Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU, OOC, abal, typo.

Panda-kun Says

Chapter 1

Takut, gemetar, ingin menangis, adalah hal yang dialami Hinata ketika kakinya melangkah di koridor Konoha High. Kalau berpikir bersekolah di sekolah favorit se-negara Hi ini adalah hal yang menyenangkan, maka tidak bagi Hinata.

Dia hanyalah gadis 15 tahun yang pendiam, kutu buku, pemalu, yang sangat bertolak belakang dengan kebanyakan orang yang bersekolah di sana. Mereka semua anak populer yang keren dan kaya!

Ok. Tak perlu histeris. Mereka memang kaya, tapi Hinata juga tak miskin. Tapi sekali lagi, menjadi yang berbeda di antara keramaian itu mengerikan. Ingin rasanya tenggelam di dasar laut sekalian dan menjadi putri duyung seperti Ariel dalam sebuah film animasi Disney. Setidaknya hal itu lebih baik dari pada di tengah kumpulan orang yang menatapmu dengan pandangan sinis seperti saat ini.

Dengan langkah menyeret yang mengisyaratkan bahwa dia enggan, Hinata akhirnya sampai di depan sebuah pintu kelas yang diyakininya sebagai tempat ia belajar selama setahun ke depan.

"Akhirnya," Hinata menghela nafas dan mengambil sebuah tempat duduk di sudut ruangan. Tempat yang menurutnya strategis karena dengan begitu hampir tak akan ada orang yang mau memperhatikannya. Sebuah buku diambilnya dari dalam tas, dan ia mulai membaca.

"Kyaa!"

"Keren!"

"Lihat ke sini, dong!"

"Gaara-sama!"

Berisik.

Hinata yang terganggu melihat ke arah jendela. Dari sana ia dapat melihat kerumunan siswi yang berjalan melewati kelasnya. Sebelah alisnya terangkat, heran kenapa mereka bisa bertindak se –uhm seheboh itu. Tak lama berselang, ia melanjutkan kegiatannya.

Beberapa siswa lain mulai masuk, membuat suasana kelas semakin ramai, dan bel masuk pun berbunyi.

Setelah berpuas-puas diri meratapi keadaan dirinya, setidaknya Hinata bisa bersenang hati karena ternyata teman sebangkunya itu orang yang baik.

Ino Yamanaka. Gadis manis berambut pirang dengan bola mata cerah yang secerah sikapnya. Tipe cewek yang selalu semangat tak peduli apapun yang menghadang. Moto hidup: gunung setinggi apapun akan ku daki, samudera yang luas akan ku arungi, demi hidup yang secerah mentari. Tuh, kan? Singkatnya, keseluruhan elemen sumber kehidupan Ino adalah kecerahan.

Jadi selanjutnya, apakah Hinata akan merasa silau atau justru ketularan binar sang mentari?

"Hinata, itu buku apa?" tanya Ino dengan telunjuk tertuju pada buku bersampul cokelat milik Hinata.

"Oh, novel."

"Waah… aku juga suka baca itu!" Ino berdecak kagum, "Kapan-kapan, aku pinjam, ya?"

Hinata mengangguk disertai sebuah senyuman.

OoOo

Jam 3 sore.

Hinata membuka lokernya, menyimpan yang perlu disimpan, dan membawa pulang sisanya. Sesaat matanya melihat sekeliling. Sudah sepi. Hanya ada beberapa murid yang masih berdiri di sana. Sedikit banyak, Hinata merasa lega.

Ia berjalan menuruni tangga dan tiba di halaman sekolah. Suara-suara yang berasal dari klub olahraga yang masih berlatih terdengar. Hinata memilih menghiraukannya dan langsung menuju gerbang.

Tepat selangkah dari gerbang, ia berpapasan dengan seorang siswa lain yang juga merupakan murid Konoha High. Hinata mengamatinya dan langsung terpaku. Kakinya tak berani bergerak sedikit pun.

Siswa yang dilihat hanya berjalan melewatinya, seolah tak ada apa –atau tepatnya siapa – di sana. Ia masuk ke pekarangan sekolah.

Hinata masih membeku. Keringat dingin keluar dan menetes dari pelipisnya. Ada yang tidak beres dengan Hinata. Sikapnya seperti melihat hantu, atau penjahat kelas kakap, atau teroris, padahal yang tadi itu hanya seorang siswa yang tak berwajah seram seperti hantu, walau tak bisa dipungkiri ada kesan sangar terasa.

Prilaku Hinata tak begitu cocok mengingat yang baru saja melewatinya itu adalah Sabaku Gaara. Siswa terkeren idaman para siswi Konoha High. Dia seharusnya terpesona, bukan ketakutan. Iya, kan?

Dengan rambut merah menyala yang sangat pas dengan wajahnya, hidung lumayan mancung, mata jadenya… dan jangan lupakan matanya yang terkesan gothic dan semakin mengindikasikan dirinya badboy di mata cewek-cewek.

'Ah, Hinata… kau kurang makan sayur.'

Itulah yang akan dikatakan orang jika tidak mengenal Hinata dengan baik. Bersyukurlah ada author yang dengan senang hati mau menjelaskan semuanya.

Oke. Berangkat ke masa lalu di mana Hinata masih berumur lima tahun.

Hiashi dan Hizashi membawa Hinata serta Neji ke kebun binatang. Chibi Hinata yang sangat bersemangat diajak Neji memberi makan seekor panda yang sangat lucu dan berbulu lebat. Hinata dengan girang mengiyakannya. Tanpa pikir panjang, Hinata mendekat dan menyodorkan pucuk bambu, dari seorang tak bertanggung jawab yang di rahasiakan namanya, pada panda imut itu. Si panda otomatis mendekat, mendekat, dan mendekat. Hinata tentu senang. Wajahnya dan wajah panda itu sangat dekat. Tapi naas bagi Hinata, saat hendak melangkah lagi, ada serpihan kayu sebesar tusuk gigi dan menancap di kaki si panda. Panda itu langsung meraung di hadapan Hinata, membuat Hyuuga kecil itu terdiam beberapa saat, lalu menangis keras setelahnya. Hal itu membuatnya trauma pada panda.

Kembali ke masa sekarang.

Hinata yang trauma pada panda, melihat Gaara dengan lingkar mata yang –umh tak biasa itu, mengingatkannya pada si panda yang dulu membuatnya ketakutan.

Gaara keluar dari gerbang, kali ini dengan tas di punggungnya. Dia melihat ke arah Hinata sejenak, sementara gadis yang dilihat hanya diam membelakanginya. Kakinya melangkah, tak butuh waktu lama untuk berpapasan lagi dengan Hinata dan meninggalkan gadis itu dengan cuek.

"Fyuh!" Hinata menghela nafas lega saat Gaara menghilang di balik tikungan. Kini ia bisa berjalan ke rumah tanpa khawatir.

OoOo

"Kenapa lama sekali? Kau sudah dua jam terlambat! Hari pertama sudah berani pulang terlambat." Neji berkacak pinggang di depan pintu rumah mereka. Hinata hanya bisa menunduk, selain pada Panda –dan Gaara, dia juga takut pada Neji yang marah.

"Kau kira jam berapa sekarang?" Neji menampakkan ekspresi kesalnya. Urat-urat timbul di pelipis kepalanya.

Hinata yang ketakutan, hanya bisa menjawab, "Ma-maaf," sambil terus tertunduk.

Neji menghela nafas. Dia tahu Hinata pasti sudah sangat ketakutan. Dia jadi tak tega. Biar bagaimanapun, Hinata adalah sepupunya, adiknya. Maka dari itu, akhirnya Neji memutuskan untuk maju dan menepuk puncak kepala Hinata pelan, membuat yang menerima perlakuan itu mengangkat kepalanya. "Sudahlah. Aku hanya khawatir padamu," ujar Neji lembut, "Jangan ulangi, ya?"

Dengan mantap Hinata mengangguk.

Seandainya saja Neji tahu kalau Hinata berhenti selama lima belas menit di depan sekolah hanya karena shock melihat seseorang yang menurutnya mirip panda hingga akhirnya ketinggalan bis dan harus menunggu lama, apa yang akan dikatakan Neji?

OoOo

Waktu istirahat hanya dihabiskan Hinata dengan duduk diam di bangkunya sambil membaca buku. Dia sedang asyik saat kemudian seseorang –yang dia tahu bukan Ino –duduk di sebelahnya dan mengamati tanpa berkedip. Hinata menghela nafas, menurunkan bukunya, dan menoleh ke samping.

"Hyuuga-san, kau –err teman sebangkunya Ino-chan, kan?"

Hinata bisa melihat laki-laki tambun itu memerah, gaya bicaranya juga gugup. Dengan satu anggukan Hinata mengiyakan, dan siswa itu langsung bersemangat.

"B-bisa tidak berikan ini padanya?"

Hinata sedikit terperangah. Sepucuk surat? Merah jambu? Tangannya agak ragu mengambil surat itu dan membolak-baliknya. Apa ini? Pake cap bibir segala? Dengan wajah mesem Hinata melirik, melihat siswa gemuk itu sedikit tersenyum. "Baiklah," ujarnya sambil tersenyum tipis.

"Terima kasih, Hyuuga-san."

Setelah orang tadi pergi, Hinata melanjutkan acaranya yang sempat tertunda, tapi itu pun tak berlangsung lama.

"Hei, Hyuuga!"

Hinata lagi-lagi terpaksa mengabaikan buku favoritnya, "Ya?"

Siswa berambut coklat itu menggaruk-garuk kepalanya, sedikit semburat merah muncul dan keningnya berkeringat. "Bisakah berikan ini…" dia menyodorkan sebuket mawar merah, "pada Ino-chan?"

Dan kejadian itu terus berlangsung hingga bel masuk berbunyi. Satu kesimpulan yang berhasil diambil: Hinata memang ketularan binar Ino. Sekarang sudah ada yang mau mengajaknya bicara, yah walaupun hanya untuk menitipkan sesuatu buat Ino.

Poor Hinata.

OoOo

Gaara mengabaikan ponsel yang terus bergetar di saku celananya. Dia sudah bisa menduga siapa yang menelpon, dan dia tahu bahwa orang itu sudah menunggunya. Jadi, sekarang saatnya memberikan alasan yang tepat.

Dengan langkah yang kelewat tenang Gaara menuruni anak tangga satu persatu. Mencapai lantai dasar, matanya menangkap seseorang yang baru saja selesai membereskan lokernya. Ia mengalihkan pandangan ke ujung lorong, melihat seorang wanita paruh baya tersenyum dan langsung berjalan cepat ke arahnya.

Hinata yang menutup lokernya merasakan ada hawa dingin yang akhirnya mendorong kepalanya untuk menoleh. Di sana matanya terpaku saat melihat lagi sosok yang ditakutinya.

Gaara terus berjalan ke depan, berhenti tepat selangkah di depan Hinata sementara wanita paruh baya itu pun berhenti. Jadilah Hinata berada di antara mereka.

"Kau sudah siap?"

"Iya." Sahut Gaara, matanya menatap Hinata, sedikit banyak dia heran kenapa gadis itu kelihatan selalu aneh saat mereka bertemu. Hinata malah menunduk. Takut.

Karura melangkah lagi, menyipitkan matanya saat memandang Gaara, kemudian melihat Hinata, mengetuk-ngetukkan jari di dagunya, bersikap seolah detektif yang menerka-nerka siapa pelakunya. Dia berhenti, memandang ke atas, berpikir.

Saatnya bohlam kuning yang ketinggalan jaman muncul di atas kepala.

Tuing!

"Aha!" Karura menjentikkan jarinya. Sebuah senyuman yang sangat lebar muncul di wajahnya yang masih tampak awet muda. "Gaara-kun…"

Gaara kembali fokus pada ibunya.

"Maafkan ibu, ya?" Karura mendekat, "Ibu tidak tahu."

Minta maaf? Baru sekarang? Jiwa Gaara ikut bicara.

Karura tersenyum jahil, "Ya sudah, pertunangan itu kita batalkan saja. Pertemuan dengan calonmu itu pun akan ibu batalkan."

Walau tak mau menunjukkannya, Gaara sangat bersyukur kali ini.

"Kau pergi saja dengan pacarmu ini. Hari ini kalian ada kencan, kan?"

Gaara menaikkan satu alisnya seolah bertanya, 'siapa?'

"Hei, nak," Karura mendekati Hinata.

Hinata mengangkat kepalanya, tak berani menyahut. Dia terlalu takut.

"Siapa namamu? Sudah berapa lama kalian pacaran? Apakah Gaara bersikap baik? Bagaimana cara dia menyata… blablablabla…"

Hinata terlalu pusing untuk mendengar semua pertanyaan wanita cantik itu. Dunianya berputar. Berapa lama? Pacaran? Gaara?

"Hinata." Sebuah suara berat yang menjawabnya. "Namanya Hinata." Ulang Gaara sekali lagi.

Hinata mengangkat kepalanya, bagaimana dia bisa tahu?

Yang jelas Hinata terlalu gugup saat itu sampai tak sadar kalau seragam sekolah mereka menggunakan tag nama. Hinata dan Karura benar-benar pikun.

"Oh… Hinata? Nama yang bagus!"

Gaara yang mengerti kenapa akhirnya ibunya berhenti berniat mencoblangkan anaknya sendiri, tak mau kehilangan kesempatan untuk bebas. Jadi dia menarik tangan Hinata, membuat yang menerima perlakuan itu memerah, "Kami mau pergi dulu."

"Ya. Bersenang-senanglah!" sahut Karura semangat. 'Akhirnya Gaara bisa normal juga. Aku tak sabar memberitahu Temari.'

Satu hal yang tak diketahui Karura, Gaara mengajak –tepatnya memaksa –Hinata ke toko es krim, memesankan menu buat si Hyuuga pemalu, lalu membayar pesanan dan pergi, meninggalkan Hinata yang masih terbengong-bengong.

Setelah lima menit berlalu, Hinata mulai menyuapi mulutnya dengan es krim, melahapnya pelan sambil berpikir.

Dia tak tahu harus apa, tapi lega setelah Gaara pergi. Hatinya hanya berharap semoga besok dia tak bertemu lagi dengan Tuan Panda itu. Tapi apakah ibu peri mau mengabulkannya?

Tentu saja tidak.

TBC

Mind to Review?