Loving You
Genre : Romance
Rate : T
Pair : GaaHina
Warning : OOC, AU
Summary :
Even if I said it to stop, it won't stop
It's not just won't stop, but I also can't stop it
Because it's you
It's you that own my heart
It's you that driving my heart
Like a crazy who loving you
Happy Reading, Minna! ^^
Chapter 1 : Her name is..
Langkah kaki bergema di seluruh koridor. Nadanya terdengar teratur dan beriringan seperti sebuah harmoni lagu. Dentum-dentum kaki terdengar memantul di dinding-dinding koridor. Lelaki itu berjalan menuju sebuah ruangan yang terletak di ujung koridor. Penampilannya acak-acakan. Seragamnya keluar sebagian dengan kancing atas yang dibuka. Blazer birunya sudah hilang entah kemana dan kini ia berkeliaran dengan dasi yang sengaja dipasang longgar di lehernya.
Mimik wajahnya tak pernah berubah. Selalu tajam seperti biasa namun tatapannya menunjukkan ketidakpedulian. Hal itulah yang menjadikan ia sebagai salah satu lelaki terpopuler di SMUnya. Tato dengan tulisan kanji 'Ai' di dahinya itu seperti menjadi tanda bagi dirinya. Selain berfungsi sebagai tanda, hal itu juga menarik perhatian sebagian siswi. Tak heran, blazer birunya hari ini hilang ditelan –entah siapa- saat ia sedang berada dalam kerumunan. Di telinga kanannya, terpasang sebuah headset putih dan yang sebelah lagi tergantung di depan dadanya. Tangannya menggenggam sebuah IPod putih dan tengah memutar sebuah lagu yang seiring dengan langkah kakinya saat ini.
Tanpa ia sadari, ia telah tiba di ruangan yang ditujunya. Ia berbalik menghadap ruangan itu dan membaca tulisan yang tertempel di pintunya. Home Economic. Ia menghela nafasnya lelah. Sebenarnya, ia tak ingin menghadiri kelas ini. Kelas ini adalah kelas yang paling ingin dihindarinya. Ia tak bisa dan takkan pernah bisa memasak. Jangankan memasak, ia saja tak tahu bagaimana caranya untuk memanaskan air, bagaimana ia bisa memasak? Jika saja ia tidak dipaksa oleh sensei berambut ungu itu, ia takkan berakhir di depan kelas Home Economic ini. Takkan pernah.
Merasa bahwa mengeluh dalam hati takkan membuahkan hasil apapun, Gaara memutuskan untuk menggeser pintu itu dan langsung mendapatkan perhatian dari murid-murid yang sebagian besar adalah perempuan itu. Jelas, ini kelas Home Economic. Tentu saja, Gaara tidak sebodoh itu sampai tidak tahu siapa yang akan menjadi penghuni kelas ini. Dan ini juga menjadi salah satu alasan Gaara di pertanyaan 'Mengapa ia tak pernah mau masuk kelas Home Economic sampai kapanpun.' Sayangnya, Anko-sensei bukanlah tipe sensei yang akan perhatian pada berandalan macam dirinya.
Banyak pandangan yang ditujukan pada dirinya, Gaara tahu itu. Tapi, ia tetap cuek dan memasuki kelas itu dengan langkah santai. Ia melangkah menuju pada Kushina-sensei yang terkenal akan kelembutannya dan juga ibu dari salah seorang temannya. Sembari melapor bahwa ia akan menjadi penghuni baru di sana, Kushina-sensei tersenyum dan memaklumi. Beruntunglah bagi Gaara karena Kushina tidak sekejam Anko yang memaksanya untuk masuk kelas yang paling Gaara hindari di dunia itu.
"Tak apa-apa, Gaara. Pelan-pelan saja untuk beradaptasi dengan kelas ini," ujar Kushina-sensei dengan lembut. Ia memang selalu keibuan dari sejak pertama Gaara mengenalnya. Karena itu, Gaara boleh sedikit berlega hati.
"Nah, sekarang pilihlah seorang siswa untuk menjadi partner Home Economicmu karena kelas sebentar lagi akan dimulai." Setelah memberi titah begitu, Kushina-sensei berjalan ke depan kelas dan berdiri di tengah-tengah. Gaara mengedarkan pandangan ke sekelilingnya dan mencari partner yang pas. Yang tidak berisik dan penurut, serta yang bisa memasak dengna cara yang baik tentunya.
Setelah sekian lama berpetualang dengan matanya, manik Emeraldnya menemukan seorang gadis yang terdiam di tempat. Tidak seperti yang lain yang menatap penuh harap padanya agar dipilih menjadi seorang partner, gadis itu malah fokus akan peralatan dan buku-bukunya di atas meja. Merasa gadis itu tidak akan menjadi rewel, Gaara berjalan ke arahnya dan menetapkannya menjadi pasangan Home Economicnya.
Semua siswi yang melihat Gaara memilih si gadis Hyuuga pun merasa kecewa. Beberapa di antaranya ada yang mengalami patah hati karena merasa dirinya tidak beruntung. Gadis yang dipilih pun tak pernah menyangka dirinya akan dipilih oleh pangeran di SMUnya itu. Terlihat dari ekspresinya yang terkejut saat Gaara berjalan dan berdiri di sampingnya . Namun, tak lama kemudian, ia menampilkan senyum manisnya pada Gaara dan kembali fokus pada buku-buku serta peralatan masaknya. Gaara agak terkesiap saat gadis itu melemparkan senyum padanya. Entahlah, mungkin ini hanya perasaan Gaara saja. Mungkin juga karena ia terlalu pusing menghadapi kelas barunya hingga ia merasa bahwa ada yang aneh dengan dirinya.
Tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan perasaannya, ia memutuskan untuk menatap ke arah Kushina-sensei. Dengan seksama, ia memperhatikan Kushina yang kini tengah menjelaskan tentang sebuah resep dan tema yang akan dipelajari hari ini. Gaara yang tak bisa memasak, tentu saja tidak mengerti. Akan tetapi, ia tetap melihat ke arah papan tulis dan melihat corat-coret yang dibuat Kushina. Sesekali, ia memandang ke arah partnernya. Ternyata, gadis itu tidak melihat ke arah Kushina sama sekali. Ia malah tetap terfokus pada bukunya dibanding mendengarkan Kushina. Gaara menaikkan sebelah alisnya melihat gadis itu.
"Kau tidak memperhatikan penjelasannya?" tanya Gaara saat ia bersandar membelakangi meja. Gadis itu mendongak dan menoleh ke arah Gaara. Ia tersenyum dan menjawab, "Aku sedang mendengarkannya dan mencocokkannya dengan bukuku."
Gaara mengintip sedikit ke arah buku yang tengah dibaca gadis itu. Ia mengangguk mengerti sekarang ketika tahu buku yang dibacanya dengan tema penjelasan kali ini saling bersinkronisasi satu dengan yang lain.
"Kau sudah tahu temanya sebelum dia memulai kelasnya?"
Gadis itu menggeleng namun dengan matanya tetap menuju ke arah buku. "Hanya mengira-ngira saja. Minggu kemarin, ia membahas soal appetizer ala barat. Karena setelah urutan appetizer adalah main course, jadi aku membaca buku ini. Aku bahkan tak tahu kalau ternyata prediksiku benar. " Ia tersenyum lagi saat ia menjawab pertanyaan Gaara. Kelihatannya gadis ini senang sekali tersenyum. Yah baguslah, daripada gadis yang rewel, yang satu ini lebih kalem dan tidak melakukan fangirling di sekitarnya. Ia ikut menaikkan salah satu sudut bibirnya mengingat tingkah gadis ini dibandingkan yang lainnya.
"Nah, sekarang kalian kuberi tugas untuk seminggu ke depan. Aku ingin kalian membuat satu set main course yang kubahas hari ini bersama kelompok kalian. Saat kelas dimulai minggu depan, aku ingin semua sudah selesai mengerjakan tugasnya." Kushina tiba-tiba berseru menyebutkan tugas padahal Gaara tak tahu apa-apa. Mendengar hal itu, Gaara menghela nafas panjang. Ia melihat ke arah partner kerjanya. Gadis itu tersenyum sembari mencatat apa saja yang harus dilakukan dalam tugas mereka.
"Baiklah, kalau begitu kalian semua boleh bubar. Ingat, kerjakan tugas kalian atau hukuman menanti. Tak ada pengecualian untuk siswa baru sekalipun." Kushina menatap ke arah Gaara dan tersenyum pada pria berambut merah itu. Gaara merasa bahwa hal ini akan menjadi berat karena ia tidak mengerti apa yang harus dilakukannya.
"Selesai," gumam gadis di sebelahnya. Ia melipat kertas yang digunakannya untuk mencatat tugas dan resep. Kemudian, ia memasukkannya ke dalam saku sementara ia membereskan peralatan memasaknya dan buku-buku yang dibawanya. Melihat gadis itu, ide melintas di benak Gaara. Ia meraih pundak gadis itu dan membuat gadis itu mendongak ke arahnya.
"Ada apa?"
"Bisa kau buatkan bagianku juga? Aku tak mengerti apa yang ia jelaskan," ujar Gaara dengan santainya. Gadis itu menghela nafas dan tersenyum lemah. Ia terdiam sebentar dan memikirkannya. Kemudian, ia tersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, tapi jika Kushina-sensei bertanya, bilang saja kau mengerjakan bagian saucenya. Mengerti?"
Gaara tidak menyangka negosiasi mereka akan semudah itu. Ia tersenyum menang dan berseru pelan, "Deal." Mungkin, Home Economic takkan seburuk yang ia pikirkan jika ia bisa seterusnya begini. Ia takkan menolak untuk masuk kelas manapun bila ia bisa melakukan hal seperti ini terus.
Hari itu, Gaara diajak oleh gerombolan Uchiha dan kawan-kawannya untuk berkumpul. Sepertinya, ada yang bakal mengadakan party lagi entah di kediaman siapa. Naruto yang merupakan anak dari Kushina-sensei, juga ikut menghadiri acara perkumpulan itu. Sebuah seringai terukir di bibir Gaara saat ia membayangkan cocktail dan vodka mengisi kekosongan di kepalanya. Ia menambah kecepatan Audi R8nya dan mulai menyalip truk-truk besar yang ada di jalanan. Berbalap-balapan dengan kecepatan mereka.
Ia baru mulai melambat saat ia tiba di lampu merah. Ia menghentikan mobilnya dan mulai mengetukkan jarinya pada kemudi. Ia menoleh ke arah pinggir jalan dengan tatapan bosan. Tak lama, ia menemukan seseorang yang familiar di matanya tengah berjalan sambil membawa banyak belanjaan. Gadis itu terlihat kesusahan membawa belanjaan sebanyak itu. Ia berjalan sehati-hati mungkin agar tidak menabrak. Sayangnya, keberuntungan bukan berada di pihaknya. Ia tak sengaja menabrak seorang lelaki yang berpenampilan preman dan membuat semua yang dibawanya buyar berantakan. Ia menunduk berkali-kali meminta maaf, tapi sepertinya lelaki yang ditubruk itu tidak terima. Ia berjalan maju dan mulai menghimpit si gadis dengan dua orang temannya.
Si gadis ingin memberi perlawanan namun tak sanggup. Mimik wajahnay memancarkan ketakutan dan juga kecemasan. Berkali-kali, Gaara menangkap gadis itu melirik terus ke arah belanjaannya yang jatuh di atas tanah sia-sia. Gaara ingin menghampirinya tapi gadis itu ada di seberang sana. Akan jadi jauh untuk menghampiri teman-temannya jika ia berputar balik dengan Audi R8nya. Akan tetapi, dilihat dari sudut pandang manapun, gadis itu benar-benar butuh pertolongan. Kedua tangannya dicekal dan ia tak bisa memberontak. Gaara tak bisa membayangkan bila gadis itu diperkosa di tengah jalan. Jadi begitu lampu berubah warna, ia segera melesat dan berputar balik menuju gadis itu. Biarlah dirinya terlambat menikmati vodka, yang penting gadis itu selamat dahulu.
Segera setelah ia tiba di tempat kejadian, ia segera turun dari Audi R8nya dan menghampiri gadis itu. Ia menghajar preman-preman itu hingga babak belur dan menghampiri gadis itu sesudahnya. Dilihat dari sorot matanya, ia terlihat ketakutan. Gaara membuang nafasnya lelah. Ia yakin pasti hal-hal seperti ini akan berlangsung lebih lama dari perkiraannya. Mungkin bahkan ia harus menunda lebih lama untuk meneguk satu gelas tequila yang juga menanti dirinya.
"Kau tak apa?" tanya Gaara saat ia berjongkok di hadapan gadis itu. Ia melihat ekspresi takut di wajah gadis itu dan merasa bersalah mengingat ia pernah ragu untuk menolongnya.
"Hei, kau baik-baik saja?" Mata gadis itu berpencar kemana-mana hingga akhirnya menatap langsung pada manik milik Gaara dan membendung air mata di dalam mata pucat itu. Gaara tahu gadis itu akan menangis sebentar lagi. Untung saja, Gaara tidak memutuskan untuk segera melesat maju ke arah party. Kalau tidak, ia takkan tahu nasib gadis ini akan jadi seperti apa.
"Sudah, jangan menangis. Mereka sudah kuhajar jadi mereka takkan bisa melukaimu lagi, oke?" bujuk Gaara secara pelan. Ia tak ingin membuat dirinya semakin susah. Ia tak bisa menenangkan gadis yang tengah menangis. Gaara tak bisa berlaku kasar juga tak bisa membiarkannya begitu. Jadi, ia harus mencegahnya semampunya.
"I-I-Itu.."
Gaara ber'hn' ria saat mendengar suara si Hyuuga yang agak tergagap. Ia menatap mata pucat itu dan membuat gadis itu semakin susah berbicara.
"Itu?" ucap Gaara saat melihat ke arah gadis itu. Ia melihat tatapan gadis itu yang terarah ke arah balik punggungnya. Karena itu, ia berbalik sesaat dan menatap kembali pada si gadis.
"B-Bahan makanannya, Sabaku-san. Bahan makanannya rusak semua." Pada akhirnya, gadis itu bisa mengutarakan apa yang ingin diucapkannya. Gaara menghela nafas. Rupanya, bahan-bahan makanan itu yang menjadi masalah baginya, bukan karena si preman-preman itu. Yah, setidaknya gadis itu takkan menangis dan menjadi ketakutan.
"Yasudah, kalau begitu beli lagi saja," ujar Gaara enteng. Ia bangkit berdiri dan menepuk-nepuk celana jeansnya. Ia menoleh ke arah gadis itu dan menawarkan bantuan untuk berdiri. Gadis itu menerima bantuan itu dan bangkit berdiri namun dengan tatapannya masih tertuju pada bahan makanan yang sudah hancur berantakan itu.
"Ada apa lagi?" tanya Gaara. Gadis itu menggeleng pelan. Kemudian, ia tersenyum lemah dan bergumam tak jelas. Gaara merasa heran dengannya. Ia yakin pasti ada masalah lagi, tapi gadis itu tak mau memberitahu. Benar-benar menyusahkan saja.
"Sabaku-san," panggil gadis itu dengan pelan. Gaara menoleh padanya dan menaikkan sebelah alisnya. Ia memainkan jari-jari telunjuknya dan terlihat ragu untuk mengutarakan keinginannya. Namun, ia menatap kembali bahan makanan yang sudah tercecer berantakan dan meyakinkan dirinya.
"Uangku habis untuk membeli semua bahannya tadi."
Gadis itu tak punya uang? Karena itu, ia mengkhawatirkan bahan-bahan makanan itu? Ia menatap pada gadis itu lalu beralih pada bahan makanan yang sudah hancur itu. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalanya. Ia menarik pergelangan tangan gadis Hyuuga itu dan membawanya ke arah mobil. Hinata yang bingung pun segera memanggil Gaara supaya menjelaskan apa yang terjadi. "S-Sabaku-san?"
Gaara tidak mengindahkannya. Justru, ia membuka pintu sebelah jok kemudi dan tiba-tiba berujar, "Masuk ke dalam mobilku. Kutemani kau belanja sekarang."
"E-Eh?"
=== Loving - You ===
Sakura melihat ke arah jam tangannya. Kemudian, ia melihat ke arah pintu keluar dengan tatapan cemas. Ekspresinya terlihat gelisah. Ia terus melangkah mondar-mandir dekat bar yang tengah didudukinya itu. Dari jauh, seorang pemuda berambut hitam melihat dirinya yang begitu gelisah dan mendekatinya dengan maksud menenangkannya.
"Ada apa, Sakura?" tanya Naruto dengan tatapan yang tidak kalah khawatir.
"Tidak, ini soal Gaara. Orang itu tidak datang-datang. Aku cemas ada apa-apa dengannya di tengah jalan," jawab Sakura namun tatapannya masih tertuju pada pintu keluar. Naruto menghela nafas berat. Gaara lagi, Gaara lagi. Ia memang tak bisa memungkiri bahwa Gaara memang popular sampai Sakura, gadis yang disukainya pun ikut jatuh cinta pada pemuda berambut merah itu. Ia tahu gaya yang dibawakan Gaara memang keren, tapi bisakah Sakura lebih memperhatikan seseorang yang ada di sampingnya saat ini? Ia sudah melakukan apapun untuk gadis itu, tapi ia tak pernah merasa dilihat barang sedetikpun oleh gadis itu. Apa kesalahannya? Apa kekurangannya? Kenapa selalu Gaara yang dikejar? Pernahkah Gaara mengejar seseorang? Kalau iya sekalipun, orang itu pasti takkan menolak Gaara. Naruto yakin itu. Ia sudah mengenal Gaara selama 10 tahun. Dan tak pernah sekali pun, ia lihat Gaara mengejar seseorang seperti dirinya. Mungkin sudah jadi takdir Gaara untuk dikejar dan dirinya untuk mengejar.
"Mungkin ia tak datang," usul Naruto yang segera cepat direspon oleh gadis berambut pink itu.
"Benarkah? Kenapa? Kemarin, jelas-jelas dia bilang dia akan datang. Apa dia bohong? Pesta ini takkan jadi seru tanpanya." Dalam sekejap saja, mimik Sakura lagnsung berubah sedih. Tak tega melihatnya, Naruto memutuskan untuk member temannya sebuah telepon. Tapi, 2 kali, 3 kali bahkan hingga 8 kali ditelepon pun, orang itu tidak mengangkatnya. Ada apa gerangan?
Saat ia menelepon untuk kesembilan kalinya, terdengar bunyi 'klik' tanda diangkat dari seberang sana. Langsung saja, tanpa menyapa Naruto segera membahas soal dirinya. "Hey, kau kemana sih? Kita semua menunggumu tahu."
Naruto terdiam dan menanti jawaban dari Gaara. Setelah itu, ia mengoceh lagi, "Kau yang benar saja. Masa kita harus mulai tanpa kau? Tidak bisa, cepat ke sini sekarang." Sakura yang mendengar ucapan Naruto segera menoleh pada pemuda pirang itu dan memasang tampang cemas.
"Apa kau bilang? Home Economic? Sejak kapan kau jadi lebih tertarik mengurusi rumah tangga ketimbang party di Blues?" Lagi-lagi, ucapan Naruto membuat Sakura semakin cemas. Naruto sadar akan hal itu makanya sedari tadi ia berusaha membujuk Gaara supaya gadis berambut merah muda itu tidak khawatir.
"Kau jangan gila, Gaara. Tugas itu pasti membutuhkan waktu berjam-jam. Memangnya , kau tak dapat kelompok?" Naruto lagi-lagi menunggu jawaban dari seberang sana dan terdiam sesaat. Kemudian, ia mengubah suaranya menjadi bisikan pelan, "Kalau begitu, kenapa kau tidak datang dan biarkan saja mereka yang mengerjakan?"
Tiba-tiba saja, Naruto terkejut dan membelalakkan matanya. "Apa kau bilang? Kalian hanya berdua? Bagaimana mungkin?"
Sakura berjalan mendekati Naruto dan memegang pundak lelaki itu. Ia bisa mendengar suara Gaara walau samar-samar.
"Bukan urusanmu. Sudah mulai saja dulu pestanya tanpa aku."
Bersamaan dengan itu, telepon ditutup. Naruto menurunkan ponselnya dan menatap pada Sakura. Ia tersenyum pelan dan berujar meminta maaf, "Gomenasai, Sakura. Aku tak bisa membujuknya." Sakura hanya bisa tersenyum miris mendengarnya. Lagi-lagi, ia dinomorduakan oleh Gaara.
=== Loving - You ===
Gaara sedang berada di perjalanannya menuju minimarket terdekat. Ia terlihat mengemudi dengan serius. Walaupun begitu, sesekali ia terlihat menoleh pada gadis di sampingnya. Memastikan bahwa keadaannya baik-baik saja.
"S-Sabaku-san."
Gaara menoleh ke arah Hinata dan melihat ke depan lagi. "Ada apa?"
"A-Ano, ponselmu bergetar." Hinata menunjuk-nunjuk ponsel Gaara yang terletak di depan kemudi. Gaara mengintip sedikit dan melihat nama Dobe di sana. Ia mengambil ponsel itu dan mengangkat teleponnya.
"Halo? Ada ap-"
Perkataan Gaara terpotong oleh suara Naruto yang ada di seberang sana. Ia terdiam beberapa saat, memberi kesempatan bagi temannya itu untuk mengoceh sepuasnya. Setelah selesai mengoceh, Gaara baru membuka suara, "Kalian mulai saja dulu tanpa aku."
Dua mata pucat segera menoleh ke arahnya ketika Gaara berkata begitu. Ia menatap tak enak pada Gaara. Apa ia menganggu pemuda itu?
"Aku punya tugas Home Economic dari Kushina-sensei."
Gaara menghela nafas sesaat dan membelokkan mobilnya ke jalanan sebelah kiri yang lebih sepi oleh kendaraan.
"Sudah kubilang, kalian mulai saja dulu. Nanti aku akan menyusul."
Si gadis Hyuuga semakin merasa gelisah. Ia merasa menjadi pengganggu bagi Gaara dan teman-temannya.
"Dapat," jawab Gaara tiba-tiba. Gadis itu bisa menangkap Gaara melirik sebentar padanya dan kemudian berujar kembali, "Tidak bisa. Anggota kelompokku hanya satu orang."
Gaara terdiam kembali. Mata hijaunya tidak lagi fokus pada jalanan di depan saja. Kini, manik hijau itu ikut memencar dan perhatiannya terbagi jadi dua. Jalanan di depannya dan gadis di sampingnya. Mendengar Naruto yang terus saja mengoceh membuat konsentrasi Gaara semakin pecah. Karena itu, ia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan terakhir dan malah berucap, "Bukan urusanmu. Sudah mulai saja dulu pestanya tanpa aku."
Setelah itu, Gaara segera menurunkan ponselnya dan memutuskan sambungan telepon. Ia menaruhnya kembali di depan kemudi dan kembali menyetir dengan dua tangan lagi.
"Sabaku-san sedang ada acara, ya?"
Gadis bermata pucat di sebelah Gaara membuka suara sesaat setelah Gaara menghentikan percakapannya dengan Naruto. Gaara melirik sebentar dan mengangguk. Kemudian, ia menambahkan supaya gadis itu tak perlu ikut-ikutan berkomplot dengan Naruto yang menarik paksa dirinya ke pesta di Blues. Kalaupun hari ini ia tak bisa menikmati vodkanya sekalipun, tak apa. Ia bisa ke sana esok hari setelah pulang sekolah.
"Tak usah kau pedulikan. Bukan acara yang terlalu penting buatku."
Gadis itu terdiam dan menunduk sejenak. Benarkah? Ia melirik pada Gaara sejenak dan melihat kea rah kakinya yang tertutup rapat. "Tapi, setidaknya kau harus hadir, Sabaku-san. Mereka pasti menunggumu, bukan?"
Gaara menghela nafasnya. "Aku bukan orang penting."
"Minimal, kau penting di mata mereka. Kau teman mereka, kan?" elak gadis itu. Ia tetap ingin mencoba membujuk Gaara supaya tidak mengabaikan undangan teman-temannya. Namun, tak ia sangka, sebuah kalimat yang meluncur dari bibir Gaara selanjutnya dapat membuatnya kalah telak. Ia tak bisa menyangkal kembali ketika Gaara berujar dengan nada khasnya, "Tapi, kau lebih membutuhkanku ketimbang mereka."
"Jadi, kita akan memasak apa hari ini?"
Gaara menatap pada gadis Hyuuga yang tengah membereskan bahan makanan yang baru saja mereka beli. "Spaghetti," jawabnya singkat. Gaara mengangguk pelan. Cukup sederhana rupanya.
"Kenapa kau tak memilih lasagna atau carbonara? Kurasa mereka akan memberikan nilai yang cukup bagus," celetuk Gaara saat ia tengah mencuci tomat segar dari dalam kantong belanjaan. Gadis itu tersenyum lembut dan menjawab, "Kita tak butuh hal yang rumit untuk mendapat nilai yang bagus. Bukankah yang dinilai hanya kerapian dan kelezatannya?"
Gaara mengangguk pelan. Gadis itu ada benarnya juga. Buat apa harus membuat makanan serumit carbonara atau lasagna bila spaghetti saja sudah cukup untuk memberikan nilai baik untuk mereka? Senyum tersungging di bibir Gaara ketika ia menyadari betapa menariknya pemikiran wanita ini. Ia tak pernah bertemu dengan gadis lain seperti dirinya.
"Pemikiran yang cukup menarik," aku Gaara saat pria itu berdiri di sebelah gadis bermata pucat itu. Gadis itu tidak menoleh pada Gaara. Ia terus melanjutkan aktivitasnya tanpa menyadari bahwa Gaara memperhatikannya begitu lama, seakan pemuda itu tertarik oleh sesuatu yang ada di gadis itu.
"Kurasa, aku belum pernah menyebut namamu?" Saat tengah memperhatikannya, Gaara menyadari sesuatu sekonyol itu. Mereka berada dalam satu kelompok. Sayangnya, ia tak pernah tahu siapa nama partnernya sendiri. Astaga, ia benar-benar parah sebagai partner kerja, huh?
"Panggil saja dengan Hyuuga," ujar gadis itu dengan nada santai. Ia tengah memasak air untuk digunakan dalam memasak menunya nanti. Merasa tak puas dengan jawaban gadis itu, Gaara berjalan mendekatinya dan menimpali lagi.
"Aku ingin nama yang lain. Aku tak ingin memanggil dengan nama belakang."
Gaara pikir gadis itu akan segera memberitahu dirinya siapa nama depannya. Namun, dugaannya salah. Gadis itu malah tertawa pelan dengan anggunnya dan menoleh pada Gaara. Bekas tawa itu masih terpatri di wajahnya. Baru kali ini, dalam seumur hidup Gaara, ia merasa bahwa dirinya yang akan terdiam ketika melihat orang lain. Ia merasa bahwa dirinya begitu tertarik ke dalam pesona seorang wanita yang baru saja dikenalnya. Bagaimana mungkin ada wanita seperti dia di dunia ini? Atau ini semua karena Gaara terlalu sering melihat perempuan sexy karena terlalu sering ke club?
"Kita ini hanya partner untuk Home Economic, Sabaku-san. Kau juga tak mungkin bertahan dalam Home Economic itu untuk seterusnya. Jadi, tak ada masalah jika kau panggil aku dengan Hyuuga saja."
Gadis itu hendak berbalik lagi untuk mengambil kotak spaghetti yang dibelinya bersama Gaara tadi saat tiba-tiba pria itu menahan tangannya dan memutar balik tubuhnya lagi. Gadis itu terkesiap untuk sesaat ketika ia tahu Gaara menatapnya dengan intens dan serius.
"S-Sabaku-san?"
Gaara pasti sudah gila saat ini. Ia bahkan tak tahu apa yang ada di dalam kepalanya. Ia tak tah bagaimana caranya tubuhnya bisa bergerak secara otomatis menahan tangan gadis itu, memutar balik tubuhnya dan menipiskan jarak di antara mereka. Ia tahu gadis itu terlihat gugup. Tapi, ia juga tak bisa berhenti. Gadis itu mirip sekali dengan gravitasi. Ia selalu berhasil menarik Gaara dimanapun ia berada. Saat pertama kali bertemu, saat ia menemukannya diserang para preman, saat ia menemaninya berbelanja dan juga.. sekarang ini. Gaara ingin menyangkalnya. Awalnya, ia pikir ia hanya sedang mengalami adaptasi dengan seseorang yang baru. Namun, lama kelamaan, semuanya berada di luar kepala Gaara. Sialnya, sudah terlalu terlambat untuk mundur saat ini. Gaara sendiri juga tidak menyadari bahwa dirinya sudah jatuh terlalu dalam dan akan susah untuk kembali berdiri.
Dan semuanya karena gadis di hadapannya. Senyumannya. Tawanya. Caranya berbicara. Semua yang ada pada gadis itu memikat dirinya. Mengikat dirinya di dalam sebuah belenggu yang kuat dimana siapapun takkan bisa lepas. Dan belenggu itu dinamakan cinta.
"Kurasa, aku baru saja berubah pikiran. Aku suka dengan Home Economic dan aku senang kau yang menjadi partnerku," bisiknya tepat di sebelah telinga si gadis. Kemudian, tanpa menjauh, Gaara melanjutkan, "Jadi, siapa namamu yang sebenarnya?"
Gadis itu menunduk dan mukanya merah padam. Dengan sedikit terbata-bata, ia menyebutkan namanya, "H-Hinata. Hyuuga Hinata."
Hanya sebuah nama. Gaara yakin ia tak pernah merasa ada yang begitu special dari sebuah nama. Namun, yang kali ini berbeda. Walaupun itu hanya sebuah nama, ia merasa ia sudah berada di awang-awang. Begitu menyenangkan rasanya. Karena itu, ia menyunggingkan sebuah senyum bahagia yang baru ditampiknya sekali pada wajah tampannya secara tulus dan menunjukkannya pada gadis bernama Hinata itu.
"Salam kenal, Hinata."
To Be Continue
