a DraMione (vampire version) fiction request by Farah Zhafira. Well, this's special for u, Farah dear … and for the all of my lovely readers of course :) Hope u like it, enjoy!

.

.

.

|Vampire's Diary|

.

.

Disclaimer :

Semua tokoh dalam fict ini adalah kepunyaan Bunda J.K. Rowling.

But all of idea and imagination, of course belong to me :)

There's nothing any profit I take from writing this fiction.

Genre :

Supranatural, Romance, Mystery

Rated : T

Warning!

AU, vampir fict, OOC?

Saya sudah berusaha untuk tidak typo

(tapi jika masih ada, saya sungguh minta maaf),

dan juga maaf atas berbagai kekurangan lainnya.

|Happy Reading, guys … But, DON'T LIKE? DON'T READ! RnR please

.

.

Aku tak pernah memakai hati,

Aku tak pernah jatuh hati,

Aku tak pernah patah hati,

Karena aku tak punya hati …

.

"Kau percaya vampir?"

"Ya, tentu saja."

"Benarkah? Mengapa? Well, umm, maksudku banyak yang beranggapan bahwa vampir hanya mitos."

"Aku percaya pada vampir karena aku MEMBENCINYA!"

.

.

Harry Potter © J.K. Rowling

Vampire's Diary © Ms. Loony Lovegood

.

|Prolog|

.

.

London, 29 Januari 2009

Lembayung senja menoreh guratan jingga spektrum temaram di kanvas cakrawala. Tapak kesederhanaannya lantas mulai mengusik bayang-bayang keangkuhan sang malam di balik tirai otokrasi jagat semesta.

Pemuda bersurai platina-pucat itu duduk terpekur, mengabaikan rintik hujan yang perlahan mulai menghujam bumi seiring dengan langit yang menggulung pekat tepat di atasnya. Mengabaikan kulit pias ivory-nya yang perlahan mulai basah terguyur rinai dari sang langit yang tengah menangis.

Ia menarik napas dalam-dalam—meskipun secara teknis hal itu tak mungkin terjadi. Toh, ia sudah tak punya hati, apalagi … jantung. Ya, aku sama sekali tak bermain-main dengan ucapanku, karena nyatanya ia memang seorang pemuda tanpa hati. Dia hanya seorang pemuda abadi yang hidup dalam kematiannya. Ah, memang cukup sulit untuk menjelaskannya tapi … Percayalah.

Dia, Draco Lucius Malfoy, si pemuda abadi tanpa hati … yang hidup dalam kematiannya.

.

.

-OoOoO-

.

.

London, 29 Januari 1719

Aku tak pernah memakai hati,

Aku tak pernah jatuh hati,

Aku tak pernah patah hati,

Karena aku tak punya hati …

Berulang kali pemuda itu menyuarakan prinsip hidupnya—meskipun secara teknis ia nyaris tak memiliki kehidupan. Permata argent-nya bergerak cepat, meneliti keadaan sekitarnya yang kini tampak begitu kacau. Oh, jangan heran. Kacau yang kumaksud di sini adalah kacau dalam artian sebenarnya, kacau yang sebagaimana mestinya.

Langit masih setia menangis, menumpahkan gemuruh kesedihannya dalam kuantitas yang tak main-main. Badai menerjang tanpa ampun, menerbangkan segala sesuatu yang dapat dijangkaunya. Kaki-kaki renik tak berdosa saling berlarian ke sana-ke mari, berusaha menyelamatkan diri masing-masing. Jeritan kesakitan serta teriakan ketakutan sukses menyumpal telinga orang-orang di tempat itu. Pepohonan pun tak mau kalah, bergoyang rapuh menambah aura mencekam dunia malam.

Tapi siapa peduli? Semuanya sibuk saling menyelamatkan diri dari serangan Kaum Vampir yang datang tiba-tiba. Tak ada yang tahu dan tak ada yang mau malam itu terjadi. Sama halnya dengan seorang gadis bersurai cokelat yang kini tengah berdiri ketakutan di balik seleretan pepohonan. Peluh serta air matanya telah bercampur dengan buliran-buliran rinai hujan yang mengguyur ganas.

"Tolong, jangan ganggu aku! Kumohon." Gadis itu mulai terisak dalam keputus-asaannya. Sesosok pemuda bersurai platina dengan pupil semerah darah serta taring setajam Basilisk—salah satu hewan mitos yang paling terkenal dengan taring tajamnya—kini telah berada dalam jarak ber-radius lebih kurang dua meter darinya.

Manik cokelat karamelnya membeliak penuh awas, bibir merah ranumnya kini berganti menjadi pucat, sepucat rembulan malam. Kaki-kaki reniknya tak henti-hentinya membawanya dalam langkah-langkah kecil yang sebenarnya tak cukup membantu aksi pelariannya.

Hawa dingin yang menusuk hingga ke sumsum-sumsum tulang belakang seolah tak berpengaruh besar baginya. Meskipun malam telah berganti dinihari, gadis itu masih teguh untuk tak mati sia-sia di tempat itu—setidaknya ia tak mau mati konyol hanya karena seorang vampir yang menghisap habis darahnya.

"Tolong, kumohon … Jangan sakiti aku." Gadis itu belum menyerah, masih terus berusaha memohon agar vampir tampan itu segera menjauhinya. Well, jujur, gadis itu sempat merasa terpana dan terpesona oleh garis wajah menawan sang pemuda—yang sayangnya ternyata seorang vampir penghisap darah itu.

Entah mengapa, seiring dengan meluncurnya serentetan ucapan itu dari sela-sela geligi sang gadis yang saling bergemeletuk kedinginan, kini tiba-tiba netra semerah darah milik pemuda itu berbinar menyilaukan sebelum akhirnya berganti warna menjadi sorot biru-kelabu yang sangat menawan. Sedetik, gadis itu merasa tak memercayai penglihatannya. Apa yang terjadi?

Oh, mata itu. Mata kelabu yang sangat menawan. Andai saja dia pemuda normal, pasti aku akan jatuh hati pa—

"Draco! Tunggu apa lagi? Sebentar lagi matahari terbit, cepat selesaikan sebelum kita kehabisan waktu!" pekikan nyaring seorang wanita berwajah anjing Pug terdengar menerobos indra dengar gadis itu, membuatnya kembali dari pusaran bawah sadar yang sempat menghipnotisnya selama beberapa saat.

'Oh, jadi dia memiliki nama? Dan … namanya Draco?' batin gadis itu tatkala dilihatnya sang pemuda di hadapannya menoleh ke arah kawanannya seraya mengangguk. Melalui ekor matanya, ia dapat melihat dengan jelas keadaan sekitarnya yang kini seolah telah bertransformsi menjadi lautan darah. Mayat-mayat tergeletak di mana-mana lengkap dengan kondisi leher mereka yang terbuka mengerikan. Mengundang bulu kuduk siapa saja yang menyaksikannya meremang dalam ketakutan.

"Kumohon … Tolong, lepaskan aku," gadis itu berujar lemah, tampak tegar sekaligus pasrah dalam waktu yang bersamaan. Pemuda itu menoleh ke arahnya, kembali menaruh atensinya pada sosok gadis di hadapannya, menyeringai samar melalui taring-taring panjangnya seraya beringsut mendekat. Matanya kembali berubah warna semerah darah, pertanda bahwa nafsu memburunya telah kembali, memasuki level akhir.

Gadis cantik bersurai cokelat ikal itu merasakan tungkai kakinya yang mulai melemah seiring dengan tatapan lapar yang terus menghujamnya tepat di ulu hatinya. Ia jatuh terduduk di bawah sebuah pohon besar di tempat itu. Ia hanya bisa menangis sekuat yang ia bisa ketika dilihatnya pemuda vampir itu telah menggapainya dalam satu sentakan kuat.

Mengendus aroma tubuh yang menguar tajam dari sosok gadis di depannya, campuran aroma stroberi dan vanila yang sangat menenangkan. Sedetik, pemuda itu nyaris membatalkan niatnya dan membiarkan gadis itu agar tetap hidup. Akan tetapi sisi lain dari hatinya kembali bersorak menjunjung prinsipnya.

'aku tak pernah memakai hati, aku tak pernah jatuh hati, aku tak pernah patah hati. Karena aku tak punya hati …'

Seiring dengan gemaan relungnya yang begitu memuakkan itu, akhirnya dengan berat hati ia pun mulai menancapkan taring-taring tajamnya dalam-dalam ke leher jenjang putih nan mulus gadis bersurai cokelat di pelukannya. Samar-samar ia mendengar lenguhan pelan sebelum gadis itu benar-benar terbujur kaku kehabisan darah.

"A … Ak—aku … Men—mencintaimu, se…sejak kali pertama melihatmu, Draco … Meskipun a..aku harus menyerahkan ji…jiwaku pa—padamu."

DEG!

Sesuatu di dalam tubuh pemuda itu berdenyar nyaman. Tapi apa gerangan 'sesuatu' itu? Bukankah dia hanya seorang pemuda abadi tanpa hati?

.

.

-OoOoO-

.

.

"Oi, mate! Ayo pulang!" sentak seorang pemuda berkulit gelap tiba-tiba, yang berhasil membuyarkan lamunan seorang pemuda tampan bersurai platina.

"Apa? Err, aku belum mau pulang, Blaise. Kau duluan saja," ujarnya malas. Manik sekelam jelaga milik pemuda yang disapa Blaise itu membulat sempurna.

"Hey! Sekarang hujan, bodoh! Apa kau mau terkena hipotermia karena kedinginan?" Sontak pemuda platina yang sedari tadi terlihat merenung itu tertawa pelan mendengar penuturan seorang Blaise Zabini.

"Oh, Blaise … Jangan membuatku tertawa. Bahkan kita tak punya jantung!" Ia mendengus, melirik ke arah sahabatnya.

"Ah, ya … Aku lupa." Cengiran lebar terpatri di wajah hitam manis Blaise. "Tapi apapun itu, kita harus pulang sekarang!"

Draco Malfoy tertawa kering sebelum akhirnya menjawab setengah mengejek, "Iya, Ma'am …" Blaise pun mendelik sebal ke arahnya. Tapi toh, Draco tak peduli. Mereka sudah terlampau sering seperti ini sebelumnya.

Namun sesaat sebelum kedua pemuda itu hendak terbang—dalam artian sebenarnya—, tiba-tiba saja sorot fokus perak Draco menangkap sosok yang dirasanya sudah tak asing baginya. Bahkan ia merasa telah begitu familiar dengan wajah itu. Tapi … siapa?

Ia sudah berusaha keras untuk mecari celah-celah memori yang barangkali saja tercecer dalam kepalanya, tapi hasilnya nihil. Ia tak bisa mengingat apa pun—sebelum ….

"Oh, sampai jumpa, Hermione! See u tomorrow!" Seorang gadis berambut pirang keriting melambai ceria ke arah sosok gadis cantik dengan surai cokelat ikal mengembang. Sementara gadis berambut blonde—err, pirang kotor sepunggung lebih di sisi lainnya hanya tersenyum tipis.

"Hati-hati, Hermione … Kurasa … ada aura negatif di sekitarmu," ujar gadis blonde yang satunya tadi. Suaranya terdengar melamun dan kurang fokus. Sementara sang gadis yang disapa dengan nama 'Hermione' itu hanya memutar bola matanya bosan.

"Well, Luna … Kau terlalu banyak menghabiskan waktumu dengan buku-buku gaib," dengus Hermione pelan, seolah sahabatnya itu sudah terlampau sering berkata serupa padanya.

"Tapi Hermione, kurasa Luna ada benarnya. Kau tahu? Terakhir Won-Won tak mengindahkan perkataann Luna, ia ditimpa kemalangan." Lavender Brown, sosok gadis keriting itu membulatkan matanya, seolah hendak menambah efek dramatis dari perkataannya barusan.

"Oh, just shut up ur mouth, guys! Aku tidak takut, bahkan terhadap vampir terkutuk sekalipun!" Bersamaan dengan perkataannya itu, gemuruh petir tetiba menyambar memancarkan kilatan tak bersahabatnya. Lavender tampak ketakutan dan terkejut, ia menempel erat ke sisi tubuh Luna Lovegood di sebelahnya.

Tanpa mereka sadari, dua pemuda tengah menatap mereka dari kejauhan. Salah satu dari mereka menyeringai penuh muslihat, manik kelabunya seketika berubah semerah darah seiring dengan gumaman pelan yang mencuat keluar dari bibir setipis sari apelnya.

"Really? Well, girl, we'll see that …" Seringai masih terkembang di wajah tirus pemuda bersurai platina itu sebelum langit kembali menumpahkan kesedihannya lewat gemuruh hujan yang tak kenal ampun mengguyur jagat raya kota London.

.

.

Bersambung …

.

.

.

Halo! Satu lagi fict abal dari Loony :D …

Oke, fict ini merupakan fict request-an dari salah seorang pembaca setia saya, Farah Zhafira—yang katanya 'tak menyukai vampir', tapi justru penasaran dengan kisah vampir setelah melihat sebuah picture dgn karakter Dramione and others disertai tulisan 'Vampire's Diary'. Well, saya harap setelah baca fict ini, kamu bisa suka dengan vampir, ya, dear :) Tapi maaf banget kalau ternyata fict ini sama sekali tidak sesuai harapan kamu. Alurnya juga tiba-tiba muncul dalam kepala saya, sih ._.

Btw, thanks for reading, guys … Mmh, according to u, should I to continue this fict? Let me know ur opinion, so, REVIEW? :)

.

.

Salam,

Miss Loony

.

.

P.S. : Apakah "VAMPIRE'S DIARY" sebelumnya merupakan sebuah judul dari sebuah buku/film atau apa gitu? Well, kalau emang iya, jujur saya gak tahu sama sekali ._. *outdated banget*