersih. Dan bagaimana bisa lantai atas terwat bersih sementara lantai bawah sangat kotor? pasti yang membersihkan rumah ini niatnya hanya setengah hati.

Karena kamar ini sudah bersih, itu artinya pekerjaanku tidak akan terlalu berat. Aku tinggal memasukan baju-baju ke lemari dan membereskan buku-buku ku, selanjutnya pasti tidur, Hah...menyenangkan.

Dengan keadaan kamar ku yang bersih begini, aku jadi penasaran apa kamar Kakak juga sama bersihnya. Aku berjingkat membuka pintu kamar Kakak dan melihat seseorang yang sudah terbaring dengan mata tertutup. Enak sekali jadi dia –bisa langsung tidur tanpa mengkhawatirkan ceramah Ayah—. Aku langsung menutup pintunya dan kembali membereskan barang-barang ku.

Aku menguap untuk kesekian kalinya, rasa lelah sudah melanda dan sepertinya tidak mau mengerti keadaanku yang memprihatinkan karena harus membereskan dua dus besar buku dan komik-komik koleksi ku. Saat ini aku benar-benar berharap agar Ayah tidak memanggilku untuk kerja paksa. Aku segera menarik selimut, meringkuk seperti anak kucing kedinginan. Dan saat aku menutup mata, aku mendengar perintah itu lagi.

"Sasuke...bantu Ibu mu!"

Itu suara Ayah. Aku segera menendang selimut dan berdecak kesal. Bisakah orang itu mengertikan anaknya? Hah!

Aku sudah membuka pintu dan akan menuruni tangga sampai pada akhirnya aku mendengar suara Ibu.

"Sudahlah. Mungkin mereka lelah. Lagipula aku masih bisa melakukannya sendiri."

Ah...suara itu lembut sekali –maknanya yang paling lembut—. Kalau semua orang di dunia ini tidak percaya akan adanya malaikat penolong, maka aku adalah orang pertama yang akan mempercayainya. Ibuku adalah malaikat penolongku yang sangat pengertian dibanding dengan siapapun.

Merasa mendapat pembelaan sekaligus hak bebas, aku kembali ke kamar dengan berusaha agar tidak bersuara.

.

.

Tittle : Cinta Sembilan Abad

Pair : Sasuke Uchiha & Hinata Hyuuga

Warning : AU, OOC, Typos and so on.

Dump,Trash,or Disgusting in Your Eyes?

Out!

No Flamer Needed!

.

.

Para detektif sangat menyukai ritual pindah-pindah rumah.

Anak-anak mereka membencinya. Mungin isteri mereka juga membencinya –tapi sejauh ini aku tidak melihat kebencian pada Ibu—.

Sebenarnya aku tidak benar-benar ingin pindah dan meninggalkan semua temanku, lalu berkenalan dengan teman baru di sekolah yang baru dan menganggap mereka 'tidak terlalu buruk' lalu setelah itu aku harus pindah lagi karena tuntutan tugas Ayahku.

Paling tidak, pindah rumah kali ini tidak separah yang lalu, yang lalu kami harus pindah ke Italia. Bukannya aku benci Italia. Aku bahkan sempat mempunyai teman di sana. Tapi yang benar saja. Aku harus belajar bahasa asing yang sama sekali baru!

Paling tidak kali ini kami kembali ke jepang.

Aku jadi merasa bahwa ranjang ini lebih empuk dan nyaman dari yang sebelumnya, atau mungkin Cuma perasaan ku saja karena sudah mengantuk berat? Semoga tidak ada gangguan lagi.

Lampu ponselku berkedip-kedip, lalu di susul oleh nada standar yang menandakan masuknya panggilan.

Kedua mata yang tadinya tertutup rapat kini harus terbuka kembali. Seharusnya aku Silent saja ponsel ku agar tidak ada yang mengganggu. Untungnya ponsel ku terletak di atas meja kecil dekat ranjang, jadi aku tidak harus bangkit dan menambah rasa kesalku pada si penelpon yang tidak tahu waktu.

"Ya?" nada ku kesal.

"Hei Teme. Kenapa kau tidak email aku kalau kau sudah kembali ke jepang?"

Dari suara cerianya dan panggilan seenaknya itu, aku kenal. Dia pasti Dobe.

"Kau mengganggu saja." Aku melampiaskan rasa kesalku karena acara tidur yang lagi-lagi harus ku pending "Aku baru sampai rumah."

"Wah...dari Italia, kau bawa oleh-oleh apa ha?"

Suaranya semangat sekali. Aku bahkan dapat membayangkan seringai lebar si Dobe itu.

"Aku disana bukan untuk jalan-jalan. Dasar Baka!"

"Hehehehe...Tapi kau sangat beruntung Teme."

Aku mengernyit "Beruntung?" ulangku "Bagaima bisa aku yang nomaden ini beruntung?"

"Kau punya kesempatan untuk mulai dari awal lagi. Di sekolah baru mu. Di tempat yang samasekali tidak ada yang mengenalmu. Kau bisa menjadi apapun yang kau mau. Seperti mengubah total kepribadianmu. Hehehe...itu sih kalau kau mau."

Aku tersenyum mendengar kekonyolan itu "Aku tidak pernah berpikir begitu."

"Hahahahaha...yah semoga beruntung dengan sekolah baru mu Teme."

"Hn." Jawabku , merasakan jarak ribuan kilometer di antara kami. Dan sudah waktunya menutup telepon.
"Jaa~ Semoga beruntung."

Aku tidak bepikir sama sekali ada unsur keberuntungan dalam situasiku. Dasar Dobe.

Oh iya, satu-satunya keberuntungan disini bahwa besok hari minggu. aku bisa istirahat total.

.

.

Apapun itu jika di niatkan pasti akan jauh melenceng dari rencana awal. Seperti sekarang ini. Aku berniat untuk bangun siang tapi pada kenyataanya aku malah bangun jam 6 pagi dan berakhir dengan membantu Ibu membuatkan sarapan –siapa lagi kalau bukan Ayah pelakunya?—malangnya aku. Sementara Kakak ku masih bergumul dengan selimut hangatnya. Ini tidak adil. Saat hatiku dipenuhi kalimat 'ini tidak adil', otakku megingatkan suatu quote yang pas untuk memberiku motivasi. Ada yang ingat kata-katanya Patrick Star di film Spongebob? 'Hidup itu tidak adil. Jadi biasakanlah!', jika memang seperti itu, tidak ada pilihan lain selain membiasakannya. Huft...Tidak adil, biasakan. Karena memikirkan kata-kata itu, akhirnya aku malah melampiaskan pada kentang yang sedang ku potong-potong. Anggap saja kentang di tanganku ini sebuah 'ketidak adilan'.

Sekali lagi aku katakan. Ibu memang seseorang yang paling bisa mengerti kita. Entah itu berarti Ibuku bisa membaca pikiranku atau aku yang memang mudah terbaca. Ia mengelus rambutku dengan lembut, tatapan matanya sangat ramah.

"Sasuke, kalau kau keberatan melakukan ini. Kau boleh pergi menonton televisi atau keluar untuk mempelajari rute lingkungan sekitar. Ibu tidak keberatan." Ia tersenyum sampai kedua matanya hampir tertutup.

Kalau sudah begini, sebandel-bandelnya aku – atau secuek-cueknya aku—tidak akan pernah bisa dengan seenaknya melepaskan pekerjaan untuk menonton televisi. Ibu adalah satu-satunya perempuan yang paling tidak bisa aku cuekin. Tidak akan pernah bisa. Jadi intinya aku menyelesaikan tugasku sampai selesai dan melupakan kebencianku pada quote milik Patrick Star. Biasakanlah! –hei sepertinya aku mulai menyukai kata-kata itu—.

Aku jadi bersemangat untuk keluar rumah setelah aku menghabiskan semangkuk miso hangat. Aku mengikat erat sepatu boots ku dan membebatkan mantel kashmir yang lumayan berat.

"Sasuke. Apa kau tidak mau memakai topi?" Ibuku menunjukkan topi musim dingin berwarna cokelat tua.

Aku menggeleng dengan cepat. Ibu tidak pernah berubah, masih menyamakan seleraku dengan selera anak-anak. Hah...yang benar saja aku harus memakai topi yang sama persis seperti yang dipakai Margalo di film Stuart Little 2.

Aku berjalan menyusuri rumah-rumah yang sepi –tidak ada yang mau berkeliaran di musim salju—. Dan pada akhirnya aku malah sampai pada jalan raya besar dan berjalan di atas trotoar. Terus berjalan lurus sampai aku menemukan Cafe cokelat panas yang kelihatannya 'boleh juga'.

Aku mendekati bangunan itu dan pintu kaca di depanku otomatis terbuka. Udara di dalam Cafe sangat hangat, ditambah aroma cokelat panas yang membuatku lapar –aku masih bersikeras mengatakan lapar walaupun aku tahu kalau cokelat panas itu untuk di minum—.

Setelah mencicipi cokelat panas ala kota ini. Aku langsung mengambil jalan pulang. Ketika sudah sampai pada area perumahan tempat aku tinggal, aku memperlambat jalanku untuk menjejakkan kaki lebih dalam agar meninggalkan jejak sepatu ku –kadang seorang Uchiha juga melakukan hal tidak penting saat tidak ada orang disana— dan aku yakin kebiasaan tidak penting yang terkadang muncul adalah virus yang berasal dari ketidakrasionalan Naruto yang ditularkannya pada ku –mengingat aku sudah sejak SD sampai SMP berteman dengan dia—.

Jadi saat aku tiba di rumah, aku dapat merasakan suasana rumah yang ramai. Dan jika di lihat dari sepatu-sepatu yang berjejer di depan, itu pasti anak-anak muda. Dan itu pasti Kakak yang sedang reuni dengan teman Akatsukinya.

Dan benar saja. Tebakanku tak pernah meleset. Aku melihat mereka sedang berkumpul di ruang tengah dekat perapian yang menyala. Aku langsung memasang wajah datar ku.

"Ah...itu Sasuke ya?" seseorang menyeringai pada ku. Dan aku lupa siapa dia, mungkin Sasori, atau mungkin Pein. Entahlah –aku tidak pernah hapal—.

"Yeah...as you seen." Jawabku. Aku tidak begitu perduli dengan reuni mendadak yang dipelopori Kakak.

Dan mereka tertawa. Aku menaikkan alis sebelahku. Lalu apanya yang lucu?

Ini yang paling aku benci dari teman-temannya Kakak. Mereka selalu tertawa padaku. Apa karena dulu saat aku masih kecil, aku sering menjadi bahan lelucon mereka? Coba saja lakukan itu sekarang. Akan ku hajar!

"Ibu mana?" aku mengalihkan pembicaraan.

Kakak hanya mengangkat bahu. Dan itu artinya tidak tahu.

Aku mendengus kesal, Kak Itachi memang selalu begitu untuk menghemat suara. Aku langsung berjalan ke dapur, berharap Ibu ada di sana. Tapi ternyata tidak. Tak mau sia-sia karena sudah berjalan ke dapur, maka aku mengambil satu potong roti dan satu kotak susu. Lalu aku naik ke lantai dua dan bersantai di kamar.

Aku berbaring, lalu mengeluarkan ponselku dari saku celana. Mencari nomor Ibu di kontak ponselku.

"Iya?" Ibu menjawab dengan agak lama.

"Ibu dimana?"

"Ibu ada reuni dengan teman-teman belanja." Jawabnya cepat "Sudah dulu ya."

Aku menutup teleponnya –atau ibu yang menutup teleponnya—. Ibu memang tidak bisa di ganggu jika sedang reuni bersama temannya.

Karena merasa tidak ada yang harus aku lakukan. Akhirnya aku memilih untuk tetap berbaring.

Aku menatap langit-langit, memikirkan hari pertama sekolahku besok. Pasti akan terasa berat. Lama-kelamaan memikirkan sekolah membuatku mengantuk. Aku tertidur.

.

.

"BANGUN!" "BANGUN KAU DASAR PEMALAS!"

Aku tersentak kaget mendengar jeritan yang keras di telingaku. Yang membuatku super kaget lagi, siapa itu orang yang berada di hadapanku? Dia memakai baju besi seperti mahluk era kuno dan entah abad ke berapa. Saat aku melihat diriku –ironisnya aku juga memakai baju yang sama dengan dia—. Aku langsung bangkit dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. Dimana ini? Lilin menempel di dinding dan banyak baju besi?.

"Giliranmu untuk patroli Kastil. Cepat!" orang era kuno itu memerintah dengan galak.

Aku dengan penuh rasa kebingungan akhirnya keluar dari ruangan itu. Baru sampai pintu dan orang era kuno itu memanggilku lagi.

"Bawa pedang mu bocah!"

Di bentak-bentak begitu membuatku ingin meninju mukanya, tapi kemarahanku kalah oleh kebingunganku. Jadi aku keluar sambil membawa pedang.

Yang paling anehnya lagi, mengapa tiba-tiba jadi musim gugur?

Apa aku sudah tidur bertahun-tahun dan dunia sudah berganti Zaman atau apa?

Tidak ada pilihan lain selain berpatroli seperti yang orang era kuno itu perintahkan. Aku asal berjalan saja –entah ke arah yang akan menuju tempat apa atau bagian apa di Kastil ini—

Disela kebingunganku. Aku masih bisa terkagum-kagum oleh desain Kastil ini. Ini seperti Kastil Edinburgh di Skotlandia. Jadi sejauh pengetahuanku tentang Kastil Edinburgh, Kastil ini di bangun di atas tebing batu –tepatnya diatas gunung berapi yang mati—. Hasil rancangan dari Michael Canmore.sebuah kastil berhantu yang didirikan pada abad ke -12.

Apa ini di Skotlandia? Kalau di lihat dari baju prajuritnya, ini bukan Skotlandia. Ini sedikit berbeda. Mungkin hanya kemiripan desain Kastilnya saja.

Lalu mengapa aku disini?

Nah...itu pertanyaan bagus.

.

.

To Be Continued

.

.


|Hakkuna Matata|

Bagaimana Fic pendeknya?

Ini multichapter lho Minna ^^

Saya buat pendek supaya tidak jenuh membacanya, kadang saya suka jenuh kalau membaca fic yang panjang sekali, jadi akhirnya saya malah membuat fic ini pendek-pendek di setiap chapternya.

Oh iya, ini Fic SasuHina pertama saya ^^

Selain daripada itu, ini juga event pertama yang saya ikuti ^^

Jangan lupa Review ya, karena Review Minna-san adalah semangat saya ^^

-ViN-