Diluar gedung mereka berlima telah siap dengan pekerjaan malamnya. Menarik nyawa dalam satu malam dengan berbagai senjata ditangan maupun kantung perlengkapan mereka.
Sebelumnya sang ketua memberi strategi khusus dibantu anggota lainnya, mata elang sang ketua menatap tajam peta konstruksi bangunan targetnya.
"Inilah saatnya."
Menyiapkan katana di tangannya dan sepucuk pistol siap tembak. Mereka hanya berlima, tapi satu berada di mobil untuk mengawasi dan meng-hack sistem rumah sasaran mereka.
"Jaga disini." ujar sang pemimpin pada rekannya.
"Yeah, be safe."
.
.
.
Naruto © Masashi Kishimoto
Story By Yumi Murakami
Warning: AU, OOC, OC (mungkin), Typo(s) bertebaran dimana-mana, Abal, Gajje. Maybe Multipair
.
May be Bloody Scene, Lemon/Lime.
No Like, Dont Read!
.
.
Game of Life
.
A game of destiny
Where are, humans, are the players
We chose our own start
As well as the end
Which would you rather be?
An angel or..
A Demon?
.
.
Chapter 1 : Meeting
Gedung model victoria itu kini telah di penuhi dengan orang-orang berpakaian dengan tingkat pembuatan kelas atas, diiringi musik klasik menambahi kesan mewah. Wajah angkuh nan sombong tertutup oleh tawa dan kewibawaan mereka. Saling memamerkan, menceritakan kehidupan mereka yang sudah pasti uang mereka adalah milik rakyat kelaparan diluar sana.
Terlihat di tengah kerumunan orang-orang laknat itu terlihat seorang gadis cantik bergaun putih kemerah-merahan, memegang gelas berkaki yang diduga berisi anggur non alkohol ditangannya. Mata zamrudnya menatap dengan bosan pada sekelilingnya disana.
Pesta peresmian sebuah cabang perusahaan baru ayahnya diadakan cukup meriah malam ini. Dan mengharuskan ia sebagai putri tunggal untuk mengikutinya sampai acara selesai, sudah berkali-kali ayahnya mengenalkan dirinya pada temannya. Berulang kali berkata, "Inilah anakku, yang akan meneruskan perusahaan kami." Dan disaat itulah ia dituntut menghilangkan sifat gugup ketika bertemu mereka. Menunjukan bahwa dirinya memang pantas dibanggakan oleh sang ayah.
Tapi itu sulit, ia belum siap untuk menjalani hidup bisnis seperti ini yang entah jalan apa yang diambil ayahnya demi kesuksesan perusahaannya ini.
Menghela nafas panjang ia melangkah menuju kamarnya di lantai 3 rumah ini. Namun hal itu ia urungkan saat bunyi tembakan tiba-tiba menghentikan musik klasik menjadi teriakan ketakutan.
Satu persatu orang-orang itu tumbang bercucuran darah, teriakan menggelegar, berusaha keluar menghindari si pembunuh. Bisa dilihat lewat emeraldnya, orang berjumlah 5 itu membunuh mereka dengan pistol, pedang dan semacamnya. Cara pembunuhan mereka bagai tarian, terlihat anggun dalam genangan darah manusia.
Para penjaga yang jumlahnya tak sedikit pun berusaha menyerang para pembunuh dadakan itu, tapi mereka yang berjumlah sedikit ternyata lebih ahli dari pada pasukan penjaga khusus ayahnya.
Emeraldnya tak bisa lepas dari aksi mereka, antara takut, kagum, ngeri dan sebagainya tercampur. Ia tak bisa bergerak sejengkal pun dari tempatnya. Hingga teriakan ibunya menyadarkan, "Sakura! Lari!"
Ya, ia harus lari. Lari. Kabur meninggalkan orang tuanya yang sedang ditodong sebuah kusanagi indah dipegang oleh seorang pemuda, mungkin umurnya sama dengan gadis bernama Sakura itu. Tapi niatan itu hilang seketika, dengan mata kepalanya sendiri melihat ayah ibunya mati, darah mewarnai gaun dan jas orang tuanya. Ia tak sanggup, sendinya terasa mati fungsi. Nafasnya tercekat mendengar teriakan pilu orang tuanya.
Apalagi saat orang yang membunuh orang tuanya itu mendekat, karena lampu gedung yang sudah mati kegelapan menyelimutinya, yang bisa ia lihat adalah sepasang bola mata semerah darah. Tak bisa melihat wajahnya, hanya mata itu saja.
Hingga orang itu berdiri didepan Sakura tak bergerak, matanya terasa menjeratnya. Terus menatap tanpa keinginan untuk melepaskan, tatapan tajam yang menjerumuskannya hingga suara dari salah satu kawanan itu menyadarkan mereka, "Ayo!"
Pemuda itu berbalik berniat pergi sebelum Sakura berteriak, "Tunggu!"
Berhenti sebentar untuk menatap kedua emerald ketakutan di belakangnya, sebentar lalu kembali melangkah.
Sakura sendiri saat ini bingung harus bagaimana, batinnya campur aduk. Apalagi ketika ia melihat mayat bergelimpangan ditempat ini yang sebelumnya ramai menjadi genangan darah. Pandangannya kosong.
.
.
.
##
.
.
.
"Kau baik-baik saja Sakura?" tanya pria berambut merah seraya mengangsurkan segelas coklat panas, kedua matanya menatap prihatin adik sepupunya. Ia tahu betul bagaimana rasanya, pasti sangat menyakitkan. Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat berpuluhan orang mati mengenaskan dengan darah bagai sungai tempat itu. Sasori─pria itu hanya menghela nafas.
Semalam ia dengan polisi daerahnya mendatangi rumah sepupu pinknya ini yang dikabarkan ada kejadian pembunuh, tapi ketika didatangi disana keadaan sudah sangat mengerikan. Tak ada lagi yang hidup kecuali Sakura yang saat itu sedang terduduk dibawah tangga dengan pandangan yang kosong.
Manik emerald yang dulu selalu bersinar penuh keceriaan kini redup tak bercahaya. Membuat hati Sasori mencelos.
"Sakura?"
Tetap tak menjawab Sasori menyerah, ia bangkit dari kasur Sakura berniat pergi tapi sebuah suara lemah menghentikan niatannya.
"Sasori-nii, aku bingung."
Alis merah Sasori terangkat, "Bingung kenapa? Apa yang menjadi beban mu saat ini?"
"Aku bingung dengan pikiranku saat ini." Mengeratkan pegangan pada gelas yang tadi diberikan Sasori, emeraldnya menyendu mengingat bagaimana tragedi 2 hari yang lalu dan juga tentang mata salah satu dari mereka.
Mendekat lalu menepuk pelan kepala pink Sakura, "Jangan terlalu dipikirkan, aku ada disini akan selalu menemanimu."
Sakura mengangkat kepalanya, melihat senyum menenangkan Sasori. Mendengarkan kata-kata tulus dari kakak sepupunya itu membuat Sakura tidak tahan menjatuhkan aliran air mata. Ia pun menaruh gelas susu coklat di sampingnya dan memeluk pinggang Sasori, menenggelamkan wajahnya di perut.
"Terima kasih.. Terima kasih nii-san," ujarnya ditengah tangisan yang makin mengeras. Sedangkan Sasori hanya diam di begitukan. Ia sangat tahu betul bagaimana adik sepupunya ini. Kehidupan keras ditengah keluarga yang penuh dengan aturan dan kedisiplinan.
Karena hanya Sakura-lah adik sepupu Sasori dan Sasori sendiri adalah anak tunggal begitu juga Sakura, membuat perhatiannya hanya tertuju pada Sakura. Maka dari itu, Sakura sudah menganggap Sasori sebagai kakak kandungnya sendiri.
"Bagaimana kalau kau bersekolah lagi?"
Menjauhkan wajah lalu mengusap bekas air matanya Sakura menatap iris hazel didepannya, "Apa tidak apa-apa? Aku yang sebagai korban satu-satunya yang selamat di insiden pembantaian pesta lampau ikut membaur di kehidupan manusia normal?"
"Hahahaha.." Mengangkat sebelah aslinya bingung melihat sang kakak yang malah tertawa.
"Kau lucu," mengontrol tawanya yang seakan ingin terlepas kembali mendengar ucapan polos Sakura. "Tentu saja tak ada masalahnya kan? Memang apa salahnya? Memang kau monster? Sampai bilang mereka itu manusia normal? Kau bukan manusia normal ya?" Canda Sasori mengerlingkan mata jenaka membuat bibir peach Sakura memanyun sebal.
"Haha.. Sudahlah besok mulailah bersekolah ya? Aku akan mengurus kepindahanmu."
"Kenapa harus pindah? Kan aku sudah punya sekolah yang lama."
"Tidak Sakura, kau tahu sendiri kan? Mungkin saja para penjahat itu masih mengincarmu, lagipula jarak antara Oto dan Konoha itu sangat jauh. Memang kau mau bolak-balik?"
Menggelengkan kepalanya sebagai sahutan Sakura hanya menurut saja, asal ia masih bisa bersama kakaknya ini. "Ya sudah tak apa. Aku pindah saja." Senyuman merekah di bibir Sakura, hanya dengan Sasori lah Sakura bisa melupakan masalahnya.
"Baiklah."
.
.
.
##
.
.
.
Melangkahkan kaki jenjangnya menuju sebuah gedung sekolah yang akan menjadi tempat pencarian ilmunya selama 1 setengah tahun kedepan, mengingat dirinya sudah menjalani kelas 2 hanya setengah tahun dan disini ia berstatus murid baru.
Tempat yang ia cari adalah ruang kepala sekolah untuk mengonfirmasi dirinya selaku murid pindahan─karena itu sudah menjadi prosedur sekolah.
Sakura Haruno─setelah sedikit perdebabtan dengan kakak sepupunya─akhirnya ia mau juga mulai bersosialisasi kembali setelah dua minggu hanya berdiam diri dirumah disebabkan tragedi dirumahnya.
Ia yang notabene merupakan murid baru tidak tahu sama sekali tentang letak dan seluk beluk sekolah ini dan hanya bertengak-tengok mencari ruangan berpapan 'Kepala Sekolah' tapi sampai saat ini ia sama sekali tak menemukannya, ingin bertanya tapi ia sedikit takut pada murid lain.
Ketika di persimpangan lorong, tiba-tiba saja Sakura merasakan suatu dorongan keras hingga dirinya terjatuh, refleks ia pun mencari sesuatu yang bisa ia jadikan pegangan. Dalam keadaan mata terpejam Sakura sama sekali tak tahu siapa yang ia tarik. Benturan cukup keras mengenai kepala serta punggungnya dan itu cukup membuatnya meringis sakit.
"Aww.."
Merasa ada rintihan lain perlahan Sakura membuka matanya, betapa ia kaget melihat siapa yang terjatuh diatas tubuhnya. Karena wajah orang ini di sebelah lehernya membuat deru nafasnya terasa menggelitik leher membuat Sakura tak bisa melihat orang itu, tapi Sakura yakin orang ini berjenis kelamin laki-laki.
"Aa, kau tak apa?"
Orang itu mengangkat tubuhnya dari atas tubuh mungil Sakura, ternyata seorang pemuda yang sangat tampan. Sampai tatapan Sakura padanya seakan tak bisa lepas dari sebuah pahatan tangan sang Kami-sama.
"Awh! Apa-apaan kau ini? Kalau jalan itu pakai mata!" Bentaknya membuka netra kelam yang secara langsung menjerat tatapan Sakura. Ia terpaku, terdiam dan terjatuh pada lubang hitam tak berdasar mata tersebut.
Seakan pemuda itu tahu kenapa gadis yang menabraknya ini bersikap demikian, ia menarik ujung bibirnya membentuk sebuah seringai yang cukup bisa merusak saluran tenggorokan para kaum hawa untuk sekedar menelan salivanya.
"Kau terpesona padaku ya?" Ledeknya dan sukses mengembalikan kesadaran Sakura, ia tersentak dan langsung memasang wajah cemberut khasnya.
"Siapa bilang? Percaya diri sekali kau?! Minggir!" Mendorong tubuh diatasnya yang sedang ditahan oleh kedua lengan sang pemuda.
Mereka berdiri lalu merapikan seragam masing-masing. "Kau anak baru ya?" tanya pemuda berambut raven mirip pantat ayam itu.
"Iya, kenapa?!" Sungut Sakura langsung melewati pemuda itu namun baru beberapa langkah ia seperti baru sadar akan sesuatu, Sakura membalikan tubuhnya dan untung pemuda pantat ayam tadi belum melangkah jauh darinya, segera saja Sakura berlari menyusul.
"Hei tunggu sebentar!"
Mendengar teriakan yang sepertinya tertuju pada dirinya, pemuda itu berhenti lalu berbalik menghadap gadis tadi.
"Apa? Tadi sudah membentak sekarang mau apa lagi?" tanya sarkatisk pemuda tersebut. Sakura berpikir, pasti pemuda pantat ayam ini sangat angkuh dan sombong yang ukurannya sudah maksimal.
"Maaf soal tadi, aku hanya ingin bertanya dimana ruang kepala sekolah." ujar Sakura tampak malu, apalagi kejadian tabrakan tadi. Ia yang sudah marah-marah sekarang malah meminta bantuan dari orang yang tadi ia bentak.
"Ayo," pemuda itu melangkah didepan dan Sakura hanya mengikutinya dari belakang. Hening, itu membuat Sakura yang memang sedikit berisik jengah juga, jadilah ia lebih dahulu membuka sesi pertanyaan membosankan.
"Namamu siapa?"
"Sasuke."
"Aku Sakura."
"Aku tak tanya,"
Twitch
Mendengar kata-kata─tak dipikirkan dulu mungkin oleh pemuda pantat ayam itu─menampilkan perempatan siku didahi lebar Sakura.
"Hei apa kau tak pernah diajari sopan santun ya?" Kepalan tangan Sakura terangkat menunjukannya pada si Sasuke.
Sasuke hanya menoleh sedikit, "Memang apa pedulimu? Kau bukan ibuku kan?"
"Tsk!"
Setelah itu tak ada niatan bagi Sakura untuk bertanya lagi pada Sasuke, mengingat kata-kata menusuk darinya yang selalu sukses membuat orang menahan sabar.
"Sudah sampai." Mereka berhenti di sebuah ruangan dengan pintu lumayan besar, diatasnya bertuliskan 'HeadMaster'. Ruangan ini sih Sakura sudah pernah melewatinya tadi, kenapa ia merasa tak melihat ruangan ini ya?
"Silahkan selesaikan keperluanmu, aku ke kelas." Meninggalkan Sakura yang nampak mendengus kesal. Baru kali ini ada orang yang sungguh sangat menjengkelkan macam si pantat ayam itu.
"Hei Sasuke, terima kasih." Sakura juga diajari cara berterima kasih dulu. Membalikan badan sedikit Sasuke menampakan senyum yang lebih tepatnya seringai tipis. Sepertinya ia tak pernah tersenyum, sampai tersenyum pun terlihat seperti seringai.
Sepeninggalnya Sasuke, Sakura segera memasuki ruangan tersebut.
.
.
.
Disebuah ruangan kelas yang rata-rata muridnya adalah bukan murid biasa atau lebih tepatnya mereka memiliki kepintar diatas rata-rata. Sebuah kelas yang selalu menghasilkan murid-murid terbaik dan selalu menjadi incaran universitas terkemuka di Jepang itu kini dalam keadaan cukup ramai, mengingat jam masih ada 5 menit lagi sebelum mereka memulai perkerjaan rutin mereka yaitu memeras otak dalam pelajaran.
Seorang pemuda bernetra kelam duduk dibangkunya seraya memakukan mata ke arah buku tebal didepannya. Sudah berkali-kali sahabatnya mencari perhatiannya tapi tak sedikitpun pemuda itu bergeming. Sibuk dengan dunianya.
"Hhh.. Kau benar-benar menyebalkan." Sahabat pemuda tadi yang memiliki iris blue azure kembali pada posisinya menghadap depan. Berniat menenggelamkan kepalanya setelah mengatakan sebuah kalimat yang sukses menarik perhatian dibelakangnya.
"Kau bicara apa tadi hah?!" Menarik surai pirang didepannya, pemuda dengan tagname Uchiha Sasuke nampak tersulut emosinya.
"Aku hanya bercanda teme!"
"Jangan main-main ya! Aku tidak ada hubungan apapun dengan Karin!" Melepas kasar surai pemuda bertagname Naruto Namikaze, Sasuke kembali duduk.
"Ya ya, kalau bukan dengan Karin bagaimana dengan Kin? Dia cantik." Membalikan kembali tubuhnya menghadap Sasuke, wajah Naruto nampak ceria membicarakan hal tersebut.
"Aku bukan tukang seks sepertimu dobe."
"Enak saja seks, otak mesum." Menyutrung kepala Sasuke yang dibalas deathglare sama sekali tak berpengaruh bagi Naruto. Sudah terlalu sering ia di deathglare mematikan khas seorang Sasuke Uchiha─membuat Naruto kebal.
"Aku hanya menawarimu wanita yang mungkin bisa menjadi pacarmu itu. Tuan jomblowati." Mendekatkan wajah tertunduk Sasuke dengan wajahnya ketika mengatakan kata 'jomblowati' dan itu membuat Sasuke tadinya tenang mulai emosi.
"Aww.." satu pukulan berhasil mendarat sempurna di kepala kuning Naruto. Bisa saja pertengkaran keseharian mereka akan berlanjut jika seorang guru tidak masuk ke kelas mereka.
Seorang guru dengan tanda lahir melintang di hidungnya berdiri didepan papan tulis, membuat para siswa yang tadi masih asik dengan temannya segera kembali ke bangku masing-masing.
"Ohayoo." Sapa sang guru ramah
"Ohayoo sensei." yang dibalas ramah juga oleh para murid kelas 2-3 itu.
"Hari ini kita kedatangan murid baru," menarik perhatian para murid yang berseru senang.
"Perempuan atau laki-laki guru?"
"Cantik tidak?"
"Manis, pastinya!"
"Dan seksi."
Kelas kembali ribut, hapusan tak berdosa menjadi korban hentakan guru bernama Iruka Umino pada meja guru. "Tenang semuanya, pertanyaan kalian akan terjawab saat sensei memanggilnya. Ayo masuk."
Seorang gadis berambut soft pink masuk ke kelas tersebut, bisa dilihat dengan jelas dari wajah asingnya kalau ia anak baru. Cukup sulit menelan saliva para lelaki melihat fisik gadis itu yang menantang mata mereka untuk terus memandangnya tanpa niatan untuk melepaskan.
"Konichiwa, perkenalkan nama saya Sakura Haruno. Pindahan dari Oto. Salam kenal semuanya." Ia membungkuk memberi hormat, menjatuhkan helaian pinknya ke bawah. Mengembalikan posisinya Sakura mengukir senyum manis yang membuat para lelaki dikelas tersebut meleleh seketika sedangkan para gadis, kepala mereka sudah bisa kita gunakan untuk memasak air mungkin karena betapa panas mereka saat ini menahan cemburu. Tapi itu sebagian, dan sebagian lagi tersenyum membalas.
Berbeda dengan kedua pemuda duduk di belakang pojok dekat jendela yang cukup terkenal dikalangan sekolah, mereka diam tak bereaksi terhadap Sakura sedikit pun.
"Nah, kau bisa duduk di belakang Sasuke Uchiha, tolong angkat tanganmu Uchiha-san."
Pemuda bernama Sasuke Uchiha mengangkat tangannya dan itu berhasil membulatkan netra Sakura, "Kau!" Serunya menunjuk Sasuke.
"Hn."
Sedangkan dibelakang sana Naruto membalikan tubuhnya menghadap Sasuke kemudian membisikan sesuatu, "Kau mengenalnya teme?"
"Hn." Seperti biasa tak ada kosakata lain selain sebuah gumaman khas seorang Sasuke.
Menuruti perintah guru barunya─Iruka, Sakura melangkahkan kaki jenjangnya menuju bangkunya─dibelakang Sasuke.
Suara desahan kecewa mulai membisingkan suasana lagi, Iruka langsung mengambil tindakan dengan memukul hapusan ke meja seperti biasa Membuat kegaduhan sementara dikelas tersebut berhenti.
"Wah kita bertemu lagi ya Sasuke Uchiha." Goda Sakura dibelakang Sasuke yang sibuk menyiapkan pelajaran jam ini. Tidak tertarik sedikitpun dan memilih mengacuhkan apa saja yang dikatakan Sakura.
"Sombong sekali kau, eh?"
"Masalah buatmu?" Terhenti sudah kalimat godaan Sakura, entah mengapa sifat gugupnya hilang jika dengan Sasuke yang mungkin gadis biasa bukan pemilik sifat gugup sekalipun pasti akan tergagap jika berbicara dengannya apalagi berhadapan. Tapi Sakura sendiri lebih berani.
"Hoi yang dibelakang, salam kenal ya!" Bisik pemuda bangku depan Sasuke sedikit bersemangat.
"Ha'i. Salam kenal." Sahut Sakura membalasnya dengan senyum.
"Namaku Naruto."
"Aku Sakura."
"Kembali ke depan, dobe!" Akhirnya sesi perkenalan antara Sakura dengan pemuda bernama Naruto itu berhenti ketika si pengganggu Sasuke Uchiha muncul.
"Dasar!"
Sasuke merasa pernah melihat mata macam milik Sakura. Tapi dimana kira-kira?
.
.
.
To be Continued
.
.
A/N:
Pertama.. makasih banyak buat Hane no Aozora -san, berkat anda akhirnya saya me-republish fict ini dan me-editnya sesuai saran anda. Maaf kalau ternyata masih saja ada typo, rancu dan kesalahan lainnya.
Iya, saya re-publish karena saya rasa fict kedua saya di pair SasuSaku ini banyak banget kesalahannya. Dari nama 'Sasori' yang sebelumnya jadi 'Sashori', kesalahan tanda baca dan lainnya. Ngga pede sih, soalnya saya jarang nulis di pair SasuSaku.
Boleh minta review? Kritik, saran, pendapat, apapun.. bahkan flame! tapi dimohon kalau flame login ya ^_ biar bisa ngobrol.
Sekian.. Terima kasih ^^
Mind to RnR?
.
.
.
