Rating: T

Ringkasan: Untuk saat ini, Robin berada di bawah lindungan pasukan revolusioner Monkey D. Dragon. Jauh dari kejaran pemerintah ataupun bounty hunter. Hanya seorang saja yang mengingatkannya pada kehidupan bajak laut yang sedang dia tinggalkan.

Disclaimer: Hanya Odacchi-lah yang punya hak cipta dan hak milik atas One Piece.

A/N: Aku baca fic punya Zorbin-san yang pairingnya Robin dan T. Law. Dan pengen ikutan bikin ^-^. Secara mereka berdua juga tipe cool, kayaknya aku nggak dapat kesulitan di sini. Tapi kalau kalian pikir ada yang OOC silahkan bilang sama Quint. Selain itu, aku ucapkan selamat membaca!

More Than Words

Robin berjalan di sepanjang jalan di samping hamparan rumput yang luas, kedua tangannya membawa belanjaan bahan makanan yang baru dia beli dari desa sebelah. Dan bibirnya tidak pernah berhenti tersenyum. Dia memang sendiri, tapi Robin tidak pernah merasa kesepian lagi, tidak setelah dia tahu apa yang akan dia lakukan dalam dua tahun ini. Dia akan berlatih supaya lebih kuat lagi, jadi dia tidak akan menjadi beban untuk yang lain. Karena dia tidak pernah ingin merepotkan teman-temannya lagi. Selepas dari peristiwa Enies Lobby dengan CP9, katakanlah hidupnya jauh lebih tenang.

Robin menoleh ke belakangnya, ada sekitar belasan bebek yang mengikutinya berjalan semenjak tadi. Bebek itu kecil, bukan jenis bebek yang ada di Alabasta. Satu induk yang diikuti anak-anaknya, mereka mengikutinya satu per satu dan membentuk barisan yang agak menggelikan. Tapi Robin suka bebek-bebek ini. Mereka akan mengikutinya pulang ke rumahnya, rumah yang disediakan pasukan revolusioner untuknya, untuk dua tahun mendatang. Dan bebek itu baru akan pergi setelah dia memberikan makanan. Sungguh makhluk yang lucu.

Robin menghirup udara yang segar, sudah lama dia tidak merasa segembira ini saat sendirian. Dan sudah lama juga dia tidak merasa sedamai ini karena bisa menjalani hidupnya sendiri, sebagai orang biasa, bukan buronan, bukan juga bajak laut. Dan karena memang begini keadaannya setiap hari, seakan dua puluh tahun yang dia lewati selama ini terasa seperti mimpi saja. Mimpi buruk yang telah lama terlupakan.

Dan kalaupun ada yang mengingatkannya pada kehidupan bajak lautnya, itu adalah satu orang. Robin biasa melihatnya tidur dan bersandar di bawah sebatang pohon yang rindang, pohon yang akan dia lihat sebentar lagi di ujung jalan.

Bisa dikatakan orang itu sungguh tidak terduga, dan Robin tidak mengira akan melihatnya di tempat seperti ini, di pulau yang begitu tenang. Rasanya tidak sesuai dengan pembawaannya yang begitu tidak beraturan. Dan ini membuat kadang membuat Robin bertanya-tanya: sebenarnya apa yang dilakukan seorang supernova di sini? Seorang Trafalgar Law yang terkenal di tempat ini? Di pulau musim semi?

Mungkin akan Robin tanyakan kalau nanti dia bertemu, sekalian dengan keadaan dunia luar. Berada di tempat ini terkadang begitu menghanyutkannya untuk mengabaikan keadaan di luar, meski sebenarnya dia bisa saja bertanya pada pasukan revolusioner yang mengakomodasinya. Tapi untuknya kalau bukan karena ayah dari sang kapten, Monkey D. Dragon sendiri, tidak begitu banyak orang yang dia percaya di sana. Robin tidak nyaman dengan keberadaan mereka. Dan dia kira mereka juga sama, mereka tidak akan merasa nyaman dengan keberadaannya. Terlepas dari riwayat hidupnya yang telah bergabung sebagai kru dari sekian banyak bajak laut, bekerja di bawah mantan shicibukai Crocodile, dan terakhir menjadi anggota bajak laut Topi Jerami. Tidak, Robin lebih suka tidak mengusik mereka. Lagipula urusan pasukan revolusioner itu tidak ada kaitannya dengannya. Tidak selama urusannya di sini hanya bersembunyi dari pemerintah. Dan bersembunyi di salah satu pulau yang begitu damai ini, pulau yang telah di kuasai pasukan revolusiner dan secara otomatis berada di bawah lindungan mereka. Robin merasa dirinya cukup aman.

Senyumnya merekah lagi, dia bisa melihat pohon itu dari kejauhan. Biasanya dia bisa mengenali Law dari nodachinya yang selalu dia bawa kemanapun. Lebih dekat lagi, dia akan bisa melihat topi bulu khas North Blue yang dia pakai. Dan akhirnya Robin akan melihat wajahnya yang tenang, tertidur di bawah bayangan pohon.

Tapi Robin tidak melihatnya. Trafalgar Law tidak ada di sana. Senyum itu memudar, Robin berjalan mendekati pohon itu, dia meletakkan belanjaannya di rerumputan dan memeriksa batangnya yang kokoh. Matanya memandang rumput yang tumbuh di sekitarnya. Rumput-rumput itu tumbuh tegak, tidak ada bekas terinjak, ataupun tertindih dalam waktu yang cukup lama. Law tidak ada di sini, dia tidak datang. Rasa kekecewaannya datang kemudian. Dia duduk di bawah pohon, mengatur topi jeraminya untuk menghalangi sinar matahari yang masih menerobos dedaunan, dan memandang sekitarnya.

Dari tempatnya sekarang, dia bisa melihat ujung jalan yang baru dilaluinya, juga ujung jalan yang harus dia tempuh untuk pulang ke rumah. Tapi jalan itu kosong sekali, selain fakta kalau ada bebek-bebek yang berbaris mengikutinya. Bebek itu mulai mengerumuninya, memenuhi sekitar pohon itu dengan anak-anak bebek. Dan Robin melihat mereka masih rapi dalam barisannya. Dia tertawa kecil, mengeluarkan baguette dari kantong belanjaannya. Dia mencubit roti itu kecil-kecil dan menebarkannya di antara bebek-bebek itu, yang segera berebutan, mengikuti insting mereka untuk mendapatkan makanan.

"Kau ini pemurah sekali, ya?"

Deg! Sebuah suara datang dari...atasnya?

Robin memandang ke atas, apa yang dia cari selama ini ada di sana. Bersandar di dahan yang cukup besar dan menjadikan lengannya sebagai bantalan. Trafalgar Law sedang tersenyum padanya.

"Apa yang kau lakukan di sana, tuan Law?" Robin memanggil. Senyumnya merekah lagi di bibirnya. Jadi sejak tadi dia sudah ada di sana? Mengapa dia tidak menyadarinya sedetikpun?

Law menghela napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. "Di bawah panas sekali, dan di atas lumayan menyenangkan."

Robin mengerutkan dahinya. Apa benar di atas semenyenangkan itu?

"Jadi tadi kau kecewa karena aku tidak ada?" dia bertanya, menggoda.

"Aku kecewa." kata Robin jujur. "Kupikir kau sudah berangkat tanpa berpamitan padaku."

"Berangkat apa?" tanyanya. Dia memandang Robin. "Sudah kubilang aku tidak buru-buru. New World saat ini sedang kacau karena supernova lain sedang berangkat ke sana."

Robin mengangkat bahu, jawaban itu lagi: dia tidak buru-buru. Tapi sampai kapan dia akan tinggal? Tidak mungkin Law akan tinggal selama dua tahun. Dia pasti sudah gila jika berencana begitu. Robin menyandarkan tubuhnya lagi: memberi makan bebek.

"Hei, kau tidak ingin bertanya apapun padaku?" Law bertanya dari atas, sepertinya laki-laki itu tidak ingin turun.

"Aku akan mendengar apapun yang kau katakan. Jadi ceritakan saja yang kau ketahui."

Law tertawa kecil. "Kau ini." Dia menggelengkan kepala. "Aku tidak punya apapun untuk diceritakan, kau sudah mendengar semuanya dariku: perang di Marine Ford, Sengoku dan Garp mundur dari jabatannya, pindahnya Marine HQ ke seberang redline, dan perebutan kekuasaan teritori Whitebeard. Kau saja yang bertanya."

Robin menghela napas sesaat. Berita dari luar yang dia dengar dari Law itu terdengar sangat tidak masuk akal di sini. Dunia sedang berguncang karena keseimbangannya yang terganggu, tapi di sini... seakan semua itu hanya mimpi.

"Kalau begitu katakan apa yang ingin aku dengar." Robin tersenyum. Dia sudah selesai membagikan baguette-nya. Baguettenya sekarang tinggal satu, tapi itu akan cukup untuk dua hari lagi. Hari ketiga dia akan pergi ke desa sebelah lagi dan menemukan Law di sini. Ini sudah menjadi kebiasaannya. Dan sudah berapa lama hal ini berlangsung? Robin susah mengetahui pergantian waktu di tempat ini.

"Baiklah. Nona Robin, kau ini berbeda dengan wanita manapun yang pernah aku temui selama ini. Kau istimewa."

Robin mengerutkan dahi, dia melongok ke atas. "Apa benar kalau itu yang ingin aku dengar?"

Law mengangkat bahu. "Biasanya perempuan suka mendengar pujian begitu. Baiklah kau berbeda. Apa yang ingin kau dengar?"

Robin hanya memandang laki-laki itu, Law berada sekitar 4 meter di atasnya. Tapi dia bisa melihat laki-laki itu dengan baik. Matanya, senyum ironinya, telinganya yang bertindik...

Robin baru akan membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi...

"Stop, aku tahu apa yang ingin kau dengar." Law mencegahnya. Dia bangkit dari tempatnya dan merayap turun. "Kau ingin aku turun bersamamu kan?"

Robin tersenyum melihatnya menghindari ranting dan dahan. Law akan tiba di tempatnya sebentar lagi. Tapi dia punya rencana lain.

"Sepertinya kau salah memahamiku, tuan Law." Robin menumbuhkan tangannya di sepanjang dahan. Dan tepat saat Law sampai di tempatnya berdiri, dia menarik dirinya ke atas. "Aku ingin kau bilang 'Kau boleh menemaniku di atas'. Tapi sepertinya kau tidak mengerti." Robin tersenyum melihat Law yang sudah sampai di bawah, rasanya bergantian dengan tempatnya tadi.

"Kau ini." Law mendengus pelan. Dia memandang Robin yang duduk di tempatnya bersandar tadi.

"Nona Robin, mengenakan rok untuk memanjat pohon itu bukan ide yang bagus, jadi kupikir lebih baik kalau aku turun saja da..." sebuah tangan tumbuh di bahu Law dan menutup mulut Law sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.

"Fufufufu...kau terlalu banyak bicara. Sudah, naik saja lagi ke sini. Atau kau mau aku membantumu?" Robin menawarkan, menumbuhkan beberapa tangan ekstra untuk menarik Law.

"Tidak, aku tadi naik ke atas sendiri. Aku bisa melakukannya lagi." Law meraih beberapa dahan dan memanjat, anehnya dengan kecepatan yang mengherankan. Dia sampai di tempat Robin dan menekan gadis itu ke dahan yang lebih besar.

"Baiklah, aku menyerah. Apa yang ingin kau dengar dariku?"

"Fufufufu...haruskah aku mengatakannya? Bukankah kau yang ingin menebak?"

Law memandang mata Robin sejenak, melihat ke dalam mata biru jernih itu. Seperti menggali informasi dari kemisteriusan sikap perempuan di depannya. Law tertawa pelan.

"Kau ingin aku menebak?" Dia bertanya lagi.

"Ya."

Law mendekatkan wajahnya dan berbisik ke telinga Robin. Membuatnya geli mendengar suara yang begitu dekat. "Kurasa kau sudah cukup mendengar kata-kata. Kau tidak memerlukan mereka lagi karena kau mulai tidak perduli."

Senyum Robin memudar, bukan karena di tidak suka dengan apa yang di dengarnya. Law tahu benar apa yang dia pikirkan. Selama ini hidupnya penuh dengan kata-kata. Kata bohong, kata pengkhianatan, dan kata luka. Tanpa sadar, dia sudah muak mendengarnya. Dan laki-laki ini menyadarinya.

Law memandang Robin lagi, dengan mata abu-abu gelapnya yang begitu dalam. Seperti menikmati efek kata-katanya. Robin balas memandangnya.

"Katakan kalau aku salah." kata Law, nyaris seperti bisikan.

"Tidak, kau benar. Aku sudah muak dengan kata-kata. Kata tidak ada artinya." Robin menunduk, dia memandang bebek-bebek ayng masih ada di bawah mereka. Bebek itu sepertinya tidak sabar, mereka mulai menyerang barang belanjaan Robin yang lain. Tapi Robin sedang tidak ingin peduli.

Law menyentuh pipi Robin, mengarahkan wajah gadis di depannya untuk melihatnya.

"Kurasa ini akan lebih dari sekedar kata-kata." Law mendekatkan wajahnya lagi, bukan untuk membisikkan kata-kata lagi. Bibir mereka bertemu, lembut menyapu satu yang lain. Saling menekan.

Robin tidak pernah menyadarinya, betapa dia menginginkan hal ini terjadi. Rasanya sudah begitu lama dia menunggu. Menunggu seseorang yang tepat, waktu yang tepat, tempat yang tepat... tapi dia tidak pernah membayangkannya begini. Dengan seseorang seperti Law, dalam masa break-nya sebagai bajak laut, di dahan pohon tepat di atas bebek-bebek yang ribut menyerang barang belanjaannya. Robin jadi ingin tertawa.

"Ada apa?" tanya Law, heran melihat Robin tertawa. Apakah yang mereka lakukan barusan itu adalah hal untuk yang ditertawakan? Dia mengamati Robin yang sedang tersenyum.

"Bebek." katanya ambigu.

"Bebek?" Law mengulangi. Dia tidak mengerti, meski sebagian dirinya paham tentang gadis di depannya, terkadang gadis ini juga begitu misterius dan membuatnya bingung.

"Kita berciuman di atas bebek-bebek yang menyerang belanjaanku." katanya.

"Tapi lupakan saja." tambahnya lagi, melihat Law yang memandangnya dengan bingung. Dia memegang tangan Law yang penuh tato, melihat inisial DEATH di sana. Surgeon of Death, dia membatin. "Kau benar, itu lebih dari sekedar kata-kata."

"Kalau begitu kurasa tidak apa-apa." jawab Law, tersenyum.

"Apanya yang tidak apa-apa?"

Bibir Law mengembangkan senyuman. "Kita lakukan lagi. Sekali lagi."

Yay! Reviewlah...

Sebuah pairing yang jarang (lagi), dan lagi dengan chara yang cool. Semoga nggak terlalu OOC, tapi kalau iya tinggal bilang aja :D. Sedang eksperimen misahin Zoro sama Robin (tapi aku lebih suka mereka barengan) Dan aku masih pengen bikin fic yang main chara-nya lebih aneh lagi. Mungkin Donquixote Doflamingo (namanya susah banget sih) dan Crocodile? Dan kemungkinan Robin akan terlibat (lagi?) Hai...hai... tapi aku masih het kok, nggak ada niat bikin yaoi sama sekali dan apapun ber-rating M. Jadi tenang aja, aku masih ingat umur kok (maksudnya?) XD .