IN YOUR PRISON (JeongCheol Twoshot Fanfiction)

PDA Presents

A/N: Inspired by a song from Armada - Bebaskan Diriku. But in PDA hands, it will be more drama, more love, and over of you ever imagined.

Foreword

We were married

We live under the same roof

We loves each other

We share our happiness, sadness, and that hard times together

But sometimes, its hard for me to recognize

The differences among;

Having Faith

Being Lied

Feeling Loved

Or...

Being Tortured

.

.

.

Ketika meninggalkan, bahkan melupakan masa lalu demi kehidupan dimasa depan bukan salah satu dari pilihan yang ada, maka Seungcheol memutuskan untuk menjalani takdir yang berbeda. Cetak kaki yang mengikutinya selama 24 tahun, seolah hanya pijakan diatas pasir kering yang bisa dengan mudahnya terhapus oleh kedatangan angin.

Dan Yoon Jeonghan adalah angin itu. Ia meniup pergi semua yang pernah menjadi bagian dari diri Seungcheol, menggantikannya dengan lembaran-lembaran polos, kemudian mengisinya kembali dengan tinta-tinta tentang dirinya. Hanya tentang Yoon Jeonghan seorang.

Seungcheol tak lebih dari seorang lelaki dungu. Tapi cinta membisikannya bahwa ia hanya "terlahir kembali". Ia terlahir menjadi sosok yang baru, memulai semua dari awal di usia ke 24, seakan tak pernah ada kehidupan yang pernah dijalaninya sebelum ini.

Diawali dengan bulan Mei, Seungcheol mencampakkan seorang gadis yang sempat dikencaninya beberapa minggu. Gadis kesekian yang meneriakinya brengsek, dan Seungcheol tetap meninggalkannya di lorong kampus dengan "sigh" kecil karena ia benar-benar tidak peduli.

"Kuharap kau akan mendapatkan apa yang sepantasnya kau dapatkan! Cukup dengan 10 wanita yang mengutukmu, maka kau benar-benar akan merasakan sakitnya dipermainkan!"

Teriakan Krystal terdengar menipis seiring menjauhnya Seungcheol dari sana, kemudian sepenuhnya menghilang ketika pria itu berbelok keluar.

Seungcheol anggap ia tidak pernah mendengar apapun. Lagipula ia juga tidak peduli. Semua gadis meneriakkan hal yang sama kepadanya tiap kali mengakhiri sebuah hubungan, atau ketika ia dipergoki berciuman dengan wanita yang berbeda.

Apa-apa saja yang dimiliki oleh karakter utama dalam novel romansa, ternyata Seungcheol juga memilikinya. Ia kaya, tampan, dan berkharisma. Sempurna adalah kata terakhir yang menutup profilenya dalam kolom pengenalan tokoh.

Malam itu, Seungcheol mengendarai mobil sport-nya dengan kecepatan sedang. Jalur yang sepi dipinggiran distrik kota tak juga memancingnya untuk menekan gas buru-buru. Jadi Seungcheol tidak begitu mengerti, bagaimana bisa ia hampir menabrak seorang pejalan kaki didekat lampu jalan sedangkan ia tidak dalam keadaan mabuk atau apapun.

"Sial!"

Seungcheol melepaskan sabuk pengamannya dan keluar dari dalam mobil.

Seungcheol membanting pintu, dan raut kesalnya adalah sebuah ancang-ancang untuk memaki atau apapun yang bisa dilakukan untuk menyalurkan emosinya saat ini. Orang ceroboh yang hampir ditabraknya itu ternyata seorang remaja laki-laki. Ia jatuh tersungkur dengan kedua tangan yang menopang tubuh kurusnya.

"Hei, anak kecil. Kau tidak apa-apa, kan?"

Seungcheol menegur dengan nada yang tidak ramah.

Ringisan kecil terdengar dan si angkuh Seungcheol tetap tak ingin mengulurkan tangannya untuk membantu. Pemuda itu kemudian menegakkan kepalanya yang tertunduk, membalas tatapan tajam Seungcheol dengan raut wajah kesakitan.

Dan Seungcheol bagai kehilangan separuh kesadarannya setelah itu.

Seungcheol seperti lupa bagaimana caranya bernafas.

Sulit baginya untuk mengumpulkan kembali nyawa yang sempat pergi meninggalkan raganya yang membeku disudut jalan ini.

Pemuda itu seperti... Pemuda biasa. Remaja laki-laki dengan tubuh kurus, mengenakan seragam sekolah menengah atas, dan ada beberapa luka lebam disekitar wajahnya. Seungcheol tidak mengerti dari mana ia mendapat semua luka-luka ini di wajah menawannya. Jatuh tersungkur di sudut jalan tidak berarti membuatmu mendapatkan luka yang terlihat cukup parah seperti ini.

Surai brunnetenya yang panjang menjuntai lembut, membingkai indah wajahnya yang begitu pucat untuk seorang anak laki-laki. Seungcheol tertegun ketika melihat setitik air keluar dari sudut manik matanya yang kecoklatan, mengalir diatas luka-luka gores dipelipisnya yang halus.

Seungcheol tahu tubuhnya gemetaran. Tapi ia mencoba untuk mempertemukan lututnya dengan aspal agar bisa mensejajarkan diri dengan orang itu. Tangannya pelan-pelan mendekat, menyentuh lembut pipi pemuda itu, kemudian menggerakkan ibu jarinya untuk menyeka air mata yang menutupi paras indah itu.

Malam ini ialah malam dimana titik ubah kehidupan Choi Seungcheol dimulai. Satu jam bertransformasi menjadi sebuah kamar sederhana yang mungil, kasur tanpa ranjang, dan 2 raga yang duduk saling berhadapan.

Remaja laki-laki itu selalu menunduk. Ia meringis sakit ketika Seungcheol membersihkan lukanya tapi ia tetap saja menunduk. Ketika Seungcheol memancing pembicaraan dengan kalimat "Siapa namamu?", maka yang terdengar pertama kali adalah "Yoon Jeonghan", yang selanjutnya tak dapat berhenti mengiang dibenak dan pikiran Seungcheol.

Namanya Yoon Jeonghan.

Ia adalah murid biasa, dengan tingkat prestasi yang biasa, dan yang selalu mencoba untuk hidup dengan biasa.

Namun takdir seolah tak pernah mengizinkannya demikian.

Seungcheol meremat jemarinya sendiri ketika suara lirih itu bercerita tentang kehidupan bocah sebatang kara. Jeonghan adalah remaja malang yang kabur dari panti asuhan, memulai hidup baru dengan kerja sambilan di toko swalayan dan menyewa sebuah kamar kecil dipinggiran kota. Ia tidak baik dalam urusan pertemanan dan itu hanya membuat keberadaannya semakin tak terlihat di mata orang-orang. Jeonghan selalu sendirian.

Memikirkannya saja sudah membuat Seungcheol takut. Ia tidak pernah membayangkan bagaimana seorang bocah lelaki dapat hidup dalam kesepian begitu lama. Ia kasihan. Rasa simpatik yang begitu besar tiba-tiba saja muncul hingga orang-orang mungkin akan menertawainya, karena Choi Seungcheol tidak pernah menaruh peduli kepada orang asing selama ini. Tapi kenapa sekarang?

"Aku gay." Adalah kalimat penuh tekanan yang membuat telinga Seungcheol tiba-tiba berdenging. Jeonghan menjawab rasa penasaran Seungcheol tentang dari mana ia mendapatkan semua luka-luka ini. Tapi siapapun itu, termasuk Choi Seungcheol, tidak pernah berekspektasi untuk mendengar jawaban demikian.

"Kekasihku... Ah, tidak. Pria 30 tahun yang meniduriku terlihat begitu marah petang tadi. Kami bertemu di sebuah hotel untuk sex dan sial, aku datang terlambat. Aku sudah menjelaskan padanya jika pekerjaanku tidak bisa ditunda tapi dia tetap memukulku. Kami bertengkar meski secara fakta aku hanya berusaha melindungi tubuhku dari setiap tinjuan dan tamparannya. Aku tidak mengerti, kenapa semua orang membenciku, sekalipun mereka telah berkata cinta padaku diatas ranjang."

Jeonghan membalas tatapan Seungcheol dan pria bermata besar itu hanya bisa menekan diam-diam nyeri yang seketika menyerang dadanya.

Bagaimana bisa rasanya begitu sakit mendengar Jeonghan mendapatkan perlakuan tidak adil dari semua orang. Seungcheol jadi mempertanyakan, apakah Tuhan benar-benar akan mengulurkan tangannya untuk menata kehidupan di dunia secara adil. Sedangkan kenyataannya? kehidupannya dan kehidupan Jeonghan terlihat begitu rumpang seperti halnya bibir pantai, potrait pertemuan antara air laut dan pasir putih.

Jeonghan sudah tidak berniat untuk menyeka air matanya lagi. Ia lelah. Tubuh kecilnya pelan-pelan meringkuk, berbaring diatas selimut tebal yang selama ini ia pakai sebagai alas tidur. Seungcheol memperhatikannya lamat-lamat, bagaimana punggung yang membungkuk itu membelaknginya, dan nampak gemetaran seiring terdengarnya irama nafas yang tidak teratur.

Hal pertama yang dilakukan Seungcheol saat itu adalah melepas komponen battre pada handphonenya, kemudian meletakkan alat komunikasi itu menjauh dari yang dapat ia jangkau. Terakhir kali ia melirikjam analog didinding kamar, jarum pendeknya sudah menunjuk ke angka 9. Seungcheol tidak ingin siapapun memintanya untuk pulang kerumah disaat hasrat ini menuntunnya untuk tetap bertahan disisi Jeonghan.

Jeonghan hampir saja memejamkan mata kalau saja ia tidak merasakan sebuah lengan kini mendarat dilekukan pinggang rampingnya. Seungcheol menahan nafasnya sendiri ketika ia mencoba berbaring dibelakang pemuda bersurai brunette itu. Rasanya panas. Jantung Seungcheol bagaikan kebas saat merasakan pergerakan dari Jeonghan yang perlahan-lahan menarik lengannya untuk melingkar dipinggang kecil itu.

Untuk pertama kalinya, Seungcheol mampu mendengar suara isakan lirih dari pemilik retina kecoklatan ini. Tubuh keduanya pun bersentuhan akibat tak ada sedikitpun jarak yang tersisa diantara mereka. Aroma khas Jeonghan seketika menguar dari helaian rambut brunettenya. Seungcheol mempererat rengkuhan itu, membiarkan tangis menjadi bagian dari nafas yang ia hirup saat ini.

"Kau tidak mengerti apa itu cinta, Yoon Jeonghan. Sama seperti aku. Jika dia mencintaimu, maka dia tidak akan memukulmu. Jika orang itu memang mencintaimu, maka kau tidak perlu menangis untuk dirinya. Kau sungguh menyedihkan."

Seungcheol menggesekkan hidungnya dipucuk kepala Jeonghan, mengecupnya lembut untuk memberitahu pemuda itu tentang keberadaannya sekarang. Gesture posesif yang berarti bahwa ia tidak akan melepaskan pelukan ini untuk waktu yang lama.

"Aku, 1 jam yang lalu, adalah Choi Seungcheol yang dungu. Tapi setelah bertemu denganmu, memelukmu seperti ini, aku seperti terlahir sebagai Choi Seungcheol yang berbeda. Aku adalah orang yang paling tidak ingin menyakitimu. Aku adalah orang yang paling tidak ingin melihatmu menderita. Bagaimana bisa? Ketika aku berkata sebelumnya jika aku tidak mengerti apa itu cinta, ternyata aku sudah salah sepenuhnya. Aku bukannya tidak mengerti, tapi hanya belum menemukannya. Jadi kau, Yoon Jeonghan, adalah orang yang paling ingin aku lindungi. Sehingga kesimpulannya, kau adalah cinta yang baru aku temukan..."

Tangan Seungcheol menelusup untuk meremat permukaan kulit perut Jeonghan yang berada dibalik kemeja putihnya. Ia mulai gelisah, ingin melakukan sesuatu seperti kontak fisik yang lebih intens. Tapi Jeonghan hanya membalas dengan menahan tangan itu untuk tetap tenang memeluknya, sehingga Seungcheol dapat kembali pada prosa-prosa indah yang akan terus ia bisikkan ditelinga Jeonghan.

"Terima kasih, sudah datang menemuiku lebih cepat. Petualangan Choi Seungcheol sudah selesai. Sekarang, waktunya ia untuk belajar tentang apa yang dimakan dengan hidup. Tinggallah bersamaku, Yoon Jeonghan. Aku menjanjikan semuanya untukmu. Kebahagiaan, kasih sayang, apapun itu. Karena orang yang mencintaimu adalah orang yang akan menempatkanmu diatas segala-galanya. Dan orang itu adalah... Aku."

.

.

.

Seungcheol terbangun. Ia membuka mata dengan kerjapan perlahan dan hal pertama yang didapatinya adalah plafon bisu dilangit-langit kamar. Suara tamparan air yang jatuh diatas aspal menandakan derasnya guyuran hujan diluar sana. Tidak ada sinar matahari yang mampu menembus jutaan serat jendela kamarnya hari ini. Seungcheol dapat merasakan jika awan mendung benar-benar memayungi bumi sekarang.

Tubuhnya yang semula terlentang kini berbalik kesisi kanan untuk menemukan siluet indah yang selalu berbaring disisinya setiap malam hingga fajar datang. Yoon Jeonghan masih terlelap dengan selimut yang menutupi hampir seluruh tubuhnya. Matanya yang terpejam terlihat bersembunyi dibalik untaian poni hitamnya. Irama nafas itu terdengar begitu teratur dan kulitnya yang pucat terasa begitu halus saat Seungcheol mencoba untuk menyentuh pucuk hidung dan tulang pipi, kemudian menyisir lembut poni yang menutupi wajahnya itu pelan-pelan dengan jemari.

Seungcheol tersenyum saat Jeonghan terlihat mulai menggeliat kecil. Meski demikian, belum ada tanda-tanda kekasihnya ingin membuka mata. Seungcheol yakin, jam digital yang ia letakkan diatas nakas masih menunjukkan pukul 5.30, terlalu pagi untuk memulai sarapan atau aktifitas apapun. Tapi Seungcheol selalu terbangun di jam yang sama, hanya untuk melihat wajah tertidur Jeonghan, kemudian tersenyum saat membelainya.

Dengan hati-hati, Seungcheol menarik tangan kanan Jeonghan yang masih tertutupi selimut itu keluar dan menangkup jemarinya dengan lembut. Sebuah cincin emas putih terpasang dijari manisnya, persis sama dengan yang ia pakai saat ini. Cincin pernikahan mereka.

Seungcheol mengusap lembut cincin yang Jeonghan kenakan, memperhatikannya, kemudian menyandingkannya dengan cincin yang melingkar di jari manisnya. Mereka memang terlihat serasi, bagaimana Seungcheol mengingat sepasang kekasih yang mengikatkan sumpah didepan altar 2 tahun lalu adalah mereka berdua. Seungcheol akan melakukan hal yang sama setiap pagi hanya untuk memastikan jika raganya masih setia berdampingan dengan Jeonghan, membisikkan rasa syukur pada Tuhan, kemudian mengecup punggung tangan kekasihnya untuk waktu yang lama.

Jeonghan mengerjapkan mata. Ia merasakan sesuatu yang lembab dan lembut kini menyetuh kulit tangannya. Jeonghan mencoba untuk membuka kelopak matanya yang berat, memastikan jika apa yang ia duga adalah benar.

"Angel..."

Seungcheol menyapanya dengan senyum, tatapan teduh, serta tone suara yang berat namun lembut seperti biasa.

Namun Jeonghan muak dengan semua ini.

"Lepaskan."

Ia menarik cepat tangannya yang semula masih berada dalam genggaman Seungcheol.

Lelaki itu menunduk sebentar, mencoba tersenyum maklum meski pilu lagi-lagi mendesak di rongga dadanya. Jeonghan memang selalu begini. Tepatnya, sejak beberapa bulan terakhir ini.

"Bisakah kau menghentikan kebiasaanmu itu? Kau selalu membuatku terbangun. Aku punya jadwal kuliah pagi ini dan demi Tuhan aku benar-benar lelah! Tidakkah kau merasa sedikit kasihan padaku, huh?"

Reaksi Jeonghan yang seperti ini memang tidak asing, tapi Seungcheol tetap merasakan sakit yang sama besar seperti halnya pertama kali ia mendapat perlakuan demikian dari kekasihnya.

"Maaf, sayang. Aku hanya-..."

"Sudah, diamlah. Sebaiknya kau keluar sekarang selagi aku melanjutkan tidurku."

Seungcheol tak berucap apapun setelah itu. Ia mengerti bagaimana tempramen Jeonghan dan mengalah adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan untuk kekasihnya.

Seungcheol turun dari ranjang dan menutup pintu pelan-pelan saat keluar, setelah sebelumnya melihat siluet terlelap Jeonghan yang tertutup selimut sebelum benar-benar meninggalkan kamarnya.

Seungcheol harus menyiapkan sarapan sekarang, sebelum alarm dikamar mereka berdering di pukul 7 dan Jeonghan terbangun dari tidurnya.

.

.

.

"Lama sudah kupendam ini

Lama sudah ku makan hati mengahadapimu

Ini semua tentang dirimu

Tentang caramu memperlakukanku"

-oOo-

"Kau sudah membawa sketch book-mu?"

"Hm, sudah."

"Buku literatulnya kuletakkan diruang kerjaku semalam. Apa sudah kau ambil?"

Jeonghan hanya menjawab dengan anggukan kali ini selagi meneguk air putih, selesai dengan sarapannya.

"Oh iya. Aku membeli beberapa alat tulis baru untukmu. Kau sudah membawanya?"

"Bisakah kau berhenti untuk jadi laki-laki tua yang cerewet?"

Seungcheol seketika berhenti dari aktifitasnya membereskan meja makan mereka. Piring yang semula berada ditangannya kini ia letakkan kembali diatas meja, seakan ia telah kehilangan banyak daya untuk tetap memegang piring-piring itu lebih lama.

"Aku pergi. Mobil biar aku yang bawa. Kau ke kantor naik subway saja hari ini."

Jeonghan menyelempangkan tasnya, acuh pada sang kekasih yang masih bertahan dalam tundukkan.

Saat itu juga, Seungcheol buru-buru mencoba sadar dari lamunan kelamnya sebelum Jeonghan meninggalkan pintu depan.

"Bisa kita pergi berdua saja? Aku akan mengantarmu sampai ke universitas seperti biasa."

Bujuk Seungcheol, mengenggam pergelangan Jeonghan yang terpaksa berhenti di teras depan.

"Kau tidak lihat hari ini hujan?"

Dan tepat, guntur kecil menyambar dan Jeonghan bergidik pelan. Sejujurnya, ia sedikit takut pada petir saat hujan.

"Justru karena hari ini hujan, aku jadi khawatir padamu jika harus menyetir sendirian."

"Apa aku tidak salah dengar? Bukankah kau mengkhawatirkan dirimu sendiri yang harus mengenakan subway saat hujan?"

"Tentu saja tidak, Angel. Aku-..."

"Sudahlah, aku hampir terlambat. Pakai payung untuk ke stasiun atau sebaiknya, kau beli 1 mobil lagi untukku agar kita tidak perlu lagi bertengkar soal siapa yang menyetir seperti hari ini."

Seungcheol terdiam kali ini. Jeonghan mungkin benar, seandainya ia punya cukup tabungan untuk membeli sebuah mobil lagi seperti yang diinginkan oleh kekasihnya...

Suara pintu mobil yang dibanting menyadarkan Seungcheol, mendapati mobil yang terpakir di teras mereka sudah siap meninggalkan pelataran rumah.

Dan lagi, Jeonghan kembali pergi tanpa mengucapkan "sampai jumpa". Seungcheol hanya ingat, morning kiss terakhir mereka terjadi pada maret lalu, sebelum perubahan sikap drastis kekasihnya dimulai sejak...

Seungcheol bahkan tidak mampu menerka, sejak kapan sikap dingin Jeonghan ini mulai tampak ke permukaan dan menyiksa batinnya tiap kali ia menghembuskan nafas.

.

.

.

"Tak sadarkah kau selama ini

Bukan cuma hati yang kau sakiti

Juga hidupku"

-oOo-

Petang itu, Seungcheol berjalan menuju perumahan tempat tinggalnya setelah turun di stasiun subway terdekat. Siluetnya berbaur dengan para pejalan kaki lain yang juga mengenakan transportasi umum untuk pulang setelah jam kerja selesai. Ia melihat bagaimana lampu merah di perempatan jalan raya itu menyala dan siap menyebrang bersama beberapa pejalan kaki lainnya.

"Aaaaa!"

Suara beberapa gadis berteriak shock, dan decit rem mobil yang ditekan mendadak sontak membuat Seungcheol kaget dan membelalakan mata.

Sebuah mobil sport merah berhenti didepan mereka.

Untunglah tidak ada musibah yang merugikan terjadi dan rombongan pejalan kaki itu kembali menyebrang dengan terburu-buru, termasuk Seungcheol.

Tapi sesuatu seperti mengganjal perasaannya. Begitu sampai di sebrang jalan Seungcheol segera menolehkan lagi kepalanya kebelakang untuk mengobati rasa penasarannya itu.

Mobil sport merah, tentu ia tidak asing dengan kendaraan itu karena jarang di kota mereka ada yang memiliki mobil kelas atas seperti itu selain dirinya.

Apa itu mobil Jeonghan?

Seungcheol memperhatikan mobil itu melesat cepat melewati zebra cross dan Tuhan, ia benar-benar tidak salah melihat jika plat mobil yang terpampang disana adalah nomor yang sama dengan plat yang dimilikinya.

Tapi sebelumnya, Seungcheol sempat sekilas melihat jika ada 2 siluet yang menumpangi mobil itu. Siapa? Jeonghan mengajak siapa sebagai tumpangannya?

Setiba dirumah, ia mendapati semua lampu belum menyala dan pintu terkunci persis saat ia tinggalkan tadi pagi. Seungcheol merbahkan tubuh lelahnya diatas sofa namun pikirannya benar-benar tidak berada bersamanya sekarang. Akal sehat itu pergi menjauh mengikuti keberadaan Jeonghan yang ia sendiri tidak tahu sedang ada dimana sekarang.

.

.

.

"Diriku ini pasanganmu

Bukannya musuhmu

Tak perlu kau siksa aku"

-oOo-

Seungcheol tidak meninggalkan ruang tamunya sejak tadi kecuali untuk mandi dan menyiapkan makan malam mereka sebentar. Jarum pada jam analog terus begerak mengikuti pergantian malam yang kian larut. Sekarang sudah pukul 10 malam dan belum ada tanda-tanda Jeonghan akan pulang. Seungcheol mati cemas. Berulang kali ia mendial nama Jeonghan namun hanya mesin penjawab otomatis yang menyapanya sejak tadi.

Untunglah, tak lama setelah Seungcheol meneguk gelas kopinya yang kedua, suara mesin mobilnya terdengar. Cepat-cepat Seungcheol menuju pintu depan, namun sosok Jeonghan telah mendahuluinya untuk memutar knop dan membuka pintu.

"Jeonghan?"

Apa yang terjadi?

Kekasihnya, Yoon Jeonghan, ia pulang dalam keadaan yang benar-benar tidak baik. Terdapat beberapa luka lebam dan gores diwajah menawannya. Baju yang Jeonghan kenakan nampak kacau, surai blondenya yang panjang itu berantakan dan jalannya jadi sedikit pincang.

"Jeonghan sayang apa yang terjadi?"

Seungcheol menuntun kekasihnya menuju sofa, mendudukkannya pelan-pelan dan berlutut didepan sosok itu.

Ia mengusap pelan surai Jeonghan dan merapikannya, meringis pilu melihat luka-luka itu menyakiti raga orang yang paling ia cintai. Seungcheol benar-benar marah, tapi bukan pada Jeonghan, tidak sama sekali. Ia ingin cepat-cepat tahu siapa yang membuat kekasihnya jadi seperti ini.

"Siapa yang menyakitimu?! Katakan padaku, Angel!"

Seungcheol panik, nadanya membentak akibat kekalutan yang menyelimutinya tapi seketika, ia memeluk Jeonghan yang tiba-tiba saja menitikan air mata.

Jeonghannya menangis... Seungcheol kehilangan banyak sel dalam implusnya dan ia hampir gila karena ini... Ia benar-benar tidak dapat memaafkan si brengsek yang telah menyakiti belahan jiwanya. Tidak akan pernah...

"Semua orang membenciku... Semua orang tidak pernah menyukaiku... Apa kesalahan yang telah kuperbuat? Choi Seungcheol jawab aku...!"

Jeonghan membentak keras. Sosok itu meremas bahu Seungcheol yang kini sudah tak bisa memendam lagi air matanya lebih lama.

"Ini salahmu, Seungcheol! Kau menghancurkan semuanya! Mereka membenciku karena cincin bodoh dan pernikahan konyol ini! Lepaskan aku...!"

Jeonghan memberontak dalam pelukan Seungcheol. Dengan sekuat tenaga ia menahan semua guncangan ini, mendengar semua perkataan Jeonghan benar-benar menyakitinya. Ia bangkit berdiri namun tetap tak melepaskan kekasihnya itu dalam rengkuhan eratnya.

"Maafkan aku Angel, maafkan aku... Kumohon tenanglah, sayang..."

Jeonghan sama sekali tak mengindahkan semua itu. Sekuat tenaga ia mendorong Seungcheol tapi yang terjadi adalah, kekasihnya itu menjatuhkannya diatas sofa dan mengunci kedua tangannya diatas kepala.

"Tenanglah, Yoon Jeonghan kumohon!"

Untuk pertama kalinya, Seungcheol berteriak dihadapan Jeonghan dan demi Tuhan, hal itu juga sungguh menyiksanya.

Nafas Jeonghan terengah dan air mata tak mau berhenti membasahi pipi pucatnya.

"Bisa kau lihat... Siapa sebenarnya aku ini, sayang?"

Bibir Seungcheol bergetar. Kepalanya terasa pening. Namun yang lebih menyakitkan dari semua itu adalah batinnya... Seungcheol terluka.

Ia terluka oleh tatapan penuh kebencian Jeonghan.

Ia terluka oleh kata-kata kasar dari bibir indah kekasihnya.

Seungcheol terluka oleh semua perbuatan Jeonghan terhadapnya...

Seungcheol seperti sudah tak mengenali lagi siapa Jeonghan sebenarnya...

"Aku ini siapa, Angel?... Aku kekasihmu, benar? Aku bukan musuhmu... Kenapa kau seperti ini padaku, sayang?"

Air mata Seungcheol jatuh diatas pelipis Jeonghan, mengalir menuruni wajah rupawannya. Sosok itu terpejam, mengahadapi Seungcheol dengan semua rasa sakit ini bukan tidak membuatnya tersiksa juga.

"Jeonghan, jawab aku..."

Seungcheol menangkup kedua pipi Jeonghan, mengunci retina itu dalam telaga penuh luka yang ada dibalik kelopaknya yang membendung begitu banyak air mata.

Bibir Seungcheol mendekat, namun ciuman tetap tak dapat terjadi karena Jeonghan memalingkan wajahnya, penuh keangkuhan.

"Kau sama sekali tidak mengenalku, Choi Seungcheol. Inilah aku yang sebenarnya. Bagiku, kau tak lebih dari seorang yang memuja-muja diriku. Kau bodoh. Dan kau tidak sekaya yang aku kira. Kau pikir aku akan puas hanya dengan semua ini?"

Cara Jeonghan melayangkan ucapannya sama sekali tak berbeda dengan halnya menancapkan ratusan belati tepat di ulu hati Seungcheol.

"Kau bisa mendapatkan tubuhku, alter egoku, segalanya... Tapi kau tidak pernah berhasil menyentuh hatiku, Choi Seungcheol."

"Bagaimana caranya...?"

Seungcheol melemah. Ia kehilangan begitu banyak daya, seperti hampir mati. Tapi entah kenapa, Seungcheol tidak akan pernah berhenti memperjuangkan Yoon Jeonghan, sekalipun ia harus memelas, memohon, berlutut, dan menyakiti dirinya, semua akan ia lakukan asal Jeonghan bisa melihat ke arahnya, menyadari keberadaanya dan mengizinkannya untuk tetap berada disisi sosok itu.

"Bagaimana caranya membuatmu mencintaiku...? Bagaimana caranya, Angel..."

"Lakukan sesukamu. Lakukan apapun yang bisa kau lakukan. Buat aku bahagia, Choi Seungcheol... Temukan sesuatu yang bisa membuatku bahagia... Aku... Aku ingin bahagia... Hanya itu yang kuinginkan... Dimana aku bisa temukan semua itu... Aku tidak pernah tahu, Choi Seungcheol..."

Jeonghan menutup kalimatnya, membungkam semua kelemahan Seungcheol dengan sebuah ciuman yang dalam, penuh tekanan dan menuntut. Ia sendiri tidak paham dengan perasaannya selama ini. Seungcheol terlihat begitu malang, tapi ia tidak pernah tahu bagaimana cara memperlakukan sosok yang begitu bodoh seperti Seungcheol...

Seungcheol sungguh bodoh

Bagaimana bisa Jeonghan mencampakkan orang sebodoh ini?

Jeonghan seperti bertarung dengan semua elemen didalam dirinya. Hati, pikiran, ego, dan batinnya...

Katakanlah, ia jauh lebih gila dibanding seorang Choi Seungcheol yang menggilainya.

.

.

.

End of Chapter 1

A/N: Aaahhh... Ini melelahkan.

Apa saya terlalu melancholy?

Ya, katakanlah seperti itu.

Doakan ya, besok saya UTS. Duh, stress sumpah.

Sampai jumpa di part terakhir!

Em, anyway, don't you think if things that happened to the-present-Seungcheol is caused by what he did in the past? Something called karma, I guess (im the author anyway, why should I'm wondering around about it) *LOL*

Cause my real intention here is; before you pity someone, you have to knew clearly wheter their deserves it or not, by learn their past or such.