Captain Tsubasa (c) Yoichi Takahashi
Warning: Boy x boy. Picis. Keju. Headcanon.
Malaikat nomor 16
.
by Ratu Obeng (id: 1658345)
.
.
.
Aku berlari menuju tempat favoritku—sebuah lapangan bola yang ada di belakang rumah. Tempatnya kecil, terbuka, sepi, namun indah. Kupilih demikian karena aku kurang suka bergaul dengan anak-anak lain terutama di area mencolok. Mereka membosankan.
Berbeda dengan tempat yang kutuju, di sana aku bisa melakukan banyak hal. Tidur, makan, bahkan berkelahi, mungkin. Walau sendirian, tapi semua hal yang baru kusebut lebih menyenangkan daripada berada di rumah. Bukan berarti rumahku juga membosankan, tapi anak kecil biasanya ingin punya rahasia sendiri. Kalian pasti setuju.
Oh, maaf aku belum memperkenalkan diri, aku Jitou Hiroshi. Panggil Jitou saja dulu karena kita belum kenal dekat. Lagipula nama itu lebih terkenal di daerah Kyushu ini. Serius! Walau umurku baru sembilan tahun, badanku besar dan tinggi. Tidak seperti anak-anak seumuranku yang lain, aku cukup kuat dan sudah bisa mengalahkan anak SMP. Kalau dicoba, mungkin anak SMA juga bisa.
Ah, itu dia lapangannya sudah terlihat. Sebentar lagi sampai.
Berbeda dari biasanya, lapangan itu sedang tidak kosong. Kulihat seseorang sudah berdiri di tengah lapangan. Wah, ada yang berani memasuki wilayah kekuasaanku! Apa dia seseorang yang mau menantangku berkelahi seperti biasa? Lebih dari seminggu sekali, pasti ada saja anak yang penasaran dengan kekuatanku walau tahu mereka pasti akan kalah, hahaha. Tidak heran setiap minggunya aku semakin kuat karena mereka memberiku olahraga gratisan.
Kukepalkan tanganku dan meremasnya bergantian sambil perlahan mendekati sosok tersebut. "Hei, kamu…!" ujarku kasar.
Sosok itu terkejut, berbalik untuk melihatku. Membuat mataku berkedip cepat.
Yang kulihat darinya bukanlah seseorang yang siap untuk bertarung. Dia cantik! Sangat cantik! Tubuhnya mungil dengan fisik kurus, mungkin seumuran denganku. Anak perempuan itu memakai celana pendek bersama dengan kaos tanpa lengan berwarna merah pastel. Sangat serasi dengan kulitnya yang putih. Rambutnya yang coklat keemasan bersinar di bawah terik matahari, dibiarkan terurai hingga menyentuh bahunya yang kecil. Dia memandangku melalui iris hazel yang terlampau indah.
Seumur hidup aku belum pernah bertemu dengan malaikat seperti yang sekarang ada di hadapanku. Dan kurasa aku jatuh cinta.
"Kamu tinggal di sekitar sini?" tanyanya lembut. Ya Tuhan, suaranya jernih sekali. Aku terus menatapnya tanpa menyadari kalau dia tengah berbicara padaku.
"—halo… kamu kenapa?"
"Oh iya! Apa tadi?" tanyaku gugup. Kupandangi dia kini tertawa kecil, menyuguhkan lengkung senyum mempesona. Jantungku berdegup semakin kencang. Bisa kurasakan panas merayap di kedua pipiku.
"Aku tadi tanya, apa kamu tinggal di sekitar sini?"
"Iya, rumahku ngga jauh. Tuh, di sana!" ujung Jari telunjukku teracung ke arah jalan besar di hadapan kami, "yang warna dindingnya paling muda" imbuhku bersemangat.
"Ahh.."
"Kamu juga tinggal di sekitar sini? Aku tidak pernah melihatmu." aku mendekatinya, sambil berusaha untuk menyembunyikan gugup.
"Iya, kira-kira lima tahun lagi aku bakal pindah kemari..."
"Lama banget?! Kenapa harus lima tahun lagi?" dia hanya merespon pertanyaanku dengan senyum.
"—o-oh, Sorry. Jadi sekarang kenapa kamu di sini?" Aku mencoba mengganti pertanyaan.
"Aku suka lapangan ini. Suatu saat aku ingin main bola disini." ungkapnya.
"Wah? kamu suka main bola?"
"Kamu juga suka?"
"Malas, ah…Lebih asik nonton Sumo atau gulat sih…" ucapku setengah bercanda. Kulihat dia kembali tertawa.
"Maksudku tadi, kenapa sekarang kamu ada di Kyushu?" baiklah, kali ini aku banyak bicara. Tapi makhluk indah satu ini benar-benar membuatku diliputi rasa penasaran terutama karena dia membuatku nyaman. Aku mencoba mempersempit jarak, mengajaknya ke tempat yang lebih teduh di pinggir lapangan. Dia mengikuti langkahku.
"Survei. Aku berniat masuk SMP Hirado begitu pindah kemari"
"Wah! Sama dong! Aku juga mau masuk ke SMP Hirado, di sana banyak anak-anak kuat yang bisa kuajak berantem… eh, maksudku… bertanding!" aduh, aku salah bicara. Malu sekali rasanya, dia pasti jadi takut padaku.
"Kamu suka berkelahi?" sebuah tudingan yang ingin kuhindari.
"Bukannya suka—" sebetulnya memang suka, tapi masa aku bicara begitu?, "...tapi bukan untuk hal buruk kok! Aku hanya melindungi diriku, kalau perlu aku bisa melindungi orang lain!" tambahku cekatan.
"Ngga masalah, kok. Aku bukan penakut." dia berbicara seakan tahu isi pikiranku. Jangan-jangan dia benar-benar bukan manusia!
"Ka…"
Aku benar-benar terpikat. Segala sesuatu yang ada padanya seperti magnet. Dia begitu menarik dan bersinar. Dia pasti malaikat! Sepulangnya nanti akan kuceritakan hal ini pada orang tuaku. Aku jatuh cinta pada malaikat! Mereka pasti terkejut.
"Ka?" tanyanya bingung. Oh, iya... aku belum melanjutkan kalimatku.
"Kalau kau mau, aku juga bisa melindungimu!" melindungi malaikat adalah tugas seorang pahlawan kan? Paling tidak itu yang sering ditulis di buku-buku cerita yang kubaca.
"Jangan repot-repot…" langkahnya mendekatiku. Aku jadi salah tingkah.
"Tidak! Ini sebuah janji, dan aku sudah berjanji." kuulurkan jari kelingking kananku ke hadapannya, "Kita akan bertemu lima tahun lagi dan setelah itu aku akan terus melindungimu. Akan kupertaruhkan nyawaku!" senangnya. Aku merasa gagah sekali saat mengucapkan kalimat tadi. Kulihat senyumnya melebar hingga kurasakan jari kelingking kami saling bertaut.
"Aku percaya, emm…"
"Aku Jitou." ujarku, "Kamu?"
"Namaku Sano."
.
.
.
.
.
"Ada yang mau lagi?" tantangku bersemangat sambil memperlihatkan otot-otot lenganku.
"Cukup Hiroshi! Nanti kamu malah bikin anak-anak baru ketakutan!"
"Ah, Asada. Kau membosankan! Kalau begitu, kasih aku kesenangan lain dan aku janji bakal ngurangin porsi tinjuku."
"Kamu itu… dasar!"
Puas berkelahi dengan kakak-kakak kelas tadi, Asada, temanku dari SD berjalan bersamaku beriringan menuju kelas.
Ya, sudah lima tahun berlalu sejak saat itu. Sekarang aku sudah di kelas 2 SMP, namun tanda-tanda keberadaan malaikatku di sekolah ini belum terlihat. Apa dia sudah lupa akan janjinya? Aku melemparkan punggungku ke bangku, memandang langit-langit kelas.
"Masih mikirin malaikat cinta pertamamu, ya?" Asada melihatku dari tempatnya berdiri sambil tersenyum jahil.
"Diam!" Hampir lima tahun ini pula aku terus bercerita tentang Sano pada teman masa kecilku itu. Tentu saja aku tidak menyebut nama dan ciri-cirinya. Karenanya, sampai sekarang aku hanya bercerita pada Asada bahwa cinta pertamaku adalah seorang malaikat yang sudah berjanji akan masuk ke sekolah yang sama denganku. (Walau Asada bersikeras bahwa tidak ada malaikat yang bersekolah. Yang pasti dia berkata begitu sambil tertawa, dan itu membuatku sedikit kesal.)
"Gimana kalau kamu lupain dia aja? Besok anak-anak baru udah mulai masuk, lho. Katanya tahun ini cewe-nya banyak yang imut, kita kan bisa ngeceng bareng.
"Ngga tertarik" pungkasku cepat, "Aku pulang duluan ya, kayaknya hari ini sensei juga ngga masuk."
"Heh, Hiroshi! Bentar!" menghiraukan panggilan Asada, aku sudah meraih tasku untuk secepatnya keluar dari kelas. Hanya ada satu tempat tujuan dalam pikiranku. Tempat Favoritku.
Dari sejak diterima di SMP Hirado, aku mulai rajin mengunjungi lapangan itu hampir setiap hari. Berharap suatu saat aku akan menemukan malaikatku di sana. Pikiranku terus menerus menjelajah satu topik tentang dia dan hanya dia. Seperti apa dia sekarang? Makin tinggi? Cantik? Kenapa dulu aku lupa menanyakan nama depannya? Kalau bertemu nanti aku ingin bicara banyak dengannya. Harus!
Kalau ada yang melihatku, aku pasti disangka sudah gila karena senyum-senyum sendiri. Tapi aku tidak bisa menghilangkan fantasi tentang Sano dari kepalaku. Tidak sadar, lapangan kesayanganku sudah berada di depan mata.
Terlihat seseorang berdiri di tengah lapangan—apa dia… Sano?
Aku mencoba berhati-hati mendekati sosok tersebut. Sadar akan keberadaanku, dia berbalik dan menatapku dengan mata hazel-nya yang berkilau.
"Jitou?" sapanya. Kudengar suaranya nan jernih, namun lebih berat daripada lima tahun lalu. Senyum yang kukenal mengembang manis di wajahnya.
Dia masih cantik seperti dulu—lebih cantik, malah. Walau tetap saja tubuhnya lebih pendek dariku sehingga untuk melihatnya aku masih harus menatap jauh ke bawah. Rambut coklat keemasannya kini bebas terurai melewati punggung. Poninya yang panjang tergerai menutupi matanya yang indah dan dia memakai seragam sekolah yang sama denganku. Tapi seragamnya benar-benar sama denganku,
Maksudku, dia memakai seragam laki-laki!
"Sano?" raguku.
"Benar-benar Jitou, ya? Senangnya kau masih ingat!" dia berlari menghampiriku.
"Masa…" Ini bohong, kan? Ternyata malaikat yang selama ini kutunggu itu seorang pria? Aku melangkah mundur dan menggelengkan kepalaku. Rasanya seperti dikhinati mungkin!? Aku sendiri tidak yakin.
"Jitou, kenapa?" Sano terlihat cemas karena wajahku tiba-tiba memerah. Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke rumah. Meninggalkan malaikat yang berteriak memanggil namaku dan berupaya mengejarku.
Setelah membanting banting pintu rumah seraya berlari menuju kamar, aku melompat ke atas tempat tidur. Membenamkan wajahku di bantal. Jantungku seperti mau meledak. Kenapa tadi aku lari? Kenapa dadaku berdetak kencang? Kenapa? Kenapa? Kalau ada lubang aku ingin sekali masuk ke dalamnya!
Setelah sedikit tenang aku mulai mencoba berpikir. Ternyata cinta pertamaku lima tahun lalu itu seorang laki-laki. Jelas sekali Asada pasti akan menertawakanku habis-habisan. Tapi aku tidak bisa berbohong, aku masih mencintainya. Bagaimanapun aku sudah mencintainya selama lima tahun, walau dia laki-laki, aku tidak bisa begitu saja menghilangkan perasaanku. Aku semakin bingung.
Kuputuskan untuk melupakan peristiwa hari ini dan tidur.
"HIROSHIII!" Asada muncul dihadapanku dengan muka cemberut.
"Wajahmu kenapa? Jelek banget!"
"Gara-gara kamu, tauk! Kemarin aku jadi dimarahin sensei karena ngebiarin kamu bolos!"
"Oh… si sensei kemarin jadi ngajar?"
"Bodo, ah! Buat gantinya, temenin aku ke kantin! Lama-lama di kelas begini, aku bisa jadi fosil." Asada menjauhi mejaku dengan berjalan mundur, "Eh, kamu tahu? Katanya ada murid baru laki-laki tapi cantiiiik banget! Namanya Mitsuru. Penasaran ngga? Kita liat yuk!"
Laki-laki? Cantik? Dua kata yang cukup untuk menghubungkan maksud Asada dengan keberadaan Sano. Apa mungkin yang dimaksud Asada itu memang orang yang kupikirkan? Tapi aku belum berani menemuinya setelah apa yang terjadi kemarin. Aku takut kalau bertemu Sano lagi, jantungku akan benar-benar meledak.
"Hirrr! Jangan ngelamun, oy! Mau ikut ngga?"
"Ngga, ah… kamu aja. Kalo urusannya bukan makanan, mendingan aku diem di kelas." tolakku pelan.
"Tumben. Lagi sakit, ya? nanti kubawain minuman dari kantin deh…"
"Tengkyu…"
"Yo'i!"
AAAAAAAAAAAAARGH! Bisa gila! Kenapa Sano ternyata laki-laki, sih? Aku kan yang jadi susah! Aku harus apa kalau ketemu dia lagi? Aku harus bagaimana kalau dia bertanya soal kemarin? Batinku menjerit histeris beberapa menit. Lagi-lagi kurasakan mukaku memerah. Untunglah selama di kelas tidak ada yang benar-benar memerhatikanku.
"...to."
Apa mungkin ini kutukan karena aku mencintai malaikat?
"Jitou, hei!"
"APAAN ASADA? BERISIK LAGI MIKIR NIH!"
"Serius amat? Sayangnya aku bukan Asada..."
DEG.
Malaikat itu kini berdiri tepat di depan mejaku. Kulihat Asada berdiri di sebelahnya.
"Kita kenalan di kantin. Dan saat spontan menyebut namamu, dia langsung minta ketemu... jadi kubawa aja ke kelas. Ternyata Sano-chan temanmu, ya? Ngga bilang-bilang..." Asada mulai menggoda dengan cara menyodok pundakku ringan.
"Jitou… ini… soal kemarin.." tolong jangan tunjukkan raut muka sedih!
"M-maaf, aku mau ke kamar kecil dulu" secepatnya aku berlari meninggalkan mereka berdua. Memasuki kamar mandi lalu mengunci diri di salah satu bilik yang ada—merasakan tubuhku jatuh terduduk di lantai dingin. Mana mungkin aku membiarkan Sano melihat wajahku yang aku yakin sudah semerah tomat seperti sekarang. Aku belum bisa bicara dengannya kalau setiap menatapnya lidahku seperti terkunci dan wajahku seolah terbakar.
Setelah yakin Sano sudah pergi, aku masuk kembali ke dalam ke kelas .
"Tadi kamu kenapa sih? Baru kali ini aku lihat kamu jadi pengecut!" Asada menghardikku ketus saat aku bermaksud untuk duduk di bangkuku tercinta.
"Apa kamu bilang?" hardikku kasar.
"PENGECUT! Kurang keras? Dia hanya mau bicara, tapi kamu malah lari. Apa-apaan sikapmu itu! Tadi dia nangis tauk!" Aku terkejut melihat teman baikku yang biasanya tenang itu membentakku. Tapi aku lebih merasa bersalah saat mengetahui Sano kini kecewa dengan sikapku. Aku sendiri juga kecewa, tapi aku belum siap. Aku harus bagaimana?
"Sorry.." Jawabku pelan.
"Jangan minta maaf ke aku, tapi ke Sano!"
"Aku belum bisa…mungkin nanti…Sebentar lagi sensei datang tuh, kita lanjut nanti deh" Aku mengelak tapi teman baikku itu tidak bergeming.
"Saranku, lebih baik kamu jujur kalau kamu suka dia"
"APAAN?" Teriakku kaget.
"Dia malaikatmu kan?" Asada tersenyum. Aku mencoba mengucapkan sesuatu namun tidak ada satupun kata yang bisa keluar. Aku hanya bisa menunduk lama dan mengangguk kecil. Membenarkan pernyataannya.
"Aku tidak akan menertawakanmu. Aku bahkan merasa kamu hebat sekali bisa mencintai seseorang sampai 5 tahun lamanya dan perasaanmu ngga berubah walau ternyata dia tidak seperti yang kamu harapkan."
"Tahu dari mana perasaanku ngga berubah?" Aku menatap cowo di hadapanku dengan heran.
"Dari sikapmu."
"Aku yang sekarang hanya masih bingung. Tolong temani Sano dulu sampai aku siap. Bantu dia apapun, tapi jangan cerita apa-apa sama dia. Aku masih perlu waktu." Kurasakan tangan Asada melingkar di leherku.
"Kalau kamu jujur sama perasaan sendiri, aku jamin akhirnya bakal Happy End."
"Kalau nggak?" Aku tersenyum melihat Asada berusaha menghiburku.
"Traktiran minum buat kamu jadi dobel."
"Setuju! Tapi tiap hari ya…"
"Sialan! Malah ngelunjak."
Sudah hampir seminggu aku dan Sano tidak pernah bertemu lagi. Aku kehilangan mood pada setiap pelajaran. Teman-temanku sampai heran karena aku sekarang sudah jarang berkelahi. Bahkan sampai hari ini aku lebih sering diam dan melamun. Seperti biasa kalau Sano ada di sekitarku, aku selalu menghindar. Asada selalu membantuku menghindarinya walau dia tidak menyukai sikapku yang sekarang. Ini semua gara-gara malaikat itu!
Aku tahu kalau setiap hari sepulang sekolah dia pasti datang ke lapangan favoritku. Berlatih sepak bola sendirian atau hanya sekedar duduk di pinggir lapangan. Mungkin menungguku. Sementara aku sendiri hanya bisa memandangnya dari jauh sampai akhirnya dia menyerah dan pulang.
Istirahat kedua hari ini kupakai untuk duduk-duduk di jendela ruang UKS di lantai 2 karena dari atas sini lapangan sekolah sangat jelas terlihat. Kupandang Sano dari kejauhan yang sedang bermain bola bersama teman-temannya. Asada bilang Sano masuk klub sepak bola. Aku tersenyum. Ternyata dia belum melupakaan mimpinya untuk masuk klub sepak bola Hirado. Senyumku semakin melebar ketika malaikatku berhasil menyarangkan satu gol ke gawang lawan. Seru sekali. Tapi aku mulai tidak suka ketika melihat teman-teman satu tim-nya memuji bahkan memeluknya. Berani sekali mereka menyentuh Sano-ku.
Tunggu apa yang tadi kubilang? Sano-ku?
Kulihat Sano menyadari kalau aku memerhatikannya dan matanya membalas tatapanku. Untung saat itu juga bel masuk langsung berbunyi, sehingga aku tidak merasa bersalah untuk menghindari Hazel mautnya untuk berlari menuju kelas. Membiarkan jantungku berdebar semakin kencang di setiap langkah yang kuambil.
Tuhan! Kenapa Kau beri hambaMu cobaan yang begitu beraaaaaaat!?
Hari ini pun sepulang sekolah, aku menuju lapangan yang biasa tapi tidak menemukan Sano disana. Aku sedikit kecewa dan berjalan menuju ke tengah lapangan. Kulihat gawang berdiri tepat di hadapanku. Membayangkan sosoknya yang setiap hari selalu berlatih di sini, di atas tanah yang kupijak.
Aku sangat merindukannya. isi kepalaku mulai berspekulasi macam-macam tentang kenapa dia tidak datang lagi juga kemungkinan tentang dia yang sudah menyerah. Kali ini giliranku yang sedih. Sakitnya luar biasa. Benar kata Asada, mungkin aku memang pengecut.
"Menunggu seseorang?" terkejut, aku berbalik dan melihat malaikat kecilku sudah berjarak tidak jauh. Menatapku tajam.
Dia mengenakan pakaian yang sama seperti waktu kita pertama kali bertemu. Bedanya, rambutnya yang panjang itu diikat menjadi ekor kuda. Manis sekali.
"Menunggu siapa?" tanyanya lagi tanpa melepaskan pandangannya dariku. Dia tetap berdiri diam.
"Kamu" sahutku cepat. Aku tidak sempat menyiapkan alasan logis lain.
"Aku tahu kalau seminggu ini kamu selalu melihatku latihan di sini" ujarnya. Tidak mungkin, kan?! Aku yakin selama ini dia tidak menyadari keberadaanku. Mukaku kembali memerah mendengarnya.
"Kenapa?" tanyanya lagi. Kami berdua terdiam cukup lama hingga aku memberanikan diri berjalan mendekatinya.
"Ka..."
"Ka?" kalimat Sano mulai mendesakku. Momen ini membuatku deja vu. Kukumpulkan seluruh keberanian dan berjalan selangkah lebih dekat ke arahnya.
"Karena aku mencintai kamu." bisikku tipis, berharap dia tidak mendengar. Kurasa itu mustahil, karena kemudian kulihat reaksi terkejutnya sambil menatapku tidak percaya.
"Aku… err... dengar Sano, mungkin seminggu ini kelakuanku benar-benar brengsek dan kamu kecewa banget sama aku. Tapi tolong percaya, Selama ini aku mencintai kamu. Dari sejak pertama kali kita bertemu aku langsung mencintai kamu. DARI LIMA TAHUN LALU AKU SUDAH MENCINTAI KAMUUU!" teriakku tanpa peduli kalau mukaku yang sudah merah ini membuatku terlihat bodoh di hadapannya. Aku sendiri tidak percaya kalau bisa bicara selancar tadi.
Aku hanya tidak mau bermimpi terlalu tinggi. Andai ditolak pun, aku masih ingin menawarkan persahabatan dengannya. Aku ingin dia bersamaku selamanya.
Jeda ini menyakitkan. Kulihat Sano masih terdiam dan menatapku.
"Awalnya aku kecewa karena ternyata kamu laki-laki, tapi sekarang itu ngga penting. Yang aku tahu... aku mencintai kamu. Aku benar-benar minta maaf..." kukatup mata perlahan dan mengencangkan kepalan tanganku. Mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk.
"Apa kamu berharap saat kita ketemu lagi, aku akan memanggil namamu?" aku membuka mata, kaget dengan pertanyaannya yang tiba-tiba. Sejurus kemudian kepalaku mengangguk samar.
"I-iya"
"Apa kamu berharap, kalau kita ketemu lagi aku masih mengingatmu?"
"Tentu saja"
"Apa kamu juga berharap kalau kita ketemu lagi aku akan memelukmu?"
Aku malu menjawabnya, aku hanya kembali menutup mataku dan mengangguk. Dalam sekejap kedua tangannya yang kecil sudah merengkuh pinggangku erat.
"Karena selama ini aku juga berpikir sama denganmu…"
"Sano…!" ucapku gugup, "Maaf..." setelah beberapa saat, aku memberanikan diri membelai rambutnya yang luar biasa halus. Kudekap dia semakin erat, "Maafkan aku..."
Dia memandangku sambil tetap mengistirahatkan tangannya pada badanku. Mengembangkan senyum terbaiknya yang tidak pernah kulihat dalam 5 tahun ini. Kusandandarkan dahiku pada dahinya, "Aku minta maaf!"
"Mau sampai kapan minta maaf?" bisiknya. Kurasakan wajah kami sudah sangat dekat, aku bahkan bisa merasakan nafasnya ketika dia berbicara. Aku tidak tahu siapa yang memulai saat kurasakan bibirku menyentuh bibirnya. Karena tidak ada perlawanan, aku merengkuh pinggang kecilnya dan memperdalam ciumanku. Berharap kami akan terus begini selamanya. Namun karena sama-sama membutuhkan udara, dia melepaskan bibirnya.
"A-aku…" kusadari wajah Sano kini memerah. Dia langsung menutup bibirnya dengan punggung tangan. Kuraih kedua tangan kecil itu dan dan kugenggam lebih erat.
"Aku yang harus minta maaf, aku ngga sadar…" sesalku. Sano menggeleng kecil. Aku kembali memeluknya dan kami terdiam cukup lama.
"Sano, aku juga mau masuk klub sepak bola Hirado." kataku memecah keheningan. Mencoba mencairkan ketegangan dan sikap canggung diantara kami.
"Tapi kamu ngga suka sepak bola."
"Tapi kayaknya menarik, siapa tahu ada yang bisa kuajak berkelahi."
"Apa yang ada di kepalamu cuma berkelahi?" Sano yang sebal dengan jawabanku mendorongku pelan. Aku mengangkat alis.
"Lho? Bukannya kalau main bola supporter-nya suka berkelahi?" pembelaan diriku malah membuat Sano langsung terbahak-bahak.
"Hahaha... ngga selalu sih, tapi ada benarnya juga! Sepak bola memang bisa menakutkan, ya?! Ahahaha..." gelaknya yang pecah di udara belum mau berhenti. Lega rasanya suasana sudah lebih rileks, tawanya membuat suasana menjadi lebih santai. Aku tersenyum, memegang pundaknya yang terlihat rapuh lalu kembali menatapnya dalam-dalam.
"Aku akan melindungimu…" kusodorkan jari kelingkingku di hadapannya dengan mantap. Detik itu juga, jari kelingking kami sudah bertaut—sama seperti lima tahun yang lalu.
"Aku percaya."
.
.
.
Tiga tahun ternyata secepat ini.
Aku benar-benar berada di lapangan yang sama dengan Sano.
Bukan—bukan lapangan kecil yang biasa kami datangi untuk bersenda gurau atau berlatih bersama. Tapi rumput hijau luas di mana kompetisi World Youth tengah diadakan. Setelah berlatih keras dan mengikuti berbagai turnamen, kami berdua berhasil menjadi bagian dalam tim nasional sepak bola Jepang. Kemudian hari ini merupakan pertandingan terakhir, tim nasional akan melawan tim Brazil. Kakiku gemetar hebat saking senangnya.
"Jitou, ayo!" komando Tsubasa, kapten kesebelasan kami.
Kuputar arah pandang ke samping untuk melihat Sano tersenyum di sebelahku, menepuk punggungku sekuat tenaga setelahnya.
"Ayo kita berjuang, Jitou!" ucapnya seraya berlari mendahuluiku.
"Osh!" teriakku menjawab harapannya.
Dan di sinilah aku sekarang. Berdiri di lapangan impian bersama malaikat yang sudah kujanjikan untuk kulindungi seumur hidup. Malaikat yang menyandang nomor punggung 16.
END
.
.
.
A/N:
FIC PERDANA DI FANDOM CAPTAIN TSUBASA INI~ HOORAY~ ╮(^▽^)╭
Author sangat cinta sama character Sano Mitsuru ini. Suka. Suka. CINTA!
Meski makan waktu lama, akan diusahain untuk nulis soal si mungil ini lagi dalam karya-karya ke depan.
R&R maybe? C:
