NARUTO by MASASHI KISHIMOTO
KERUSAKAN HIDUP REMAJA DINI by DIAMONDLIGHT96
WARNING : Don't Like Don't Read!
Setting : Indonesia
RATE : T
NARUSAKU
.
.
.
Chapter 1 : Malam yang Rusak
Pagi ini seorang pemuda dengan seragam Sekolah Menengah, berambut kuning dan bermata biru cerah tengah menunggu di depan pintu gerbang sebuah rumah yang minimalis dan tidak terlalu besar. Matanya terus menerawang ke arah rumah tersebut, menunggu seseorang keluar dari dalamnya.
Beberapa saat kemudian, gadis berambut pink keluar dari pintu rumah tersebut. Dengan senyum cerah, dia melambai ke arah pemuda yang sedari tadi mematung di depan gerbang rumah itu. Pemuda itu membalas lambaian sang gadis. Dia tersenyum kemudian menyambut uluran tangan sang gadis.
"Naruto... sudah kubilang berapa kali, jangan terlalu memaksakan diri untuk menjemputku setiap pagi dan mengantarku sepulangnya," ujar gadis pink itu. Pemuda yang dipanggil Naruto itu tersenyum, memamerkan deretan gigi putihnya.
"Aku bahagia melakukan ini Sakura, aku tidak terpaksa. Lagipula, jalan pulang ke rumah kita masing-masing searah kok!" seru Naruto. Sakura-gadis itu tersenyum lembut ke arahnya sambil menelengkan kepalanya. Naruto pun menggapai tangan Sakura kemudian melenggang berdua ke sekolah mereka sambil berbicara seputar apapun di sekitar mereka.
Setibanya mereka di sekolah, hampir semua orang menyalami mereka. Pasangan paling patut dicontoh di sekolah. Naruto, seorang Ketua OSIS yang memiliki kemampuan bersosialisasi yang tinggi dan Sakura, Ketua 1 OSIS sekaligus penasihat untuk Naruto bila terdapat rapat-rapat ataupun masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh Naruto sendirian.
Uzumaki Naruto sekarang kelas tiga SMA, sedangkan Haruno Sakura kelas dua SMA. Desas-desus mengatakan, begitu Naruto turun tahta, penggantinya adalah Sakura. Lihat saja, Sakura bahkan terlihat lebih cakap dari Naruto. Setiap masalah bisa dia selesaikan. Sedangkan Naruto, dia terpilih karena kharismanya. Kharismanya yang perhatian dan selalu membuat setiap orang senang.
"Naruto, nanti ada undangan dari Dinas, mau kau yang pergi atau diwakilkan?" tanya Sakura, sudah seperti managernya saja. Naruto yang sejak tadi memakan ramen yang baru dibelinya sesaat setelah bel istirahat pertama berbunyi di ruang OSIS terlihat berpikir. Kemudian dia menatap Sakura. "Kenapa tidak kita berdua saja? Kalau aku pergi, kau akan pulang sendiri. Bila diwakilkan orang lain, aku terkesan tidak menghargai,"jawab Naruto. Sakura menggeleng kemudian memukul bahu Naruto bercanda.
"Kalau semudah itu, aku tidak akan bertanya padamu. Masalahnya undangan hanya ada satu," ungkap Sakura. Naruto diam. "Ya sudah, serahkan saja pada si Teme. Kita pergi ke taman saja pulang dari sini. Lalu sampaikan pada Dinas, bila memberi undangan hanya satu, Ketua OSIS tidak akan datang!" seru Naruto, malas dengan segala hal yang membuatnya pening seketika. Sakura mendengus kemudian menelepon Sasuke-si Teme, untuk segera hadir di ruang OSIS.
Tidak lama kemudian, Sasuke sebagai Ketua 2 hadir. Sakura menyerahkan undangan itu kepadanya. Sasuke mendecih. "Kalian berdua saja yang datang. Nanti akan kuberitahukan pada Dinas, kebetulan kakakku disana," ujar Sasuke. Kemudian pergi meninggalkan Naruto dan Sakura berdua di ruang OSIS yang pintunya berdebam keras dibanting oleh Sasuke.
Sakura hanya menggeleng melihatnya, kemudian menyandarkan punggungnya di sofa yang sedang dia dan Naruto duduki. Naruto yang melihatnya, segera berbalik badan sambil membawa ramennya. Hendak menyuapi Sakura. Menyiapkan ramennya tepat di hadapan mulut Sakura, menunggu Sakura membuka mulut. Pucuk dicinta, ulam pun tiba... Sakura membuka mulutnya dan memakan ramen yang diberikan Naruto. Mereka berdua pun memakan ramen, saling menyuapi, dan Naruto berceloteh panjang lebar mengenai hubungan mereka dan acara kencan mereka malam nanti. Malam minggu, akhir pekan... terdengar indah dan menggelitik bukan?
.
.
.
.
.
"Menyebalkan sekali rapat tadi! Apa katanya? Hanya meminta kita menyiapkan acara kedatangan duta kesehatan? Apalagi katanya? HIV/AIDS? Gerakan Anti Narkoba? Ceramah Pak Walikota?" Naruto menggeram dan terus berceloteh sambil bersumpah serapah sepanjang perjalanan. Sakura yang mendengarnya hanya memarahi, kadang tersenyum, kadang menjawab, kadang menimpali, kadang memukul, pura-pura kesal. "Membuang waktu kencanku saja!" seru Naruto di akhir kalimat. Sakura hanya terkikik geli mendengar kalimat itu.
Lama mereka berjalan, akhirnya tiba juga di tempat tujuan mereka. Pasar malam. Yah walau tidak terlalu elit, tapi disana mereka bisa berdua saja. Tentu saja, wahana yang paling ingin mereka naiki hanya satu, karena yang lain terkesan kekanakan, yaitu bianglala. Tidak terlalu kecil dan tidak begitu besar.
Naruto benar-benar kekanakan. Sakura sampai lelah menanggapi kakak kelasnya itu. Namun, dia tidak bisa menolak. Mereka pun memasuki satu ruang bianglala bernomor tujuh. Mereka duduk berhadapan untuk menyeimbangkan agar ruang bianglala itu tidak bergoyang. Naruto sibuk membicarakan lingkungan sekitar mereka.
"Naruto..." untuk pertama kalinya Sakura mulai membuka mulut sejak mereka duduk di bianglala itu. Suaranya sangat pelan, terdengar berbisik namun cukup untuk menghentikan Naruto yang asyik berceloteh.
"Ada apa Sakura?" tanya Naruto dengan wajah bingung. Sakura tertunduk lesu, waktu serasa bergulir lambat.
"Apa kau benar-benar mencintaiku?" tanya Sakura sendu. Naruto menelengkan kepalanya dengan bingung, lalu segera mengangguk mantap.
"Tentu saja! Untuk apa aku menjadikanmu pacar kalau aku tidak mencintaimu?" tanya Naruto sedikit menyeringai. Naruto jarang sekali menyeringai dan seringaian Naruto kali ini membuat Sakura benar-benar gugup.
"Sejujurnya, ini kali pertama aku pacaran... tapi..." Sakura mulai ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Naruto hanya menatapnya, seakan meminta Sakura melanjutkan kalimatnya. "Teman-temanku mengatakan kau tidak pernah mencintaiku, kau hanya menyayangiku sebagai seorang adik... tidak lebih. Kau... kau tidak melihatku sebagai seorang perempuan," sakura mulai tersenda-sendat. Ada sesuatu yang menyekatnya di tenggorokan dan menggedor-gedor jantungnya dengan kencang.
"Aku melihatmu sebagai perempuan! Buktinya aku menjadikanmu pacar! Coba kalau aku melihatmu sebagai lelaki atau adik, aku tidak akan menjadikanmu pacar dan mengajakmu kencan! Enak saja, memangnya aku mau kencan bareng Neji? Walau rambutnya cantik, tetap saja dia bukan perempuan... menjijikan," ujar Naruto membayangkan dia tengah menaiki wahana ini bersama Neji, menatap rembulan dan yaks! Itu semua membuatnya mual.
"Buktikan!"
"Buktikan apa, Sakura?" tanya Naruto gusar. Tidak mengerti.
"Buktikan kalau kau mencintaiku!" seru Sakura.
"Bagaimana caranya? Bukannya ini semua udah termasuk bukti ya?"
"Mereka bilang, orang yang saling mencintai itu... akan... akan..."
"Apa, Saku sayang?"
"Cium," ucap Sakura sedikit tersamarkan. Naruto tidak dapat mendengarnya. Dia mendekatkan wajahnya, bermaksud untuk mendengar lebih jelas. Namun, Sakura berpikiran lain. Dia memejamkan matanya. Melihat tingkah aneh Sakura, Naruto seakan mengerti apa maksudnya. Ketika mereka telah sampai puncak bianglala, Naruto mengecup Sakura di kening. Cukup lama, hingga akhirnya Naruto berhenti dan Sakura membuka mata.
"Maaf ya... aku belum berani menyentuhmu lebih jauh... aku tahu maksudmu. Tapi, ibuku bilang ciuman adalah awal dari segalanya. Bagian apapun dari tubuh kita akan selalu merespon positif akan ciuman, bibir itu... paling mematikan. Aku berencana hanya akan menyentuhmu bila kita sudah menikah nanti. Empat tahun ke depan, aku janji! Ketika aku telah bekerja, dan menjadi lelaki sempurna untukmu!" ujar Naruto. Kali ini dia berwajah serius, membuat Sakura bersemu kemerahan. Sakura mengerti, Narutonya memang bukan orang bejat seperti kekasih orang lain yang selalu menginginkan lebih.
Setelah dari bianglala, mereka pun pergi ke taman yang remang-remang. Sebenarnya mereka enggan duduk disana, namun tak ada lagi tempat duduk yang tersedia kecuali disana. naruto menuntun Sakura cukup hati-hati. Menjaga jarak dengannya sambil membawa makanan ringan dan kembang gula yang mereka beli.
"Bulan hari ini indah ya," ucap Naruto sambil terus memakan makanannya.
"Jadi... suatu saat nanti kau ingin jadi apa, Naruto?" tanya Sakura setelah keduanya duduk di kursi.
"Emm, jadi Polisi. Hehe," Naruto nyengir untuk ke sekian kalinya. "Kalau kamu?" tanya Naruto balik.
"Aku ingin jadi dokter," jawab Sakura mantap.
"Dokter ya... hmm, kalau aku terluka, kamu yang obati ya? Hehe... ah, sepertinya di suatu hari nanti akan menyenangkan ya? Aku pulang membawa mainan, kamu datang menyambutku dengan harum aroma masakan menguar, kemudian terdengar suara-suara berisik yang datang dari arah ruang keluarga. Anak-anak kita kelak, hahaha..." Naruto terus berceloteh. Kemudian dia menyadari bahwa Sakura tengah menyandarkan kepalanya di bahunya. Lalu Naruto pun membelai lembut rambut Sakura, menyamankan gadisnya.
.
.
.
.
"Eh, lihat! Itu si Ketua OSIS dari SMA Konoha!" seru beberapa orang remaja yang kini tengah sibuk memakan makanan mereka di kafe pasar malam tersebut.
"Oh, jadi dia yang memenangkan kesempatan untuk mengundang walikota ke sekolahnya? Kau kalah saing dengannya. Padahal kau juga sama-sama Ketua OSIS! Hidan bodoh..." ujar seorang pria dengan rambut kuningnya menjuntai panjang.
"Diamlah Deidara... akui saja bahwa SMA Akatsuki memang selalu kalah saing dengannya," gumam pria yang dipanggil Hidan.
"Oh... tapi menjadi lebih buruk semenjak kau menjabat!"
"Kau yang memilihku!"
"Kau berbuat curang! Ingatlah peristiwa penyogokan itu!"
"jadi? Apa kau akan diam saja melihat Naruto serba bergelimang itu?", Hidan tersenyum melihatnya.
"Aku punya hadiah untuk si pemenang itu. Diam saja disini!" seru Hidan dengan yakin. Dia memasukan suatu cairan ke dalam soda Cola di tangannya. Kemudian menghampiri Naruto.
Naruto melihat Hidan datang, dia tahu siapa dia... dia adalah saingannya, sekaligus temannya yang paling akrab di setiap pertemuan walikota. Mereka punya hobi yang sama, tidak mendengarkan pembicaraan walikota atau ceramah yang tidak enak di telinga. Jadilah saat pertemuan, mereka mengobrol dan asyik tertidur kalau benar-benar lelah.
"hai, Naruto! Bersama pacarmu?" ucap Hidan menggoda. Naruto tertawa puas.
"Kau? Sendirian?" tanya Naruto. Kemudian mereka bersalaman ala pemuda.
"Tidak, disana ada teman-temanku!" Hidan menunjuk teman-temannya di cafe terdekat. Kemudian dia melempar Cola di tangannya untuk Naruto.
"Untukku?" Naruto menyahut. Hidan mengangguk.
"Tentu saja, ganti Cola yang dulu kau berikan untukku,"
"Oh ya? Terimakasih!"
"Baiklah Naruto, aku pergi dulu... sepertinya teman-temanku sedang menantiku. Daah!" Hidan pun pergi meninggalkannya. Meninggalkan Naruto dan Sakura. Begitu Hidan menghilang, Naruto segera meminum Colanya, kebetulan dia sangat haus sekarang.
.
.
.
.
"Naruto, kau benar-benar tidak mau masuk dulu? Kulihat kamu sedang tidak enak badan. Ah, sepertinya kau kelelahan ya? Sudah kubilang, sebaiknya malam ini jangan kencan," gerutu Sakura cemas melihat Naruto yang terlihat pucat, panas, dan memerah kepanasan.
"Tidak usah, nanti merepotkan!"
"Tidak... tidak... malam ini, kau menginap saja disini. Calon dokter ini akan mengurusmu!"
"Maaf Sakura, malam ini orangtuamu tidak ada. Aku tidak mau terjadi sesuatu diantara kita. Sesuatu yang tidak kita harapkan!"
"Naruto..."
"Ya, aku akan pulang. Semoga kau baik-baik saja ya di rumah. Daah," naruto melambai sambil berjalan pontang-panting, hampir pingsan. Nafasnya terengah. Sakura yang melihatnya setengah berlari, membantu Naruto yang hendak berdiri setelah jatuh tersungkur.
"Biar aku antar kau pulang," Sakura akhirnya menuntun Naruto yang hampir tidak sadarkan diri.
"Menyebalkan, aku memalukan... diantar perempuan," Naruto terus saja bergumam seperti itu sepanjang perjalanan.
"Aku bukan perempuan biasa, aku pacarmu... Kak Naruto,"
"Hahaha, kakak?" Naruto nyengir kemudian diam.
.
.
.
.
"Siapa kalian!" bentak Sakura saat dia baru saja pulang dari rumah Naruto. Empat orang menghadang di depannya. Laki-laki besar, mengerikan. Mereka ternyata sudah mengikuti Sakura sejak masih di pasar malam.
"Diam, ikut kami!" empat laki-laki itu menyeret Sakura, memaksanya pergi bersama mereka.
"Lepaskan!" sakura berontak. Namun, mereka jauh lebih kuat dari Sakura. Salah satu dari mereka membawa saputangan lengkap dengan obat biusnya disana. membius Sakura hingga pingsan, kemudian membawa gadis itu ke rumahnya yang kosong.
Begitu tiba di depan pintu, salah satu dari mereka mengambil kunci dari dalam saku rok sekolah Sakura. Membuka pintu, menyimpan Sakura di atas kasurnya. Kemudian, melucuti seluruh pakaian Sakura, dan menyiramkan darah segar di sprai Sakura. Selain itu, dia menyiramkan air lengket di sekelilingnya.
Setelah itu, salah satu dari mereka menelepon seseorang yang menjadi bos mereka.
"Hidan, semua udah beres! Naruto udah terkapar, pulangnya kami culik Sakura kemudian sesuai perintah, membuat simulasi itu terjadi!" serunya dengan rasa bangga.
"Bagus, cepat bereskan TKP, segera kemari. Ingat, jangan ada yang tahu! Seorang pun!" seru Hidan. Mereka mengangguk, kemudian kembali ke markas mereka. Menunggu upah mereka dari Hidan.
.
.
.
.
"Sakura terlalu lama... nanti terlambat! Ah, sudah kupencet bel berkali-kali pun tetap saja..." Naruto menggerutu keesokan paginya, menunggu di depan pintu gerbang rumah Sakura seperti biasa. Lelah menunggu, akhirnya Naruto memutuskan masuk ke rumah Sakura.
Ketika dia hendak mengetuk pintu rumah, pintu itu ternyata bercelah, tidak terkunci. Firasat buruk menyergap, Naruto menyeruak masuk. Berteriak-teriak memanggil nama Sakura. Dia pun menajamkan pendengarannya, mendengar isak tangis seseorang. Dia mengikuti arah suara itu terdengar, dia yakin itu suara Sakura. Suara itu berasal dari sebuah kamar. Mungkin ini kamar Sakura, batin Naruto. Naruto masuk tanpa permisi. Melihat Sakura menangis tersedu-sedu di atas kasurnya, menutupi tubuh telanjangnya dengan selimut.
Mata Naruto terbelalak. Ingin marah, pada siapa? Ingin menyalahkan, pada siapa? Akhirnya dia mendekat. Walau dia sedikit muak melihat pakaian Sakura yang berceceran dimana-mana di kamar itu.
"Apa yang terjadi?" tanya Naruto lembut. Sakura menggeleng. Naruto mencengkram kedua tangan Sakura dengan erat. "Apa yang terjadi? Jelaskan padaku!" seru Naruto tertahan. Sakura keras kepala, menggeleng. "APA YANG TERJADI SAKURA? DEMI TUHAN AKU BERTANYA DARI TADI!" seru Naruto menggoyangkan tubuh Sakura. Sakura tetap tidak menjawab. Naruto yang frustasi akhirnya meremas rambutnya sendiri. Blazer yang dia sampirkan di pundak dia lempar entah kemana. Karena sesak, dia membuka kancing baju bagian atasnya.
"JELASKAN!" Naruto marah sekarang. Dia menatap Sakura garang. Bukannya menjawab, Sakura malah makin terisak. Mereka terdiam beberapa saat. Lama sekali. Dua jam mereka lalui dalam diam, tidak peduli bel sekolah telah berbunyi. Naruto akhirnya mengalah, dia mendekati Sakura dan mendekapnya erat. Sakura kembali terisak. Kemudian dia pun merasa perlu menjelaskan semuanya. Akhirnya dia menjelaskan semuanya, dari awal hingga akhir. Dari dia mengantar Naruto sampai tidak sadarkan diri dan menemukan dirinya tengah terbaring telanjang.
"Aku kotor... aku tahu, kau pasti kecewa. Silahkan, tinggalkan aku saja," Sakura berujar perih. Naruto terdiam menutup telinga. Dia tahu, ini semua salahnya. Andai dia tidak sakit pada malam itu, andai dia menginap saja disini, andai Sakura tak perlu mengantarnya pulang, andai Sakura tidak pulang sendirian. Hanya perandaian yang bodoh.
Naruto menepuk-nepuk punggung Sakura, menenangkan kekasihnya. "Tenanglah, apapun yang terjadi, aku akan selalu bersamamu," mereka berpelukan dengan hangat. Tak menyadari selimut yang menutupi tubuh Sakura terjatuh, memperlihatkan tubuhnya. Tubuh bagian atasnya. Naruto merasa jantungnya berpacu cepat dan terlarut dalam kehangatan itu. Tanpa menyadari beberapa pasang mata menatap mereka tajam.
"Kalian! Sudah kuduga, benar laporan siswa itu, kalian sedang melakukan hal bejat!" seseorang berteriak. Mereka kenal suara itu, Tsunade, Kepala Sekolah mereka memergoki hal yang tidak sebenar-benarnya. Hendak mengatakan yang sebenarnya pun pasti bukti yang terlihat yang lebih meyakinkan. Mau membantah pun, Naruto terlalu mencintai Sakura. Hingga mengakui kesalahan yang bukan kesalahannya.
.
.
.
.
"ANAK BODOH! MEMBUAT MALU KELUARGA SAJA!" Minato, ayah dari Naruto, membentak Naruto habis-habisan di rumah keluarga Haruno saat itu. Kushina berusaha menenangkan Minato. Naruto memalingkan wajahnya dari sang ayah, terdiam.
"Jadi bagaimana? Apa anakmu yang bejat ini akan bertanggung jawab? Bagaimana bila Sakura hamil diluar nikah?" Ayah dari Sakura menginterupsi perdebatan ini. Mereka semua terdiam.
Beberapa saat berlalu, Sakura pun datang. Dia duduk di samping ibundanya. Menatap Naruto penuh rasa salah. Naruto menatap Sakura kemudian menunduk. Dia bingung. Bingung dengan semua perkataannya.
"Ayah, Ibu... Paman, Bibi, Kepala Sekolah... sebenarnya... kejadian sebenarnya adalah..." Sakura menangis terbata-bata, berkata seadanya. Naruto segera menatap Sakura tajam, lalu dia mulai angkat bicara.
"Kejadian sebenarnya memang Sakura yang memintaku untuk menciumnya, namun aku tidak tahan. Jadi terjadilah, dan pagi ini... aku berusaha membujuknya lagi tapi dia menolak. Sudahlah Sakura, walaupun yang pertama menggodaku adalah kamu, tetap saja aku yang melanjutkan," Naruto berkata cukup jelas saat itu. Kini ayahnya tengah naik darah, mencekiknya hingga hampir mati.
"Baiklah, kalau begitu... kau harus menikahi putriku, Naruto," ujar kepala keluarga Haruno dengan nada yang dingin.
.
.
.
.
TBC
.
Review?
