Halo, Minna-san! Sakura Yuri kembali membawa Fic baru, dengan genre dan gaya penulisan yang baru juga...

PS: Maaf apabila Fic ini tidak menarik dan kurang memuaskan kalian... Salahkan saja Yuri yang sudah menyerahkan Fic ini pada Sakura...

Selamat menikmati...

Disclaimer: Gundam Seed dan Gundam Seed Detiny sepenuhnya milik Sunrise


Flash!

Malam itu adalah sebuah malam yang biasa. Sebuah malam di mana mata akan disuguhi dengan pemandangan langit yang dihiasi kilatan cahaya dan kegelapan yang saling menyambar. Sebuah malam di mana telinga akan disuguhi dengan nyanyian-nyanyian kesengsaraan, rintihan dan teriakan jiwa-jiwa yang tersiksa di seluruh penjuru bumi. Ya, malam itu hanyalah malam biasa yang tidak jauh berbeda dari malam-malam lainnya.

Di tengah suasana yang sangat mencekam seperti saat ini, yang bisa dilakukan para manusia hanyalah bersembunyi. Sebisa mungkin mereka tidak menampakkan diri, menghindari segala bentuk kontak dengan Angel. Angel, apa pun jenis mereka - Light ataupun Dark - sama saja, jangan pernah mengadakan kontak ataupun berurusan dengan mereka. Jika seorang manusia sampai terjebak pada medan pertempuran di antara mereka, maka jelas ia tidak dapat keluar dari sana dengan selamat.

"Hhh, hhh, hhh…"

Rupanya tidak semua manusia sempat menyembunyikan diri mereka malam ini. Ia pasti memiliki alasan yang sangat kuat dan berarti, hingga berani melangkahkan kakinya di dalam sebuah hutan di tengah pertempuran antar Angel. Atau mungkin, nasib yang teramat kejamlah yang telah memaksa pria ini.

Tap, tap, tap, tap…

Pria itu berlari, berlari secepat mungkin dengan segenap tenaga yang tersisa pada dirinya. Nafas dan degup jantungnya terpacu, langkahnya tak beraturan dan tubuhnya penuh dengan luka. Meskipun dengan kondisi yang demikian mengenaskan, pria itu tetap memaksa kedua kakinya untuk berlari. Ia terus berlari dengan kedua lengannya terlipat ke depan, berusaha melindungi sesuatu yang ia bawa dalam dekapan hangatnya.

'Akan kulindungi…'

Di tengah pelariannya, kedua mata pria itu tiba-tiba saja mulai digenangi oleh air mata.

'Akan kulindungi mereka…'

Pria itu menundukkan wajahnya, sekedar untuk mengintip kedua sosok mungil yang ia dekap dengan erat.

'Akan kurawat, kubesarkan dan kulindungi mereka berdua…'

Dan demikianlah, pria itu akhirnya tak sanggup lagi membendung air matanya. Ia menangis dalam diam, seraya terus berlari jauh ke dalam hutan bersama kedua putri kecilnya.


-Between Light and Dark - Everlasting-


Earth – 16 Years Later

"Kakak?"

"Shh…" seorang gadis berambut pirang meletakkan jari telunjuknya di depan bibir, berusaha memberikan isyarat pada seorang gadis lain di sampingnya untuk diam.

"Hey?" terdengar suara seorang pria dari balik semak-semak, tempat di mana kedua gadis tadi bersembunyi. "Kau dengar sesuatu?"

"Apa?" terdengar suara pria lain. "Aku tidak dengar apa-apa."

Salah seorang dari kedua gadis yang sedang bersembunyi di balik semak-semak – seorang gadis dengan mata orange – memberikan isyarat lain pada gadis yang memanggilnya "kakak" dengan melambaikan tangan kanannya dengan cepat. Ia berusaha mengajak gadis bermata magenta di sampingnya untuk segera pergi secara diam-diam.

Sang adik pun menurut, ia mulai beranjak dari tempatnya – mengendap-endap mengikuti sang kakak – dengan membawa sebuah keranjang rotan di tangan kanannya. Setelah beberapa menit mereka terus mengendap-endap seperti itu, akhirnya mereka berhasil menjauh dari dua sosok yang mereka hindari. Sang kakak segera bangkit, lalu meraih tangan sang adik dan mengajaknya berlari sejauh mungkin.

"Tadi itu hampir saja, Stellar," ucap sang kakak, di sela-sela langkahnya.

Sang adik yang dipanggil "Stellar" mengangguk sambil mempererat genggaman tangannya pada tangan sang kakak. "Iya, syukurlah kita berhasil lolos."

Setelah beberapa saat berlalu, akhirnya sang kakak menghentikan langkahnya. Ia memberi kesempatan pada dirinya dan sang adik untuk bernafas sejenak, kemudian menoleh pada sang adik dan menatapnya tajam. "Semua ini gara-gara kau!"

"Maaf… Stellar hanya ingin…" Stellar menundukkan wajahnya, menatap sebuah keranjang kecil yang sejak tadi ia bawa.

Sang kakak turut memandangi keranjang rotan milik Stellar untuk sesaat, lalu menghela nafas panjang dan berkata. "Hhh… Ya sudahlah, kali ini kumaafkan."

Mendengar ucapan sang kakak, Stellar langsung mengangkat wajahnya dan tersenyum lebar. "Terima kasih, Kak Cagalli…" ucap gadis bermata magenta itu sambil memeluk sang kakak seerat mungkin.

"He-hey, Stell? Sesak," keluh sang kakak – Cagalli – sambil berusaha melepaskan dirinya dari pelukan sang adik.


-Chapter: 0-


"Sekarang sudah hampir malam."

"Kenapa mereka belum juga kembali?"

"Di luar sangat berbahaya."

"Ke mana perginya mereka berdua?"

Seorang pria paruh baya terus mempertanyakan dan mengeluhkan hal-hal serupa, entah kepada dirinya sendiri atau pada seorang wanita yang sejak tadi memperhatikan dirinya. Pria itu terus bergumam seraya ia melangkahkan kakinya ke sana kemari, puluhan kali mengelilingi ruangan – lebih tepat disebut lorong – tempat ia berada.

"Uzumi?" sang wanita yang sejak tadi memperhatikan Uzumi – pria yang sejak tadi terlihat gelisah di hadapannya – akhirnya mengangkat suaranya. "Jangan terlalu cemas… Aku yakin Cagalli dan Stellar akan segera kembali."

Uzumi seketika itu juga menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah wanita yang saat ini tengah duduk di atas sebuah batu. "Myrna? Bagaimana aku bisa tenang selagi kedua putriku pergi entah ke mana?" ucapnya dengan nada tinggi. "Bagaimana jika mereka pergi terlalu jauh? Bagaimana jika mereka bertemu denga para Angel? Bagaimana jika-."

"Tenanglah, Paman," suara seorang pria dari dalam lorong berhasil memotong hujan pertanyaan Uzumi. "Cagalli dan Stellar pasti akan baik-baik saja, mereka gadis yang tangguh."

"Maksudmu Cagalli?" tanya Uzumi sambil mengerutkan keningnya. "Rusty, Cagalli tidak tangguh, dia hanya bersikap sok kuat untuk menjaga Stellar."

"Tidak, Paman…" ucap Rusty – seorang pria berambut merah – yang tadi memotong Uzumi. "Mereka memang tangguh."

Uzumi sempat mengangkat alisnya. Pria berjanggut itu ingin mengatakan sesuatu, namun terhenti oleh sebuah tepukan lembut di bahu kirinya. "Rusty benar, Uzumi… Kedua putrimu itu sama-sama tangguh," ucap Myrna – wanita yang sejak tadi memperhatikan Uzumi – dengan tangan kanannya yang masih beristirahat di bahu Uzumi. "Stellar juga gadis yang tangguh, ia tangguh dengan caranya sendiri."

Setelah terdiam selama beberapa saat, Uzumi akhirnya menghela nafas pasrah. "Aku tahu, aku tahu itu," ucapnya sambil membasuh wajah dengan telapak tangan kanannya. "Aku hanya… Jika terjadi sesuatu yang buruk pada mereka…"

Myrna tersenyum lembut, lalu mengusap-usap bahu Uzumi dengan jari-jarinya. "Tenanglah, percayalah pada mereka, Uzumi…"

Uzumi hanya mengangguk kecil, ia tidak tahu harus merespon dengan apa lagi. Pikirannya masih sangatlah kacau, dipenuhi rasa cemas dan gelisah. Pria bernama lengkap Uzumi Nala Athha itu benar-benar menyayangi dan mencemaskan kedua putrinya.

Uzumi selalu berusaha melindungi putri kembarnya, bahkan terkadang ia rela mempertaruhkan nyawanya demi mereka. Ia membesarkan dan mendidik kedua gadis berambut pirang itu dengan sebaik-baiknya, memberikan segenap kasih sayang dan ilmu pengetahuan yang ia miliki. Cagalli Yula Athha dan Stellar Lousier Athha, mereka berdua adalah harta yang tak ternilai dan anugerah terbesar bagi Uzumi.

"Kami pulang…"

Uzumi, Myrna dan Rusty sontak menolehkan wajah mereka ke arah sumber suara secara hampir bersamaan, terlihat dua orang gadis dengan rambut pirang tengah melangkah menghampiri mereka bertiga. Sang kakak melangkah dengan tegap sambil menggenggam tangan adiknya, sedangkan sang adik melangkah dengan wajah tertunduk di belakang kakaknya.

"Kalian?" sambut Uzumi dengan nada sedikit tinggi. Ia memang merasa lega karena kedua putrinya pulang dengan selamat, namun amarah telah mengambil alih sebagian besar dari dirinya. "Dari mana saja kalian? Hari sudah gelap dan kalian baru pulang?"

"Um, ma-maaf, Ayah…" ucap Stellar dengan gugup dan ragu-ragu. "Kami… Kami…"

"Kami dari hutan," sahut Cagalli, membantu Stellar untuk menjawab pertanyaan ayahnya.

Seketika itu juga mata Uzumi melebar. "Apa? Hutan katamu?!" serunya dengan nada yang cukup tinggi. "Kenapa kalian pergi sampai sejauh itu? Kalian tahu? Tempat itu berbahaya! Banyak-."

"Kami tahu," potong Cagalli. "Banyak Angel berkeliaran di sana."

Uzumi merasakan darah sudah mengalir ke kepalanya, namun ia berusaha menahan dirinya. "Lalu kenapa kalian pergi ke sana?" tanyanya dengan sedatar mungkin, namun suaranya tetap terdengar lirih. "Ayah benar-benar mencemaskan kalian berdua…"

Cagalli tidak menjawab, ia justru memalingkan wajahnya perlahan. Hal tersebut membuat sang adik akhirnya memberanikan diri untuk angkat suara. "Maaf, Ayah… Kami… Aku meminta kakak menemaniku ke hutan untuk mencari ini…" ujarnya sambil menunjukkan keranjang rotan yang ia bawa kepada ayahnya.

Uzumi mengalihkan pandangan matanya pada keranjang milik Stellar, lalu alis pria itu terangkat. "Anggur?"

Stellar mengangguk kecil. "Hari ini ulang tahun ayah… Jadi Stellar ingin mencari anggur untuk ayah…" ujarnya sambil mengangkat keranjangnya ke arah Uzumi. "Anggur adalah buah kesukaan ayah 'kan?"

Seketika itu juga tatapan Uzumi melembut, ia menatap kedua putrinya dengan berbagai macam perasaan datang dan menumpuk di dalam hatinya. Ia merasa tersentuh, sangat tersentuh dengan niat baik Stellar dan Cagalli. Di sisi lain, ia juga cemas jika kebaikan hati kedua putri kesayangannya itu justru akan membahayakan diri mereka suatu saat nanti.

"Kalian ini…" tidak sanggup berkata apa-apa lagi, Uzumi langsung melangkah maju dan memeluk kedua putrinya. Tindakannya tentu membuat Cagalli dan Stellar terkejut, namun akhirnya mereka membalas pelukan sang ayah. "Terima kasih…"

"Terima kasih kembali, Ayah…" bisik Stellar.

"Maaf, kami membuat ayah khawatir," tambah Cagalli.

Uzumi hanya tersenyum sambil membelai rambut kuning keemasan kedua putrinya. Mereka bertiga terus berada dalam posisi tersebut selama beberapa saat, melupakan keberadaan Rusty dan Myrna yang hanya bisa memandangi keluarga kecil itu dengan senyuman di wajah mereka.


-The Beginning-


"Kakak?"

Cagalli menolehkan wajahnya ke belakang, didapatinya sang adik telah memandanginya. "Hey, Stell?" jawabnya sambil membalikkan sebagian tubuhnya untuk menghadap Stellar. "Ada apa?"

Saat ini Cagalli tengah duduk di atas sebuah batu karang, di atas sebuah tebing yang langsung berhadapan dengan samudera. Tebing tersebut cukup tinggi dan memiliki beberapa mulut gua di permukaannya, gua-gua tersebut memiliki kedalaman yang cukup panjang dan semuanya menghadap lautan lepas.

"Kakak sedang apa?" tanya Stellar sambil berusaha mendaki batuan karang di hadapannya untuk menghampiri Cagalli. "Boleh Stellar bergabung dengan kakak?"

Cagalli tersenyum tipis, kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Stellar mencapai tempatnya berada. "Tentu, Stell," jawabnya sambil menarik sang adik yang sudah menyambut tangannya. "Duduklah."

Stellar duduk tepat di samping Cagalli, keduanya lalu mengalihkan pandangan mereka ke arah samudera. Malam itu lautan begitu sunyi, membuat keduanya terlarut dalam pemikiran mereka masing-masing. Meski suara deburan ombak yang menghantam tebing dan batuan karang dapat dengan jelas terdengar, namun suasana lautan saat ini terasa begitu sunyi dan damai bagi kedua gadis berambut pirang itu.

"Stellar suka tempat ini…" tiba-tiba suara Stellar memecah keheningan.

Cagalli sontak menoleh dan mendapati adiknya tersenyum sambil terus melekatkan pandangannya pada laut lepas. "Ya, aku juga," jawabnya. "Apalagi jika suasana sedang damai dan tenang seperti sekarang…" ucapnya sambil kembali menoleh ke arah laut malam. "Aku benar-benar menyukai tempat ini, Stell."

Hening kembali mengisi ruang di antara mereka, keduanya kembali larut dalam dunia mereka masing-masing. Tidak ada salahnya menikmati suasana tenang dan damai yang tersaji di depan mereka, selagi mereka masih bisa menikmatinya. Di dunia yang kejam ini, di dunia yang telah dipenuhi ambisi dan keserakahan ini, di dunia yang telah menjadi medan pertempuran antara dua mahluk yang berusaha saling memusnahkan satu sama lain ini… Ketenangan dan kedamaian adalah sesuatu yang sangat berharga dan benar-benar sulit ditemukan.

Roar!

Stellar dan Cagalli tersentak ketika mendengar suara gemuruh dari kejauhan. Di saat mereka menatap ke arah sumber suara, yang mereka dapati adalah sambaran kilat di sekitar horizon.

Ah, pertunjukan sudah dimulai rupanya. Sebuah pertunjukan yang menampilkan kilatan cahaya yang saling beradu dengan kegelapan. Sebuah pertunjukan saling melukai dan membunuh di antara satu sama lain. Sebuah pertunjukan hina yang tidak akan pernah terhenti hingga salah satu di antara kedua sisi musnah.

"Para Angel itu…" gerutu Cagalli. "Tidak bisakah mereka menghentikan peperangan konyol mereka?"

Stellar menatap sang kakak untuk sesaat, lalu berkata, "Entahlah, Kak… Perang di antara Light dan Dark Angel sudah berlangsung sejak ribuan tahun lalu… Pasti sulit…" ucapnya pelan, lalu ia menundukkan wajahnya dan menggerak-gerakkan jarinya yang mengatup di pangkuannya. "Stellar… Juga ingin peperangan ini berakhir… Stellar ingin kita semua hidup bersama dengan damai…"

Cagalli memejamkan matanya sejenak, lalu menghela nafas berat. "Kau benar, Stell, rasanya akan sulit…" ucapnya. "Mengingat ambisi dan keegoisan para Angel… Mereka bahkan menganggap manusia sebagai sampah dan seenaknya menjadikan bumi tempat kita tinggal sebagai medan pertempuran."

Ya, sejak beribu-ribu tahun yang lalu bumi telah berubah menjadi medan pertempuran. Bumi yang mulanya menjadi tempat yang indah dan nyaman bagi manusia, telah berubah menjadi tempat yang mengerikan. Peperangan di antara Angel telah menelan banyak korban, baik Angel mau pun manusia yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan peperangan tersebut.

Peperangan terjadi di antara Light Angel dan Dark Angel – para Angel penghuni Skyworld dan Underworld – yang berambisi untuk saling menghancurkan dan memperoleh kekuasaan tertinggi. Tidak ada di antara para Angel yang mau mengalah dan mengakui keberadaan Angel dari jenis yang berbeda, bahkan mahluk hidup lain seperti manusia pun mereka anggap sebagai serangga tidak berguna.

"Stellar…" lagi-lagi suara lembut Stellar memecah keheningan. "Stellar tidak ingin terus seperti ini…" ucapnya sambil memeluk erat kedua lututnya. "Stellar takut… Stellar…"

"Shh, Stell…" Cagalli memotong ucapan Stellar sambil membelai rambut sang adik. "Tenanglah, aku dan ayah akan selalu bersamamu."

Stellar mengangkat dan menolehkan wajahnya ke arah Cagalli. "Tapi, Kak… Bagaimana kalau suatu saat kita-."

"Shh…" potong Cagalli lagi, gadis itu berusaha menenangkan sang adik yang mulai terlihat ketakutan. "Tenanglah, Stell…" ujarnya sambil memeluk sang adik. "Yang perlu kita lakukan hanyalah menghindari para Angel dan bersembunyi."

'Ya, terus lari dan bersembunyi…'

Cagalli mengerutkan keningnya sambil terus membelai rambut Stellar. Sejujurnya ia tidak menyukainya, ia tidak ingin terus lari dan bersembunyi seumur hidupnya. Itu adalah cara hidup yang menyedihkan, sama sekali tidak mengizinkan diri untuk meraih dan merasakan kebebasan. Cara hidup yang terdengar seperti seorang pengecut itu tentu saja bertentangan dengan kepribadian Cagalli yang pemberani dan sangat mencintai kebebasan.

Namun apalah daya? Manusia tidak memiliki kekuatan dan kemampuan khusus layaknya para Angel. Para Angel bisa terbang bebas di langit dengan kepakan sayap bulu mereka, manusia hanya bisa berjalan di tanah dengan kaki mereka. Para Angel mampu membekukan danau, memecah tebing, membakar hutan dan merenggut nyawa manusia dengan kekuatan mereka. Sedangkan manusia? Mereka hanya bisa lari dan bersembunyi untuk melindungi diri mereka dari para Angel yang terlalu sibuk dengan pertempuran mereka.

"Kakak…"

Suara panggilan sang adik berhasil menghentikan pemikiran panjang Cagalli. "Hmm?"

"Kakak… Kakak dan ayah akan selalu bersama Stellar 'kan?" tanya Stellar dengan suara lirih. "Kita bertiga akan selalu bersama 'kan?"

Tatapan Cagalli langsung melembut. "Tentu, Stell," jawabnya sambil mengangguk. "Kita akan selalu bersama…"


-By: Sakura Yuri-


"Semuanya? Makanan sudah siap!" seru seorang pria berusia 30 tahunan. Pria itu berdiri di depan sebuah api unggun yang dikelilingi puluhan batang ranting, ranting-ranting tersebut ditegakkan di tanah. Di ujung ranting-ranting itu terdapat seekor ikan yang telah berubah warna menjadi cokelat kehitaman dan menyeruakkan aroma sedap.

"Waaah, akhirnya matang juga!"

"Perutku sudah lapar…"

"Hey, hati-hati! Ikannya masih panas."

"Ini, Ibu, makanlah."

"Ayah, ikan ini enak!"

Berbagai macam seruan terdengar memenuhi lorong, membuat suasana lorong gua yang seharusnya terasa dingin menjadi sedikit lebih hangat bagi para penghuninya. Para pria, wanita dan anak-anak telah mengerumuni api unggun dan mengambil jatah makan malam mereka, makan malam berupa ikan bakar kecil yang sederhana.

"Semuanya sudah dapat bagian masing-masing?" seru seorang pria berambut merah.

"Ya!" jawab sebagian besar orang yang sedang menikmati makan malam mereka di lorong gua.

"Rusty?" pria berambut merah tadi menoleh, ketika ia mendengar namanya dipanggil. "Apa masih ada yang tersisa?"

Rusty tersenyum pada pria berambut hitam keabu-abuan yang menanyainya. "Tentu, Paman Uzumi," jawabnya, lalu ia berbalik dan mengambil 3 buah ranting dengan ikan bakar di ujungnya. "Ini untuk paman, Stellar dan Cagalli."

"Apa hasil tangkapan hari ini cukup untuk kita semua?" tanya Uzumi pelan sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

Rusty mengangguk. "Jangan cemas, Paman," jawabnya sambil tersenyum. "Hari ini kita sangat beruntung, banyak ikan berkeliaran di sekitar tebing."

Uzumi mengangguk kecil, lalu ia memandangi ketiga ranting dan ikan bakar di tangannya. Ketiganya hanyalah ikan bakar berukuran kecil yang tidak dipoles dengan racikan bumbu apa pun. Salah satu menu santapan sehari-hari baginya dan penghuni lain gua ini.

"Rusty?" tiba-tiba terdengar suara seorang gadis dari belakang Uzumi. "Ikannya sudah matang?"

Rusty mengangguk dan menjawab, "Ya, makan malam sudah siap, Cagalli."

Cagalli tersenyum lebar, lalu ia mempercepat langkahnya untuk menghampiri Rusty dan ayahnya. "Bagus, aku sudah kelaparan…"

"Ini milikmu," ujar Uzumi sambil menyerahkan seekor ikan bakar pada putrinya. "Dan ini milikmu, Stellar," tambahnya sambil menoleh pada Stellar yang masih melangkah di belakang Cagalli.

Cagalli dan Stellar langsung menerima ikan bakar pemberian ayah mereka dengan senang hati, lalu ketiganya duduk bersandar pada dinding gua sambil menikmati ikan bakar mereka masing-masing.

"Ini," Uzumi meletakkan sebuah keranjang berisi beberapa buah anggur di hadapan kedua putrinya, sesaat setelah ketiganya selesai menikmati makan malam mereka. "Makanlah."

Cagalli dan Stellar sempat memandangi keranjang berwarna cokelat di hadapan mereka, lalu mengangkat wajah mereka secara bersamaan. "Apa? Kami tidak mau," ucap Cagalli.

"Ini adalah hadiah dari kami untuk ayah…" tambah Stellar.

"Dan ayah ingin membagikan hadiah ayah pada kalian," ujar Uzumi sambil tersenyum tipis. "Ayo, kita makan bersama?"

Cagalli dan Stellar sempat saling memandang untuk sesaat, lalu kembali menatap ayah mereka. "Tapi, Ayah-."

"Sudahlah, makan saja," ucap Uzumi, memotong protes kedua putrinya. "Ayah tidak mau makan sendirian."

Setelah kembali saling memandang, akhirnya Stellar dan Cagalli memutuskan untuk menuruti ayah mereka. Ketiganya mulai menikmati anggur segar dari dalam keranjang tersebut, sampai tiba-tiba saja seorang bocah laki-laki menghampiri mereka.

"Eh…? Apa itu?" tanya bocah itu dengan wajah polosnya.

Stellar tersenyum, lalu menjawab, "Ini anggur, kau mau?" tanyanya sambil memberikan sebutir anggur pada bocah tadi.

"Apa ini enak?" tanya si bocah.

Stellar tertawa kecil dan menjawb, "Ya, rasanya segar dan manis," sambil mengangguk.

Setelah mengamati buah mungil berwarna ungu di tangannya, si bocah akhirnya memasukkan buah itu ke dalam mulutnya. "Wah, benar!" serunya setelah mengunyah dan menelan makanannya. "Rasanya enak!"

"Benarkan?" tanya Stellar. "Stellar memetiknya di hutan tadi siang bersama kak Cagalli."

"Hutan? Kalian pergi ke hutan?" tanya si bocah. "Apa di sana banyak makanan enak?"

Stellar ingin menjawab pertanyaan si bocah, namun dipotong oleh Cagalli. "Tidak, tidak banyak," ucapnya. "Jangan pergi ke hutan, berbahaya."

"Eh? Begitu ya?" si bocah terlihat lesu.

Uzumi sempat menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan, lalu ia berkata, "Hey, Ryan?" si bocah menoleh padanya. "Kau suka anggur ini?" si bocah mengangguk. "Kalau begitu ambil semua, makanlah bersama teman-temanmu," ujarnya.

Ryan – si bocah laki-laki – langsung tersenyum lebar, lalu ia mengambil keranjang berisi anggur di hadapannya dan berkata, "Terima kasih, Paman Uzumi, Kak Cagalli, Kak Stellar," kemudian ia berbalik dan berlari kecil menuju sekelompok anak-anak lain.

Kedatangan Ryan langsung disambut hangat oleh teman-temannya, mereka langsung menyapa dan menanyakan apa yang ia bawa. Setelah Ryan menjelaskan apa isi keranjang tersebut, teman-temannya terlihat sangat antusias dan mereka dengan senang hati mencicipi buah tersebut.

Bukan hal yang tidak lazim apabila anak-anak itu tidak pernah merasakan makanan lain selain ikan, kerang, rumput laut atau makanan-makanan laut lainnya. Jarak antara tempat tinggal mereka dan hutan sangatlah jauh, membutuhkan waktu berjam-jam jika ditempuh dengan berjalan kaki. Selain itu berbagai ancaman bahaya dari para Angel telah menanti di luar lingkungan tempat tinggal mereka, membuat mereka terpaksa hanya bisa menghabiskan hari-hari mereka di sekitar tebing.

"Kita akan pergi," tiba-tiba saja Uzumi angkat suara, kata-katanya barusan tentu saja membuat kedua putrinya terkejut dan langsung menatapnya. "Kita akan pergi dari sini, beberapa hari lagi."

"Apa? Kenapa?" tanya Stellar.

"Apa yang salah dengan tempat ini, Ayah?" tambah Cagalli.

Uzumi memejamkan kedua matanya untuk sesaat, memikirkan sumber dari rasa cemas dan gelisah yang telah menghantuinya semenjak belasan tahun terakhir. "Tidak ada yang salah dengan tempat ini," jawabnya.

"Lalu kenapa?" tanya Cagalli menuntut.

"Kita harus pergi, kita sudah terlalu lama menetap di sini."


-Cagalli & Stellar-


Skyworld

Jauh di kedalaman langit biru - di antara gumpalan-gumpalan awan putih – berdiri dengan kokoh sebuah istana megah nan indah. Istana perak tersebut berhiaskan kilauan embun dan bermandikan cahaya pelangi, membuat siapa pun yang melihatnya akan merasa takjub dan tak henti-hentinya mengagumi keindahan istana tersebut.

Suasana di sekitar istana tersebut pun terlihat damai dan tentram, dikelilingi oleh padang bunga dengan paduan berbagai bentuk dan warna. Sungai kecil pun mengalir dengan tenang di antara lautan bunga di samping istana, memberikan kesejukan dan menjadi sumber kehidupan bagi setiap mahluk hidup di lingkungan istana tersebut.

Di dalam bangunan istana tersebut – tepatnya di dalam sebuah ruangan yang cukup luas di tengah istana – terlihat seorang pria sedang menatap ke luar jendela. Ia memperhatikan setiap gerak-gerik rakyatnya yang tengah sibuk menjalankan aktivitas mereka masing-masing di sekitar istana.

Sosok pria itu tidak biasa, ia mengenakan pakaian yang dilengkapi dengan panjang berwarna putih gading dan sebuah mahkota perak di kepalanya. Di punggung pria itu pun melekat sesuatu yang tidak biasa bagi manusia, sepasang sayap bulu berwarna putih bersih.

"Yang mulia Jibril?" terdengar suata seorang wanita dari belakang.

Pria yang sejak tadi berdiri di hadapan jendela besar di ruangan tersebut membalikkan badannya, lalu ia mendapati seorang wanita telah menunduk kepadanya. Setelah selesai memberikan penghormatan kepada sang raja, wanita berambut hitam tersebut mengangkat wajahnya untuk menatap langsung sang raja.

"Ada apa, Natarle?" tanya Jibril - sang raja Skyworld – dengan nada datar.

"Saya ingin menyampaikan bahwa…" wanita bernama Natarle itu menggantungkan kalimatnya untuk sesaat, terlihat bahwa ia sempat merasa ragu dalam mengatakan perihal yang ingin ia sampaikan. "Para Angel yang anda kerahkan untuk mengejar buronan kita telah tewas di tangan Dark Angel."

Seketika itu juga sang raja mengerutkan kening dan mengepalkan tangannya. "Apa?!" serunya marah. "Dark Angel keparat! Bedebah kau, Gilbert!"

Natarle hanya terdiam di tempatnya, ia tidak punya keberanian untuk menyela sang raja yang sudah jelas sangat marah di hadapannya. Jadi yang ia lakukan hanyalah mengamati perilaku sang raja yang sempat menggerutu dan mengutuk para Dark Angel, lalu memejamkan matanya dan beranjak dari tempatnya berdiri.

"Sudah lebih dari 16 tahun…" gumam sang raja. "Di mana kau bersembunyi, Keparat!" sang raja melangkah ke balkon di samping jendela, kemudian ia mengistirahatkan kedua tangannya di pagar pembatas balkon tersebut. "Aku pasti akan menemukanmu, Pencuri busuk!"

Sang raja mengepalkan tangan kanannya, lalu mengangkatnya ke udara. Sebuah cambuk hitam tiba-tiba saja muncul dalam genggamannya, lalu ia segera mengecam cambuk itu ke udara. Beberapa saat kemudian, tiga orang Light Angel muncul, melayang dengan mengepakkan sayap putih mereka di hadapan sang raja.

"Kalian bertiga!" seru sang raja pada ketiga Light Angel yang baru ia panggil menghadapnya. "Turunlah ke bumi dan cari Uzumi sampai dapat!" perintahnya. "Bawa dia kemari hidup-hidup!"

Dengan itu, ketiga orang Light Angel di hadapan sang raja menganggukkan kepala mereka, menunduk untuk memberi penghormatan pada sang raja dan akhirnya melesat turun ke bumi demi menjalankan perintah.

"Uzumi Nala Athha…" geram sang raja. "Aku tidak akan melepaskanmu, akan kudapatkan kembali harta Skyworld yang kaucuri!"

-To be Continued-


Sekian Chapter pembuka dari "BLADE" atau "Between Light and Dark - Everlasting"

Sakura dan Yuri berharap para Reader menyukai Fic dan Chapter ini dan berkenan untuk meninggalkan review untuk Sakura Yuri...

Thank you, Minna-san...

See ya later...

-SakuraYuri-87-