Tiga Cinta
Harry Potter © J. K. Rowling
Tiga Cinta © aniranzracz
Chapter 1
Chapter ini untuk kalian semua yang udah baca chapter satu yang belum dirombak :D hehe. P.S: ini dirombak habis-habisan, sih.
a/n: 1. Sepertinya yang jadi Kepala Auror itu Harry, tapi demi kepentingan cerita*plak*Dawlish yang jadi Kepala Auror, Harry jadi Kepala Auror... entah berapa tahun lagi*plak*
2. Lily, Rose, Scorpius 5 tahun. Al 6 tahun. James 7 tahun.
"Aku sudah menargetkan anak-anakku masuk di Gryffindor," kata Harry sambil tersenyum, tangan kanannya menggenggam tangan Ginny erat. "Yah, aku di Gryffindor, Ginny di Gryffindor. Kedua orangtuaku di Gryffindor, dan seluruh keluarga Ginny di Gryffindor juga."
"Jadi? Kalau mereka ada di Slytherin, bagaimana?" pancing Draco sambil menyeringai. Seringaian itu tidak berubah sedikitpun sejak ia masih kecil hingga sekarang. "Dulu, Daily Prophet sempat mengabarkan bahwa kau pernah dibujuk oleh Topi Seleksi untuk masuk di Slytherin, tapi kau menolak."
"Sial," tanggap Harry. Ron—yang juga ada di sana—tertawa. Harry melanjutkan, "Aku tak tahu mereka dapat kabar dari mana tentang itu. Tapi, ya, mereka betul. Aku pernah dipaksa oleh Topi Seleksi supaya masuk di Slytherin."
"Jadi? Kalau ada salah satu atau malah ketiga-tiga anakmu masuk Slytherin, bagaimana?" tanya Draco.
"Ya, tidak apa-apa. Toh mereka masuk Slytherin karena sifat mereka menurun dariku," kata Harry. "Tapi menurutku, sifat-sifat Slytherin-ku sudah hilang sejak jiwa Voldemort hilang dari diriku sendiri. Jadi, anakku tidak mungkin masuk Slytherin."
"Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, Harry," kata Astoria—seperti mewakili Draco—sambil tertawa kecil. "Jika kulihat dari fisik dan sifat serta sikapmu, Albus sangat mirip denganmu. Mungkin dia masuk Slytherin?"
"Tak apa-apa," kata Ginny sambil tersenyum. "Aku tak mau memusingkan mereka masuk asrama manapun. Aku menyerahkan urusan itu pada Topi Seleksi, dan aku percaya Topi Seleksi bisa memberikan yang terbaik."
"Bagaimana... kalau Topi Seleksi sudah menentukan yang terbaik untuk anakmu, tapi anakmu sendiri membantah keputusan itu?" pancing Draco lagi. "Seperti Harry? Dia sudah ditentukan di Slytherin, tapi dia ngotot di Gryffindor. Bagaimana itu, Gin?"
"Aku percaya anak-anakku tidak ada yang sebandel Harry," tanggap Ginny santai, sekaligus lucu. Tanggapannya itu membuat Ron, Hermione, Draco, dan Astoria tertawa. Tidak dengan Harry yang mengernyit.
"Kaubilang aku bandel, Gin?" tanya Harry memastikan. "Aku tetap suamimu walaupun aku bandel, kan?"
"Yes, Honey," kata Ginny sambil tersenyum, ia tidak ingin suaminya ngambek lagi hanya gara-gara masalah sepele seperti itu. Yeah, Harry adalah orang yang sensitif. "Mau kau baik, jahat, kejam, atau bandel seperti yang kaubilang tadi, kau tetap suamiku."
"Kalau anakku, mereka harus di Gryffindor jika ingin mendapat warisan," kata Ron, mengembalikan topik pembicaraan.
Hermione langsung memukul lengan Ron, mengabaikan tawa yang semakin keras dari Draco, Harry, Ginny, dan Astoria. "Mereka bisa di mana saja, Ron! Jangan membuat mereka tertekan hanya karena itu!"
Ron mengusap-usap lengannya yang dipukul oleh Hermione. "Ya! Ya! Terserahlah!"
Setelah tawanya mereda, Ginny bertanya pada Astoria dan Draco. "Bagaimana dengan Scorpius? Apakah kalian akan memaksa dia ada di Slytherin? Seperti kalian? Atau kalian akan membiarkan dia masuk asrama manapun sesuai sifatnya?"
"Sepertinya pilihan yang terakhir," kata Draco dan Astoria berbarengan.
"Kalian kompak sekali," komentar Hermione sambil tersenyum menatap kecocokan antara pasangan Malfoy muda di depannya ini.
Keluarga Potter, dan Weasley, saat itu memang sedang bertamu ke rumah keluarga Malfoy. Malfoy Manor yang megah. Well, sebenarnya yang hadir saat itu tidak hanya orangtua-orangtua saja, anak-anak juga ada—kecuali Hugo—tetapi Al, James, Lily, dan Rose sedang asyik bermain di ruang bermain khusus milik Scorpius, sambil diawasi oleh Sprinkle—salah satu Peri-rumah di keluarga Malfoy.
Ruang bermain khusus milik Scorpius, memiliki banyak mainan—baik mainan Muggle seperti robot-robotan atau mainan sihir seperti tongkat sihir mainan. Ruang itu didominasi oleh warna hijau tua—khas Slytherin—yang merupakan warna kesukaan Draco dan Astoria. Scorpius juga suka warna itu, karena ia sudah dikenalkan dengan warna itu sejak ia masih berupa bayi.
Ia bahkan mempunyai kamar dengan wallpaper hijau, bed cover hijau, dan atribut-atribut lain yang berwarna hijau sejak bayi. Yang memilihkan semua barang itu tentu saja adalah Ibu tercinta, Astoria Malfoy.
Dan biasanya, ruang bermain itu kosong. Kadang-kadang saja Scorpius bermain di dalamnya—bersama Sprinkle—tapi kali ini ruang bermain itu penuh dan sangat ramai. Seharusnya, tidak usah memakai kata 'sangat' sebelum kata 'ramai' karena yang mengisi ruangan itu sekarang hanyalah 6 makhluk saja, tapi itu sungguhan. Sebuah ruangan jika James ada di dalamnya, terasa seribu kali lebih gaduh dari seharusnya. Apalagi jika James sudah bergabung dengan Fred Jr. yang nakalnya sudah sama-sama keterlaluan.
Jika suatu toilet meledak, dan mereka berdua mengaku tidak melakukan itu—meledakkan toilet—sambil memasang wajah-wajah paling manis dan tak bersalah di antara beberapa wajah lainnya, jangan tertipu dulu. Bisa saja wajah Al yang paling mencurigakan, tapi 'garong' sebenarnya adalah James dan Fred Jr.
Yah, kembali lagi ke ruang bermain milik Scorpius. Ruang bermain Malfoy Manor sekarang sangat ramai. Lily—putri bungsu Harry dan Ginny Potter—sedang asyik bermain bersama Rose—putri sulung Ron dan Hermione Weasley. Sprinkle—Peri-rumah keluarga Malfoy—tertidur di pojok ruangan. Dan sementara itu, Al dan James—putra Harry dan Ginny—sedang mengganggu Scorpius yang asyik bermain tongkat sihir mainan.
Scorpius menyihir sebuah bebek-bebekan dari tongkat sihir mainan tersebut. Al dan James segera mengambil bebek-bebekan itu.
"Scorpius, kalau kamu mau, James bisa membawakan Scorpius bebek-bebekan yang lebih besar dari hasil sihiran Scorpius itu, lho!" seru James antusias, disambut dengan anggukan dari Al. Scorpius hanya diam dan tetap melambai-lambaikan tongkatnya.
"Ini dihancurkan saja!" seru James lagi sambil menunjuk bebek-bebekan. Lalu, tanpa dikomando, James menginjak bebek-bebekan yang ternyata bisa mengeluarkan suara itu. Al langsung mengikuti tingkah nakal James.
Scorpius hanya diam melihat James dan Al yang asyik menginjak-injak bebek-bebekan hasil sihirannya. Yeah, untuk apa protes, toh Scorpie bisa menyihir bebek-bebek lain, pikir Scorpius.
Scorpius lalu menyihir bebek-bebekan lainnya.
Melihat Scorpius menyihir bebek-bebekan lewat tongkat sihirnya dan bebek-bebekan yang sudah ia injak bersama Al tadi sudah gepeng, James langsung bersemangat. "Al! Banyak bebek busuk untuk diinjak!"
Mereka berdua menginjak-injak lagi bebek-bebekan yang sudah disihir oleh Scorpius lewat tongkat sihir mainannya.
Begitu terus, sampai akhirnya...
"Brownies datang, Anak-anak, Master Scorpius," ujar Peri-rumah perempuan tua yang murah senyum. Namanya Alania. "Silakan dimakan, Alania pergi dulu, membangunkan Sprinkle."
Al dan James segera menyerbu brownies—kue bantet Muggle—yang ditaruh oleh Alania di sebuah meja plastik hijau. "Enak! Ini kue Muggle, ya? Mum dan Dad tidak pernah membelikan Al atau memasakkan Al kue seperti ini!" seru Al.
"Jangan norak, Al!" seru James sambil menggoyang-goyangkan jari telunjuknya di depan wajah Al sambil mencomot brownies. Ia masih bisa mengatakan sesuatu walaupun mulutnya penuh dengan brownies—jelas, karena satu kue langsung ia kunyah—dan tangannya belepotan cokelat. "James malu main sama Al kalau Al norak!"
Scorpius—yang menyadari kalau Al dan James sudah asyik menyerbu brownies dan lupa akan bebek-bebek sihiran Scorpius—langsung berjalan keluar, meninggalkan tongkat sihir mainannya. Ia hendak pergi ke kamar dan bermain di sana saja. Well, ia tidak suka diganggun. Lagipula, di kamar itu juga ada robot-robotan kesukaannya.
Lily melihat Scorpius yang berjalan keluar ruang bermain di tengah-tengah kesibukannya bermain boneka bersama Rose. Kasihan Scorpius, pikir Lily.
"Kenapa, Lils? Bosan main boneka, ya?" tanya Rose. "Lily mau brownies?"
Lily menggeleng. "Enggak. Ngomong-ngomong, kasihan Scorpius, ya!"
Rose mengangguk. "James dan Al memang nakal. James dan Al suka sekali mengganggu Scorpius yang asyik main sendirian."
"Scorpius juga salah," komentar Lily. "Scorpius gak mau ngelawan Al dan James, sih!"
"Ngelawan-ngelawan itu gak baik lho, Lils," tanggap Rose. "Lebih baik Scorpius bilang aja keUncle Draco sama Aunt Astoria, atau sekalian Uncle Harry sama Aunt Ginny!"
"Ih! Lily gak suka! Masa ngelapor-ngelapor gitu, sih?" protes Lily.
Belum sempat Rose membuka mulut untuk menanggapi protesan Lily, Lily sudah memotong Rose lagi. "Rose, mau gak kita ikut ke kamar Scorpius? Kasihan lho, Scorpius main sendirian."
Rose berpikir sejenak, lalu ia mengangguk. "Ayo."
Dua gadis kecil ini pun beranjak pergi meninggalkan ruang bermain, meninggalkan James yang masih menceramahi Al tentang kenorakan sambil menghabiskan kue brownies dan tidak menyadari kalau tiga orang lain sudah meninggalkan tempat itu.
Scorpius duduk di atas karpet sambil memainkan robot-robotannya ketika Lily dan Rose masuk ke kamar Scorpius. Yeah, mereka berdua—gadis cantik ini—gampang masuk ke dalam kamar Scorpius karena Scorpius sendiri tidak pernah menutup pintu kamarnya, bahkan ketika malam—malam-malam Scorpius tidak berani tidur sendiri, sehingga ia tidur di kamar orangtuanya.
Scorpius tidak pernah menutup pintu kamarnya karena ia—yang masih belum tinggi—belum mampu meraih gagang pintu kamarnya dan tentunya tidak bisa membuka pintu itu selain jika dibantu. Dan Scorpius terlalu malas untuk memanggil salah satu Peri-rumah atau ibunya sendiri. Jadi, agar tidak repot, ia buka saja pintu kamarnya itu.
"Lily sama Rose mau apa ke kamar Scorpie?" tanya Scorpius.
"Mau temenin Scorpie," jawab Lily. "Kasian Scorpie main sendirian dan digangguin sama Al dan James."
Wajah Scorpius—yang awalnya biasa dan tidak bersemangat—langsung sumringah, senang karena mendapatkan teman walaupun teman-temannya itu lebih senang bermain boneka daripada bermain robot-robotan. "Ayo duduk sini!"
Lily dan Rose pun duduk di karpet, mengikuti Scorpius. Mereka bertiga membentuk formasi lingkaran agar dapat bermain dengan enak.
Seperti yang dipikirkan sebelumnya, Lily dan Rose asyik bermain boneka, sementara Scorpius bermain robot-robotan miliknya. Masing-masing asyik dengan mainannya sendiri.
Bosan bermain robot-robotan, Scorpius mengawali pembicaraan, "Kalian berdua suka main apa?"
Rose mengangkat alis. "Rose suka main boneka," kata Rose. "Tapi Rose lebih suka membaca buku-buku punya Mum."
Scorpius tertarik. "Wah... Rose sudah bisa membaca?"
Rose mengangguk semangat.
"Scorpie... juga pingin baca buku dan suka membaca kayak Rose," kata Scorpius. "Tapi Scorpie gak tahu membaca."
"Nanti Rose ajarin membaca deh!"
Mereka berdua—Rose sambil memainkan bonekanya—akhirnya berbicara segala sesuatu tentang buku yang mereka tahu. Mulai dari buku-buku yang sering dibacakan oleh orangtua mereka sebelum tidur sampai buku-buku pengetahuan yang selalu Rose baca jika Rose tidak tahu ingin berbuat apa.
"Buku kesukaan Rose itu banyak..."
Lily, yang sedikit kesal karena ia tidak suka membaca buku dan sama sekali tidak niat belajar membaca, mencoba mengalihkan topik pembicaraan, "Lily, Al, James, dan Fred sering main Quidditch di halaman The Burrow."
Tak diduga, Scorpius ternyata lebih tertarik pada Quidditch daripada dengan minatnya membaca. "Scorpie suka Quidditch!"
Lily tersenyum senang, senang karena akhirnya topik pembicaraan beralih ke topik kesukaannya dan ia bisa ikut berbincang tentang hal itu. "Lily juga suka. Al, James, dan Fred juga suka!"
Kali ini Rose yang kesal karena tidak mengerti topik pembicaraan. Rose hanya memainkan bonekanya dan mendengar
"Lily mau jadi apa?" tanya Scorpius.
"Lily mau jadi Chaser. Kalau Scorpius?"
"Scorpie mau jadi Seeker, seperti Dad," kata Scorpius. "Kalau hari libur, biasanya Scorpie diajak terbang pakai sapu besar punya Dad. Kalau hari masuk, Dad masuk kerja, Scorpie terbang sendiri pakai sapu kecil. Scorpie main sama Sprinkle."
"Sprinkle bisa main Quidditch?" tanya Lily, tidak menyangka kalau salah satu Peri-rumah di keluarga Malfoy itu bisa main Quiddtich.
"Tidak," kata Scorpius. "Sprinkle hanya nemenin dan nungguin Scorpius main karena Scorpie dilarang main sendirian sama Mum."
"Oh... Scorpius main sendirian? Gak ada lawan?"
"Enggak ada lawannya."
"Mau gak main ke The Burrow besok? Kita main Quidditch sama-sama! Besok Lily ke The Burrow deh, kalau Scorpius mau ke sana!" ajak Lily semangat. "Scorpius juga bisa belajar Quidditch sama Al kalau Scorpius mau jadi Seeker hebat nantinya! Al pernah ngalahin Dad, lho!"
Scorpius mengangguk, matanya membulat begitu tahu kalau ia bisa belajar dari orang yang pernah mengalahkan Seeker Hogwarts terhebat sepanjang sejarah—Al pernah mengalahkan Harry. "Nanti Scorpie tanya Mum dulu! Tapi kayaknya boleh, deh."
"Katanya Scorpius mau ke The Burrow besok buat belajar membaca sama Rose dan lihat koleksi buku-buku Rose?" tanya Rose memastikan, tidak terima calon murid membaca-nya diambil begitu saja hanya karena permainan Quidditch.
"Er... gimana, ya?" pikir Scorpius, ia menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, membuat rambut pirangnya—yang selalu Astoria sisir sampai lebih dari rapi—berantakan. "Gini aja... nanti pas Scorpie datang, Rose ngajarin Scorpie membaca dulu, baru habis selesai, Scorpie main Quidditch bareng Lily! Atau sebaliknya! Gimana?"
"Hmm." Lily dan Rose berpikir. "Boleh."
Tiba-tiba Sprinkle muncul. "Master Scorpius, teman-teman Scorpius disuruh pulang dulu."
Rose dan Lily segera mengambil bonekanya, lalu turun ke ruang tamu. Scorpius dan Sprinkle mengikuti mereka berdua dari belakang.
Sampai di ruang tamu, Al dan James sudah ada di sana. Mereka berdua cemberut kesal karena saat mereka menghabiskan brownies, Scorpius sudah pergi.
"Scorpius tadi ke mana?" tanya Al.
"James dan Al masih mau menginjak bebek-bebekan!" seru James.
Ginny menuntun mereka berdua keluar. "Aduh maaf, Draco, Astoria, mereka berdua memang seperti ini. Aku dan mereka berdua pamit dulu, ya. Harry, aku duluan. Kau saja yang membawa Lily Flower."
Harry pun akhirnya ikut berpamitan. "Aku pamit juga, Draco. Sampai ketemu besok, hari Jumat, di Kantor!" seru Harry. "Ayo, Lils!"
Lily mengangguk dan berjalan ke arah Harry. Lalu ia berbalik sebentar. "Dadaaah, Scorpius! Besok jadi ya, ke The Burrow! Kita main Quidditch sama-sama! Ada banyak sapu kecil punyaku, Al, dan James."
Scorpius mengangguk senang, lalu ia melambaikan tangan. "Iya. Dadaah Lily."
Akhirnya di Malfoy Manor hanya tinggal Rose, Hermione, Ron, serta penghuni asli Malfoy Manor—kecuali Narcissa dan Lucius Malfoy yang memutuskan tinggal di rumah lain.
"Kami pamit juga, Draco, Astoria. Terima kasih sudah mau menerima kami sebagai tamu di sini," pamit Hermione.
"Iya, sama-sama," kata Astoria penuh senyum. "Lain kali, kalian menginap di sini saja! Rose kan bisa jadi teman bermain Scorpius! Kasian Scorpius, hanya main sama Sprinkle. Rose mau gak, nginep di sini?"
Rose mengangguk. "Rose mau."
Ron tertawa dan mengusap-usap rambut ikal merah milik Rose. "Hahaha... iya, lain kali kalau sempat, Rose akan kutitipkan di sini."
"Kami pulang dulu," kata Hermione.
"Dadah Scorpius," kata Rose. "Besok ke The Burrow, ya? Jadi belajar membaca, kan?"
Scorpius mengangguk dan melambaikan tangan. "Dadah Rose. Iya, besok dilihat."
Keluarga Weasley dan Potter pun akhirnya betul-betul pulang ke rumah masing-masing.
Astoria menutup pintu ruang tamu selepas dua keluarga—Potter dan Weasley—yang baru saja bertandang ke rumahnya itu pulang. Lalu ia mengalihkan perhatiannya pada Scorpius. "Besok Scorpie mau ke The Burrow?"
Scorpius mengangguk. "Boleh gak, Mum?"
"Untuk apa?" tanya Astoria lagi.
"Tadi, pas Scorpie main sama Lily dan dan Rose, mereka nawarin Scorpie main ke The Burrow. Lily mau ngajak Scorpie main Quidditch sama Al, James, dan Fred. Rose mau ngajarin Scorpius membaca."
"Ah, nanti Mum yang ngajarin Scorpius membaca, deh!" seru Astoria, sedikit tidak enak ketika mengetahui bahwa putranya akan diajar oleh temannya membaca.
"Kapan? Kapan Mum mau ngajarin Scorpie membaca?"
"Kalau Mum libur," kata Astoria singkat. Ya, Astoria bekerja di Kementrian Sihir juga.
"Kalau libur, Mum tidur," kata Scorpius. "Besok boleh ya, Mum?"
"Tapi Scorpie harus pergi sama Sprinkle? Gimana?" tawar Astoria. "Soalnya Mum gak ngebolehin kalau Scorpie gak ada yang jaga. Quidditch itu bahaya, lho."
"Iya, nanti Scorpie pergi sama Sprinkle."
"Ya sudah. Sekarang kan sudah sore, Scorpie mandi dulu sana. Belum mandi, kan?"
Sementara itu, di kantor Auror...
Dawlish—sang Ketua Auror—sedang duduk di kursinya. Meja bagian kanannya itu penuh dengan tumpukan kertas—yang harus ia cap dan diberi tanda-tangan—untuk kasus-kasus yang sudah ditangani. Dan meja bagian kiri juga penuh dengan kertas, tapi itu kertas untuk kasus-kasus baru.
Kriinggg...
Telepon berdering ketika Dawlish baru saja ingin menanda-tangani salah satu kertas. Ia mengurungkan niatnya menanda-tangani kertas dan akhirnya mengangkat telepon.
"Selamat sore, dengan Kepala Kantor Auror, ada yang bisa dibantu?"
"Sore. Dawlish, tak perlu begitu formal, anggap saja yang berbicara ini adalah teman dekatmu. Masih ingat aku?"
"Maaf, siapa?" tanya Dawlish heran. Rasanya ia pernah mengenal suara yang penuh dengan aksen Bulgaria kental ini, tapi ia lupa.
Suara di seberang sana tertawa. "Hahaha... aku Rafflen, Ketua Auror Departemen Sihir di Bulgaria."
Dawlish tersenyum. "Oh... Rafflen Sangers! Apa kabar, Teman? Rasanya sudah lama kita tidak bertemu, padahal pertemuan para Kepala Auror Sihir di seluruh dunia baru saja diselenggarakan."
"Hahaha... ya, Dawlish, waktu rasanya selalu mampu mengkhianati kita," ujar Rafflen. "Kabarku baik-baik saja. Bagaimana dengan kabarmu?"
"Ya, aku baik-baik saja," kata Dawlish. Ia merasa senang karena Rafflen Sangers—ketua Auror di Bulgaria, salah satu sahabat baiknya—menelepon, tapi ia tidak suka karena Rafflen menelepon hal-hal tidak penting melalui telepon kantor. "Ada apa, Rafflen?"
"Apakah kau mengira kalau aku hanya meneleponmu lewat telepon untuk hal remeh-temeh saja, Teman?" tanya Rafflen, suaranya mengisyaratkan bahwa pemilik suara itu sedang tersenyum sekarang.
"Tidak," kata Dawlish berbohong.
"Berarti kau pintar," ujar Rafflen. "Ini ada hubungannya dengan... keperluan Auror di Bulgaria."
"Ada apa?"
"Kau tahu, kan? Tentang sisa-sisa pendukung Death Eaters dan Voldemort yang belum tertangkap semuanya? Dan tentang... mereka semua yang lari ke Bulgaria?"
"Ya."
"Begini... bisakah aku meminta beberapa Auror dari sana untuk bekerja di sini?" tanya Rafflen. "Aku sudah mengupayakan Departemen Sihir negara lain yang kelebihan Auror untuk meminta barang beberapa Auror, tapi mereka semua sibuk."
"..."
"Tolonglah," kata Rafflen. "Aku betul-betul membutuhkan bantuan pasukan Auror dari sana, dari Inggris Raya, paling tidak mereka bisa bekerja di sini selama satu tahun. Satu tahun saja!"
Dawlish mendesah. "Aku akan memikirkannya nanti."
"Terima kasih," ujar Rafflen, sedikit lega. "Aku akan mengirimkan surat resminya lewat burung hantu dari Kementrian Sihir Bulgaria untuk masalah itu."
"Ya, aku akan kabari kau kalau suratmu sudah kuterima."
"Ya," ujar Rafflen. "Terima kasih, dan selamat sore."
"Selamat sore."
Dawlish memijit kepalanya, merasa pusing. Ia melihat tumpukan kertas berisi kasus-kasus yang harus ditangani oleh kelompoknya, kelompok Auror. Kasus itu begitu banyak, ia membutuhkan banyak Auror. Dan sekarang? Auror itu harus ada yang berpindah?
Memang. Populasi Auror di Inggris Raya adalah populasi Auror terbanyak di dunia sihir. Dan... Dawlish tahu, untuk kebaikan bersama—karena sisa-sisa pendukung Voldemort tampaknya lebih penting daripada kasus maling rumah Bangsawan—ia harus merelakan beberapa Auror pergi ke Bulgaria.
"Kenapa orang yang memenuhi persyaratan untuk menjadi Auror di luar Inggris itu sedikit?" gerutu Dawlish. "Atau mereka lebih memilih bekerja di tempat lain yang resikonya lebih kecil? Apakah mereka tidak menyadari betapa mulia-nya bekerja sebagai Auror?"
Dawlish membuka laci kerjanya, ia mengambil sekitar sepuluh kertas yang berisi nama-nama Auror dan identitas masing-masing.
Ada banyak nama di sana.
Banyak nama, tapi nama manakah yang akhirnya harus pindah ke Bulgaria?
TBC
Tiga Cinta (Chapter 1) emang udah di-publish, sih...
Awalnya aku gak terlalu nanggepin serius fic itu. Tapi, begitu baca review-review-nya, ternyata pada serius -_- kukirain pada minta delete. Ya, karena itu, fic ini (chapter satu) kurombak, dan atas permintaan maaf karena akhirnya chapter ini harus kurombak, aku langsung publish chapter 2-nya! HORE! *padahal gak tahu pada baca atau mau baca atau enggak habis dirombak*
Well, thanks for reading? :D Mau ngereview, gaaaaak? Aku gak maksa, sih... tapi aku berharap semua pada ninggalin review... .
-aniranzracz
