Disclaimer : Fullmetal Alchemist punya Hiromu Arakawa

A/N : Halo, para reader sekalian! Saya kembali lagi ke fandom FMA! Yohoo~ Fandom pertama saya. Maaf ya ada 2 cerita yang masih saya HIATUS-kan dulu soalnya...hehe *nyengir kuda* Saya gak punya ide *reader : hoooo!*

Kali ini ehem, saya buat oneshot. Terserah deh gimana-gimananya. Soalnya saya lagi mandek ide, tapi masih 'nakal' main di depan laptop (?). Terus, maaf, oneshot ini pendek. Maaf maaf DX

:)

Nagisa

~oOo~

Pemuda itu berjalan tanpa arah, meninggalkan bekas pijakan kaki di atas pasir tebal panas tersebut. Rambut emasnya yang diikat itu tertiup oleh semilir angin yang berhawa kering. Matahari sudah tepat berada di atas kepala, jika dikartunkan akan membuat setiap kepala akan mengeluarkan kepulan asap dari ubun-ubun mereka. Kembali ke arah 'sebenarnya'.

Pemuda itu memotret setiap benda yang tengah dilewatinya dalam sebuah fotografi manual yaitu memori dalam otaknya. Matanya bergerak liar untuk mencari pemandangan yang lain dari seluruh hamparan padang pasir seperti ini. 'Fatamorgana', 'Fatamorgana'! pintanya dalam hati. Kerongkongannya sudah kering, meronta ingin dibasahi oleh sejuk dan segarnya aliran air yang jernih. Duh! Memikirkannya saja sudah ingin meneteskan saliva, pikirnya.

Dengan sigap ia terus berjalan, terus dan terus. Jejaknya sudah tersapu oleh angin gurun pasir yang kadang-kadang dalam wujud yang teramat kecil.

Sebuah monumen telah ada di hadapan matanya. Monumen yang telah runtuh karena sesuatu yang membuatnya menjadi seperti itu. Ia membuka tudung berwarna merah, dan tampaklah wajahnya yang berkilat-kilat karena luruhan keringat yang sudah mendahului membasahi kepalanya.

Ia berjongkok, bertumpu pada satu lututnya lalu mengambil segenggam pasir ke tangannya yang lumayan besar. Ia meniupkan lagi pasir itu, membuat butiran-butirannya terbang dan bertebaran searah pergerakan angin.

Ia mengambil lagi segenggam, lalu menggenggamnya erat. Sang pasir turun perlahan dari sela-sela jarinya. Ia menutup matanya, merasakan desiran lembut pasir itu.

Kelakuan yang sudah di luar batas kewarasan. Tapi, itulah yang ia rasakan sekarang.

Seorang Hohenheim yang tengah menumpahkan perasaannya yang paling dalam pada segenggam pasir yang tengah berada di telapak tangannya.

"Tuhan, andaikata kau buat pasir dapat berbisik padaku apa yang harus kulakukan sebenarnya?" katanya dengan lirih. Matanya masih terpejam.

"Aku mencintai mereka. Aku tak rela meninggalkan mereka, tapi keadaan yang membuatku terdesak melakukan pelarian ini."

Ia menundukkan wajahnya perlahan, hingga sang matahari kini membakar punggungnya yang lebar.

"Tolong pasir, dengarkan bisikanku."

"Dengarkan aku, kumohon." ia berkata lirih dan seiring pasir telah habis keluar, akhirnya ia jatuh terperosok di atas tebalnya permukaan pasir itu. Di depan sebuah batu yang terdapat di dalam monumen itu. Tertidur setelah ia mengucapkan kegalauannya dalam bentuk kata, bukan dalam bentuk perlakuan. Terlelap ia, hingga seseorang telah menemukannya dan membuatnya tersadar kembali. Tersadar akan lorong gelap kehidupannya. Dan tersadar akan ia harus mencari sebuah lorong bercahaya agar membuatnya, bukan, SEMUANYA keluar dari lorong cerahnya sinar matahari kehidupan yang berbahagia.

-FIN-