Makhluk Buas

By

Kohan44


"Kau ingin apa?"

"Aku ingin kau."

Prajurit yang tak memiliki kehormatan itu bertarung dengan gagah. Pedang ditenteng di kedua sisi, berangkat dengan pakaian bersih, pulang dengan lumuran darah, seragam compang camping, dan punggung membunguk layu. Para pejabat tinggi terkesiap di meja-meja agung, tak menyangka mereka akan kembali hidup-hidup. Sang pemimpin pasukan berseru lantang, "kami kembali!" dan para prajurit berkoar menyerukan seolah mereka menang di peperangan itu.

"Kami membawa monster!"

"Ya, benar!"

Hari itu, yang menjadikannya berbeda dari hari biasa, salah satu prajurit merobek tengkuk sang monster dan menemukan seorang manusia hidup di baliknya, yang sekarang mereka rantai bagai anjing berpenyakit.

"Kau ingin aku? Cih!"

Prajurit itu meludahinya.

"Levi Ackerman..."

Monster itu terkekeh mengulang-ngulang nama sang prajurit.

"Levi Acker..man... Le-vi Ack...er.. hahaha.."

BUG!

Satu tendangan melayang. Darah baru mengucur.

"Kau tahu, yang kau lakukan itu berlebihan." Kata Hange, sang rekan prajurit dari bagian penelitian. "Lihat dia, kau tak ada bedanya dengan menendang manusia."

"Dia monster." Levi mendengus, hampir tertawa mendengar kawannya berkata seolah dia punya rasa manusiawi terhadap apa yang mereka temukan.

"Mhm-hm," Hange meraih lengan monster itu, lalu ia suntikan sesuatu. "Aku tidak tahu harus kita apakan makhluk ini. Tiap kali kita melukainya, dia sembuh dengan cepat, dan itu artinya, kesakitan tidak mendisiplinkannya. Bagaimana menurutmu, Levi?"

"Biar aku yang urus. Kau pergi."

"Kau akan menendangnya lagi?"

"Keluar."

"Aku harap kau membuatnya bicara." Hange menepuk bahu Levi lalu meninggalkannya dengan bunyi debum keras pintu baja tertutup rapat.

"...Levi Ack..ker...man..."

"Bisa kau ucapkan sesuatu selain itu?"

Matanya mendelik cepat lewat sudut menatap Levi lurus. "Aku. Ingin. Kau."

Levi menaikkan sebelah alis, balas menatapnya rendah. Makhluk itu berlari cepat, rantai yang melilit tangan dan kakinya bergerak terulur saling bergemercik dan seharusnya menahan makhluk itu mencapai tempat Levi berdiri, tetapi dia mencengkram Levi, berguling menjatuhkan Levi sampai Levi lumpuh di bawah tubuhnya.

"Kau tahu, besi ini bisa putus."

Makhluk itu mengendus-endus tubuh Levi, membauinya seperti sedang meneliti.

"Anjing." Levi merutuk.

Makhluk itu mendesis, mencengkram leher Levi sampai Levi terbatuk.

"Eren," katanya serak. "Eren! Eren! Eren!"

"E...ren.. akh!"

Makhluk itu melepas cekikan, membiarkan Levi terbatuk lalu bernafas lega.

"Sialan!"

Levi menghajarnya sekali, sampai dia jatuh berguling.

"Eren!" raungnya lagi. "Eren! Eren! Eren!"

"Ya! Aku tidak tuli. Namamu Eren."

"Mhm, Eren." Katanya mengulangi, kali ini dengan suara yang agak lembut. Eren duduk di dekat Levi dengan kedua kaki melipat.

"Eren," Levi ikut terduduk sembari mengusap-usap lehernya yang masih merasakan sensasi cekikan. "Kemari,"

Eren berlari dengan kedua kaki dan tangan, menghambur ke pelukan Levi dan mendorongnya jatuh. Membauinya lagi, di bagian leher, memeluknya erat, mengunci tubuh mungil Levi dan membuatnya kesulitan melawan.

"Eren! Sialan, ka—!"

Eren menggigit tengkuk leher Levi. Tangannya bergriliya menggerayangi tubuh Levi, dan Levi melayangkan satu pukulan saat Eren dengan sengaja menggesek-gesek kemaluannya.

"Bangsat! Anjing!"

"EREN!"

Eren bangkit meraung "Ini EREN!", mencengkram kedua pergelangan Levi dan mengunci tatapannya. Sebelah tangannya yang lain membuka sabuk Levi.

"Eren!"

Levi berteriak panik saat dengan cepat Eren melucuti pakaiannya, menggerayangi tubuh Levi, menjilat dan menggigit dimanapun dia suka. Yang membuat Levi jijik, tangan Eren meraba-raba kemaluannya dan membuat kemaluan keduanya saling beradu, dan Levi bisa rasakan makhluk di depannya terangsang sempurna dengan kejantanan yang mengacung keras lalu dia hujamkan di tubuh Levi.

"AAKH!"

Pada suatu kehidupan di masa lalu, peradaban manusia dikelilingi dinding-dinding menjulang tinggi. Konon, dinding-dinding itu adalah ciptaan Tuhan, begitu kata cerita yang berpindah dari mulut ke mulut. Saat matahari terbit, dari balik dinding itu terdengar auman yang menggetarkan tanah tempat mereka berpijak. Bukan auman serigala, bukan pula anjing, tak pernah ada yang tahu apa itu. Terkadang di siang hari, ketika cuaca cerah, bunyi guntur menyambar, seolah hujan deras melanda. Manusia yang telah hidup di balik dinding selama beratur-ratus tahun, ketika semua hal itu terjadi, mereka melakukan kegiatan seperti biasa. Seolah auman pagi adalah nyanyian burung, seolah guntur di siang cerah adalah angin.

Kata para penggembala yang berkelana jauh dari pemukiman mendekati dinding untuk mencari rumput pakan ternak, dinding-dinding kiriman Tuhan untuk melindungi mereka itu bergetar tiap kali guntur terdengar. Mereka segera bertekuk lutut, menyembah, berterimakasih atas perlindungan Tuhan Yang Maha Agung.

Padahal, perlindungan yang sesungguhnya datang dari para manusia ini,

"Eren!"

...yang melolong kesakitan, menahan perih tiap kali dengan semangat Eren menggenjot tubuh mungilnya.

Orang-orang biasa yang bekerja di ladang, atau mereka yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di perkantoran mengurusi kertas-kertas, mereka tak tahu bahwa selama ini ada manusia yang melewati dinding. Para prajurit penunggang kuda yang berkelana ke luar dinding saat matahari terbenam dan kembali sebelum matahari terbit.

Mereka hanya tahu, para prajurit yang dikendalikan pemerintah adalah pelayan, yang mengayomi mereka di jalan, membantu mereka mengatur jumlah pasokan makanan, dan yang terpenting prajurit berseragam coklat yang berlambang tameng dililit mawar di dada itu adalah penangkap para kriminal, ksatria kehormatan pemerintah yang bersedia melindungi mereka seperti dinding-dinding itu. Sehingga mereka dengan senang hati memberikan sebanyak apapun pemerintah meminta harta mereka.

Ketika pada kenyataannya, prajurit berseragam coklat itu tidak hanya berlambang lilitan mawar merah. Prajurit yang berkelana keluar sana mengenakan seragam serupa dengan lambang sepasang sayap di dada kiri. Mereka orang-orang terpilih yang dilatih sehingga pantas berperang sebagai prajurit, tapi tak memiliki kehormatan. Mereka, prajurit dengan sayap lambang kebebasan, menjadi prajurit karena hukuman. Mereka bukan orang-orang suci yang merelakan hidupnya dikoyak hal apapun yang ada di balik dinding. Mereka para pendosa yang pemerintah kirim ke luar dinding supaya kematian mereka bukan hanya penebusan dosa, tapi juga upaya penyelamatan umat manusia.

Tumbal.

Ya, benar.

Bagai memberi pakan untuk apapun yang hidup di luar dinding.

Tetapi, bertahun-tahun berlalu dengan cara demikian, seseorang telah menghentikan tradisi itu. Prajurit berlambang sayap itu membawa pulang Eren dan mengurungnya berhari-hari, yang kemudian mereka percayakan kepada si penangkap, Levi Ackerman, untuk dijinakkan. Mereka percaya hanya Levi yang mampu.

"Akh! Ahn! Ahhnnn..."

Plak! Cplak! Cplak! Cplak! Bunyi kulit mereka saling beradu. Genjotan demi genjotan menjadi bringas seiring puncak kenikmatan yang semakin dekat.

Di antara prajurit yang ada, mereka tak meragukan kekuatan Ackerman. Kedatangan sang Ackerman ke batalion bagai Tuhan mengampuni dosa mereka. Tapi mereka tak tahu, manusia yang mereka elu-elukan paling kuat ini, juga bisa tumbang berdarah-darah.

"...ah... Eren.."

Jatuh bersimpuh, terengah-engah lemas dan pasrah, itulah...

"..Ack...ker..man.. Ack, ngghh.."

"Ah! Ah! Ah!"

Lengungah demi lenguhan,

"Acker... nggh,"

Peluh keringat,

"..emmhh, Eren..."

"Ngghh!"

Rasa perih di anusnya berubah menjadi sesuatu panas terbakar dan lengket, darah bercampur cairan benih. Eren merayap-rayap, membaui tubuh yang terkapar sehabis digangbang. Eren membersihkan luka-luka Levi, menjilatnya dengan perasaan. Lalu ia juga bersihkan anus Levi, kemudian ia meringkuk dalam dekapan Ackerman seperti bayi, terisak-isak.

Sebelah tangannya tertahan menyisir rambut Eren. Sesaat lalu ada kebencian yang mendorongnya membayangkan macam-macam hal. Memotong kedua tangan Eren memang tak banyak menyakiti, tapi itu melumpuhkannya untuk sementara waktu, dan Levi membayangkan dengan jelas bagian mana saja yang akan ia potong dengan pedang yang biasa ia gunakan menebas monster. Semakin Eren menggejotnya, semakin kuat hasrat itu. Bahkan rasa-rasanya ada kebahagiaan melihat cipratan darah Eren.

Tapi...

"Eren,"

Levi mengusap rambut Eren.

Seks.

Mereka baru saja melakukan seks. Nikmat atau tidak, tapi mereka melakukan seks. Berkali-kali. Dan Ackerman sang manusia terkuat, dibuat tak berkutik oleh seks tanpa gairah.

Kenapa?

"Eren,"

"..."

"Kapan kau akan bercerita padaku?"

"..."

"Kau... berada dalam tubuh monster itu... dan hidup."

"Ikut denganku. Kau. Bersamaku."

"Lalu?"

"Akan kulakukan apapun yang kau mau."


Hari itu saat fajar menyingsing, Hange sudah duduk di mejanya bertopang dagu dengan kening mengkerut berfikir serius. Biasanya Levi sudah tiba lebih dulu lalu melaporkan apa-apa yang ditemukannya. Di meja kerjanya, yang ada hanyalah berita acara menghilangnya tahanan mereka bersama salah satu prajurit terpenting mereka.

"Katakan ini bagian dari rencanamu, Erwin."

Erwin berdiri menatap jauh keluar jendela. Dinding-dinding yang menjulang tinggi. Matahari menyorot dari baliknya. Bukan karena Ia tak mempercayai kehadiran Tuhan, tapi ada keyakinan yang membuat pasti dinding itu tercipta atas perbuatan manusia. Manusia yang menjadikan hal tidak mungkin menjadi mungkin. Manusia seperti Levi Ackerman yang menemukan manusia lain di tubuh monster, dan kini orang yang sama melarikan diri bersama monster itu. Apa yang dicarinya? Apa yang dipikirkannya?

"Erwin,"

"Apa mungkin Levi menyukai monster itu?"

Hange termenung menonton sang Komandan tertinggi di batalion mereka. Tak bermaksud menggubris, karena ia sempat memiliki pemikiran serupa.

"Setan." Dengusnya lucu sembari beranjak dari meja. "Iblis apa yang merasukinya sampai-sampai dia menyukai monster? Hanya aku yang sanggup menyukai monster di muka bumi ini."

"Monster kali ini bentuknya seperti manusia, Hange, dan kau tidak menyukainya. Kau berkali-kali membiusnya, dan kau tahu terlalu banyak bius bisa membunuhnya."

"Setan." Hange menendang sembarang meja, mendesis mengumbar sumpah serapah. "Dia menculik Levi. Kita sama-sama tahu, Levi alergi makhluk kotor dan apalagi hina."

"Hn. Ingat, nanti malam kita akan berekspedisi. Siapkan pasukan."