Apa aku akan mati disini?

Seperti kebanyakan orang lainnya, Ellenoir tidak pernah tahu kapan ia akan meregang nyawa. Setidaknya sampai saat ini. Keadaan disekitarnya membuatnya yakin malaikat maut akan segera menjemputnya. Dari balik pohon oak ia bisa melihat semuanya. Teman-teman seperjuangan yang tengah 'disantap' dan para raksaksa yang tengah 'menyantap'. Sialnya ia tidak bisa melakukan apapun. Tangan kanannya patah saat terjatuh dari Joice –kuda hitamnya-. Mesin manuevernya kehabisan gas dan pedang miliknya tidak akan banyak membantu.

Tak ada yang bisa dilakukan. Bahkan untuk menutup telinga pun ia tak sanggup. Jeritan-jeritan itu hanya membuatnya semakin sulit bernafas.

Sebelumnya Ellenoir tidak pernah meninggalkan teman-temannya dalam keadaan sesulit apapun. Tapi saat ia melihat kematian dengan mata kepalanya sendiri, semua perasaan dan pendiriannya itu runtuh begitu saja. Ia tidak ingin mati, walaupun ia tahu itu hampir mustahil. Dan dia memutuskan mengambil celah untuk lari sendirian. Setengah mati berusaha mengabaikan jeritan-jeritan yang semakin melemah itu. Biarlah ia menjadi gadis pengecut untuk kali ini.

Dari kejauhan terdengar suara letusan bersamaan dengan asap merah yang meluncur seperti roket ke udara. Ellenoir ingat tanda itu. Misi dibatalkan dan perintah mundur untuk semua pasukan. Ia harus bergabung dengan pasukan lain secepatnya. Mendekatkan tangan kanannya kedepan mulut dan membuat siulan tanpa suara. Berharap ada kuda yang menangkap panggilannya. Lalu dengan susah payah gadis itu berdiri dengan kedua kakinya, kembali mengintip dari balik pohon.

Darah dan potongan tubuh yang terlihat dimana-mana membuat Ellenoir mual dan ingin muntah. Tapi ia menahannya sekuat tenaga, walaupun tubuhnya tidak bisa berhenti bergetar hebat sejak tadi. Ada empat raksaksa didepan sana. Tiga diantaranya setinggi lima belas meter dan yang satu lagi tidak lebih tinggi dari pohon oak tempat Ellenoir bersembunyi. Jika saja ia bisa membuat Joice kembali, maka tidak akan sulit untuk melarikan diri dari tempat itu –mengingat Joice adalah kuda tercepat. Walaupun ia sedikit mengkhawatirkan raksaksa terkecil yang kemungkinan larinya lebih cepat dari raksaksa lainnya.

Gadis berambut hitam legam itu menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya. Dengan tenang melepaskan peralatan maneuver nya dan meletakannya ditanah. Menyisakan sebilah cutter blade yang ia genggam kuat-kuat dengan tangan kirinya. Ia tidak bisa menunggu lebih lama jika ingin kembali hidup-hidup, jadi ia bersiap untuk lari dengan kedua kakinya sendiri. Ia tahu resiko yang akan dihadapinya lebih besar, tapi itu lebih baik daripada hanya diam dan menunggu kematian datang.

Ellenoir berlari, secepat yang ia bisa. Dengan nafas yang terengah-engah, sambil mati-matian menahan rasa sakit.

"Sial!"

Gadis itu mengumpat saat merasakan tanah yang dipijaknya bergetar. Dari arah utara datang raksaksa lain, berjalan sempoyongan kearahnya. Ellenoir memperkirakan tinggi raksaksa itu sekitar lima sampai enam belas meter. Walaupun jaraknya cukup jauh sekarang, tapi cepat atau lambat makhluk dengan kecerdasan rendah itu pasti akan menjangkaunya. Membuat Ellenoir semakin berusaha mempercepat larinya. Namun tubuhnya sudah terlalu lelah, ditambah dengan luka-luka yang ia dapat malah membuat kecepatannya menurun. Jika ia terus memaksakan diri maka ia akan tumbang.

Keadaannya semakin parah saat rasa sakit menyerang kepalanya. Pandangannya kabur dan ia semakin sulit menguasai keseimbangan tubuhnya. Larinya semakin melambat dan berulang kali ia hampir jatuh. Sementara dentuman langkah raksaksa itu terdengar semakin jelas ditelinganya.

Tidak! Aku tidak boleh mati disini!

Ellenoir tidak boleh mati. Ada orang yang menunggu kepulangannya dibalik tembok sana. Ia harus pulang, tak peduli apapun keadaannya. Dalam keadaan sekarat sekalipun. Ia harus kembali hidup-hidup, demi Cordelia, adik kecilnya itu. Demi satu-satunya keluarga yang ia miliki. Bukankah Ellenoir sudah berjanji pada Cordelia?

Saat keinginannya untuk hidup semakin kuat, takdir malah berkata lain. Kakinya tidak sanggup lagi berlari. Tubuh kurus itu ambruk begitu saja diatas rerumputan. Tak ada energi yang tersisa untuk bangkit kembali dan tanah bergetar semakin kuat.

Hancur. Seluruh tubuhnya terasa remuk saat sebuah tangan meraih tubuh kurusnya. Menggenggam dan mengangkatnya tinggi, jauh dari tanah. Cutter blade yang digenggamnya terjatuh. Ellenoir tertawa keras. Dihadapan raksaksa yang akan membunuhnya itu. Didepan dunia yang semakin hancur itu.

Ia tertawa. Keras dan semakin liar. Seperti orang gila.

Ia merasa bodoh karena berpikir bisa lari. Bodoh karena tidak bisa melakukan apapun. Bodoh karena pada akhirnya semuanya sia-sia. Bodoh karena tidak bisa menepati janjinya. Oh, bagaimana dengan Cordelia nanti?

Dunia benar-benar tidak adil, pikirnya.

Dan mulut raksaksa itu terbuka lebar didepan matanya. Ellenoir masih tertawa. Mengutuk nafas berbau busuk dan liur menjijikan dimulut makhluk bodoh itu. Tubuh Ellenoir semakin dekat dan dekat. Buliran bening mengalir dari iris hazelnya, ia pun berhenti tertawa. Memejamkan matanya sebelum tubuhnya terhempas kedalam mulut kotor itu.

Hancurlah, bersama dengan dunia busuk ini!

Mind to review?