Home

Osomatsu-san © Akatsuka Fujio

Dibuat untuk kesenangan semata, tidak ada keuntungan lainnya yang didapatkan.

a/n: kenapasayabikinmultichaplagi halo! ini mungkin ada enam part/? saya masih bingung jadi ya gitu wwww harusnya ini oneshot, tapi pas ngetik idenya malah ngembang/? dan kayaknya ancur kalo diketik jadi satu. dan di sini gak ada bl-blan atau semacam incest karena saya mau yang serius dulu /padahalngaco/ oh ya mungkin rada ooc/?

.

.

.

.

Keluarga Matsuno terkenal akan keenam anak kembarnya, yang kini sudah berumur sekitar 20 tahunan dan tidak bekerja, yang dari masih sewarna hingga kini menjadi pelangi membuat kehebohan di mana pun mereka berada.

Sejak kecil, enam lelaki itu selalu bersama. Pergi ke sekolah, pulang dari sekolah, membuat keusilan di rumah tetangga, mengerjai teman mereka. Kelihatannya mereka memang akrab, terlebih ketika saat merencanakan perangkap untuk target kejahilan. Namun tak jarang pula ada saat-saat di mana mereka saling melayangkan tinju, mengatakan sumpah serapah dan ejekan, bahkan pernah sampai pergi dari rumah hingga larut hanya karena tidak ingin melihat wajah sang saudara.

Tapi seberapa pun kesal, semarah-marahnya mereka, enam Matsuno tersebut (...).


6. Todomatsu

i.

Todomatsu menghentakkan kakinya, kedua tangan dimasukkan ke dalam saku jaket agar tidak membeku. Matanya terpaku pada jalanan, menatap tajam kerikil-kerikil yang ia tendangi. Pikirannya masih tidak terima dengan ucapan kakak keempatnya tadi.

"Todomatsu tidak peduli pada kita, dia tidak memiliki hati, bukan?"

.

.

ii.

Bukan yang pertama kali ia mendengar ucapan seperti itu keluar dari mulut kelima kakaknya. Terlalu sering malah, hingga ia hilang hitungan berapa kali kata-kata itu ia dengar dalam sehari.

Awal mendengarnya, Todomatsu memang sempat mengelak, membalas dengan nada tinggi bahwa dia tidak seperti itu. Dia juga manusia yang punya hati walau lidahnya memang lebih tajam dari yang lain, dia juga adik yang peduli walau memiliki lima kakak yang sialannya keterlaluan.

.

.

iii.

Dalam hati ia membatin tidak akan pulang hingga esok. Pokoknya tidak mau, tidak ingin pulang dan melihat wajah-wajah yang sama dengannya mengucap kata itu lagi.

Singkatnya, Todomatsu ngambek.

.

.

iv.

Todomatsu mendudukkan dirinya di salah satu bangku yang tersedia di pinggir jalan, memastikan bahwa waktu belum menunjukkan tengah malam. (Ia masih ingat untuk pulang sebelum tengah malam, tidak mau kejadian saat ia menang besar di pachinko terulang dan harus lari dari kakak-kakaknya.)

"Aah, dasar lima kakak bodoh," ucapnya dengan tawa kecil, lalu menghela napas panjang.

.

.

v.

Satu tangan ia keluarkan dari saku, dengan ponsel di genggaman. Tombol kunci ditekan, dan kedua matanya harus menyipit ketika cahaya ponselnya terlalu terang untuk dilihat. Melirik pada panel notifikasi, terdapat banyak sekali panggilan tak terjawab dan pesan singkat.

Oh, rupanya profil ponsel miliknya masih dalam keadaan diam. Lupa ia ubah tadi karena terlalu emosi.

.

.

vi.

Jemarinya asik menari pada layar sentuh ponsel, bergerak dari bawah ke atas, bawah ke atas. Maniknya ikut bergerak dari bawah ke atas, menatapi barisan kata-kata yang tertera pada benda tersebut.

Terus menggeser. Bawah ke atas. Bawah ke atas.

Berhenti.

Jemarinya berhenti bergerak, matanya lekat menatap gambar yang kini memenuhi layar. Gambar yang biasa ia lihat sehari-hari, gambar dengan enam orang berwajah sama dengan ekspresi yang berbeda.

.

.

vii.

Todomatsu melirik waktu di sudut ponselnya. Belum tengah malam. Beberapa orang juga masih terlihat lalu lalang di depannya.

Mematikan ponsel (serta mengabaikan pesan singkat yang isinya hanya menanyakan keberadaannya), ia memilih untuk menatap titik-titik salju yang turun perlahan, membuat pakaiannya mendapat tambahan warna putih walau tak terlalu ternotis karena bentuknya terlalu kecil.

Ah, saat dulu Karamatsu menemukannya menangis karena diejek hal yang sama juga ... seingatnya waktu itu turun titik-titik salju seperti ini. Ingat sekali betapa ia kesal ketika itu hingga memaki si anak kedua, bagaimana wajahnya basah dan ia bersusah payah menarik ingus, dan si kakak memberikan jaket menyakitkannya agar Todomatsu tidak kedinginan.

(Jujur, walau Karamatsu itu punya selera yang menyakitkan menyangkut gaya berpakaian dan pemilihan diksi kata untuk diucapkan, Todomatsu senang berada di dekatnya karena kebaikan yang tiada habisnya. Dia suka ketika dimanja oleh si kakak biru, dilayani ini-itu.)

.

.

viii.

Ponselnya berbunyi lagi. Satu pesan masuk.

[Sender: Choromatsu-niisan

Pulanglah, waktunya makan malam. Ichimatsu mau meminta maaf. Di mana kau sekarang?]

.

.

ix.

Pukul sepuluh. Todomatsu masih berada di bangku itu, menatap langit yang kini sudah berhenti memberinya titik-titik salju. Pesan dari Choromatsu sudah dibaca, tapi tidak dibalas. Dia masih kesal, belum mau memaafkan begitu saja.

Bukan Osomatsu saja yang ingin menjadi anak satu-satunya, ia pun juga menginginkan hal yang sama. Lebih baik sendiri, dibanding memiliki lima saudara yang hanya membuatnya malu jika bersama teman-temannya semasa sekolah dulu.

Todomatsu mendengus ketika mengingat masa remajanya, dipenuhi oleh keusilan lima kakak yang selalu mengganggu hidupnya. Bahkan beberapa temannya sampai ada yang mengejeknya orang aneh.

.

.

x.

Ia ingat Osomatsu bilang akan mengajaknya memancing dengan Karamatsu besok, mengingat ketiganya sudah jarang melakukan hobi mereka tersebut. Ah, dia rindu ketika dulu mereka selalu pergi ke tempat pemancingan setiap sabtu bersama sang ayah, lalu berlomba siapa yang paling cepat menangkap ikan.

Todomatsu juga tersenyum ketika ia ingat suatu hari Osomatsu pernah tercebur ke kolam, dan keesokan harinya langsung sakit flu. Semua itu salah dirinya, tak sengaja mendorong sang kakak yang sedang berjongkok untuk memandangi air kolam.

Oh, bukankah Jyushimatsu juga memintanya untuk menemani si kakak bermain ular tangga lagi? Mungkin lebih tepatnya minta diajari bermain ular tangga lagi, karena masih belum paham mengapa dia harus berjalan tiga kotak ke depan atau mengapa kalau pionnya dapat bergerak ke kotak lain saat berhenti pada gambar tangga.

Mengajari Jyushimatsu tentang permainan bukan sesuatu yang mudah. Entah berapa kali ia menaikkan suara setiap kali si kakak membuat kesalahan. Tapi dia selalu mengiyakan ketika kakak kuningnya itu minta diajarkan.

.

.

xi.

Ia bangkit berdiri, menarik napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kakinya ke arah yang sudah ia hapal sejak masih kanak-kanak.

Todomatsu sudah merencanakan berbagai hal yang akan ia lakukan ketika sudah sampai di rumah nanti. Pertama, dia harus tetap terlihat marah. Biasanya dengan seperti ini, kakak-kakaknya akan mengabulkan apapun permintaannya asal dia kembali senang.

(Oke, dia akan mengucap syukur dulu karena sudah terlahir sebagai anak bungsu di keluarga Matsuno.)

Kedua, mungkin sedikit membalas perkataan Ichimatsu dengan foto-foto serta video memalukan sang kakak yang ia miliki?

Ah sudahlah, jangan dipikirkan lagi. Rasanya ia ingin berlari agar cepat sampai rumah.

.

.

xii.

"Tadaima,"

"Todomatsu! Darimana saja kau? Aku, kakakmu yang sangat menyayangimu, mengkhawatirkan dirimu sejak kau berlari begitu saja."

Diam-diam Todomatsu tersenyum, tingkah kakak keduanya memang menyakitkan, namun di saat bersamaan membuatnya nyaman untuk tahu bahwa ada yang mencemaskannya.

Tiga suara lain ikut terdengar, bersamaan dengan figur mereka yang memakai kaus sesuai warna khas masing-masing. Choromatsu paling berisik, menceramahinya serta bertanya mengapa tidak menjawab panggilan serta pesan sang kakak. Jyushimatsu masih tersenyum seperti biasa, berusaha meyakinkan dirinya bahwa si kakak ungu yang menjadi biang masalah sebenarnya sudah mau minta maaf dan menyesali perkataannya. Perkataan Osomatsu sudah tidak terdengar berbicara apa, suaranya kalah dengan adik-adiknya yang lain.

.

Bagi Todomatsu, inilah rumah, rumahnya.

.

.

xiii.

Rumah menurut Todomatsu mungkin tidak jauh berbeda dari apa yang ada di mesin pencarian internet. Rumah; tempat yang membuatmu merasa nyaman, merasa diinginkan, dan ada orang yang mencemaskanmu jika kau pulang larut.