SASU-GAY

by Ravensky Y-chan

.

.

.

Disclaimer

Naruto © Masashi Kishimoto-sensei.

.

.

.

"Jadi lelaki yang kau taksir selama sebulanan ini ternyata gay?"

Itu adalah respon pertama yang diberikan Sakura kepada sahabat lavendernya, Hinata, yang saat ini sedang curhat tentang patah hatinya Ini sudah kesekian kalinya dalam bulan ini Hinata curhat mengenai kisah cintanya kepada Sakura, dan rasanya seolah baru kemarin Hinata terdengar berbunga-bunga. Jadi kenapa kondisinya sekarang berbalik 180 derajat?

"Apa kau sudah mengonfirmasi isu ini?" tanyanya lagi.

"Semua orang membicarakannya, Sakura. Dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri saat dia dan pasangan gaynya berpelukan di koridor." Setetes air mata kembali jatuh dari mata cantik Hinata.

Ada perusahaan advertising yang baru pindah ke gedung di mana Sakura dan Hinata bekerja saat ini. Tepat satu lantai di bawah kantor mereka. Menurut cerita dari Hinata, perusahaan tersebut dipimpin oleh dua orang bos muda yang sangat tampan, yang salah satunya beruntung karena kejatuhan cinta Hinata, the prettiest girl of Konoha Tower. Sayang sekali Sakura, yang baru kembali dari dinas di cabang Sunagakure sejak dua bulan yang lalu, belum pernah melihat keduanya. Pekerjaan Sakura memang mengharuskannya untuk rajin-rajin melakukan sidak ke cabang untuk memastikan aktivitas bisnis perusahaan mereka berjalan lancar.

"Aku tidak habis pikir, Hinata. Dari ceritamu, aku tahu bahwa kau belum pernah berbicara dengan si Naruto ini. Tidak, say hello tidak termasuk kategori 'berbicara' yang kumaksud," Sakura buru-buru menambahkan saat Hinata mencoba membantah. "Lalu kenapa kau bisa sepatah-hati ini? Bukankah perasaanmu seharusnya masih dangkal?"

"Kau tidak mengerti. Perasaan manusia tidak tergantung pada seberapa lama kau mengenal orang lain atau seberapa sering kau berinteraksi dengannya. Dan Naruto-kun sangat manis. Bukan hanya wajah dan karirnya saja yang bagus, tapi juga sifatnya. Aku benar-benar jatuh cinta padanya sejak pertemuan pertama."

Sakura tidak sanggup menahan diri untuk tidak memutar matanya. Yeah, girl and love. Cliche.

"Oke, oke. Anggap saja itu benar," kata Sakura menyerah. "Saat ini aku belum tau apa yang harus kita lakukan. Biarkan aku menilai situasinya dulu. Tapi aku berjanji, jika ada yang bisa kulakukan untuk membantumu, aku akan melakukannya."

Hinata mengangguk. "Jadi besok kau masuk kerja?"

"Tidak juga. Aku mau libur dulu sehari sebelum berkutat dengan report-report yang menyebalkan itu," jawab Sakura yang dihadiahi lemparan bantal oleh Hinata.

.

.

.

"Nah, yang mana yang namanya Naruto?" tanya Sakura saat dia dan Hinata berada di kafetaria di lantai dasar Konoha Tower untuk makan siang.

"Yang rambutnya kuning, pakai kemeja oranye, arah jam dua. Tidak, tidak, jangan menoleh, Sakura," kata Hinata buru-buru. Dia sendiri menatap lurus ke arah mangkuk supnya.

Sakura meneliti sejenak. "Kau bilang dia sangat tampan." Sakura memutar matanya.

"Memang. Dan kau pasti sudah sering dengar, tampan itu relatif," bela Hinata.

"Memang. Dan kau pasti sudah sering dengar, jelek itu mutlak," balas Sakura. "Biar kutebak. Pasangan gaynya yang berambut dark blue di sebelahnya kan?"

Hinata hanya mengangguk. "Si big boss."

Sebenarnya tidak ada yang aneh dari tingkah laku objek yang sedang Sakura amati. Bukan berarti Sakura kenal banyak pasangan gay, namun si kuning dan si raven ini bersikap biasa saja. Mereka hanya makan dan mengobrol. Lebih tepatnya si kuning berceloteh dan si raven mendengarkan. Atau setidaknya itu yang dipikirkan Sakura sebelum melihat adegan berikutnya.

Pemandangan di depannya benar-benar adegan paling klise dalam peradaban umat manusia. Si Naruto ini, yang ternyata sangat ceroboh, makan dengan serampangan sampai-sampai membuat saos menempel di sudut bibirnya. Dan kalian pasti sudah dapat menebak kelanjutannya kan? Si raven—ingatkan Sakura untuk menanyakan namanya pada Hinata—mengambil tisu dan mengelap sudut bibir Naruto, meskipun disertai dengan omelan.

Demi kolor Merlin. It's so gay.

Sakura tersedak udara dan terbatuk-batuk dengan hebohnya sampai-sampai membuat banyak orang menoleh ke arahnya, termasuk duo kuning-raven, sementara Hinata menepuk-nepuk punggung Sakura sambil tetap menatap ke mangkuk sup.

.

.

.

Setelah kejadian di kafetaria, Sakura menjadi lebih intens memerhatikan pasangan gay tersebut di setiap kesempatan. Dia juga melakukan riset kecil-kecilan terhadap perilaku gay—apa saja yang bisa menyebabkan seseorang memiliki kecenderungan menyukai sesama, bagaimana cara mengubahnya, bahkan istilah-istilah yang biasanya akrab dalam dunia gay. Berdasarkan pengamatan itu lah Sakura mengambil kesimpulan bahwa dalam hubungan mereka, Naruto adalah uke dan Sasuke—nama si raven— adalah seme-nya. Tertukar? Tidak, tidak. Meskipun Naruto terlihat lebih aktif dan agresif, kentara sekali bahwa Sasuke lah yang lebih banyak memberi (semeru) bantuan dan perlindungan, dan sebaliknya, Naruto lebih banyak menerima (ukeru).

Tiba-tiba Sakura mendapat ide yang, menurutnya, cemerlang. Everything is fair in love and war, isn't it? Dan persahabatan terkadang butuh pengorbanan. Dia mengambil ponsel pintarnya dan menekan nomor Hinata. "Hinata, siapkan dirimu. Besok ajak Naruto makan bersamamu, pisahkan dia dari Sasuke, dan sisanya biar aku yang urus."

.

.

.

"Sasuke, right?" tanya Sakura sambil meletakkan baki makanannya di meja Sasuke. Sasuke menatapnya sekilas saat Sakura duduk tepat di sebelahnya. "Aku boleh duduk di sini kan?"

"Untuk apa bertanya jika kau memang sudah duduk di situ," sahut Sasuke kalem.

Sakura hanya mengangkat bahu dan mulai menyendok makanannya.

"Putuskan Naruto."

Sumpit Sasuke terhenti di udara mendengar perkataan Sakura, yang nadanya terlalu ringan sampai-sampai Sasuke pikir dia salah dengar. Dia menoleh ke samping, memerhatikan Sakura yang tetap makan dengan santainya. Apa memang dia salah dengar?

"Apa maksudmu, Pink?"

Yes, umpan dimakan.

Sakura meletakkan sendoknya, menyeruput air mineral, lalu menatap Sasuke tepat di manik hitamnya. "Aku tidak akan berbasa-basi denganmu. Lihat," Sakura mengalihkan tatapannya, membuat Sasuke menoleh ke arah yang sama. Tak jauh dari meja mereka tampak Naruto dan Hinata yang sedang makan sambil mengobrol. Naruto dengan pembawaannya yang selalu ceria, dan Hinata yang terlihat malu-malu tapi antusias. "Itu sahabatku, Hinata. Kau sudah pernah dengar tentang dia kan?" Sasuke mengangguk. "Dan aku simpulkan bahwa kau juga pasti sudah pernah mendengar tentang aku. Banyak yang bilang kami satu paket." Sasuke mengangguk lagi. "Sebagian besar laki-laki di gedung ini naksir Hinata. Sayangnya Naruto-mulah yang dicintai Hinata." Sakura kembali menatap Sasuke yang balas menatapnya. "Kau tahu kan di negara ini menyukai sesama jenis masih belum legal? Dan kau pasti juga tahu betapa kejamnya society dalam menghakimi perilaku orang lain." Sakura menunggu Sasuke mencerna perkataannya terlebih dahulu sebelum melanjutkan. "Hubunganmu dengan Naruto tidak akan berhasil. Itu hanya akan menyakiti kalian berdua. Dan juga sahabatku."

Setelah cukup lama terdiam akhirnya Sasuke bereaksi. "Jadi?"

"Jadi, aku ingin mengajukan penawaran kepadamu." Here we go. Sakura menarik napas panjang. "Lepaskan Naruto. Biarkan dia bersama dengan Hinata. Dan sebagai gantinya," dalam gerakan yang cepat Sakura menarik kerah kemeja Sasuke dengan kedua tangan dan mengecup bibirnya singkat, "kau mendapatkan aku. Aku akan membantumu untuk kembali normal."

Sakura memalingkan wajahnya yang memerah. Sungguh, tadi itu adalah tindakan paling nekat yang pernah dia lakukan. Ini lah ide cemerlang yang Sakura maksud. Mendistraksi seme dan menjauhkannya dari uke. Kalian pasti mengira dia narsis kan? Menganggap diri sendiri sebagai anugerah tuhan yang paling indah dan semua pria menginginkannya? Tapi memang begitulah kenyataannya. Hinata memang mendapatkan peringkat sebagai the prettiest girl, namun gelar Sakura bahkan lebih tinggi lagi—the hottest girl. Dan pria normal mana yang tidak menginginkan Sakura? Dia cerdas, cantik, dengan bentuk tubuh yang akan membuat malu Megan Fox, memiliki karir yang cemerlang sebagai General Manager SKAI (Satuan Kerja Audit Internal) di usia 25 tahun, dan jika itu belum cukup, latar belakang keluarganya yang terpandang dan kaya raya akan menjadi atribut yang manis untuk melengkapi ketenarannya. Tapi Sakura lupa, Sasuke kan bukan pria normal. Benar… kan?

Sakura terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tidak menyadari seringai Sasuke.

"Well then," ujar Sasuke. Sakura tidak menyiapkan diri saat tangan Sasuke meraih tengkuknya dan membuatnya menoleh lagi ke arah Sasuke. Dan dia lebih tidak siap lagi ketika bibir Sasuke memagut bibirnya dengan setengah memaksa. Intens, menuntut, dan sensasinya membuat Sakura merasa seperti jelly. Saat ciuman panas itu berakhir, Sakura merasakan puluhan tatapan tertuju kepada mereka diiringi dengan siulan heboh di mana-mana. Dan suara Sasuke menambah keterkejutannya. "Welcome to the hell, Sa-ku-ra."

Evil smirk.

.

.

.

Owari

.

.

.

-Author's Bacot Area-

Singkat? Didoakan aja ya supaya ada ide dan waktu buat nulis yang lebih panjang. Maaf untuk TNG yang belum sempat diupdate. Jangan lelah menunggu ya. Hehe.