Disclaimer :Naruto © Masasi Kishimoto
Pairing :NaruHina slight SasuHina
Rate :T
Genre :Romance, Hurt/Comfort.
Warning :OOC, Abal, Typo(s) yang sulit di musnahkan meski sudah di usahakan, Gaje, sedikit (banyak) ngga nyambung ama judul, multichap, don't like don't read! Mind to RnR. Warning inside. Change pen name
"Normal" = present
"Italic" = flashback
KEYS,
Between You And Me
By: Black Skull 'Untdeks'
=Chapther 1=
.
.
.
Hinata menatap bayangannya di cermin. Dia terlihat sangat mengesankan, luar biasa dan cantik. Gaun yang dikenakannya juga sangat indah. Sebuah gaun yang dibelikan papanya beberapa hari yang lalu. Make up di wajahnya juga sangat pas, tidak berlebihan, menambah cantik di parasnya. Rambutnya yang biasanya tergerai begitu saja, kini ditata sedemikian rupa menjadi sangat anggun. Di lehernya menggantung sebuah kalung. Kalung yang sederhana, pemberian dari seseorang yang sangat dia cintai. Mungkin kalung itu terlihat sangat murah jika dibandingkan dengan gaun yang dikenakannya saat ini, malah terkesan mengganggu dan tidak pas. Sebenarnya papanya telah memberikannya sebuah kalung untung menemani gaunnya, tapi Hinata enggan untuk memakai kalung itu. Dia tidak akan membiarkan orang mengambil satu satunya kenangan yang masih dia punya.
.
.
"Aku ada sesuatu untukmu, Hime." Naruto melepas tangannya dari pundak Hinata. Saat ini mereka sedang duduk di sofa menonton televisi di apartemen Naruto.
"Ya?" tanya Hinata penasaran. Naruto mengambil sesuatu dari atas meja.
"Bisakah kau menutup matamu sebentar?" Hinata langsung menuruti permintaan Naruto. Naruto memakaikan kalung di leher Hinata.
"Sekarang buka matamu," Naruto tersenyum pada Hinata yang sedang meraba-raba lehernya.
"Kunci?" tanya Hinata sedikit bingung, tapi dia tidak bisa menghilangkan senyum bahagia di wajahnya.
"Heem," jawab Naruto singkat.
"Tapi kenapa?" tanya Hinata masih penasaran.
"Tidak ada apa-apa, hanya saja aku ingin hanya kau yang memegang kunci hatiku, Hime." Kata Naruto sedikit gombal.
"Kau ini," Hinata memukul bahu Naruto pelan, semburat merah menghiasi wajah manisnya.
.
.
Hinata masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Digenggamnya liontin kunci yang tergantung di lehernya. Perlahan butiran bening yang sedari tadi mengenang di matanya turun. Membuat jejak di wajah putihnya.
"Apa kau sudah siap, Sayang." Terlihat Hiashi memasuki kamar putri sulungnya.
"Sudah, Papa." Hinata menghapus sisa air mata yang sedikit merusak make up-nya, tapi tak sedikitpun diperdulihannya.
"Apa kau baru saja menangis?" tanya Hiashi lembut.
"Tidak, Papa, ayo kita keluar, bukankah sebentar lagi tamu kita akan datang." Hinata berusaha sekeras mungkin untuk tersenyum.
Mereka berjalan keluar kamar. Belum sempat Hinata membuka pintu kamarnya, Hiashi menghentikannya.
"Tunggu Hinata," Hinata berbalik dengan muka bingung. Hiashi memperhatikan sesuatu yang menggantung di leher putrinya.
"Kau masih memakai kalung itu?" tanya Hiashi dengan nada yang sedikit berbeda dari tadi.
Hinata hanya mengangguk lemah. "Lepaskan kalung itu, Hinata. Bukankah aku sudah memberikanmu kalung untuk kau kenakan malam ini!" kata Hiashi dengan nada memerintah.
"Tidak, Papa. Biarkan aku memakai ini." kata Hinata dengan nada memelas.
"Aku tidak suka kau masih mengingat ingat pemuda itu!" kali ini Hiashi sedikit membentak Hinata.
"Hanya ini yang masih aku simpan darinya, Papa,"
"Sudah kubilang ganti kalung itu dengan kalung yang papa berikan kemarin!"
"Aku mohon, Papa. Biarkan aku memakainya, kau boleh saja mengambil aku darinya, tapi tolong sisakan ini untukku." Hinata melawan, sesuatu yang sangat jarang bahkan tidak pernah dia lakukan.
"Terserah kau saja."
.
.
Tangan Naruto terus menari nari di atas sketchbook berukuran A3. Sebentar sebentar dia mengambil penghapus yang ada di sampingnya. Dia tidak ingin hasil gambarnya cacat sedikitpun, sehingga kali ini dia sedikit lama untuk menyelesaikan proyek gambarnya itu. Karena saat ini dia sedang menggambar gadis yang sangat dicintainya.
"Berapa lama lagi, Naruto-kun?" tanya Hinata sedikit lelah. Sudah setengah jam dia ber-pose seperti itu, dan itu membuatnya pegal.
"Sebentar lagi, Hime." Naruto menjawab tanpa sedikitpun mengalihkan perhatiannya dari sketchbook-nya. Kali ini dia sedang mengarsir, membuat gelap terang, agar gambar yang dihasilkannya nanti lebih terlihat nyata.
"Apakah masih lama, kenapa lama sekali?" Hinata sedikit tidak sabar. Dia benar benar kecapekan.
"Bersabarlah, Hinata. Aku tidak ingin hasil gambarku cacat sedikitpun."
Dan setelah beberapa menit. Naruto telah berhasil menyelesaikan gambarnya. Sungguh sangat sempurna gambarnya kali ini. Dia tersenyum puas menatap hasil gambarnya. Benar-benar mirip dengan gadis yang sekarang masih berpose seperti dalam gambar itu. Naruto sengaja tidak memberi tahu Hinata kalau dia telah menyelesaikan gambarnya. Dia ingin sedikit menggoda Hinata yang sedari tadi sangat cerewet –OOC tingkat dewa-.
"Kau mau lihat hasilnya, Hime?"
"Jadi sudah dari tadi selesai!" tanya Hinata geram, lalu berjalan mendekati Naruto.
"Kau suka?" tanya Naruto bangga, Hinata sedikit bersemu merah. Gadis yang ada di dalam sketsa itu sangat mirip dengannya, terlebih lagi dia terlihat lebih cantik.
"Gambar ini cantik sekali, Naruto-kun."
"Karena aku memang memilih model yang cantik pula, Hime." Kali ini Naruto berkata sambil mendekatkan bibirnya pada bibir gadis itu.
.
.
Hinata turun tangga, melewati sebuah sketsa seorang gadis yang sangat mirip dengannya. Sketsa itu dipercantik dengan frame yang membuatnya sangat anggun. Andai saja papanya tahu kalau itu hasil tangan Naruto, pasti dia tidak akan mengijinkan sketsa itu berada di sana. Pasti papanya sudah membuangnya bersama barang barang pemberian Naruto yang lain.
"Kau cantik sekali, Hinata." Ujar Konan, ibu tiri Hinata. Hinata hanya tersenyum menanggapi pujian dari ibu tiri yang sudah dianggapnya ibu kandungnya tersebut.
"Aku tahu, ini pasti sangat berat untukmu. Tapi bersikap lebih dewasa Hinata. Pahami posisi papamu. Dia hanya ingin yang terbaik buatmu, Hinata." Hinata masih terdiam mendengar wejangan dari Konan. Dia tahu, semua yang ayahnya lakukan pasti demi kebaikannya juga.
"..."
"Kau akan segera melupakan pemuda itu, sayang. Aku yakin."
"Aku tak mempunyai keyakinan sebesar itu, mama. Dulu aku bahkan tak yakin apakah aku masih bisa bernafas tanpa dia. Sampai akhirnya Papa memaksaku menggunakan alat bantu pernafasan." Kata Hinata hiperbola. Konan tersenyum mendengar penuturan anak tirinya. Dia tahu apa yang Hinata rasakan. Dia pernah merasakannya. Bahkan sampai saat ini. Saat pernikahannya dengan Hiashi sudah berjalan lebih dari tiga tahun, dia masih belum bisa melupakan Yahiko, kekasihnya.
"Berusahalah." Kata Konan, lalu membawa Hinata berjalan ke ruang makan, menunggu tamu yang sama sekali tak Hinata harapkan.
.
.
.
.
Naruto terus memainkan kuasnya di atas kanvas. Beraneka warna berserakan tak beraturan di atas kanvas. Naruto bukannya ingin membuat lukisan abstrak. Hanya saja dia sedang tidak bisa memikirkan apa yang akan dia lukis. Dia hanya ingin mengisi waktunya yang sepi. Mengekspresikan kekecewaannya. Pikirannya kacau, mengingat gadis yang sangat dia cintai. Dia tahu, malam ini Hinata akan bertemu dengan calon suaminya. Calon suami yang dipilihkan langsung oleh Hiashi, ayah Hinata.
Naruto meremas rambut jabriknya. Dia benar benar kacau. Bajunya yang berwarna hitam sudah terkena noda cat di sana sini. Bahkan dia dengan sembarangan mencampurkan beberapa warna dalam satu palet.
.
.
"Apa ini yang kau sebut dengan tempat tinggal, Naruto-kun?" tanya Hinata dengan nada mengejek.
Naruto hanya cengengesan sambil menggaruk garuk belakang kepalanya yang tidak gatal untuk menanggapi ejekan Hinata.
Sekarang keadaan apartemen Naruto sangat kacau, lebih buruk dari kapal pecah. Beberapa peralatan gambar berserakan di mana mana. Kuas, pinsil, kertas sketsa, penghapus, palet, bermacam macam cat, dari cat minyak, cat air sampai cat akrilik. Sebagai mahasiswa desain, apartemen Naruto memang jarang sekali rapi. Setiap mengerjakan tugas, pasti semua barang itu berserakan.
Hinata sedang sibuk membereskan apartemen Naruto sementara Naruto malah kembali tenggelam dengan sketchbook-nya. Memperhatikan Hinata dengan seksama, dia membuat garis garis yang sebentar lagi akan membentuk sebuah wajah cantik milik gadisnya.
"Apakah kau bisa membantuku, tuan besar?" Naruto tergelak mendengar pertanyaan dari Hinata. Gadis yang dulu sangat pemalu sekarang malah terus terusan mengejeknya?
"Aku hanya memberikan kesempatan untukmu agar berlatih menjadi istri yang baik, nyonya Uzumaki." Kata Naruto tersenyum jahil, seketika itu pula Hinata blushing.
"Berhentilah menggodaku dan cepat membantuku." Kata Hinata pura pura mendengus kesal.
.
.
Naruto memperhatikan sekeliling apartemennya. Sekarang sudah tidak ada lagi gadis yang akan marah marah padanya kalau melihat apartemennya berantakan. Atau gadis yang akan dengan senang hati membantunya membereskan apartemennya. Naruto menenggelamkan ke[alanya kedalam tangannya. Dia benar-benar nelangsa. Dia telah kehilangan sesuatu yang sangat berharga baginya. Entah apa lagi yang harus dia perbuat untuk mempertahankan gadis yang sangat dia cintai. Entah dengan cara apa lagi dia bisa merebut apa yang dia punya kembali.
Bukan, bukan Naruto tidak pernah berusaha mempertahankan Hinata. Hanya saja dia memang sudah tidak sanggup untuk mempertahankan Hinata. Segala cara telah dia perbuat. Semuanya telah dia lakukan demi Hinata.
Satu persatu butir butir air jatuh membasahi pipi Naruto. Ya, dia menangis, Naruto menangis, sesuatu yang sangat jarang bahkan tidak pernah dia lakukan. Air mata itu hanya jatuh untuk orang yang sangat dia cintai. Bahkan Naruto sempat lupa bagaimana mana caranya menangis. Terakhir kali dia menangis itu sudah sangat lama sekali, saat dia harus kehilangan orang yang telah membesarkannya, Iruka, orang yang dipanggilnya Paman, adik dari ibunya. Dan saat ini Naruto kembali menangis karena gadis itu, gadis Hyuuga yang malam ini akan bertemu dengan calon suaminya.
Tak ada suara dari tangisan Naruto, hanya air mata yang terus menetes. Rasanya benar benar sesak, sangat menyakitkan. Jika dulu Naruto lupa bagaimana caranya menangis, saat ini dia lupa bagaimana caranya untuk berhenti menangis. Karena rasa sakit di hatinya belum juga hilang, meski telah begitu banyak air mata yang dia keluarkan.
.
.
.
.
Hinata hanya memainkan sendoknya. Dia sama sekali tak bernafsu untuk memasukkan makan itu ke dalam mulutnya. Seorang pemuda tampan duduk di depannya, terlihat lahap menikmati makanannya. Di samping pemuda tersebut duduk Neji, kakak sepupu Hinata.
"Apa kau menyukai makanannya, Sasuke?" tanya Hiashi memecah kesunyian, mungkin ngobrol saat sedang makan memang tidak sopan, tapi untuk saat ini Hiashi sedikit mengabaikan adab kesopanan.
"Hn, ini sangat lezat, Hiashi-sama." Jawab calon suami Hinata tersebut.
Tak bisa dipungkiri, pemuda di depan Hinata itu memang sangat mempesona. Levelnya sangat jauh jika di bandingkan dengan Naruto. Seorang Uchiha Sasuke, pewaris tunggal dan merupakan salah satu doktor termuda di Jepang, jadi tidak diragukan lagi kalau otak Uchiha yang satu ini sangatlah cerdas. Ditambah lagi wajahnya yang sangat tampat, membuat semua gadis tidak dapat mengacuhkan pesonanya. Tapi Hinata sama sekali tak tertarik dengan pemuda yang satu ini. Dia lebih memilih Naruto yang sederhana.
Konan menyenggol lengan Hinata, membuatnya tersadar dari lamunannya.
"Apa kau melamun, Hinata?" tanya Konan dengan berbisik. Hinata sama sekali tak merespon pertanyaan ibu tirinya, dia hanya menatap Konan dengan tatapan yang sakit.
"Makanlah, dari tadi kulihat kau hanya memainkan makananmu," lanjut Konan lagi masih dengan berbisik. Dia benar-benar tahu apa yang sedang dirasakan oleh anak tirinya. Hinata mengangguk, dia cukup senang dengan perhatian ibu tirinya.
Hinata mulai mencoba menikmati makanannya. Sebenarnya makanan itu sangat enak, tapi entah kenapa Hinata kehilangan indra pengecapnya, sehingga dia tak mampu merasakan apa-apa, rasanya benar-benar hambar, sehambar perasaannya.
"Aku permisi ke toilet sebentar," Hinata beranjak dari kursinya, diikuti pandangan penuh tanya Konan, mungkin disini hanya dia yang tahu bagaimana perasaan Hinata.
.
.
Naruto berlutut di depan Hiashi. Memohon dengan sangat pada makhluk di depannya.
"Ijinkan aku tetap bersama Hinata, Paman, aku janji akan membahagiakannya." Kata Naruto bersungguh-sungguh. Hinata menatap naar pemuda disampingnya. Air matanya terus meluncur jatuh membasahi pipi pucatnya. Dia baru saja ketahuan pergi dengan Naruto, dan Hiashi marah besar karena itu. Tapi bukannya pergi Naruto malah memohon pada Hiashi.
"Kau pikir kau siapa? Berani beraninya berjanji akan membahagiakan putriku?" Hiashi menjawab dengan ketus. Dimatanya pemuda di hadapannya bukanlah apa-apa, hanya pemuda jalanan yang tak berguna.
"Saya akan berusaha, paman." Jawab Naruto yakin.
"Dengan cara apa?" Hiashi menantang. "Apa dengan menjual desain desainmu yang murahan itu? Aku tak yakin desainmu itu laku." Lanjut Hiashi merendahkan.
Hinata masih menangis, dia ingin sekali membela Naruto, tapi entahah, mulutnya seperti terkunci.
"Aku sangat mencintai putrimu."
"Apa kau pikir Hinata akan kenyang kau kasih makan cinta! Hah! Jika kau sudah punya nama, baru kau boleh mendekati putriku!" nada suara Hiashi semakin meninggi, dia benar-benar geram dengan pemuda di hadapannya. Sudah berkali – kali dia memperingatkan pemuda itu, tapi dia masih saja mendekati putrinya.
"Sekarang pergi dari sini, dan jangan pernah kembali lagi!" Hiashi mengusir Naruto. Entah sejak kapan sudah ada satpam di ruang tamu itu dan menyeret Naruto pergi.
"Jangan, Papa." Hinata berusaha menahan tangan Naruto yang di pegang dua satpam itu.
"Lepaskan dia, Hinata! Dan masuk ke kamarmu!"
"Aku mencintainya, Pa!"
"Masuk kamar!"
.
.
Hinata melewati ruang tamu. Hatinya kembali terasa diramas remas. Matanya memanas dan air matanya kembali turun.
"Naruto-kun" ujarnya lirih.
Dia terus melangkahkan kakinya melewati ruang tamu tersebut.
.
.
.
.
Naruto masih sibuk mecorat coret kanvas di depannya. Mencoba menuangkan segala emosinya kedalam kanvas tak berdosa itu.
"Aku akan segera punya nama, dan aku akan mengambil apa yang memang menjadi hakku, Hiashi-sama." ujarnya pada diri sendiri.
"Aku akan membawa Hinata kembali ke dalam pelukanku, bagaimanapun caranya, Hiashi-sama."
Naruto terus berkata kata penuh emosi di depan kanvas itu, seolah di hadapannya itu adalah Hiashi.
TING TONG TING TONG
Naruto mendengar bel apartemennya meraung raung. Dengan malas dia berjalan kearah pintu. Tanpa melihat terlebih dahulu siapa yang datang dari lubang kecil di pintu apartemenya, Naruto langsung membukakan pintu. Dia sangat terkejut dengan pemandangan di depannya. Sama sekali tak menyangka akan kehadiran tamunya malam ini.
"Naruto..." sapa sang tamu.
"Kau..." Naruto benar-benar tak menyangka akan melihat gadis ini saat ini, malam, disini, di apartemennya.
.
.
.
TO BE CONTINUE
What do you think about this fict? Abal? Gaje? Terlalu membingungkan? Okelah, mungkin terlalu banyak flashbacknya, tapi saya hanya berusaha membuat pesannya lebih nyampe. Mungkin di chap depan akan lebih sedikit flashbacknya. Disini mungkin akan muncul pairing pairing baru nantinya. Bagaimana? Bagaimana? Apa yang anda pikir? Masih banyak yang kurang? Yang mau flame juga boleh, semoga saya bisa memperbaiki lagi deh, tapi kalo flame tolong jelasin alasan alasannya yah jangan asal flame dan juga pake bahasa yang sopan ^^.
Oke for the last, whatever you thought about this fict, just press the 'review' button and give me your opinion about my fict.
