Alis tebal trademark-nya berkedut. Matanya hijaunya memicing.
Kalimatnya tertahan di kerongkongan, tak dapat keluar. England tidak menyadari ini akan datang. Mata yang lebih kecil darinya membulat sempurna, terdapat secercah cahaya dari mata biru lautnya. Tangan kecilnya mengepal kuat, menunggu jawaban yang ia tunggu. Sealand –ya, Sealand.—kini benar-benar penasaran dengan jawaban apa yang akan diberikan oleh figur di hadapannya.
"Mom, ayahku siapa?"
Daddy?
Author: Shaanon
Disclaimer: Hidekaz Himaruya-sensei
Rate: K+
Pair: USUK in Sealand's POV.
Warning: OOC, AU, Shonen-ai, sedikit tidak logis, Gentle!UK. DLDR.
Entah setan apa yang datang dan menyambet si anak kecil yang bahkan belum genap 12 tahun tersebut. Pulang dari sekolahnya, ia langsung berlari kecil, melempar tas-nya sembarangan dan menghampiri 'Mommy'-nya di ruang keluarga. Dengan wajahnya yang begitu polos dan tak berdosa, Ia bertanya "Mom, ayahku siapa?"
Sontak, England yang tengah ber-teh ria like a sir, menjauhkan teh-nya, takut keselek dengan tidak elite-nya. Wajahnya menatap 'anak'-nya dengan horror, memberikan tampang 'ga-ada-angin-ga-ada-badai-kenapa-lu-nanya-gitu?'. Sealand memiringkan kepalanya, apakah salah ia bertanya soal ayahnya? Ia dan sang ayah telah terpisah begitu lama. Ditambah dengan tahun ini, genaplah 8 tahun ia belum bertemu ayahnya.
Sebagai seorang anak yang sedang mencari jati dirinya, tidak ada salahnya Sealand bertanya tentang asal muasal ayahnya yang gaib itu. "Tadi teman-temanku membanggakan ayah mereka, lah aku nggak bisa membanggakan ayahku," sang anak menjelaskan alasannya bertanya seperti itu, dengan mulut sedikit di manyun-kan, memberi kesan anak kecil yang sedang ngambek.
England menghela napas panjang. Akhirnya saat ini datang juga rupanya. Ia meletakkan cangkir mahalnya di atas tatakan gelas dengan hati-hati, dan kembali menatap si anak. "Hah, sudah sini duduk dulu." Sealand mengangguk dan berjalan menuju sebuah kursi di depan sang ibu, dan mengambil kue kering dari piring kue di atas meja dengan wajah bahagia.
"Kau benar-benar ingin tahu tentang ayahmu?" Tanya sang Britania Raya sekali lagi memastikan apakah anaknya benar-benar penasaran atau hanya iseng bertanya. Mengunyah habis kue-nya, Sealand mengangguk mantap. Matanya menunjukkan kalau ia tidak main-main. England hanya dapat tersenyum lembut. Senyuman yang tidak bisa ia tunjukkan pada sembarang orang dan sembarang tempat.
England mengambil cangkir kosong dan meletakkannya di hadapan Sealand, menuangkan teh dari teko berukirkan bunga dan dedaunan dengan profesional. Sealand mengambil kotak gula, dan menuangkan dua setengah sendok gula di teh-nya. Minum teh di siang hari seperti saat ini memang kebiasaan mereka. "Minumlah dulu Sea, kau pasti lelah." Tawar England. Tanpa basa-basi Sealand langsung menenggak setengah dari teh-nya. Yang lebih tua kembali tersenyum melihat tingkah anaknya yang sudah seperti kloningan sang 'ayah'.
England menyentuh dagunya, berfikir ia harus mulai darimana. Apakah ia harus bercerita dari awal mereka bertemu? Hell no, itu akan menjadi cerita yang sangat panjang. Lalu, apa dari saat mereka mulai jalan bersama? Nuh... Tidak tidak, itu tidak penting. Ah, mungkin England hanya perlu menceritakan background dari sang ayah.
"Sea, apa kau masih ingat ayahmu?" England menopang dagunya. Yang ditanya mengetukkan telunjuknya ke pipi, mencoba mengaduk-aduk ingatannya tentang sang 'ayah' yang hilang. Terakhir kali ia bertemu dengan sang ayah adalah saat ia masih balita. Ingatannya tidak begitu jelas dan buram, meskipun begitu, ada sedikit ingatan yang muncul.
"Ayah itu... tinggi! Dan dia keren!" Jawab Sealand mantap dengan bangga. Kurang spesifik, dan hanya memberikan pujian pada sang 'ayah'. England tertawa pelan dan kembali menatap Sealand yang kebingungan. Ya, apa yang Sealand katakan memang benar apa adanya, karena menurut England sang 'ayah' memang seorang sosok yang keren. Dan tinggi. Sial.
"Apa hanya itu yang kau ingat, Sea?" England bertanya sekali lagi. Sealand kembali bergumam dan mengingat figur sang ayah. Alisnya bertaut, dan matanya memicing. Ia mengingat dengan keras sambil sesekali menggumam 'uuh...' atau 'eeuuh...', sementara sang ibu meneguk tehnya dengan santai sambil menunggu anaknya memberikan jawaban.
Sealand menyerah, ia melempar kedua tangannya di udara dengan sebuah helaan nafas panjang. "Aaah... Aku menyerah, mom! Aku benar-benar tidak ingat." England meletakkan kembali cangkirnya di meja dan kembali menopang dagunya dengan punggung tangan. Wajar memang kalau Sea tidak mengingat dengan jelas bagaimana perawakan sang ayah, toh Sealand hanya bertemu ayahnya selama dua tahun hidupnya.
England bangkit dari posisi duduknya dan berjalan meninggalkan meja menuju sebuah lemari kayu besar yang berada di sudut ruangan kecil tersebut. Sealand yang bingung dengan gerakan tiba-tiba hanya diam di tempatnya dan memperhatikan gerak-gerik sang ibu dengan matanya. Rupanya England membuka sebuah laci berisikan buku-buku tua bersampul tebal berwarna biru tua yang sudah mulai berdebu.
Sang Britania Raya kembali dengan membawa 3 buah buku berbentuk sama. Sepertinya ia sedikit kewalahan membawa buku-buku yang lumayan tebal itu sendiri dengan struktur tubuhnya yang kecil dan rapuh. Melihat ibunya kesusahan seperti itu, seorang anak yang baik haruslah membantu dengan cekatan. England bersyukur Sealand masuk kedalam kategori anak baik –walaupun terkadang ia bisa jahil dan menyebalkan—, dan ia membantu Mommy-nya mengangkat buku tua tersebut.
Tak disangka ternyata Sealand adalah seorang anak yang kuat. Ia mampu membawa sebuah buku tebal tersebut dengan mudahnya. Satu lagi kesamaan dengan sang ayah yang perkasa. Sealand mengamati buku tua yang dipegangnya dengan seksama. Ia belum pernah melihat buku seperti ini. Sepertinya sudah cukup lama. Sampulnya cukup tebal, dan sangat polos. Ada sebuah tulisan italic bertuliskan 'Memory' berwarna kuning keemasan yang di bordir di pojok kiri bawah buku tersebut. Sepertinya ini adalah sebuah album foto.
Sealand kembali menduduki kursinya dan meletakkan bukunya di atas meja. Ia penasaran apa yang berada di balik buku tua tersebut. Apakah setelah ia membuka buku itu ia akan puas dengan jawaban yang kini ia cari? Sang ibu menarik kursinya kedekat kursi Sealand, agar ia dapat duduk bersebelahan dengan sang anak. Setelah mengambil posisi dengan nyaman, England mulai membuka buku tua tersebut.
Di halaman pertama ada sebuah kertas perkamen yang tidak begitu tebal. Warnanya kecoklatan dan sepertinya secarik kertas yang cukup lama. Di tengah polosnya kertas tersebut, sebuah tulisan bercetak miring kembali terlihat.
'Alfred and Arthur. 1983'
Itulah apa yang tertulis di sana. Sealand tertegun. Alfred? Apakah itu nama sang ayah?
"Alfred?" Sealand bertanya. England membuka mulutnya. Entah kenapa ada sebuah rasa nyeri di dada-nya saat ia mengingat kembali nama itu. "Ya, Alfred. Alfred F. Jones. Dia adalah Daddy-mu, Sea." England menjawab. Sealand mengangguk dan menggumam 'hoo...' pelan. Sealand kembali membuka lembaran berikutnya, meninggalkan halaman polos bertuliskan nama kedua orang tuanya tersebut.
Di halaman kedua, ada sebuah foto seseorang yang samar-samar pernah Sealand lihat sebelumnya. Seorang pria Amerika yang bertubuh tegap, mengenakan jaket tebal dan pakaian U.S Army. Kacamata menghiasi wajahnya dan rambutnya sedikit urakan. Foto itu berwarna kecoklatan, tipikal foto lama saat belum ada foto berwarna, membuat Sealand tidak dapat menebak dengan pasti apa warna rambut, atau warna mata sang ayahanda.
"Mom, apakah ini ayah?"
England mengangguk. Pandangannya ter-absorbsi oleh foto lama tersebut. Benar-benar membuatnya kembali bernostalgia ke masa lalu. Sealand kembali menatap foto tersebut, mengamati postur tubuh dan wajah sang ayah yang sudah lama ia cari. Di bawah foto pertama, ada foto sang ibu saat ia masih muda. Tidak terlalu muda, remaja mungkin? England memang tidak begitu berubah dari saat ia masih kecil hingga sekarang. Masih sama dan beralis tebal.
Halaman dua. Lagi-lagi ada gambar Alfred. Kini gayanya tidak terlalu formal. Alfred terlihat sedang merangkul England, di tangan kanannya ada sebuah burger dan tangan kirinya membentuk tanda peace. Wajahnya terlihat begitu bahagia, kontras dengan England yang terlihat cemberut dan terganggu. Sealand tertawa kecil melihat foto itu. "Daddy lucu ya mom," ujarnya. England hanya menjawab 'ya', setuju dengan tanggapan Sealand.
Halaman ketiga, ada foto mereka berdua lagi, ditambah dengan 3 orang lainnya. "Ah! Paman Francis!" Ujar Sealand sambil menunjuk seorang pria Perancis yang berdiri di sebelah England di foto tersebut. Foto tersebut menunjukkan kelima anggota Sekutu. Dari kelima orang itu, Sealand hanya mengenal tiga orang itu; Kedua orang tuanya dan France, yang memang cukup dekat dengan keluarga mereka.
"Yang ini siapa?" Sealand menunjuk seorang pria besar yang tinggi menjulang dengan pakaian tertutup lengkap dengan sebuah Muffler panjang. England tertawa melihat orang itu lagi. "Yang itu Ivan. Dia orang Russia yang menyeramkan. Benar-benar menyeramkan," Lalu England menunjuk seseorang berambut panjang disebelah Russia. "Kalau yang ini Yao. Orang Cina yang paling jago masak, walau tidak sejago mommy."
Sealand sweatdrop, bisa-bisanya mommy bangga pada masakannya, mengingat makanan Sealand sehari-hari adalah arang atau makanan belum matang. "Haha lucu sekali mom." Sealand tertawa garing. Lalu ia kembali melihat foto dibawahnya, foto saat mereka berlima sedang rapat. America terlihat begitu keren di mata Sealand. Ayahnya memimpin rapat tersebut, dan itu membuat Sealand bangga akan ayahnya.
Halaman demi halaman terlewati, berbagai macam foto telah dilihat Sealand. Dari satu album tersebut Sealand kini tahu kalau ayahnya adalah seorang maniak burger dan cola –karena foto-foto di album itu di dominasi oleh seorang America yang sedang membawa burger dan cola.
Setelah menghabiskan album pertama, Sealand mengambil album kedua. Tampilan depannya sama dengan yang pertama, biru polos dan tulisan emas di bawah. Lagi-lagi halaman pertama ada sebuah tulisan dengan tinta hitam dan bercetak miring.
'Alfred and Arthur. 1990.'
Sealand membuka halaman berikutnya. Foto America yang kini wajahnya telah ia hafal di luar kepala. Sealand sangat menyukai figur sang ayah. Wajahnya, senyumnya, tingkah pola-nya, dan semua hal tentang ayahnya. Melihat sang ayah, membuat Sealand selalu tersenyum, membuat Sealand tertawa, dan membuat Sealand merasa bangga memiliki seorang ayah seperti seorang Alfred F. Jones.
Dari semua foto-foto di album tersebut, Sealand merasa seperti sedang bercermin. Melihat America, Sealand merasa seperti melihat dirinya. Segala sesuatu yang dimiliki Sealand, adalah milik America –kecuali alis tebalnya. 'Please, itu adalah sebuah anugerah yang diberikan oleh mommy.' Itulah yang diucapkan England tiap kali Sealand protes soal alisnya.
Di album kedua ini berisi foto-foto kedua orang tua-nya yang sudah dekat. Tidak seperti di album pertama, England di sini terlihat sangat berbeda. Di album sebelumnya, tiap kali ada sebuah foto berisikan kedua sejoli tersebut, pasti wajah England cemberut, atau paling tidak merasa risih. Berbeda dengan sekarang, foto-foto England kini di dominasi dengan ekspresi bahagia dan tersenyum. Senyum tulus dan tidak terkesan terpaksa. Sealand menyukai hal itu.
"Mom, apakah kau mencintai ayah?"
England tersentak. Keheningan berhasil terpecahkan oleh pertanyaan polos Sealand.
"Hah, apa kau bercanda?" England tertawa. Sealand mengalihkan pandangannya dari buku yang sedari tadi menarik perhatiannya. Kini kedua mata biru laut-nya memandang wajah mulus sang ibu. Mata bulatnya terkunci pada kepingan hijau rumput England. "Aku serius, mom."
England tersenyum. Senyuman yang banyak Sealand lihat di album kedua. Senyuman tulus dari hati.
"Tentu, sayang. Aku mencintainya. Sangat mencintainya seperti aku mencintaimu dan dunia ini."
Ada semburat merah muncul di pipi Sealand. Ia senang dengan jawaban sang Ibunda. Sealand bahagia ia dicintai oleh sang ibu, dan sang ibu mencintai ayah. Ia mencintai keluarganya, walau ia tidak mengetahui kemana ayahnya kini.
Setelah menghabiskan 24 lembar dari album kedua, Sealand menarik buku ketiga, buku terakhir dari memori sang ayah. Sealand menatap sampulnya, dan siap membuka lembar pertama buku ini. Sealand pikir ia akan melihat sebuah tulisan bercetak miring bertuliskan nama kedua orangtua-nya lagi, seperti apa yang dilihatnya di dua buku sebelumnya. Tapi Sealand kini salah. Ada nama lain yang tercantum di perkamen kecoklatan itu.
'Alfred, Arthur, Peter Jones. 1999.'
Peter.
Nama Sealand. Namanya tercantum di halaman pertama buku itu. Matanya membulat sempurna. Terdapat secercah cahaya di matanya. Lalu ia melihat tahunnya. 1999, tahun kelahiran seorang Peter Jones.
"A-aku?" ucap Sealand terbata-bata. Ia menatap ibunya lagi, dan melihat England mengangguk pelan. "Bukalah halaman selanjutnya, Sea." Perintah England. Sang Kirkland membantu anaknya membuka halaman kedua yang sedikit menempel pada halaman pertama di bagian atasnya.
Halaman kedua dari album ketiga. Foto pertama terlihat America tengah merangkul pundak England, keduanya tersenyum lebar. Latar belakang dari foto tersebut adalah sebuah bangunan dengan kemiringan di atas rata-rata. Menara miring Pisa, Italia. "Woah mom, kalian ngapain?" tanya Sealand.
"Bulan madu dong. Kami keliling dunia. Keliling Eropa, lalu ke Cina dan Jepang. Lalu kami juga ke Afrika dan kembali pulang ke Inggris." Jelas England panjang lebar. Ia kembali menelusuri ingatannya tentang bulan madu mereka selama satu bulan, ke berbagai jenis negara. Bulan madu mereka begitu menyenangkan, walau ada sedikit kendala di berbagai jenis tempat.
Foto kedua ada England dengan pria Italia berambut coklat pendek, dengan kriwil dan wajah khasnya. Di halaman-halaman selanjutnya terdapat banyak foto America dan England di berbagai negara dengan berbagai orang. Ada paman Francis, lalu ada seorang pria blonde yang rambutnya disisir kebelakang dan wajah sangar, seorang Canadian yang wajahnya sangat mirip dengan America, hanya saja lebih pias dan lesu, seorang pria Asia pendek dengan wajah datar dan sedang dirangkul oleh kedua orang tuanya. Dan berbagai jenis manusia dari berbagai ras yang belum pernah dilihat Sealand.
Sealand senang melihat semua foto di album ini. Hanya dengan melihat, Sealand merasa masuk dan merasakan keromantisan kedua orang tua-nya itu. Ia senang melihat kedua orang tuanya dekat, ia senang melihat kedua orang tuanya marahan, walau hanya bercanda. Ia senang segala hal tentang kedua orang tuanya. Tak terasa Sealand sampai di halaman kedua puluh. Sealand membuka halaman berikutnya dan melihat sebuah foto,
Foto seorang Arthur Kirkland di sebuah taman, sedang menggendong bayi.
Fotonya telah berwarna, dan kini Sealand dapat melihat warna dengan jelas. Bayi di tangan England berumur kurang dari satu tahun. Bayi berambut dirty blond dan beralis tebal. Bayi yang kini telah tumbuh menjadi seorang anak berumur 10 tahun yang tengah memandang fotonya saat masih bayi.
Wajah England di foto tersebut begitu berbeda. Tidak ada England yang cemberut dan Tsundere. Tidak ada England dengan wajah bete dan kesal. Yang ada di foto ini adalah seorang England yang membuang semua rasa itu. Yang ada di foto ini adalah England dengan sifat aslinya. Yang ada di foto ini hanyalah seorang England dengan wajah keibuan yang tersenyum dengan begitu manis.
England merasa pipinya panas melihat foto itu. Itu sangat Out of Character. Jauh berbeda dari England yang diketahui semua orang. Hanya America sajalah yang mengetahui sisi keibuan dari England. Ya, cukup America –dan Sealand,—yang tahu sisi ini.
"Mom, kau... cantik." Sealand tersenyum saat melihat foto tersebut. Kalimat pendek yang diucapkannya sekali lagi membuat England merasa panas di pipinya. Jarang sekali anaknya itu memuji dan mengatakannya cantik.
'Iggy, kau.. cantik.'
Nyut. Dadanya merasa sakit mengingat kalimat yang ditinggalkan oleh orang tersayang, suaminya yang telah meninggalkannya selama 8 tahun. England merasa matanya panas. Ia ingin menangis, tetapi tidak dapat mengeluarkannya. Ternyata, hal yang di takutkannya terjadi. Ia takut mengingat kembali tentang America. Ia tak mau mengingat tentang sang suami tercinta, karena ia tahu kalau luka lamanya akan kembali lagi. Luka saat ia pergi meninggalkannya. Luka saat ia melihat punggung sang suami untuk terakhir kalinya.
"Mom?"
Guncangan di pundak kembali membangunkannya, mengembalikannya ke dunia nyata. Di lihatnya wajah khawatir sang anak di hadapannya. Mata biru laut itu... "Ame- ah. Sea. Maaf, mommy bengong." Ujar England sambil kembali mengalihkan pandangannya ke arah album tua di meja, tangannya mengelus rambut Sealand.
"Mom, kau yakin tidak apa-apa?" Ujar Sealand, masih memandang figur ibunya. England mengangguk dan lanjut membuka halaman berikutnya.
Sebuah keluarga bahagia. Seorang ayah berkacamata, seorang ibu beralis tebal, dan seorang anak yang bahkan belum berumur satu tahun. Ada satu persamaan di foto itu. Ekspresi. Ekspresi dari semua wajah disana sama, tersenyum. Ya, tersenyum. Mereka semua terlihat begitu bahagia.
Hanya dengan melihat foto tersebut saja dapat membuat Sealand tersenyum lebar.
Sealand ingin tahu lebih banyak tentang ayahnya. Sealand ingin bertemu kembali dengan ayahnya dan membicarakan banyak hal. Sealand ingin tahu kemana dan apa yang dilakukan ayahnya hingga harus meninggalkan keluar tercintanya hingga bertahun-tahun. "Mom, Daddy kema-"
Kalimat Sealand terputus saat ia melihat sang ibunda. Mommy dear, menundukkan kepala, dengan tangan mengepal, air mata berhamburan keluar dari pelupuk matanya. Wajahnya yang sedari tadi tersenyum penuh suka cita kini hilang, dan digantikan dengan sebuah ekspresi yang begitu menyayat hati. Britania Raya menangis. Ia tidak dapat menahan rasa rindu yang sedari tadi ditahannya. Rasa rindu yang selalu ia pendam di dalam hatinya.
"M-mommy? J-jangan menangis, Mom..." Sang buah hati berusaha menenangkan bahu yang bergetar dengan hebatnya. Tangan kecil Sealand meraih sapu tangan di sakunya, dan menyeka air mata sang ibunda. Sealand tidak tahu, kalau hanya satu pertanyaan itu dapat membuat seorang England menangis seperti ini, ataukah itu?
Air mata tidak berhenti keluar. England merasa malu. Ia kecewa pada dirinya sendiri. Tidakkah cukup ia menangis tiap malam di kamarnya seorang diri? Yang berambut pirang berusaha menenangkan diri, sedangkan Sealand tetap menggenggam bahu England. "M-mom... Ma-maafkan aku, Mom. Aku..." Sealand tak dapat berkata apa-apa. Ada sedikit rasa bersalah di hatinya. Kalimatnya terhenti saat England kembali bangkit, dan mengusap kedua matanya dengan punggung tangannya.
"Tidak apa-apa Sea. Ini bukan salahmu." England berusaha tenang kembali. Kepingan emeraldnya terlihat sembab. Air mata masih tersisa di pojok matanya dan pipinya memerah. Sealand baru pernah melihat ibunya seperti ini. Seumur-umur belum pernah ia melihat seorang Arthur Kirkland menangis.
Sealand memeluk England. "M-maafkan aku Mom! A-aku tidak bermaksud..." ujar Sealand di dada sang ibu. Tangan halus England menggapai untaian pirang kecoklatan milik sang anak dan mengelusnya penuh kasih. "Hm... Tidak apa, ini bukan salahmu sayang. Jadi, kau mau tahu kemana ayahmu?"
Sealand mendongak, biru lautnya bertemu sebuah hijau indah sang ibu. "Apa tidak apa-apa?"
England mengangguk dan menjawab dengan sebuah 'hn' pelan. Sealand melepaskan pelukannya dari England, dan kembali bangkit ke posisi awalnya. England, sekali lagi, menyeka air matanya dengan telunjuknya dan menyiapkan hatinya untuk memberi tahu Sealand yang sebenarnya. Sealand, bersiap untuk mendengar apa yang akan dikatakan England dan mengetahui tentang ayahnya lagi.
"Ameri... ah, Ayahmu," England memulai, menarik nafas sekali lagi, dan memulai kembali. "Ayahmu sedang ikut perang. Ia adalah seorang Angkatan Udara Amerika, dan ia dikirim untuk berjaga disana. Ia pergi saat kau masih dua tahun, berjanji akan datang kembali lima tahun kemudian. Tapi, ia tidak kembali, Sea. Ia tidak kembali."
Sealand membeku.
"Dulu ia sering mengirim surat, tapi tidak sekarang. Belum ada kabar yang pasti dari ayahmu." England memejamkan matanya. Sealand hanya dapat diam membeku di tempatnya, tak dapat berkata apa-apa. "Kabar terakhir yang kudapat adalah, kini ia tinggal di Amerika. Persetan ia tinggal dengan siapa, yang jelas ia tidak kembali kemari. Sea, ayahmu kini pergi meninggalkan kita di Inggris, dan menjalani kehidupan baru di Amerika."
Sealand tidak dapat berkata apa-apa.
"Hei, Sea," England menatap Sealand dengan wajah penuh perhatian. Sekali lagi, setetes air mata berhasil meloloskan diri dari pelupuk matanya. Ia melanjutkan kalimatnya yang tadi tertahan. "Ja... Jangan benci ayahmu ya."
Sealand diam. Matanya melebar dan mulutnya terbuka. Ia tahu kalau dalam lubuk hati sang ibu, ada rasa rindu dan cinta pada sang ayah yang kini telah hilang. Sealand tidak mau keluarga tercintanya berantakan. Ia ingin bertemu dengan sang ayah. Ia sangat merindukan sosok seorang ayah. Sealand ingin sekali memberitahukan bagaimana kondisi sang ibunda tanpa America. Sealand merasa prihatin melihat ibunya kini, begitu lemah dan rapuh. England telah membuang rasa tegarnya.
Sealand tersenyum, dan memeluk ibunya. Kini lebih erat dari sebelumnya. Ia memejamkan kedua matanya, dan merasakan kehangatan tubuh sang ibunda yang bergetar pelan. Mata emerald England membelalak saat ia merasakan tangan kecil anaknya melingkari pinggang rampingnya. Sealand membenamkan wajahnya di dada sang ibu, dan merasakan tiap detak jantung England yang berdetak pelan.
"S-Sea?" England gelagapan, ia tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh Sealand. Sebuah event yang sangat langka bagi Sealand untuk memberikan perhatian yang begitu besar sampai memeluk England seperti ini. Dengan kaku, England membalas pelukan sang buah hati dan mengelus untaian coklatnya pelan.
"Tenang mom... Aku tidak akan membenci Daddy," Ujar Sealand. England tersentak mendengarnya.
"Daddy... Berjuang di luar sana. Ia adalah seseorang yang pemberani. Aku sangat hormat padanya!" England melonggarkan pelukannya. Ia merasa lemas mendengar kalimat dari anaknya yang bahkan belum genap 12 tahun. Anaknya yang begitu polos dan tanpa dosa. Anaknya yang tidak tahu apa-apa, dan anaknya yang begitu menghormati orang tuanya.
Biru laut bertemu hijau daun.
"Tenang mom, suatu saat aku akan membawa Daddy kembali ke Inggris!"
Dan air mata sang Britania Raya berhamburan menuruni pipi porselennya.
xxxxx
Gelak tawa anak-anak dapat terdengar di sebuah kelas sekolah dasar di areal Elite di Inggris. Seorang anak dengan pakaian sailor lengkap dengan beret putihnya dengan sentuhan biru laut di beberapa tempat sedang dikelilingi oleh beberapa anak lainnya yang sebaya dengannya. Yang menjadi pusat perhatian terlihat begitu bahagia di tengah percakapan seru yang mereka bicarakan.
"Haha! Kau tahu, kemarin ayahku berhasil mengekspor tomat hasil kebun kami loh!"
"Ah segitu saja, ayahku dong. Ia lagi ke Asia untuk membantu warga tidak mampu."
"Woah, ayahmu memang keren!"
"Oi Sea, bagaimana dengan ayahmu?"
Sealand tersenyum lebar.
.
.
.
"Ayahku adalah seorang hero!"
.
End
.
Kicauan author:
SEALAND TUH IMUT BANGET ASDFGHJKL. Dia beneran anaknya USUK bukan sih?. Sifat, mata. warna rambut, sama perawakannya mirip banget sama America, dan sisanya mirip Iggy. Argh! Er... maaf kalo rada ngebosenin. Dan maaf kalo awalnya fail humor dan makin kebawah makin fail angst.
Thanks to: Hetalia wiki, yang sudah menyadarkan saya betapa miripnya Sealand sama Americhu, dan doujin USUK R-18 yang memberi saya inspirasi saat bosan #eh.
