Suara jarum jam yang bergerak setiap detik di dalam kamar bernuansa putih dengan tambahan ornamen-ornamen estetik di beberapa bagian seolah menjadi saksi bisu dari setiap kegiatan yang di lakukan oleh sang pemilik kamar yang 1,5 tahun lamanya hanya berada tak jauh-jauh di dalam kamar atau sekedar pergi keluar selama beberapa waktu. Sama hal nya dengan apa yang di lakukan seseorang disana sekarang. Sosok pria jangkung bersurai dark chocolate itu masih berbaring dalam posisi telentang di atas tempat tidur. Tatapannya kosong, dadanya naik turun dengan irama lambat, sepasang obsidian hazel itu terpejam setelahnya, lalu menarik nafas panjang. Tubuh jangkung itu bergerak ke samping, kedua tangannya meraih bantal di atas kepalanya kemudian memeluknya dengan cukup erat.
Tatapannya jatuh pada sosok yang ada di dalam bingkai foto yang terpajang di atas meja. Senyuman simpulnya terbentuk, kemudian salah satu tangan miliknya meraih bingkai foto dan membawanya lebih dekat ke hadapannya. Wajah manis milik sang gadis yang tengah tersenyum lebar dengan sebuah buket bunga ditangannya setidaknya menghibur hatinya setiap kali pria itu berada diposisi seperti sekarang. Kesepian.
Namanya Irene , gadis yang sekarang seharusnya telah menginjak usia 25 tahun itu adalah kekasih dari Johnny Seo selama 3 tahun lamanya, dan sekarang gadis itu tak ada lagi di sampingnya. Bukan karena ia berada di luar negeri sana untuk mengenyam pendidikan ataupun bekerja, tapi gadis itu pergi untuk selamanya. Hanya ada foto-foto yang Johnny simpan di dalam ponsel dan juga di dalam bingkai seperti dalam pegangannya sekarang dan juga beberapa video yang bisa membuat rasa rindu Johnny berkurang setelah mendengar suaranya setiap detik.
Johnny tahu ia gila, bahkan semua orang memang menganggapnya seperti itu setiap Johnny tak pernah mau di ajak untuk mengikuti acara makan malam atau sekedar menghadiri rapat perusahaan milik sang Ayah. Bahkan sepupunya sendiri, Jung Jaehyun, tak akan sanggup menghadapi sikap Johnny yang sudah masuk batas keterlaluan. Pria jangkung berkulit seputih susu itu bahkan sudah sering mendapat ocehan yang masuk kategori keterlaluan dan juga tinjuan keras yang mendarat di wajahnya.
"Johnny Hyung!"
Kedua pupil matanya bergerak ke arah samping, kepalanya menoleh ke arah pintu kamar yang tertutup rapat begitu suara husky milik Jaehyun terdengar dari arah luar, diikuti dengan suara ketukan pintu. Johnny bangkit, kemudian memindahkan bingkai foto tersebut ke atas ranjang. Kedua kaki telanjangnya melangkah ke arah pintu, kemudian tepat setelah pintu ber cat putih itu terbuka, sosok Jaehyun langsung menatap Johnny dengan tatapan lembut. Senyuman lebarnya mengembang sesaat kemudian belah bibirnya terbuka.
"Kau sudah makan? Mau makan diluar?"
"No."
"Kenapa?"
"Tidak, aku sudah muak dijodohkan terus olehmu Jeffrey."
"Ayolah Hyung, aku hanya ingin mengajakmu makan siang diluar, tidak akan ada perjodohan lagi karena sejujurnya aku sudah muak mempermalukan diriku karena dirimu."
"Terakhir kali kau berkata seperti ini dan aku menemukan seorang gadis yang kalau tidak salah bernama Jennie"
"Aku bersumpah tidak ada lagi para gadis. Jadi cepatlah ganti pakaianmu, aku akan menunggu diluar."
.
.
.
Starlight Cafe
"Kau mau pesan apa Hyung?"
"Americano."
"Kau minum Americano lagi huh? Minum kopi terlalu banyak dan sering itu tidak bagus untuk kesehatanmu Hyung, apalagi kau sudah jarang makan sampai kurus seperti sekarang."
Pria jangkung itu langsung mendelik ke arah Jaehyun yang barusan terdengar mengkritik dirinya. Sedangkan Jaehyun terkesan masa bodoh, ia hanya fokus pada deretan menu yang tertera kemudian memanggil pelayan.
"Anda ingin pesan apa?"
"Aku pesan Steak dua porsi dan dua jus jeruk."
"Hei aku tidak pesan itu Jung!"
Pelayan tersebut terdiam sejenak, kemudian menatap Jaehyun dengan wajah bingung.
"Ah tidak apa-apa, aku pesan itu. Tolong cepat sedikit ya.."
"Aku sudah bilang ingin Americano, bukan jus jeruk."
"Dengar Hyung, aku berniat baik. Sekali-kali kau perlu hidup sehat atau bila perlu kembali ke kehidupan yang normal sebelum... Irene noona meninggal."
Johnny refleks memicing ke arah Jaehyun yang tengah menarik nafas, membuat Johnny terdiam sepenuhnya dalam waktu yang lama hingga pelayan tersebut kembali dengan makanan yang sudah di pesan oleh Jaehyun.
"Terima kasih. Ah maaf, bisakah aku pesan strawberry smoothie?."
Pelayan pria itu menganggukkan kepalanya lagi kemudian melangkah pergi dari hadapan keduanya.
"Smoothie untuk siapa?"
Johnny langsung mengajukan pertanyaan untuk Jaehyun, namun saat pria bermarga Jung itu ingin menjawab, kehadiran sosok pria kecil bersurai cokelat keemasan langsung membuat senyuman manis Jaehyun terbentuk.
"Dia datang Hyung.."
Kemudian Johnny menoleh ke arah belakang, perhatiannya jatuh pada sosok yang disebutkan Jaehyun yang melangkah ke arah meja Johnny dan Jaehyun.
"Kau datang Hyung?"
"Siapa ini? Temanmu huh?!"
"Ah.. Taeyong Hyung perkenalkan, ini Johnny Hyung. Dan Johnny Hyung, perkenalkan. Dia Lee Taeyong, uhm... Kekasihku."
Johnny refleks membulatkan kedua matanya begitu Jaehyun mengucapkan kata-kata terakhir dengan sedikit berbisik.
"M-mwo?! Kau.. menyimpang?!"
"Ssshhhh! Johnny Hyung! Pelankan bicaramu."
Jaehyun sedikit berteriak begitu ia sadar ada beberapa orang yang memperhatikan ketiganya setelah Johnny kelepasan. Pada akhirnya Johnny hanya bisa memijit pelipisnya secara perlahan, ia pikir masalahnya sudah cukup banyak sekarang, dan Jaehyun semakin memperburuk semuanya dengan menjalin hubungan dengan seorang pria. Johnny tak masalah hanya saja kalau kedua orang tua Jaehyun tahu, maka tamat sudah riwayatnya.
"Aku tidak ingin ikut campur, jadi kalau orang tuamu tahu, jangan seret aku ke dalamnya. Do you understand?"
Jaehyun langsung menganggukkan kepalanya cepat kemudian tersenyum manis ke arah Taeyong. Johnny kembali pada menu makan siangnya hari ini, kedua tangannya bergerak mengendalikan pisau dan garpu yang tengah mengoyak steak bertekstur cukup lembut tersebut.
"Jadi apa yang ingin kau bicarakan?"
"Ah itu.. Aku pikir aku butuh bantuan. Orang ini punya masalah yang membuat sikapnya berubah drastis. Aigoo, bahkan dia sudah terlihat cukup kurus."
"Orang itu? Siapa?"
Jaehyun langsung mengarahkan wajahnya ke sosok Johnny yang masih sibuk memotong hidangan steak, kemudian pria berlesung pipi itu dengan seenaknya menunjuk Johnny dengan mengangkat dagunya, membuat Taeyong paham pada akhirnya.
"Ah.. Johnny?"
Johnny langsung mengarahkan kedua obsidian cokelatnya ke arah Taeyong, lalu menatap ke arah Jaehyun.
"Whats wrong?"
Tapi sepertinya Jaehyun lebih suka berbicara kepada Taeyong ketimbang meladeni pertanyaan Johnny barusan.
"Jadi begini Hyung, pria sialan ini mengalami gangguan psikologis, jadi kau kan seorang psikolog. Aku minta bantuan Hyung untuk membantu Johnny Hyung keluar dari kekangan masa lalunya."
"Apa yang kau katakan? Aku tidak mengalami semua itu."
"Dia bahkan sering marah padaku bahkan menghajarku Hyung. Bukankah itu menyeramkan? Jadi aku mohon bantulah aku..."
"Hei Jung Jaehyun!"
Johnny hampir saja mengumpat jika saja ia tidak melihat perhatian semua pengunjung yang mengarah padanya. Tatapan tajamnya menusuk Jaehyun, mengerang pelan kemudian menghempaskan pisau dan garpu di tangannya begitu saja.
"Tidak bisakah kau membuat hidupku lebih tenang dengan menghormati semua tindakanku?"
"Dan tidak bisakah Hyung membuat hidupku lebih tenang tanpa ada rasa khawatir sedikitpun? Dengar Hyung, aku melakukan ini demi kebaikanmu. Semua yang kau lakukan sangatlah buruk hingga membuatku sulit untuk tidur. Aku takut kau akan melakukan hal buruk, maka dari itu aku meminta bantuan Taeyong Hyung. Ayolah, kali ini saja."
Johnny tak menjawab, nafasnya sudah mulai stabil dari sebelumnya. Membuat Johnny menarik nafas panjang kemudian menatap Jaehyun dengan tenang.
"Bisa.. Kan?"
Nada bicaranya seakan mencari jawaban pasti dari balik lidah Johnny yang mungkin masih membeku itu. Selanjutnya Jaehyun tersenyum lebar, mendekatkan wajahnya ke arah Taeyong yang sedang menyeruput smoothie pesanan Jaehyun.
"Bagaimana Hyung?"
Pria yang lebih kecil melirik Jaehyun dan Johnny secara bergantian dengan sepasang mata besarnya. Menjauhkan sedotan dengan bibir cherry miliknya kemudian tersenyum canggung.
"Hehe.. Aku tidak bisa membantumu John, pekerjaanku cukup banyak dan aku masih harus menangani banyak pasien. Tapi jangan khawatir, aku punya teman yang mungkin bisa membantu. Tapi dia errrr... Well, kelakuannya agak buruk, jadi aku harap kau tidak membuatnya marah, kesal, atau dia akan membunuhmu."
"Wait a second.. Kau mau memberiku psikolog yang bahkan jauh lebih gila daripada aku? Dan apa-apaan itu? Aku tidak boleh membuatnya marah ataupun kesal? Jadi siapa sebenarnya yang psikolog disini? Dia atau aku?"
"Ah tidak masalah, mungkin dengan begitu Johnny Hyung bisa lebih rileks."
"Rileks bokongmu! Bisa-bisa aku terkena serangan jantung Jeff!"
.
.
.
Pintu ruangan pribadi berbahan kaca non transparan itu terbuka, menampilkan sosok kecil dengan wajah datarnya. Sosok pria yang tengah duduk di tempatnya itu mengangkat perhatiannya, kemudian memberi isyarat kepada pria cantik tersebut untuk duduk di hadapannya. Nama Kim Junmyeon tertera di desk name berbahan akrilik yang tertata rapi di atas meja. Pria berkulit pucat itu menatap sosok yang lebih kecil kemudian memajukan kepalanya sedikit.
"Tuan Chittaphon Leechaiyapornkul.. Kau tahu kenapa aku memanggilmu kemari?"
"Tidak Sajangnim.."
Junmyeon langsung menarik nafas, kemudian mengambil beberapa dokumen dari dalam nakas. Pena ditangannya mencoret lembaran kertas di hadapannya kemudian ia berdehem sejenak.
"Aku lihat kinerjamu kurang bagus dalam mengurus masalah pasienmu. Kau tahu sudah berapa banyak pasien yang complain karena kau tidak becus memecahkan masalah mereka?"
Sosok bernama Chittaphon atau yang lebih sering di sebut Ten itu mendengus keras kemudian menatap Junmyeon dengan tatapan datarnya.
"Sajangnim.. Bukannya aku tidak becus, hanya saja mereka bahkan tidak mengerti kalau aku melakukan hal yang benar untuk memulihkan tekanan mental mereka. Tapi sebelum aku melakukan itu mereka justru mengadu padamu padahal mereka tidak tahu apapun"
"Dengar, aku tidak tahu masalahmu dengan para pasienmu itu. Yang jelas mereka terus mengatakan kalau kau sering memarahi mereka bahkan menyumpahi mereka dengan perkataan kasar."
"Maaf Sajangnim, tapi aku marah bukan tanpa alasan. Siapa yang tidak marah jika terus mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari pasien? Aku ini psikolog mereka, tapi kenapa mereka tidak bisa menghormatiku sedikit saja? Dan untuk sumpah serapah itu, Sajangnim tahu sendiri kalau aku memang seperti itu kan? Bahkan semua orang disini sudah sering aku sumpahi termasuk dirimu Sajangnim."
Junmyeon melemparkan tatapan tajamnya ke arah Ten, kemudian memijit pelipisnya pelan. Dokumen berisi protes para pasien Ten yang dikirim melalui e-mail di hempaskan pria itu dengan sedikit kasar.
"Dengar, aku tidak mengerti. Tapi sebagai psikolog harusnya kau memberi iktikad baik dengan pasienmu. Apa kata pasien kalau psikolog yang mengurus masalah mereka bahkan hanya menambah pasien tertekan. Memarahi dan menyumpahi pasien itu perbuatan buruk. Aku tidak mengerti kenapa kau bisa menjadi seorang psikolog!"
"Dan aku tidak mengerti bagaimana bisa kau menerima psikolog gila sepertiku Sajangnim."
"Aku bahkan menyesal sudah menerimamu! Dengar?!"
"Kalau begitu pecat saja aku! Kau pikir tidak ada kantor lain yang mau menerimaku? Aku bahkan bisa mendirikan kantor pribadiku!"
"Dirikan saja! Kau pikir ada yang mau datang dan berkonsultasi dengan psikolog gila sepertimu?! Lain kali kalau sikapmu masih begini akan ku tendang kau keluar perusahaan!"
"Tendang bokongku saja kalau begitu! Yaiishh menyebalkan! Bagaimana bisa aku bekerja di tempat mengerikan ini huh?"
Yang lebih kecil langsung bangkit dengan sedikit kasar, kedua tangannya menggebrak meja sambil beradu pandang dengan Junmyeon. Dadanya naik turun kemudian suara dengusan kasar itu terdengar di telinga Junmyeon sampai pada akhirnya Ten melangkah ke arah pintu keluar yang sudah dikelilingi oleh para psikolog lainnya.
"Ya! Lain kali akan ku pecat kau!"
Well, suara teriakan Junmyeon tak dihiraukan oleh Ten. Sedangkan psikolog lain masih betah berkumpul di depan pintu sambil memperhatikan Junmyeon dan juga Ten yang sudah keluar ruangan.
"Apa yang kalian lihat?! Pergilah!"
Sampai pada akhirnya kesabaran Junmyeon hampir habis. Suara teriakannya menggema di dalam ruangan, mengusir para pegawai yang lain untuk tidak memperhatikannya dari luar ruangan. Pria berusia 35 tahun itu sudah cukup lelah menghadapi sikap Ten yang keras kepala dan sedikit kekanakan. Mereka bahkan sudah sering berdebat dan menarik perhatian, namun siapa peduli? Ten bahkan tidak pernah merasa takut sedikitpun karena baginya Junmyeon sudah seperti Hyung-nya sendiri -hanya terkadang-
"Ten Hyung, apa yang sudah kau lakukan?"
Suara lembut dari sosok lain yang jauh lebih tinggi daripada Ten itu mengalihkan perhatian sang pria kecil ke arahnya. Hanya sekedar tatapan sekilas kemudian Ten kembali memasukkan beberapa barang bawaannya ke dalam tas kerja.
"Menurutmu apa? Orang gila itu terus memarahiku tanpa henti!'
"Kenapa Hyung marah? Sajangnim benar kan? Kinerja Hyung memang agak buruk"
Mendengar perkataan milik pria bernama Kim Jungwoo, Ten langsung memicingkan kedua matanya dengan tatapan menusuk. Tas kerja miliknya langsung disambar dengan cepat, lalu suara umpatan kecil keluar dari bibir cherry itu. Setidaknya tidak sampai ke telinga Jungwoo.
"Kau juga sama saja, kalau saja aku boss mu maka aku akan memecatmu detik ini juga Kim Jungwoo!"
Langkah kaki Ten menghentak lantai dengan keras, mengalihkan perhatian pegawai lain yang tengah sibuk dengan urusan masing-masing.
"Tapi Hyung tidak di pecat kan?"
"Sekalipun aku dipecat maka aku dengan senang hati akan keluar dari tempat gila ini Jung!"
Well, terkadang Jungwoo memang bingung, sulit memahami Hyung nya yang satu itu sekalipun ia adalah seorang Psikolog, sama seperti Taeyong dan juga Ten. Mood pria itu lebih cepat berubah dan sulit dipahami. Berbeda dengan Taeyong yang lebih tenang meskipun terkadang sama gilanya dengan Ten. Bahkan Jungwoo yang notabenenya lebih muda 2 tahun dari Ten selalu merasa lebih dewasa daripada Ten, dan semua orang memang mengakui itu.
"Kenapa aku harus tinggal disekitar orang-orang gila?"
.
.
Johnny masih melangkah menyusuri trotoar sambil mengotak-atik ponsel miliknya. Ia sendirian, padahal awal mulanya ia pergi bersama Jaehyun, tapi sayangnya Jaehyun harus mengantarkan Taeyong pulang ketimbang mengantarnya ke rumah. Jika Johnny tahu akan seperti ini maka ia akan membawa mobil pribadi. Namun ia pikir kesialan memang tengah berpihak padanya, orang yang sangat ia cintai tewas dalam kecelakaan pesawat sekitar 1,5 tahun yang lalu. Membuat Johnny terus berada dalam situasi dimana ia benar-benar menyesali semua perbuatannya di hari itu.
Lalu sekarang ia menutup diri, jauh dari khalayak umum karena tekanan batin yang terus menuntut dirinya untuk tak henti-hentinya menyebut kata maaf pada sosok Irene yang berada di dalam foto. Dan sekarang Jaehyun dengan seenak hati menyuruh dirinya berkonsultasi dengan seorang psikolog, bahkan sepupunya itu dengan senang hati membayar mahal untuk sang psikolog yang merupakan teman kerja Taeyong agar ia bisa mengurus Johnny lebih lama dan secara rutin.
Langkah kaki Johnny terhenti tepat di depan halte untuk mencari taksi yang lewat dan mengantarnya pulang ke rumah. Jalanan tak terlalu ramai, sedangkan beberapa kendaraan umum sibuk berlalu lalang di jalanan. Sampai pada akhirnya suara langkah kaki yang mendekat ke arahnya membuat Johnny mengalihkan perhatiannya ke arah sosok pria kecil berpakaian rapi dengan wajah kusutnya. Pria itu terus menggerutu sambil menoleh ke arah datangnya kendaraan untuk menunggu bus yang akan tiba. Perhatian Johnny masih tertuju ke arah sosok Ten, tanpa ucapan ataupun sekedar berdehem pada sosok pria kecil itu.
Satu detik kemudian, manik hitam besar itu melirik ke arah Johnny melalui ekor matanya, ia bisa menangkap basah Johnny yang tengah memperhatikannya meskipun tak terlalu terlihat jelas. Pada akhirnya Ten menoleh dengan cepat, keningnya mengernyit dengan wajah kesalnya. Membuat Johnny sedikit tersentak karena pergerakan Ten yang yang terlalu tiba-tiba itu.
"Hei kau! Apa yang kau lihat huh?! Yaishhh semua orang menyebalkan!"
Johnny tak merespon, justru ia hanya menahan tawanya sambil mengumpat karena ini pertama kalinya ia melihat orang aneh seperti pria kecil yang tengah berdiri di sampingnya. Pertemuan keduanya tak berlangsung lama, tepat setelah bus selanjutnya datang, Ten melangkah masuk ke dalam dan duduk menempati bangku kosong di dekat jendela. Sedangkan Johnny masih disana, ia tak berniat masuk ke dalam bus karena ia memang kurang suka berada di dalam kendaraan umum yang berdesakan. Lelaki bermarga Seo itu menarik nafas kemudian sedikit mendongakkan kepalanya ke arah Ten yang kembali menatap tajam ke arahnya tanpa alasan.
Well, Johnny pikir mungkin moodnya orang itu sedang buruk. Atau mungkin pria itu memang punya gangguan kejiwaan.
.
.
.
TBC/NO?!
Hello hai, im back after a long long time /lebay/ ff ini muncul karena rasa rindu yang mendalam terhadap Johnten /uwuu/
Well, buat yang nunggu last chapter a lot like love, sorry ya.. Gw belum bisa selesain meskipun udah gw rancang. Lagi mager, bentar lagi UNBK -_-
Semoga ff kali ini lancar /aminn/ tanpa ada hambatan dalam update akibat mager dan sibuk. Gw gatau bakal banyak yg baca atau enggak, yang jelas bakal banyak siders :'))) well, hope you like it deh.
