"Apa kau bercanda?"

"Tidak, Tuan Jaeger. Jika anda tidak percaya, aku akan memberikan hasil tes nya."

Pria itu memberikan selembar kertas berukuran HVS. Grisha Jaeger, memperhatikan dengan teliti deretan kata-kata dan persenan.

Setelah membaca dan memahaminya, Grisha menghela nafas.

"Baiklah. Saat umur berapa Eren akan bertransformasi?"

"Menurut tes yang sudah kami lakukan, anak anda akan bertransformasi saat dia sudah berumur 17 tahun."

.

.

.

.

Shingeki No Kyojin by Hajime Isayama

What's wrong with me?! by Rivaille Yuki Gasai 2

.

.

Teen, AU!Transgender, Romance, Typo(s) everywhere, first FFn.

Rivaille x Female!Eren

Note: Cerita ini terinspirasi dari kisah hidup Ryan McKenna. Tapi saya tidak mengambil sepenuhnya cerita dari beliau. Separuhnya adalah dari otak saya sendiri. Kisah ini menceritakan dimana Eren seorang remaja laki-laki yang nantinya akan bertransformasi secara alami menjadi perempuan.

.

.

.

Enjoy^^

.

.

.


Sinar mentari yang muncul di pagi hari selalu memberikan kesan segar dan hangat. Hari apapun, cerahnya pagi ini akan selalu memberikan energi semangat untuk menjalankan kegiatan para penduduk kota Sina. Hari senin di bulan Maret, kota Sina mendapatkan anugerah dari Tuhan karena tidak diturunkan hujan yang bisa menurunkan semangat mereka.

Eren Jaeger, remaja berumur 16 tahun sangat berbanding terbalik dengan penduduk kota Sina yang bersyukur atas anugerah Tuhan. Namun, remaja yang satu ini selalu berdo'a agar Tuhan menurunkan hujan setiap hari senin. Entahlah, Eren hanya merasa tidak siap untuk duduk di kursi kelasnya dan memperhatikan guru. Rasanya ingin sekali dia izin tidak masuk sekolah, tapi apa daya bila dia memiliki Ibu yang sangat rajin mengingatkannya sekolah.

Masih tetap berbaring di tempat tidurnya yang nyaman dan empuk, tidak lama kemudian Carla Jaeger mengetuk lembut pintu kamar anak semata wayangnya.

Tok.

Tok.

"Eren? Apa kau sudah bangun?"

Pertanyaan lembut yang selalu dikeluarkan oleh Carla kepada anaknya setiap pagi. Namun Eren tetap tidak mau menjawab dan memilih untuk berpura-pura tidur.

"Eren, ibu akan masuk."

Kriet.

Pintu kamar berwarna cokelat kayu terbuka, menampilkan seorang wanita yang sudah berumur 40 tahun. Wajahnya tidak terlalu tua dan terlihat muda berkat senyuman yang selalu ia berikan.

Karena sudah biasa dengan kejadian ini, Carla langsung saja duduk di tepi kasur anaknya dan menepuk lembut puncuk kepala Eren.

"Eren, ayolah jangan bermalas-malasan. Sekolah itu sangat penting untuk masa depan mu. Bangunlah, ibu sudah menyiapkan air hangat untuk mu." Carla berucap sambil tersenyum. Tanpa melihat wajahnya pun Eren sudah tahu dari nada sang ibu. Karena mantra sudah diberikan, Eren pun bangun dan duduk di kasur sambil mengucek mata yang masih agak berat karena kantuk.

"Ng. Aku akan segera mandi." Eren menjawab dengan nada lembut. Memang hanya ibunya lah yang mampu membuatnya luluh. Tapi kalau seseorang disana mungkin termasuk.

"Anak pintar. Setelah kau selesai mandi, pakailah seragam sekolahmu lalu bergabung ke ruang makan bersama ayah dan ibu."

"Baik."

Carla meninggalkan kamar Eren. Anak semata wayang Tuan dan Nyonya Jaeger itupun langsung bergegas ke kamar mandi.

.

.

.

.

Mandi sudah selesai. Memakai pakaian seragam sekolah sudah selesai. Oke, saatnya bergabung bersama ayah dan ibu untuk segera sarapan pagi. Ia melangkahkan kakinya diatas anak tangga berbahan dasar kayu. Setelah sampai di ruang makan, ia mengucapkan selamat pagi kepada ayahnya. Grisha Jaeger, sang ayah yang sampai saat ini menjadi dokter terkenal di kota Sina, sedang membaca koran paginya sembari ditemani teh hangat.

"Selamat pagi juga, Eren."

Ketika Eren sudah bergabung, langsung saja keluarga kecil namun harmonis ini menyantap sarapan paginya.

Tiba-tiba saja Grisha mengingat pembicaraannya kemarin dengan dokter spesialis kelamin. Ingin memberitahukannya tetapi ini bukan waktu yang tepat. Mungkin lain kali.

.

.

.

Ritual sarapan pagi sudah selesai, saatnya Eren berangkat ke sekolah. Awalnya Eren selalu berangkat bersama ayahnya naik mobil, tapi untuk beberapa bulan ini Eren lebih nyaman berjalan kaki dan menggunakan bus umum. Ayahnya menolak karena Eren akan terlambat bila menaiki bus umum. Tapi namanya juga Eren, harga diri adalah hal utama. Menurutnya, berangkat sekolah bersama orang tua itu seperti anak kecil. Apalagi usianya yang sudah 16 tahu. Karena memahami sesama perasaan pria, Grisha pun akhirnya setuju.

"Ibu, aku berangkat ya." Eren berpamitan dengan ibunya.

"Hati-hati di jalan, Eren." Carla tersenyum di depan gerbang rumahnya. Hatinya sangat cemas dan khawatir, Carla tidak tahu apakah semua ini akan menjadi hal yang baik atau buruk untuk anaknya.

'Maafkan kami, Eren.'

.

.

.

.

Maria Senior High School.

Eren sudah sampai di sekolahnya tepat setelah bel berbunyi yang menandakan bahwa gerbang sekolah akan ditutup. Bagi murid yang terlambat, mereka akan diperbolehkan masuk ketika sudah memasuki jam pelajaran ketiga. Peraturan yang sangat umum, tetapi Maria Senior High School ini termasuk sekolah ternama karena mereka memiliki murid-murid yang berprestasi. Semua itu terjadi karena selain memiliki murid-murid yang berprestasi, peran guru pun sangat penting atas kesuksesan murid-muridnya.

Ketika Eren sedang berjalan menuju kelas, sahabat kecilnya, Armin dan Mikasa sudah menunggunya di dekat loker siswa dan siswi kelas 2-A. Senyum terbaik ia berikan kepada sahabat kecilnya.

"Selamat pagi, Eren" Mikasa menyapa lembut sahabatnya.

"Selamat pagi, Mikasa" dan dibalas oleh Eren dengan ceria. Sekarang mereka bertiga membuka lokernya masing-masing untuk mengambil buku catatan pelajaran Fisika. Namun, di dalam loker Eren, ia sedikit terkejut karena melihat benda asing. Benda itu adalah surat berwarna merah jambu, tidak memiliki motif, tetapi ada tulisan "Untuk Eren". Penasaran dengan isinya, langsung saja Eren membuka surat tersebut dan mengambil selembar kertas berwarna peach.

Melihat kejanggalan pada Eren, Armin dan Mikasa menghampirinya dan sedikit bingung ketika mereka melihat di tangan Eren ada surat berwarna merah jambu.

"Eren, siapa─"

Kriing. Kriing.

Baru saja ingin bertanya, bel jam pelajaran pertama pun berbunyi. "Ah, bel sudah berbunyi. Ayo kita masuk ke kelas." Armin dan Mikasa mengangguk, dan mereka bertiga pun masuk ke dalam kelas. Eren yang sebelumnya sedang membuka surat, saat bel sudah berbunyi ia langsung menyimpan surat tersebut ke dalam saku celana seragam sekolahnya.

'Saat istirahat, aku akan membacanya.'

.

.

.

.

.

.

Kelas 2-A adalah kelas yang penghuninya memiliki kecerdasan yang bagus. Walaupun hanya berjumlah 35 siswa dalam satu kelas, tetapi ramainya seperti 45 siswa. Eren sudah duduk di kursinya yang berada di barisan ketiga dari hitungan depan. Sebelah kirinya adalah jendela dan sebelah kanannya adalah orang yang paling Eren benci.

"Yo, alis tebal." Jean Kirstein, teman sekaligus rivalnya. Eren sudah biasa disapa seperti itu. Tetapi, meskipun sudah biasa, tetap saja Eren tidak suka alis tebalnya disebut-sebut.

"Muka kuda, bisakah kau tidak menyebut alisku?"

"Tidak. Kau sendiri mengejek wajahku ini seperti kuda."

"Karena kau memang kuda. Kau adalah kuda bodoh." Eren mengucapkannya dengan sangat ringan, dan Jean tidak terima kalau perkataan Eren sudah melebihi batas wajar, menurut Jean.

"Sial! Kau ingin merasakan pukulan ku?!" Jean menantang, Eren menerima tantangan Jean.

"Memangnya kau berani?! Tanganku juga sangat gatal sekali ingin memukul muka kudamu yang bodoh itu!"

"SIALAN KAU ALIS TEBAL!"

"MUKA KUDA!"

Anak kelas 2-A langsung berteriak untuk tidak bertengkar di dalam kelas. Disaat seperti ini, hanya Mikasa yang harus cepat bertindak. Tetapi, ketika Mikasa ingin memisahkan keduanya, suara berat dan penuh ancaman terdengar.

"Berhenti."

Dua murid yang akan saling memukul pun berhenti dan langsung membola ketika mereka melihat yang ada di depan mereka. Siswa dan siswi kelas 2-A berkeringat dingin dan segera kembali ke tempat duduk mereka masing-masing. Kaku, tegang, berkeringat dan panik. Eren dan Jean tidak bisa bergerak, mereka hanya mematung sambil berdiri karena pemilik suara berat penuh ancaman mendekat ke arah mereka.

"Setelah istirahat, kalian harus ikut ke ruanganku." Tanpa adanya kekerasan secara fisik, namun mereka tahu ini adalah sebuah ancaman paling menakutkan. Karena mereka akan memasuki neraka di Maria Senior High School.

Mendengar perintah dari gurunya, mereka pun mengangguk secara bersamaan.

"Baik, Sir."

.

.

.

Rivaille Ackerman, guru di bidang mata pelajaran fisika. Memiliki rambut berwarna hitam mengkilat, bola matanya seperti Elang, dan tingginya hanya 169 cm. Dia selalu dijuluki muka tembok. Wajahnya tidak pernah menampilkan ekspresi seperti guru yang lain. Dia hanya menampilkan tampang yang datar dan kesan mengancam. Tetapi semua itu tidak berlaku untuk para penggemarnya yang mayoritas adalah siswa dan siswi mulai dari kelas 1 sampai kelas 3.

Hari ini ia mengajar di kelas 2-A selama dua jam. Cara mengajarnya cepat, itu semua adalah tekniknya dalam memberikan ilmu fisika kepada muridnya. Eren, Jean, dan Connie─teman kelas Eren yang tidak memiliki rambut─adalah murid yang tidak suka cara mengajar Rivaille. Mereka bertiga selalu remedial ketika ulangan fisika dan langganan kena hukuman. Mau bagaimana lagi, menentang Rivaille berarti ingin mati.

Meskipun insiden tadi pagi membuat Eren berkeringat, ia tetap memperhatikan dengan serius bagaimana Rivaille memberikan materi fisika.

Tak terasa, bel pergantian jam pelajaran pun berbunyi. Semua murid kelas 2-A menghela nafas lega. Namun tetap saja Rivaille tidak akan pernah lupa untuk menghukum dua muridnya yang sangat bodoh itu.

"Jaeger dan Kirstein, jangan lupa dengan apa yang telah kalian perbuat."

Dengan terpaksa mereka berdua mengangguk.

.

.

.

.

Sudah memasuki jam ketiga, sembari menunggu masuk ke mata pelajaran Bahasa Inggris, Armin dan Mikasa datang ke meja Eren untuk memeriksa apakah ia baik-baik saja.

"Eren, kau baik-baik saja?" Mikasa bertanya penuh khawatir. Armin menepuk-nepuk pundak Eren, ingin menenangkan pikiran sahabatnya.

"Sepertinya tidak. Aku akan masuk ke dalam neraka." Armin tersenyum dan mengatakan 'Jangan bicara seperti itu, Eren.'

Tiba-tiba Mikasa langsung menghampiri Jean. "Semua ini salahmu, Jean." Ancaman kedua, matilah Jean.

"M-Mikasa, aku minta maaf soal itu." Jean terbata ketika merasakan aura dari Mikasa sangat mencekam. Mikasa sedang mengepalkan kedua tangannya dan tidak disengaja Jean mendengar suara remukan tulang tepat di kepalan tangan Mikasa.

Eren masih lemas dan menempelkan wajahnya ke meja. Untuk sementara dia tidak peduli. Armin yang sedari tadi melihat reaksi Mikasa dirinya harus bertindak disini.

"Sudahlah, Mikasa." Saat Jean melihat ke arah Armin, tanpa sengaja ia melihat Armin tersenyum tulus kepadanya dan di sekeliling Armin ada cahaya. Mungkin dia adalah malaikat. Jean tidak henti-hentinya memandang wajah Armin. Yang dipandangi sempat bingung dan melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Jean.

"Baiklah, Armin. Tapi, kalau dia melakukan hal seperti tadi pagi, aku tidak akan segan-segan untuk menghajarnya." Tingtung. Ancaman maut dari Mikasa sontak saja membuat Jean berkeringat, lagi. Perlu kalian ketahui, gadis berambut hitam yang bermarga Ackerman ini adalah adik kandung dari guru fisikanya. Tidak jauh berbeda, mereka sama-sama mengancam dan kuat.

Setelah Mikasa kembali untuk menenangkan Eren, Jean, yang merasa tertolong langsung saja memeluk Armin.

"Armin! Terima kasih sudah menolongku!"

"Ah, sama-sama Jean. Tapi.. Bisakah kau melepaskan ku?"

Sadar akan tindakan bodohnya. Jean cepat-cepat melepaskan pelukannya dan wajahnya sekarang memerah. "Ahaha. Maaf, aku terlalu senang." Tertawa kaku sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ya. Tidak apa-apa, Jean." Armin kembali tersenyum dan Jean kehabisan darah. Tiba-tiba ada yang bersuara menyebalkan.

"Dasar homo." Telinga Jean bergerak, ia tahu siapa yang berbicara.

"Diam kau. Aku tidak ingin mengulang kejadian tadi pagi."

Eren ingin membalasnya lagi, tetapi Miss Nanaba sudah masuk ke kelas.

.

.

.

.

Bel istirahat berbunyi. Ketika murid yang lain bersorak gembira, Jean dan Eren bersorak lemah. Jantung mereka berdegup kencang. Armin dan Mikasa memang setia kawan pada Eren. Mereka selalu menenangkan Eren ketika dia sedang panik. Berbeda dengan kawanan Jean─Connie dan Reiner─mereka tertawa terbahak-bahak.

Tidak ingin kena hukuman kedua, Jean dan Eren langsung saja pergi menuju neraka.

.

.

.

Sebelum memasuki ruangan Rivaille, mereka harus memasuki ruang guru terlebih dahulu. Karena di Maria SHS ini setiap guru mempunyai ruangannya masing-masing. Ruang guru hanya sebagai tempat guru untuk menyimpan tugas-tugas di meja mereka masing-masing. Setelah Eren membuka pintu ruang guru yang disusul oleh Jean dibelakangnya, mereka dengan sangat kaku berjalan ke arah ruangan yang diatas pintunya ada papan bertuliskan 'Rivaille Ackerman'. Dengan sangat hati-hati, Eren mengetuk pelan pintu neraka tersebut.

"Masuk."

Mendengar suaranya saja sudah merinding. Memberanikan diri, Eren membuka pintu neraka. Sempat kesal karena Jean hanya bisa mengekorinya dibelakang tanpa berusaha sedikit pun.

"Duduklah."

Berjalan sambil menunduk, mereka berdua sudah duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Rivaille. Ruangannya kecil, tetapi terlihat rapi dan tidak sempit. Rivaille adalah guru pecinta kebersihan. Setitik debu saja bisa terlihat olehnya, dan berkas-berkas miliknya pun tertata dengan sangat rapi. Meskipun begitu, tetap saja auranya seperti kandang neraka.

"Jaeger, Kirstein. Kenapa kalian selalu bertengkar? Apa kalian adalah pasangan gay yang sedang ada masalah karena cemburu." Penuh ancaman dan penekanan walaupun terdengar sangat datar.

Tidak terima dikatakan pasangan gay. Eren, wajah imut tapi suka cari mati─orang-orang bilang. Dia langsung saja membela diri, "Tidak, Sir. Kami bukan pasangan gay."

"Lalu apa."

Jean ingin sekali facepalm, tapi diurungkan niatnya itu karena tidak tepat sekali bila ber-facepalm di kandang neraka. Menghela nafas, Jean langsung saja ambil alih dari Eren.

"Maaf, Sir. Kami memang selalu bertengkar, tetapi kami tidak pernah sampai memukuli. Sebenarnya tadi pagi kami akan melakukan suit gunting, batu, kertas, Sir."

Eren melotot sejadi-jadinya. Rivaille mengangkat sebelah alisnya.

"Hoo. Memangnya apa yang sedang kalian permasalahkan?"

Disini Jean bingung, melihat wajahnya yang seperti itu, Eren pun kembali berbicara.

"I-itu.. Kami sedang melakukan suit karena diantara kami berdua harus ada yang mentraktir. Ya! Begitulah, Sir!"

Disusul oleh Jean, "Y-ya! Dan ketika kami ingin melakukannya, Sir Rivaille langsung masuk ke dalam kelas kami."

Setelah menjelaskannya, mereka langsung berdo'a dalam hati. Rivaille menghela nafas, memaklumi sikap kedua muridnya yang bodoh ini.

"Terserah. Aku tidak ingin kalian bertengkar di kelas lagi. Kalian bisa bertengkar di luar lingkungan sekolah. Mengerti?"

"Mengerti, Sir!" serempak menjawab. Lega rasanya mereka bisa selamat dari hukuman maut.

"Baiklah kalian bisa kembali ke kelas. Tapi, untukmu Jaeger, kau tetap disini."

Apa?! Jean selamat tapi dirinya tetap harus disini? Tidak adil! Dan sialnya, saat Eren melihat wajah Jean, dia memberikan seringaiannya kepada Eren.

'Sialan kau, muka kuda!' Eren memaki di dalam hati. Jean sudah hilang dari pandangannya.

Setelah ruangan tidak diisi oleh Jean, dan mereka sekarang hanya berdua. Rivaille bangkit dari kursinya dan menuju ke pintu.

Clek.

Pintu ruangan Rivaille sengaja dikunci olehnya. Rivaille kembali menghampiri kursinya, namun sekarang ia pindah posisi. Seharusnya dia duduk diseberang Eren, tapi kenapa dia duduk di sebelah Eren?

Menyadari Eren yang tengah gelisah, Rivaille mendengus pelan.

"Oi, bocah. Kenapa kau takut sekali, huh."

Eren tersentak. Dia mendengar nada bicara Rivaille seperti tidak mengancam ataupun marah.

"S-saya.. Tidak takut, Sir."

"Hm. Lucu sekali. Kau ini laki-laki. Tidak boleh lemah seperti perempuan, bocah."

"Saya tidak lemah!" Ups. Eren segera menutup mulutnya karena telah lancang berbicara seperti itu. Berkeringat, lagi.

"Aku tidak yakin kalau kau adalah laki-laki. Sayang sekali." Disini Eren merasa harga dirinya terinjak dan diremehkan. Tapi, sedari tadi ada yang lebih ia bingungkan.

"Sir, kenapa saya harus tetap disini?" Memberanikan diri untuk bertanya, karena memang ini semua membuat Eren bingung. Salah apa lagi yang Eren lakukan?

"Bocah, nilaimu akhir-akhir ini sangat buruk daripada Kirstein. Apa kau benci dengan pelajaran fisika?"

"Eh?"

'Sangat. Sangat benci.' Dia hanya berani mengucapkan di dalam hati.

"Tidak, Sir. Hanya saja saya tidak terlalu bisa menguasai pelajaran fisika."

"Ya. Aku tahu itu. Kau sangat payah di pelajaran fisika. Aku akan memberikanmu kesempatan. Apa kau ingin nilaimu berubah menjadi lebih baik?"

'Kesempatan? Dia akan memberikanku kesempatan apa?'

"Ya, Sir! Aku mau!" Mata hijau zamrud Eren langsung berbinar. Rivaille yang melihatnya cukup kagum dan tertarik. Mendengar keantusiasan dari Eren, Rivaille pun menyeringai kecil.

"Jika nilaimu ingin berubah menjadi lebih baik, kau harus les privat."

"Eh? Siapa yang mengajariku?"

"Tentu saja aku, bodoh." Rivaille masih mempertahankan seringaiannya yang tidak terlalu jelas untuk dilihat.

"Um.. Dimana tempatnya, Sir?"

Bingo. Rivaille menyeringai senang mendengar pertanyaan itu.

"Di rumahku."

.

.

.

.

TBC

.

.

.

A/N: Halo. Wkwk. Maaf ya ini pasti berbelit-belit. Maklum, baru pertama kali bikin FF nih! /dibakar

Yak, saya tahu pengetikan dan bahasanya sangat jelek (banget) karena saya masih amatiran dan masih belajar.

PARA SENPAI PLISUU JANGAN TAMPAR SAYA DENGAN KATA-KATA PEDASMU. SAYA TAU INI JELEK BANGET HUEHEHEHE TAPI KRITIK DAN SARAN YANG MEMBANGUN SANGAT DIBUTUHKAN DARI KALIAN WAHAI PARA SENPAI AUTHOR DAN PEMBACA (emang ada?)

YAK GINI AJA DULU LAH. POKOKNYA REVIEW SANGAT DIBUTUHKAN YA! KISSU.