Segala kesuraman—dan kesialan—ini dimulai pada suatu Senin di bulan Maret, hari pertama kembali ke sekolah.
Aku selalu kikuk. Hal apapun yang pertama kali kulakukan akan dimulai dimulai dengan kikuk, berproses secara aneh, dan berakhir dengan canggung. Apa yang kulakukan pagi ini adalah contoh konkretnya. Aku mendapati diriku mematung di samping tangga sendirian, seperti sedang menunggu, tapi tidak tahu siapa yang kutunggu. Aku hanya berdiri sambil pura-pura memainkan ponsel alih-alih beranjak ke kelas yang baru. Ini membutuhkan lebih dari sekedar niat dan rasa percaya diri bagiku untuk melangkah dan kakiku tetap membatu walaupun di dalam pikiranku ada sebuah tujuan yang jelas.
Kelas baru sudah dibagikan melalui email kemarin. Siang itu mataku bolak-balik menyusuri nama-nama yang menghuni kelas 3-5. Dari tiga puluh siswa yang namanya berderet dalam absen, hanya ada lima nama yang berasal dari kelasku sebelumnya, yaitu tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan, termasuk aku sendiri. Nama lain yang kuketahui adalah ketua kelasku saat kelas 1 dan dua nama lain yang sangat kuhindari untuk jadi teman sekelas. Selebihnya berada di luar daftar orang yang kukenal. Di antara kelima orang yang berasal dari kelasku sebelumnya, hanya dua yang cukup dekat denganku. Mereka tak lain adalah Karui, yang duduk di belakangku tahun lalu, dan Hidan, bocah sialan yang suka sekali menggangguku.
Orang mungkin akan berpikir bahwa aku adalah seorang gadis culun yang suka menyendiri saat melihat presentase kenalanku di kelas baru. Biar kutekankan, aku ini bukan anak culun, anime freak (walaupun aku suka menonton itu!), atau anti-sosial. Aku adalah Yamanaka Ino, si pendiam penuh kejutan. Sejujurnya aku tidak sependiam itu, hanya saja untuk mendekatiku diperlukan kesabaran dan kegigihan ekstra. Maksudku, ayolah, aku ini bukan tipikal orang yang akan berteman dengan siapa saja dan bersedia melakukan sesuatu demi pertemanan. Berteman adalah caraku untuk bertahan hidup, bukan untuk menjalani kehidupan. Sejujurnya jika aku terlahir bukan sebagai manusia yang notabenenya adalah makhluk sosial, aku mungkin akan melakukan apa saja sendirian tanpa teman. Tapi kurasa itu juga mustahil, bahkan tumbuhan dan hewan pun membutuhkan kawanan. Mungkin seharusnya aku tidak dilahirkan agar dapat terus berputar-putar sendirian di dalam rahim ibuku. Kedengarannya sedikit mengerikan.
Berapa banyak manusia yang berpikiran sama denganku? Mungkin aku akan menemukan banyak orang sepertiku di kota lain atau di belahan bumi lain. Akan tetapi, saat aku mengecilkan skala pandangku hingga sebesar sekolah ini, tiba-tiba saja aku merasa sendirian. Meniti dari sudut pandang lain yang lebih normal bagi remaja seusiaku, harusnya aku melangkah ke kelas baru dengan percaya diri demi menikmati tahun terakhir di SMA, menyambut teman-teman baru yang akan membuat hari-hariku berarti dan menghasilkan kenangan indah masa muda, lalu tertawa ceria tanpa peduli nilai dan ujian yang menanti di depan mata. Pikiran-pikiran itu mengisi penuh rongga kepalaku, tapi di sinilah aku sekarang, termenung di samping tangga.
Dua alasan lain mengapa aku masih tetap berdiri di depan tangga adalah karena pertama, aku tidak tahu di mana letak kelasnya, dan kedua, harus kuakui aku bukan orang yang mudah mengingat arah. Jika aku tersasar, matilah. Aku bukan murid baru di sekolah bodoh yang tidak memiliki satu pun petunjuk arah ini. Sekolah terbesar di kotaku ini begitu luas dengan banyak kelas, koridor, dan ruangan kosong, jadi aku tidak ingin menghabiskan pagiku dengan berkeliling mencari kelas seperti orang tolol. Jangan lupakan bahwa aku juga kelas 3. Akan sangat aneh jika aku bertanya dan bayangkan situasi terburuk jika aku bertanya pada murid kelas 1 yang salah memberikan arah dan malah membuatku tersasar. Aku akan mulai menangis, berusaha mencari jalan keluar, berputar-putar di satu tempat, dan pingsan tanpa diketahui siapa pun.
Itu semua tidak berlebihan. Aku pernah tersasar di sebuah toko swalayan selama berjam-jam, di sebuah mall yang ada di pusat kota sampai harus menghubungi bagian anak hilang (padahal saat itu aku sudah SMP), di taman bermain, di toko buku, di sela-sela liburanku di Singapura hingga tengah malam (aku lapar dan mencari restoran cepat saji yang buka 24 jam), di sebuah kuil di Thailand, dan bahkan saat hari pertama masuk SMP dan SMA. Rasanya memaki diriku sendiri takkan pernah cukup. Setelah dua tahun bersekolah, harusnya aku sering-sering berkeliling daripada diam saja di kelas. Sakura juga belum datang. Tentu saja, dia selalu telat. Datang pagi adalah suatu mukjizat. Aku harus menunggu seseorang, siapa pun, Temari, Konan, Tenten, Karui, bahkan Hidan sekalipun.
Bicara soal si pengganggu bernama Hidan, sebenarnya aku pernah menyukainya. Ia memang perusuh, pengganggu, pembuat onar, dan penghancur kesenangan. Tapi bagiku ia adalah laki-laki paling baik di kelas. Pertemuan pertama kami terjadi pada hari pertama di kelas 2.
Hari itu aku duduk tepat di hadapan papan tulis yang berdiri dengan kaku sambil menatapku dengan tatapan menghina karena aku duduk sendirian di depan dan terpisah jauh dari teman-temanku. Ini semua gara-gara aku datang terlambat dan Sakura mengambil satu-satunya kursi yang tersisa di belakang, padahal kami masuk kelas bersama. Hari pertama masuk sekolah biasanya hanya diisi dengan perkenalan oleh wali murid dan pemilihan pengurus kelas, tapi hari itu guru—entah apa—kami tiba-tiba masuk dan memberikan tugas yang merepotkan. Ia berdiri dengan angkuh sambil menuliskan tugas untuk kami. Wanita itu, yang kemudian kuketahui sebagai Mei Terumi, meninggalkan kami begitu saja tanpa mengatakan apapun selain "kerjakan tugasnya".
Aku memandang malas pada papan tulis sambil mencoret-coret kertas. Tugas ini bukan tugas resmi. Guru itu hanya memberikan tugas agar kami tidak ribut. Ya ampun, lagipula dia belum tentu mengajar kelas ini 'kan? Sakura sudah berjalan mondar-mandir untuk mencari jawaban, sementara aku bahkan tak berniat untuk mengerjakannya sama sekali. Lalu seorang laki-laki berdiri tepat di depan mejaku. Aku mengadah untuk menatap wajahnya yang berkilauan sekaligus terlihat samar karena ia berdiri tepat di garis datangnya sinar matahari dari celah jendela. Ia tersenyum dan mendekatkan wajahnya ke arahku, "Boleh pinjam spidol biru?"
Aku yang terkejut hanya menggangguk sambil memalingkan wajahku yang tersipu. Sial, aku baru melihat wajahnya dan langsung sejelas ini. Suaranya juga berat dan menyenangkan. Ia tersenyum lebih lebar lagi, " Akan kukembalikan setelah makan siang nanti."
Mataku mengekor punggung tegapnya yang berjalan ke bangkunya. Beberapa anak laki-laki menggodanya terang-terangan sambil menunjuk ke arahku. Aku tahu itu, aku bisa merasakan beberapa pasang mata menatap punggungku. Aku pura-pura mengacuhkan semua itu dengan bersikap biasa dan memasang wajah datar. Tapi di balik wajahku yang datar dan angkuh, jantungku berdebar kencang dan perutku melilit.
Saat bel istirahat berbunyi, buru-buru kutanya Shiho yang duduk paling dekat denganku siapa nama anak laki-laki yang tadi meminjam spidolku. Lalu ia menjawab sambil tersenyum penuh makna.
"Itu Hidan. Kenapa? Kau tertarik padanya ya? Ia memang menarik, kau harus lihat matanya yang tersembunyi di balik kacamata itu."
Tiba-tiba sebuah tepukan mendarat di lenganku. Tepukannya agak keras dan kasar untuk seorang wanita dan terlalu lembut untuk pria. Mendapati Karin yang sedang tertawa lebar sebagai pelaku dari tepukan itu tidak membuatku terkejut. Ia memang gadis yang ekspresif dan menggebu-gebu. Selera humornya juga cukup bagus, walaupun pada saat-saat tertentu ia seringkali tertawa sendiri. Di kelas 2, ia duduk dua kursi di sebelah kananku, tepat di sebelah Sakura. Kami cukup dekat. Ia sering bergabung untuk makan siang bersama teman-temanku jika teman-temannya yang berada di kelas lain tidak ada atau terlalu sibuk mengerjakan membenarkan letak frame kacamatanya sebagai reflek untuk menutupi kecanggungan di antara kami karena aku hanya diam dan melemparkan senyum miring untuk membalas tawanya.
"Hey, Ino! Kau juga baru datang ya? Kelas kita sebelahan kan?"
Aku hanya mengangguk dan kami berjalan beriringan menuju kelas. Sebenarnya aku sedikit bersyukur karena Karin sama sekali tidak menaruh curiga padaku yang berdiri di samping tangga. Sepertinya ponsel yang pura-pura kulihat sangat membantu dengan memberikan persepsi 'ada pesan masuk' atau 'baru selesai menelepon' pada orang lain. Meskipun begitu, pemikiran bahwa Karin tidak cukup cerdas sempat terlintas di pikiranku. Sebelum aku merasa seperti orang jahat, lebih baik aku bersyukur setengah mati dalam hati karena Karin—yang bahkan tidak masuk ke dalam list yang kuharapkan akan bertindak sebagai penolongku pagi ini—membawaku ke kelas.
"Bagaimana liburan? Aku cuma di rumah, ga asik! Apalagi saat tahu kalu kita semua ternyata dipisah di kelas 3 ini. Padahal aku mau kita semua gabung lagi di kelas yang sama. Kau sendiri gimana, Ino? Kau cuma sama Karui 'kan di 3-5?" cerocos Karin.
"Ya, untunglah ada Karui. Benar-benar, kupikir kita bakal sekelas lagi. Konan sampai mau meminta pada si tua Danzo agar bisa sekelas lagi denganku."
"Kau bilang saja pada Kakashi-sensei! Dia pasti mau bilang pada kepala sekolah kalau kau yang mengusulkan. Ayolah, dia bakal luluh dengan ucapanmu, goda saja sedikit."
Tawa Karin membahana di koridor. Ia melambaikan tangan dan kami berpisah di depan pintu kelasnya. Tentu saja, aku tak memberitahunya apapun, terlebih fakta bahwa aku menunggu lebih dari setengah jam untuk meminta bantuan pada siapa pun—temanku—yang lewat.
Aku menggeser pintu kelas dengan perlahan. Beberapa murid telah berada di bangkunya, melakukan sesuatu untuk mengusir rasa bosan. Anak laki-laki pasti memilih duduk di baris paling kiri, terlihat dari beberapa tas laki-laki di atas meja. Jadi aku menghindarinya dengan duduk di pojok yang lain. Walaupun aku dikenal terbuka pada anak laki-laki, pada saat-saat tertentu aku tetap merasa tidak nyaman berada di dekat mereka. Saat aku belum mengenal mereka seperti sekarang ini, lebih baik aku menjauh sambil mengamati.
Aku memilih kursi kosong nomor dua dari depan, tepat di samping tembok yang bakal menjadi sandaranku hingga ujian kelulusan. Aku mengeluarkan kotak bentoku dari dalam tas dan menaruhnya di kolong meja tanpa suara. Karui mengirimiku pesan untuk memilihkan meja untuknya semalam karena ia akan datang terlambat ke kelas. Jadi aku meletakkan sebuah buku di atas meja yang ada di sebelah kiriku untuknya. Menjadi anggota dewan kedislipinan sungguh merepotkan dan menyita waktu. Sekarang hanya ada satu masalah. Aku harus memastikan anak laki-laki bernama Uzumaki Naruto dan Shimura Sai tidak duduk di dekatku.
"Ino!"
Sepasang kepala muncul dari balik pintu kelas, yang berambut merah adalah Karin, dan yang bercepol dua adalah Tenten. Mereka berdua sekelas sekarang.
"Seperti biasa kau memilih duduk di pojok," ujar Tenten. Aku tak menanggapi karena itu adalah sebuah pernyataan berisi fakta. "Sai belum datang ya? Selamat ya ternyata kau sekelas dengannya. Kudengar Hidan juga ada di sini? Wah ini akan jadi semakin menarik!"
Aku mendecak sebal. Anak-anak di kelas ini tidak boleh tahu apapun yang bisa menimbulkan gosip aneh. Walaupun aku terbiasa hidup dengan desas-desus di sekelilingku, hal itu tetap saja mengganggu. Aku harus membawa dua makhluk ini keluar tanpa bertemu makhluk-makhluk sejenis mereka.
"Ayo kita keluar saja. Aku ingin ke toilet."
"Ayo, ayo. Kebetulan aku ingin cuci muka."
Suasana di koridor menuju toilet cukup sepi. Hanya ada beberapa murid yang lewat karena tidak ada kelas di koridor panjang itu, yang ada hanyalah tiga buah labolatorium yang berjajar dan terlihat gelap. Tenten yang berjalan di depanku membuka pintu toilet. Begitu pintu terbuka, hanya ada dua orang yang sialnya adalah Temari dan Sakura yang sedang asik berkaca. Mereka adalah dua makhluk lain yang harusnya kuhindari. Mengapa dari sekian banyak murid di sekolah ini yang muncul di dalam toilet adalah makhluk yang sangat ingin kuhindari? Sepertinya aku benar-benar perlu mencari tahu jawaban mengenai berapa peluang Yamanaka Ino untuk bertemu Haruno Sakura dan Sabaku Temari di dalam toilet pagi ini.
"Hai, babiku sayang. Bagaimana kelas barumu? Sepertinya kelasnya akan menarik karena ada Hidan dan si Shimura itu." goda Sakura sambil cekikikan. Sakura lebih tinggi dariku dan ia memanfaatkan tinggi badannya dengan baik untuk memelukku. Ia tahu aku benci dipeluk dan aku punya alasan logis untuk itu meskipun Sakura tidak mengetahuinya.
"Lepaskan aku, jidat!" Aku menggerutu dan menggeliat dalam pelukan Sakura hingga ia melepaskanku dengan enggan.
"Sayang sekali mulai sekarang kita tak bisa lagi mendengarkan cerita-cerita Ino soal Gaara dan yang lain saat pelajaran." keluh Temari sambil memoles lipbalm pada bibirnya. Aku sedikit iri pada bibir Temari yang cerah alami. Tak seperti aku yang harus memoles lipgloss dan seringkali lipstick, ia hanya memakai lipbalm untuk melembabkan bibirnya.
"Pokoknya kelas Ino akan tetap jadi basecamp kita. Tenang saja Ino, kita akan ke kelasmu saat istirahat!" sahut Karin.
"Kita akan makan di kelas Ino setiap hari!" ujar Tenten.
Aku mengibaskan tangan tak mau tahu. "Terserah kalian saja."
Bel berbunyi tepat saat aku mengakhiri ucapanku. Deringnya yang dulu kupikir mengganggu dan memekakkan telinga kini menyelamatkan aku dari makhluk-makhluk yang kusebut teman ini. Kami semua beranjak ke kelas masing-masing. Saat aku membuka pintu kelas, Karui sudah duduk di bangkunya. Sepertinya ia juga baru masuk dan terlihat lelah. Mungkin banyak yang harus ia lakukan di awal semester ini. Mengingat salah satu tugas dewan kedislipinan adalah memberi arahan pada murid baru. Meja di belakangku masih kosong sementara Uzumaki dan Shimura sudah duduk rapi di meja mereka masing-masing. Diam-diam aku menghela napas lega. Syukurlah, aku tak perlu khawatir karena sudah tak ada masalah lagi.
Begitu pintu terbuka dan wali kelas kami masuk, kelas mendadak senyap. Ia adalah seorang pria berperawakan tinggi yang suka sekali merokok. Asuma-sensei, pernah menjadi wali kelasku saat kelas 1 dan merupakan salah satu guru yang kusukai. Ia santai sekaligus tegas, bukan santai dan semaunya seperti Kakashi-sensei, si guru sejarah. Asuma-sensei minum kopi tiga kali selama di sekolah. Pagi hari sebelum mengajar, siang hari saat orang normal seharusnya makan siang, dan sore hari setelah selesai mengajar, tapi ia merokok di setiap kesempatan yang ada. Aku tahu karena aku sering menemuinya di samping mesin pembuat kopi yang ada di ruang guru.
Hari ini Asuma-sensei hanya membicarakan hal-hal penting yang harus kami lakukan sebagai murid kelas 3. Ia menyinggung perihal ujian, kenaikan nilai standar, dan rekomendasi perguruan tinggi. Jika wali kelas lain biasanya akan memilih pengurus kelas pada hari ini, Asuma-sensei memutuskan bahwa pengurus kelas akan dipilih sesuai kesepakatan kami dan harus dikumpulkan minggu depan. Pria itu langsung keluar setelah selesai bicara. Benar-benar orang yang tidak bisa basa-basi.
Aku baru saja mengambil headset dari dalam tas saat merasakan meja di belakangku bergerak ribut. Begitu menoleh, kudapati wajah yang tak asing sekaligus paling tak ingin kulihat. Ia menunduk untuk melihat ke laci meja, sepertinya sedang membereskan buku atau apapun yang ia bawa. Aku buru-buru berbalik dan duduk dengan tegap sampai punggungku terasa kaku. Tubuhku menggigil dan aku tidak mampu menutupi keterkejutanku. Sepertinya ia tak menyadari saat aku memerhatikannya sekilas barusan.
Sialan, mengapa Shimura Sai harus duduk di belakangku?
Dan mengapa juga Uzumaki Naruto harus duduk di belakang Karui?
Hari pertamaku benar-benar penuh kesialan.
TBC
