Disclaimer: I own nothing but the story
Oh, make a note that "Alexithymia" means the inability to express your feeling.
SM University adalah universitas yang diakui akreditasnya oleh menteri pendidikan Korea Selatan. Kampus swasta ini sudah banyak meluluskan sarjana berbakat ke dunia ilmu pengetahuan sampai hiburan. Tentu saja itu adalah pencapaian yang paling manis bagi mahasiswa dan mahasiswi yang menempuh pendidikan. Iklan dan brosur yang tersebar pun menarik hati para pelajar yang baru lulus sekolah menengah atas setiap angkatan. Karena pihak swasta yang mengelola institut ini, fasilitas-fasilitas yang disediakan tidak akan mengecewakan. Menikmati kehidupan pembelajaran elit di sana diperlukan biaya mahal untuk kelangsungan. Dengan dana yang ada, pihak swasta memutuskan untuk mengadakan program beasiswa bagi mereka yang mau bekerja keras melewati ujian dan kurang berkecukupan.
Alexithymia
Chanbaek pairing
WARN: Sho-ai, BL, College!AU, OOC
sorry for typo(s)
Byun Baekhyun adalah salah satu remaja yang kepincut brosur cantik, iklan indah, dan kalimat manis. Tapi tentu saja alasan utamanya adalah karena ia ingin belajar sungguh-sungguh demi mimpinya. Bidang IT(1) memang selalu dicap susah oleh mayoritas pelajar. Tapi Baekhyun yang sejak kecil tumbuh bersama barang-barang elektronik membuatnya ingin membedah, meneliti, dan membuat ulang benda.
Sedikit berlebihan sepertinya…
Ayahnya bekerja menjadi salah satu staff di perusahaan komputer ternama. Keseharian keluarga Byun tidak jauh dari barang terprogram seperti itu. Setiap ibunya bercerita tentang masa kecilnya, ia tidak kaget kalau sekarang minatnya melonjak tinggi pada komputer.
Ketika ia lahir, ayahnya memerikan kado berupa floppy disk(2) bercorak pelangi. Sebagai mainan katanya, meski dari warnana lebih cocok untuk anak perempuan dan dia laki-laki—lebih lagi mending tidak usah diberikan. Mana ada anak seumur jagung mainan begituan. Ngeri dimakan.
Ketika ia menerima sepeda roda tiga pertamanya, tidak seperti bahan plastik aman yang biasa dimiliki anak-anak sekomplek perumahannya, cuma dia yang punya sepeda dengan program macam-macam. Seharusnya kepala sepeda unyu-unyu berbentuk dinosaurus ungu atau power ranger atau mobil balap merah kacha! atau normal sekalian seperti spons kuning, punya dia berbentuk robot anjing.
Keren sih, lakik banget.
Kalau saja tiap tombolnya dipencet sepeda itu berbunyi lagu anak-anak, pasti normal banget. Sayangnya tiap Baekhyun kecil menekan tombol warna warni itu, mata dari kepala si robot menyala merah, hidung logamnya menghembuskan asap, mulut bergigi tajam terbuka untuk mengeluarkan gonggongan anjing husky dewasa versi robot. Mana kepalanya beneran dari logam. Lebih mirip sepeda yang akan berubah jadi transformer si robot raksasa. Ga ada aman-amannya. Dasar anjing.
Udah gitu anak-anak tetangga pada kabur semua—minimal nangis di tempat tiap melihat Baekhyun muncul dengan sepedanya. Alhasil dia jadi trauma keluar rumah dan mendem di kamar.
Setahun sebelum masuk taman kanak-kanak, ayahnya lagi-lagi berulah. Beliau memberi hadiah yang nggak wajar buat anak seumurannya. Ia diberi kalkulator, mesin kasir mainan dan papan catur magnet.
Hah? Kalian tanya buat apa?
Buat latihan menghitung. Kalkulator digunakan sebagaimana mestinya, oke itu wajar. Mesin kasir digunakan agar ia terbiasa dengan angka ribuan, itu juga wajar. Papan catur magnet? Hmmmm. Ia disuruh mengukur luas kotak hitam dan putih. Satu kotak hitam diukurnya dengan penggaris lalu dua kotak hitam, tiga kotak hitam, sampai total keseluruhan kotak hitam, dilanjutkan dengan kotak putih dan seterusnya. Kebangetan ini bapak. Alasannya biar ia terbiasa menghitung cepat saat menggunakan penggaris, padahal papan catur ukuran patternnya sama semua. Kenapa papan catur magnet? Oh gapapa, itu selera ayahnya.
Begitu masuk sekolah dasar, ayahnya sudah mengajari dasar-dasar penggunaan komputer sampai playstation 2. Padahal Baekhyun masih suka main benda kecil isi air dengan dua sisi lumba-lumba, dipencet-pencet biar gelembungnya mendorong ring masuk ke moncong mamalia cerdas. Iya, Baekhyun tetap cinta kearifan lokal. Meski pada akhirnya ia sering main playstation bersama sang ayah saat weekend.
Pernah sekali—oke mungkin beberapa kali—ia membongkar CPU komputer hanya karena penasaran seperti apa wujud dari mainboard(3). Dan sering kesetrum karena lupa mencabut steker dari stop kontak. Oh ayolah, dia hanya anak kecil yang belum lulus sekolah dasar. Wajar jika masih ceroboh.
Meski kelihatannya kepala keluarga Byun menjejalkan barang elektronik pada anak sendiri, tapi Baekhyun tidak pernah membenci barang-barang elektronik yang diberikan. Ia cuma tidak suka dengan ide-ide yang diterapkan sang ayah. Jadi ia berniat menciptakan seleranya sendiri.
Maka dari itu, menjelang kenaikan kelas 6 sekolah dasar, ia sudah mengotak-atik software dan belajar membuat ini itu di dalamnya. Seperti membuat mini video, suara robot, mengedit gambar dan lain-lain. Ia menari salsa dalam hati ketika ayahnya mengajari cara menggunakan software bahasa pemrograman(4). Kedengarannya sulit, tapi ia antusias bukan kepalang. Masih segar diingatannya senyum bahagia sekaligus bangga sang ibu ketika ia memperlihatkan program fungsi berupa rumus-rumus matematika pada umur duabelas tahun.
Sejak saat itulah, ia sangat tertarik pada dunia IT. Semakin bersemangat setiap ayahnya memiliki waktu luang untuk mengajarinya berbagai teknik baru dalam software. Ibunya sempat mengeluh karena ayah dan anak mengurung diri di kamar gelap-gelapan ditemani cahaya dari layar laptop yang tidak sehat untuk mata. Tapi ia paham minat anak satu-satunya itu. Jadi Nyonya Byun lebih sering membawakan kue kering dan jus ke dalam kamar dari pada mencak-mencak pada mereka.
Baekhyun bersyukur tanpa henti begitu mengetahui bahwa ia berhasil mendapatkan program beasiswa di universitas SM yang terkenal elit dengan penerimaan siswa sedikit tiap kelasnya. Bidang yang disediakan memang banyak, seperti sastra, IT, matematika, psikologi, dan sebagainya. Swasta memang hebat, biayanya juga hebat. Sampai difasilitasi asrama segala. Tapi tetap saja kantin di sana berbayar. Kalian tanya luas keseluruhan gedung? Oh jangan ditanya. Tokyo dome aja kalah.
…mungkin.
Baekhyun mengambil banyak kelas semampunya. Seperti kelas matematatika, pemrograman, bahasa inggris, dan beberapa kelas lain.
Jurnalnya tentang program software sebuah game baru saja ditolak—oke bahasa halusnya, dievaluasi oleh dosen Kang. Ia harus menyerahkannya sendirian karena sang partner tercinta di kelas pemrograman—Kim Jongdae punya kelas animasi satu jam lebih awal yang berbeda dosen dengannya. Hal baiknya, pak tua Kang itu mau memberi perpanjangan waktu selama satu minggu untuk kelompok mereka. Hal buruknya, Jongdae disibukkan dengan proyek animasi dua dimensi yang artinya mereka akan sulit bertemu—meski mereka teman sekamar.
Duh mimpi apa sih dia semalam?
Oh benar, Baekhyun tidak bermimpi dalam tidurnya semalam. Uhm, koreksi, tidak bermimpi dalam mata-terpejam-lelah-dengan-jurnal-selama-tiga-jam. Sudah kemarin ia dibombardir dengan deadline akhir program website, lalu begadang sampai pagi menyelesaikan proyek game 90% bersama Jongdae, terlelap selama kurang lebih tiga jam, terbangun dalam keadaan pusing karena mepet waktu masuk kelas. Lebih kalap Jongdae sebenarnya karena ia masuk lebih awal.
Wajahnya bagai zombie kurang asupan otak. Baekhyun menyeruput jus buah berbungkus kardus dan membuangnya ke tong sampah terdekat dengan tidak santai. Kantung mata hitamnya sudah seperti diolesi eyeliner betulan. Tidak sempat mengancingkan kemeja, beruntung ia memiliki solusi untuk didouble dengan kaos. Langkah kakinya serampangan karena lelah, hampir menubruk beberapa mahasiswa di lorong. Ia menjatuhkan kepala pada mejanya begitu sampai di kelas matematika. Matematika merupakan pelajaran wajib bagi mahasiswa bidang IT.
Ia ingin sekali memejamkan mata dan tidur di tempat, tapi lehernya tidak dalam posisi nyaman. Dan suara dosen Jung yang masuk ke kelas terdengar olehnya. Ia masih membiarkan wajahnya menempel pada meja kayu itu, tidak mendengarkan apa yang dikatakan sang dosen. Matanya menutup perlahan-lahan seolah menyerah dengan situasi sampai—
"…jadi keluarkan alat tulis kalian dan kita akan memulai kuisnya."
—akhirnya mengangkat kepala dengan cepat sampai pusing mengguncang otaknya. Baekhyun menumpu kepala sambil mencerna keadaan dan menajamkan pengelihatan dari semburan bintang yang memburamkannya.
Bentar, barusan perjaka tua Jung itu bilang apa?
Memulai kuis?
K-U-I-S?!
Demi kafein yang diminumnya dua gelas tadi pagi, BENERAN KUIS WOOYY?
Baekhyun mendumel tidak jelas dalam hati setelah kesadaran penuhnya kembali. Kepala penatnya sedang tidak bisa diajak kerjasama, ia menahan diri untuk tidak merutuki dosennya yang menyebalkan makanya nggak nikah nikah juga ampe sekarang—oh, dia baru saja merutuk.
Ia tidak tahu apakah ekspresi wajahnya bisa lebih frustasi lagi. Bukannya ia membenci matematika sebagaimana orang awam. Ia biasa saja dengan matematika, tidak terlalu mendramatisir, ayahnya juga terus-terusan memborbardir otaknya dengan angka-angka sejak kecil. Tidak ada masalah. Seandainya saja otaknya tidak sedang diracuni karena kurang tidur selama dua minggu dan kadar kafein tinggi maka Baekhyun bisa mengerjakannya dengan mata tetutup.
Bukannya sombong, tapi itu kenyataannya.
Dan kalian bisa mengasihani Baekhyun sekarang. Kalau saja time out ada di dunia nyata bukan dunia olah raga, Baekhyun mau menggunakannya sekarang saja tolong. Begitu kertas sudah sampai ke mejanya, angka-angka dan fungsi-fungsi yang tertera tidak lagi jelas di matanya. Oh apakah air mata memburamkan pandangannya?
Bukan cengeng. Serius deh. Ini gara-gara ngantuk.
Baekhyun lagi-lagi headbang setelah kertasnya digeser sedikit—supaya tidak kusut. Dosen Jung sampai melirik ke arahnya sebelum membenarkan kacamata kotaknya dan kembali menekuni buku tebal dalam genggaman. Baekhyun memutar kepala menyamping, membiarkan pipinya menekan meja meski ujung penghapus yang nyelip terasa menyiksa. Ia memainkan pensil mekaniknya selama dua menit lalu menggerutu sebal.
Merubah posisi lagi dengan dagu sebagai tumpuan, mencoba membaca soal kuis perlahan-lahan. Berharap otak cerdasnya mau berkompromi meski sudah diracuni. Tapi nihil. Rasanya saja ia tidak lagi ingat apa itu rumus volume segitiga.
Tapi segitia kan bangun datar.
Tuh kan. Terbukti kalau otaknya ngelantur.
Menghela napas kasar, Baekhyun mengacak-ngacak rambutnya. Ia menyadari tatapan mahasiswa di samping kanannya—campuran antara kebingungan, belas kasihan dan terganggu. Masa bodoh. Ia meluruskan kertas kuis kembali, melihat soal-soal pilihan ganda sekali lagi.
Ia merasakan siku kirinya ditusuk-tusuk benda tumpul. Menoleh dengan curiga, mahasiswa yang duduk di samping kiri mejanya menggenggam pensil mekanik sebagai alat tersangka. Kedua mata mereka bertemu dan terkunci selama beberapa detik.
Oh, sepertinya Baekhyun tenggelam karena iris onyx itu.
Ketika sadar, ia mengerutkan kening dengan jelas, memberikan pertanyaan tersirat. Pensil mekanik hijau rumput diletakkan ke atas mejanya tanpa bicara apa-apa. Hanya tersemat senyuman lebar yang dilihat sekilas olehnya. Ia tidak sempat mengomentari senyum ambigu itu—iya, ganteng soalnya—karena pertanyaan lain mendahului pikirannya.
"Loh?" Baekhyun memperlihatkan pensil mekanik warna biru laut di tangannya, "tapi aku sudah punya…?" diakhiri kalimat tanya saking kebingungannya setelah melihat mahasiswa itu berpaling pada kertasnya lagi. Tanpa penjelasan verbal.
Maksudnya apa?
Baekhyun masih diam melihat dua pensil mekanik berbeda warna. Ia baru menyadari ada sobekan kertas yang dijepit di bagian atas pensil mekanik pemberian mahasiswa asing. Serius, asing, ia juga baru sadar kalau laki-laki di sebelah kirinya belum pernah dilihatnya sama sekali selama dua tahun menjalani kelas matematika. Dengan kening mengerut seolah waspada bercampur keingintahuan, ia menarik kertas dan membuka lipatannya.
Genggamannya mengerat pada pinggiran kertas, kedua matanya membaca berulang-ulang dengan mulut tak tertutup karena syok. Bukan. Bukan surat cinta. Yakali gitu dia dapat pernyataan di tengah kuis menegangkan, ekstrem bos. Tapi ia mendapatkan sesuatu yang lebih indah dari surat cinta.
Sok tahu.
Memangnya pernah ditembak?
Baekhyun menggelengkan kepala dua kali, mengenyahkan pikiran aneh dan tersenyum lebar mendapati jawaban dari soal kuis yang tertulis di kertas itu. Ya, jawaban kuis.
Demi kafein yang diminumnya dua gelas tadi pagi, ADA MALAIKAT DI SINI.
Mahasiswa tak dikenal di samping kiri mejanya itu sukarela memberikan jalan keluar dari salah satu cabang kesialannya hari ini. Ia segera menyalin jawaban pilihan ganda dengan mulus, bersyukur berulang-ulang dalam hati. Tepat setelah menuliskan jawaban terakhir, dosen Jung mengumumkan berakhirnya waktu.
"Baiklah, saya akan mengecek hasil kuis di ruangan. Jadi, sisa waktu yang ada silahkan digunakan untuk melanjutkan jurnal kalian di pelajaran lain."
Seisi ruangan bersorak gembira atas kemurahan hati dosen Jung hari ini. Segera setelah dosen meninggalkan kelas, semua bergegas pergi untuk menuju tempat nongkrong sambil mengerjakan tugas. Baekhyun meraih ponsel pintarnya, berniat menanyai Jongdae. Seusai mengirim pesan, ia baru teringat dengan malaikat yang membantunya tadi. Lehernya bergerak kanan-kiri mencari mahasiswa gante—asing itu.
Hmm, ralat yang memaksa.
Diam kamu kata hati.
Kontradiksi dalam dirinya sama sekali tidak membantu. Memastikan orang yang dicari sudah tidak ada di dalam kelas, Baekhyun memutuskan untuk keluar dari ruangan. Menggumam kecewa tidak melihat jejak satu pun. Dia tidak mungkin berhalusinasi, kan?
Tidak ada lagi yang membuat pikirannya terfokus, rasa ngantuk kembali menyerang tanpa permisi. Ia menguap sekali, mengusap mata dengan lengan kemeja sambil berjalan menuju kantin. Sepertinya butuh tambahan kafein lagi. Langkahnya masih diseret, untungnya tidak menabrak orang-orang di perjalanan menuju kantin. Hanya dihadiahi tatapan sinis dari beberapa mahasiswa yang terganggu karena mendengar seretan sol sepatu pada lantai keramik. Masa bodoh.
Begitu ia sampai di depan counter dan ingin memesan, seseorang di sebelahnya ikut mengutarakan pesanan.
"Ice moccacino tanpa gula!"
Kedua kepala menoleh bersamaan. Kedua pasang mata saling menatap sekali lagi. Onyx bertemu black covered with mud.
"Eh.. itu…"
Setelah bertemu dengan orang yang dicari, Baekhyun justru kesulitan merangkai kata-kata. Lidahnya tertahan, fokusnya buyar melihat wajah gante—asing itu lebih dekat dari sebelumnya. Ah, rupanya mahasiswa ini tinggi juga, beda satu kepala dengannya. Tambah gante—proporsional! Tingginya proporsional!
Ga usah gengsi, ganteng mah ganteng aja.
Baekhyun menarik kesadarannya kembali, freak out dengan kalimat-kalimat aneh yang memenuhi benaknya. Lalu mengatakan sesuatu selain yang ada dipikirannya—
"…pesanannya sama, ya."
—great. Super mega giga great impression, Byun.
Yang lebih tinggi mengerjapkan mata beberapa kali selama lima detik penuh. Baekhyun mengira kalau lelaki itu kesulitan mencerna situasi bodoh itu ditambah harus merespon kalimat bodohnya juga. Tapi ketika sudut bibir lelaki itu membentuk senyuman tipis mencairkan suasana awkward, Baekhyun tidak bisa tidak menahan napas dalam syok.
GAAAAASSP!
"Kau juga suka moccacino tanpa gula." dijeda sebentar untuk menoleh pada wanita pertengahan umur yang menunggu mereka, "jadi aku pesan dua ice moccacino tanpa gula."
Baekhyun menghadap pada lawan bicaranya, "Tunggu sebentar, tadi kau bilang 'aku'?"
Lelaki itu menoleh lagi padanya dengan senyuman lebih lebar. "Aku yang traktir."
…benar-benar MALAIKAT!
Beruntung, Baekhyun masih sadar di tempat dan tidak melantur kemana-mana. Jadi ia cukup waras untuk menolak dengan halus sebagai sopan santun, "But we barely know each other. Jadi aku merasa sedikit tidak enak kalau tiba-tiba ditraktir."
"Tidak apa-apa. Ini pertama kalinya ada yang memesan sama denganku, aku merasa perlu merayakannya dengan mentraktirmu. Oh, jangan merasa keberatan, aku tidak memungut balasan apapun darimu kok."
Fix! Aku harus mengelap sudut mataku yang berair karena tersentuh oleh kebaikan orang ganteng di hadapankuuuu!
Nah, itu nyebut ganteng.
Diam kamu kata hati.
Merasa bahwa ini kesempatan terbaik untuk mulai bicara, Baekhyun tersenyum lebih ramah. "Aku belum berterimakasih untuk yang tadi. Biar kubayar dengan namaku—"
"Byun Baekhyun." sela yang lebih tinggi.
Baekhyun hampir menjatuhkan tasnya yang hanya tersampir di bahu kiri. Ia memicingkan mata, "Kok tahu?" menanyakan hal wajar meski dalam hati sudah jejeritan karena orang itu tahu namanya. Diulang, tahu namanya.
Lelaki itu tertawa kecil, suaranya dalam namun sangat enak didengar. "Soalnya kau mahasiswa kesayangan dosen Park. Itu lho, yang mengajar bahasa inggris."
Baekhyun mengingat wajah wanita tua yang ramah itu. Dosen yang selalu tersenyum setiap bicara dengannya. Yang lain tidak berpikir bahwa sang dosen bisa disebut ramah karena ekspresi wajahnya yang melembut hanya diperuntukkan para mahasiswa emasnya. "Kau ada di kelasnya juga?"
"Aku tidak mengambil kelasnya. Litterally, dia itu bibiku. Jadi aku memilih dosen lain karena rasanya tidak seimbang kalau aku diajari keluargaku sendiri. Dia sering membicarakanmu, bahkan saat weekend di rumah sekali pun." Wajah Baekhyun memerah menebak-nebak apa yang sudah dipaparkan dosen Park. Semoga saja tidak yang merusak image-nya, impressionnya tambah buruk nanti.
Ketika pelayan wanita itu menyerahkan pesanan mereka, secara otomatis mereka berjalan bersamaan. Memiliki niat yang sama untuk melanjutkan obrolan. Berjalan keluar area kantin, mereka duduk di tempat yang agak jauh dari keramaian.
"Aku Park Chanyeol, mahasiswa bidang sastra. Dan kalau kau bingung kenapa aku mengambil matematika, bagiku angka-angka itu termasuk indah. Bukan bentuk angkanya yang indah, tapi sebuah hubungan dari rumus-rumus yang ada saling berkaitan seperti memberi makna bahwa matematika itu satu kesatuan yang memiliki banyak sifat. Ketika kau tidak berhasil menyelesaikan masalahnya, gunakan rumus lain sampai kau mendapatkan jawaban. Kau bisa berkomunikasi singkat dengan matematika, disitulah kehebatannya."
Baekhyun tersenyum tipis, hatinya antusias ketika melihat Chanyeol membicarakannya dengan mata berbinar. Sepertinya matematika baginya dan bagi Baekhyun memiliki arti yang berbeda. "Oh ya? Sastrawan pasti bisa melihat segi keindahan dengan cara yang unik. Bagi mahasiswa IT, matematika tidak lebih dari angka yang sangat berguna untuk program sebagaimana halnya dengan variable. Jadi tidak ada spesialnya."
Chanyeol menutup mulutnya dengan punggung tangan, tautan alisnya seolah mengatakan bahwa ia merasa cemas. "Apa aku mengutarakannya dengan berlebihan?"
"Tidak apa-apa. Aku suka perbedaan sisi pandang, itu keren! Sastrawan memang hebat dalam merangkai kata-kata."
Chanyeol tersenyum lega. "Jangan meninggikan kalimat seperti itu, aku bisa menerimanya dengan serius nanti."
Baekhyun tertawa kecil, "Kalau begitu jadikan saja sebagai motivasi. Dan aku masih punya pertanyaan, kenapa kau membantu orang yang tidak kau kenal dalam kelas? Maksudku, well, orang biasa tidak akan mau repot-repot melakukannya."
Chanyeol menyesap kopinya dengan perlahan sebelum menjawab, "Jadi aku ini bukan orang biasa?" godanya. Baekhyun mencondongkan tubuhnya ke depan seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi Chanyeol memotongnya, "aku tahu, kau tidak bermaksud begitu. Uhm.. alasannya ya… mungkin karena wajah frustasimu selama kuis?"
Great impression, Byun—seconded.
Baekhyun kembali duduk agak membungkuk, "Aku terlalu mengganggu ya?"
Chanyeol mengangkat tangan di depan dada, mengibaskannya berkali-kali untuk memberi gestur, "Tidak, tidak sama sekali. Daripada mengganggu, aku lebih suka menyebutnya menyita perhatian—dalam hal yang positif, tentu saja. Kau lucu sekali saat mengubah-ubah posisi kepala di atas meja. Dan setelah melihat wajah cemberutmu karena kuis itu, aku jadi penasaran seperti apa wajahmu saat tersenyum."
Baekhyun menatapnya agak terperangah, ia menahan kuat-kuat tangannya yang ingin menutupi wajah. Harga dirinya sedang diambang batas.
Lalu Chanyeol melanjutkan, "Dan rasa penasaranku sudah terjawab. Ini mungkin agak memalukan bagimu untuk mendengarnya, tapi aku ingin kau tahu bahwa mata berbinarmu saat melihat jawaban di sana tidak bisa kulupakan."
You crossed the line, Park.
Baekhyun memalingkan wajah darinya, mencegah lelaki itu melihat pipi merahnya. "Uh, oh, kau hebat sekali bisa membicarakan ini terang-terangan."
Chanyeol menyeringai kecil padanya, "Mungkin itu artinya aku satu tingkat di atasmu." Baekhyun meninju bahunya main-main sambil berseru 'hey!'.
Chanyeol meminum kopinya sampai tiga perempat gelas, menyiapkan diri untuk pertanyaan lain. "Maaf menanyakan hal ini, tapi aku penasaran, apa kau kurang tidur? Yah, terlihat jelas sekali sih dari kantung matamu, ditambah lagi sekarang kau minum kopi."
Baekhyun mengeratkan genggaman kedua telapak tangan yang melingkupi badan gelas plastik. Rasa dingin mematikan indra kulitnya, tapi terkadang itu membuatnya tenang. "Urh, kebanjiran proyek sampai rasanya jari-jari tanganku mati rasa ngetik koding(5) terus-terusan. Kau tahu, jadi kantung mataku ini disponsori oleh proyek game, website dan semacamnya."
Chanyeol bersiul pelan, "Wow, game. Kalau sudah selesai nanti, mungkin aku mau mencobanya."
Baekhyun menoleh cepat padanya, "Sungguhan? Kau suka main game? Tester kelompokku sebelumnya itu sucks. Jadi aku kepikiran untuk cari beta tester(6) yang lain. Terlebih lagi kau mahasiswa sastra! Pasti kritik yang kau sampaikan nanti sangat berguna."
Chanyeol bersandar pada kursi kayu, meletakkan gelasnya sejenak di samping paha. "Hmmmm," bergumam lama dengan mata menerawang ke langit, mencoba mengingat kembali jadwalnya, "aku akan meluangkan waktu untuk membantumu."
Baekhyun meraih tangan kiri Chanyeol dan menggenggam di antara kedua telapak tangannya. Ekspresinya bersinar bukan main. "Malaikat… terima kasih banyak!"
Chanyeol mengerjap empat kali, kemudian melepas genggaman dan membuang wajah ke arah lain untuk menyembur tertawa. "Ahahaha! Matamu! Matamu barusan seperti puppy eyes. Dan apa tadi? Kau menyebutku malaikat?"
Wajah Baekhyun memerah, baru menyadari kalimatnya sendiri. Whoa, ia kelepasan tanpa sadar. Kemudian otaknya berputar mencari alasan. Tapi karena sudah kebablasan, sekalian saja. "Errr yah.. kau sudah banyak membantuku padahal kita tidak saling kenal."
"Kenal sepihak." koreksi Chanyeol, "aku bisa menebak sikapmu dari penjelasan bibiku."
Baekhyun cringe mendadak. "Oh God no… buruk atau baik?" tanya nya.
Chanyeol menjeda cukup lama, rentan waktunya membuat Baekhyun gregetan menunggu jawaban. Lalu yang lebih tinggi tersenyum miring padanya. "Lovely."
Baekhyun menarik mundur kepalanya seperti menatap Chanyeol dari atas sampai bawah dengan tidak percaya.
Demi apa barusan ia dipuji oleh lelaki tampan ini?
Jantungnya baru saja meloncat sampai ke tenggorokan! Ini tidak baik!
"Hey, kau dibayar berapa oleh ibuku untuk mengatakan hal cheesy begitu?" kata Baekhyun dengan polosnya.
Lagi-lagi Chanyeol tertawa, lebih keras kali ini. "Baek, aku takjub dengan humormu. Tapi biar kukatakan dengan jujur, kalau aku berkesempatan untuk bertemu dengan ibumu, daripada diberi tahu tentang sikapmu mendingan aku sendiri yang menceritakan betapa indahnya anak semata wayangnya. Seperti, 'Nyonya Byun, anda sudah berhasil membuat anak se-lovely ini' begitu."
Darah menderu deras ke wajahnya. Baekhyun yakin ia mirip seperti tomat Spanyol sekarang. Kalau ini cuma candaan belaka, tolong tahan hati Baekhyun supaya tidak terbang kemana-mana. "Oh… aku tidak tahu harus bereaksi apa."
Chanyeol menunjuk wajahnya sambil menyeringai tipis, "Sudah terlihat dari ekspresimu."
Dasar anak sastra!
"Hentikan leluconnya, aku tidak sanggup mengikuti." kata Baekhyun dengan samar karena suaranya teredam telapak tangan yang menutupi seluruh muka. Chanyeol tidak menjawab apa-apa, jadi ia mengintip dari celah kecil jarinya.
Begitu mata mereka saling memandang lagi, onyx itu terlihat serius dibumbui senyuman menawan, "Apa aku terlihat bercanda?"
CRITICAL HIT!
Damn you, Park!
Detakan jantungnya seolah berhenti di tempat melihat ekspresi Chanyeol. Baekhyun menutup rapat wajahnya sambil berusaha menetralkan napas. Di sisi lain, Chanyeol tersenyum gemas melihatnya, tangan kanan terulur untuk menyingkirkan penghalang agar wajah Baekhyun bisa dilihat leluasa.
Dan dering ponsel memecah suasana. Bahu Baekhyun refleks berjengit, ia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya. Chanyeol sudah menarik tangannya lagi, ekspresinya tidak bisa ditebak. Jadi Baekhyun memutuskan fokus saja pada ponselnya.
"Oh, Jongdae!"
("Baek, aku sudah membalas pesan sejak sepuluh menit yang lalu. Padahal kau duluan mengajak melanjutkan jurnal. Kenapa malah aku yang nungguin? Kau sedang apa sih?")
Baekhyun memukul pahanya dengan kepalan tangan, "Oh iya! Maafkan aku. Ehm.. sekarang saja. Aku akan ke kelasmu."
("Kau ngapain sih? Terjebak di toilet, kesasar, atau godain orang? Oh! Jangan-jangan malah kau yang digoda. Maafkan aku karena tidak ada di sana untuk menjadi body guardmu.")
Kemudian tangis buaya terdengar. Baekhyun memutar mata membuat Chanyeol penasaran apa yang dibicarakan. "Dasar fake. Lihat saja nanti kalau aku sampai di sana—" dan sambungan telepon diputus sepihak.
Jongdae sialan.
Baekhyun mengantongi ponselnya kembali lalu berpaling pada Chanyeol yang masih setia menunggu dalam diam. "Urh… aku harus segera pergi. Um, kau tau, melanjutkan proyek gamenya."
Chanyeol mengangguk paham. "Silahkan dan semoga berhasil."
Dengan berat hati, Baekhyun meninggalkan tempat itu. Rasa kantuk sepenuhnya hilang, kali ini langkahnya bersemangat masih terbawa suasana menyenangkan tadi. Ia mendapati Jongdae sudah siap dengan laptopnya di dalam kelas, lalu mereka merancang perbaikan game dengan cepat. Di tengah-tengah suasana hening, hanya ketikan pada keyboard yang terdengar, Baekhyun tiba-tiba headbang di meja. Jongdae menoleh terkejut, "…kau ngapain?"
"…ku ….a …inta ….t…nya"
"Hah?" Jongdae menghentikan aktivitas mengetiknya untuk mencondongkan tubuh ke depan melewati laptop. Penasaran sekaligus khawatir dengan tingkat kewarasan temannya. Siapa tahu karena mengerjakan tugas ini membuat salah satu saraf otaknya menyerah berfungsi.
"Aku lupa meminta nomor teleponnya." cicit Baekhyun teredam meja.
Jongdae mengangkat alis melebarkan mata, "Hey! Hey! Tunggu! Nomor telepon? Jadi kau beneran godain orang?! Percuma saja aku mencemaskanmu tadi!"
Baekhyun mengubah posisi, dagunya bertumpu pada meja. "Fake… siapa juga yang godain orang, tadi aku menemukan orang yang pas untuk jadi beta tester kita."
Jongdae melunturkan ekspresi syoknya, manggut-manggut paham lalu bertanya, "Temanmu?" sebelum sempat dijawab, ia melipat tangan dengan satu tangannya menempel pada dagu dan melanjutkan, "Tapi kukira kau tidak punya teman selain yang sudah kukenal." sambil menerawang jauh.
Baekhyun mendorong laptop temannya agar tertutup, namun berhasil dicegah Jongdae sambil berseru kaget. Ia berdecak kesal, "Jahat! Kau pikir aku ini se-anti sosial apa?"
"Eit, eit! Marah boleh, tapi jangan asal tutup laptopku. Ini lagi ngetik koding lho!" Jongdae mengamankan laptopnya sambil melanjutkan, "Mahasiswa IT biasanya begitu kan…"
"Sendirinya juga IT." Baekhyun mengangkat kepala dengan malas-malasan, mengganti lengannya yang di atas meja. "Tapi dia memang mahasiswa bidang lain sih. Baru kenalan, tapi orangnya baik. Seperti malaikat."
Jongdae menatapnya sarat prihatin sambil berkata, "Sudah kuduga, saraf otakmu sudah menyerah berfungsi… apa aku harus mengerjakan proyek ini sendirian setelah pikiranmu korslet?"
Baekhyun melempar gumpalan kertas hasil coret-coretan, "Aku serius, Kim! Dia memberi jawaban kuis matematika secara cuma-cuma, mentraktirku kopi, berjanji membantu proyek game kita. Biar kutekan, aku tidak berhalusinasi. Kalau kau mau repot, cari saja mahasiswa sastra bernama Park Chanyeol."
Baekhyun melihat ekspresi membeku Jongdae sesaat. Temannya itu tidak berkedip sama sekali lalu tertawa garing. "Aha ha ha, aku mengerti. Lanjutkan ngetiknya, nanti waktu keburu habis."
Baekhyun mendengus pelan tapi ia mengesampingkannya dan meneruskan proyek mereka. Lima menit berlalu, Jongdae menatap rangkaian program yang berantakan di akhir. Berteriak tersiksa seperti paus tersedak air laut, ia menarik ujung kertas yang ditimpa siku Baekhyun sekaligus pensil mekaniknya.
Baekhyun menyerukan kontra, "Hey, aku butuh pensil itu untung hitung-hitungan dan bagan program." lalu merebut kembali pensil biru lautnya.
"Oh ayolah, Baek. Aku harus segera menggambar rangkaiannya atau aku akan segera lupa!"
"Gunakan pensilmu sendiri."
"Kita teman sekelompok, oke. Di saat seperti ini, milikmu adalah milikku demi kesuksesan proyek. Begitu juga sebaliknya." rayu Jongdae. Alasan klasik karena dirinya hanya malas membuka tas.
Baekhyun baru sadar kalau ia masih ada satu pensil mekanik lagi di saku kemejanya. Ia menarik keluar pensil hijau rumput dan memberikannya pada Jongdae. "You lucky boy, masih ada pensil lain. Jangan sampai itu hilang, ini ancaman."
Jongdae mengangkat satu alisnya dengan bingung. "…aku nggak membawanya pulang ke asrama, kok. Ga usah parnoan."
Lalu kedua mahasiswa itu sibuk berkutat dengan masing-masing tugas. Jongdae yang gregetan membuat bagan tidak selesai-selesai hanya bisa mengetuk pensilnya ke meja berkali-kali. Pada suatu ketukan, pensil mekanik itu tak sengaja menghantam terlalu keras dan terlepas dari genggamannya lalu menggelinding jatuh. Mengatakan 'oops' tanpa suara, dengan cepat melirik Baekhyun. Beruntung orang di sebrangnya itu terlalu fokus pada laptop jadi Jongdae tidak perlu mendengar celotehannya. Membungkuk untuk mengambil pensil mekanik, ia baru sadar bagian bawah badan pensil itu melonggar sedikit dan jatuh lagi terpisah ke bawah.
Untung nggak pecah.—ia berkomentar dalam hati.
Segulung kertas ikut terjatuh bersama isi pensil. Ia mengernyit dalam. Dengan penasaran, mengambil sobekan kertas yang digulung rapi itu. Ketika meluruskannya, membaca sederet kalimat di sana. Hanya terdiri dari dua kata.
"Hey, Baekhyun. Kau menamai pensilmu dari dalam? Bukannya malah bikin susah karena nggak ketauan orang ya?"
Baekhyun mengerjap sebelum mengalihkan pandangan dari layar. Ia melihat Jongdae memegangi kertas kecil dengan pensil mekanik yang terbuka di atas meja. "Ha? Maksudnya apa? Dan kenapa itu pensil kau bongkar segala?"
Jongdae ikutan loading selama tiga detik. Lalu, seperti kedapatan realisasi tiba-tiba, ia menyeringai tipis. Tangannya bergerak menumpu sisi wajahnya di atas meja. "Heeeh, berarti ini bukan pensil milikmu toh. Lihat sendiri apa yang kutemukan."
Baekhyun menyingkirkan laptopnya ke samping lalu menerima benda yang diulurkan Jongdae. Kertas itu hanya bertuliskan dua kata. Dan itu adalah namanya.
Byun Baekhyun
Maksudnya apaan nih?
Ekspresi Baekhyun dengan jelas makin kebingungan. "Wait, ini bukan punyaku. Tapi kenapa…?"
Jongdae mengangkat bahu. "Sepertinya kau punya freak-stalker sampai mencantumkan namamu dalam pensil." godanya sambil menaik-turunkan alis.
Wajah Baekhyun memerah mengingat tingkah laku mahasiswa sastra itu padanya tadi. Terlebih lagi, orang itu sudah mengenalnya secara sepihak. Dugaan Jongdae bisa jadi benar.
…tapi Chanyeol nggak freak.
"Ah, nanti saja bahasnya. Lima menit lagi kelas sistem komputerku dimulai." Baekhyun beralasan dicampur kebohongan. Padahal masih ada waktu limabelas menit. Dia cuma menghindari topik karena lebih suka jika mengetahuinya sendirian lebih dulu dibandingkan keburu ditebak orang lain.
Jongdae mengeluarkan suara tak jelas—seperti paduan kecewa dan kesal karena waktu menyenangkannya harus berakhir. Oh tentu saja menggoda Baekhyun itu menyenangkan. Bukan dalam artian khusus, tapi ia memang suka saja godain teman-temannya.
.
.
"…Mr. Byun."
"Mr. Byun!"
Baekhyun baru sadar kalau dirinya melamun. Ia menegakkan tubuh di kursinya dan menatap sang dosen yang telah memanggilnya dari tadi. "..Yes, Mrs. Park?"
Wanita tua itu menatapnya tegas, "Please pay attention. Setelah saya selesai menjelaskan ini akan ada essay singkat."
"My bad," gumamnya sangat pelan. Kelas terakhir selalu dalam mode ngantuk-ngantuknya. Biasanya ia bersemangat saat pelajaran bahasa inggris, tapi kali ini, untuk beberapa hal membuatnya tidak konsen.
Baekhyun menepuk kedua pipinya ketika dosen kembali menjelaskan beberapa hal. Saat mencoba untuk fokus, dua mahasiswi yang duduk di belakangnya sibuk dengan dunia sendiri. Beruntung sekali suara mereka sepelan bisikan, satu-satunya yang bisa mendengar percakapan mereka hanya Baekhyun dan satu orang lagi di samping mereka.
"…jadi kau sudah menuliskan namanya dalam pulpenmu?"
"Aku tahu itu cara kuno, tapi aku sungguhan berharap."
"Bukannya tidak boleh diketahui siapapun ya? Nanti gagal lho!"
"T-Tapi aku sudah menjaganya hampir empat bulan! Harusnya berhasil kan?"
Fokus Baekhyun malah teralihkan ke sana. Ada apa sih dengan menuliskan nama, pulpen, kertas dan segala macamnya. Apa itu trend?
Sebelum dosen memergokinya lagi, Baekhyun memutuskan untuk menyingkirkan pemikiran itu terlebih dahulu. Ada essay yang harus dikerjakan nanti. Ia tidak boleh mengecewakan dosen Park.
Setelah kelas berakhir, Baekhyun memandangi pensil mekanik milik Chanyeol. Ia memiringkan kepala, seperti berharap akan mengerti dengan benda di depannya ini. Ia kembali mengantongi pensil ke saku celana sambil bangkit dari kursi lalu berjalan keluar kelas. Baru selangkah dari pintu, ia mendapati dosen Park dan Chanyeol sedang mengobrol di depan kelas sebelah. Ketika kedua pasang mata hitam dan coklat itu bertemu, Chanyeol tersenyum singkat padanya sebelum mengakhiri pembicaraan dengan bibinya.
Baekhyun menegakkan badan dan melangkah mundur sekali ketika melihat Chanyeol berjalan mendekat padanya.
"Jadi kelas terakhirmu hari ini bahasa inggris, ya."
Baekhyun mengangguk tanpa suara. Seperti lupa cara bicara yang baik dan benar.
Gugup, eh?
Shut up.
Chanyeol sepertinya memahami perbedaan sikap mahasiswa IT itu. Jadi sambil berjalan berdampingan, ia mendekatkan langkah lalu bertanya dengan hati-hati. "Apa sesuatu yang tak menyenangkan terjadi saat kelas bahasa inggris?"
Baekhyun menoleh cepat, sedikit terkejut karena Chanyeol menebak gerak-geriknya secepat itu. "Aku cuma masih mengantuk. Sampai asrama nanti mau langsung tidur."
Chanyeol ber-oh panjang. "Wajar saja sih kalau jam tidurmu seminim itu." ucapnya.
Baekhyun menimbang-nimbang dalam hati. Ia masih ragu untuk menanyakan hal itu. Jadi ia mencoba cara lain. "Ditambah lagi saat aku mencoba fokus selama pelajaran tadi, dua mahasiswi di belakangku terlalu berisik. Kau tahu, obrolan cewek."
"Heeeh, aku mengerti kenapa kau tidak bisa konsen kalau begitu."
Baekhyun menaikkan ritme langkah kakinya, mendahului Chanyeol dua langkah lalu berkata, "Mereka membicarakan sesuatu tentang menuliskan nama di dalam pulpen. Aku sama sekali nggak mengerti topiknya." Karena tidak menoleh, ia tidak bisa melihat seperti apa ekpresi Chanyeol. Tapi—
"Huh? Menulis nama dalam pulpen? Bukannya kalau menamai pulpen itu di luar, ya?" suara Chanyeol terdengar sama bingungnya.
Baekhyun menghentikan langkah tepat di koridor utama gedung universitas. Lalu berbalik dan melanjutkan cerita, "Mereka juga menyebut sesuatu tentang… tidak boleh ketahuan siapa-siapa atau sesuatu akan gagal. Dan perempuan satunya berkata kalau dia sudah menjaganya sampai hampir empat bulan dan tidak mungkin gagal…" ia melirik wajah Chanyeol yang tidak berubah sama sekali, "…yah kau tahu, obrolan cewek nggak bisa dipahami laki-laki, kan."
Chanyeol tersenyum sebelum tertawa. Ia segera menutupnya dengan tangan untuk menemukan suaranya dan menjelaskan. "Oh itu! Aku tahu. Bisa dibilang tradisi atau mitos dari Jepang. Kalau kau menuliskan nama seseorang yang kau sukai di selembar kertas dan memasukkannya ke dalam pulpen yang selalu kau gunakan… perasaanmu akan terbalaskan. Intinya sih, kau harus menjaga alat tulismu itu, tidak membukanya, tidak membacanya, tidak memberitahu orang lain selama tiga bulan."
Baekhyun menjentikkan jari, "Oh begitu rupanya. Hmm berarti itu cara yang digunakan orang-orang saat mereka tidak berani mengungkapkan perasaan secara langsung."
Chanyeol menggelengkan kepala, "Menurut pendapatku sendiri, itu kelihatan pengecut. Dan dari satu sisi seperti kau mengharapkan orang itu suka padamu secara paksa. Tapi di sisi lain menurutku itu manis. Perasaan ketika kau tengah menulis dan selalu teringat dengan orang yang ditulis namanya... seperti kau benar-benar menyukainya sangat dalam sampai tidak bisa tidak memikirkannya."
Baekhyun menutup mulutnya sambil memalingkan wajah ke samping, "Seram. Obsesi yang seram."
Chanyeol tertawa melihatnya, "Meskipun begitu, kau menggunakan cara yang mencerminkan dirimu sendiri. Bukan cara lain yang bukan gayamu."
Baekhyun kembali menoleh padanya, "Maksudnya menggunakan cara sendiri untuk membuat orang lain balik menyukaimu?"
Chanyeol mengangguk sambil mensejajarkan dirinya di samping Baekhyun. Ia merendahkan leher agar saling bertatap muka, "Kalau itu berhasil, dia akan menyukai dirimu. Bukan caramu. Setidaknya itu terdengar tidak fake." Baekhyun mematung karena jarak yang dekat. Ia bisa melihat pantulan dirinya di iris onyx Chanyeol. Lalu—
"Baekhyuuuunn!"
Lengan seseorang menggelantung agresif pada lehernya.
Baekhyun tertarik ke belakang, beruntung tidak kehilangan keseimbangan. Chanyeol menarik diri untuk berdiri tegak dan melihat seseorang di belakang Baekhyun.
Jongdae melonggarkan lengannya dan membiarkannya menggantung di bahu Baekhyun. Ia mendaratkan dagunya pada bahu Baekhyun yang bebas, "Hey, Baekhyun~ Ayo lanjutkan yang tadi di kamarmu." katanya ambigu.
Baekhyun menaikkan satu bahu yang terbebani agar dagu Jongdae minggat dari sana. "Ew, GROSS, dude! Pakai bahasa manusia yang normal! Lagian kita memang teman sekamar."
Jongdae tersenyum main-main sambil menarik dagunya kembali, "Maaf, maaf! Ayo lanjutkan proyeknya. Jurnal animasi dua dimensiku bisa menunggu."
Baekhyun menoleh padanya—agak terkejut karena wajah mereka masih dekat—dengan mata berbinar, "Great! Lebih cepat lebih baik. Tapi apa partnermu tidak keberatan?"
"Nah, dia bisa menunggu. Kami sudah sepakat untuk mulai mengerjakannya minggu depan. Lagipula story boardnya sudah jadi."
Baekhyun ingin melompat senang, tapi lengan yang merangkulnya menghalangi. Jadi ia hanya tersenyum bersemangat. Chanyeol diabaikan. Mahasiswa sastra itu tidak mengubah ekspresi sama sekali, tapi auranya jelas tidak enak dilihat. Jongdae melihatnya sambil tersenyum jenaka, "Halo, mahasiswa sastra. Mohon kerja samanya sebagai tester kami, ya."
Chanyeol kelihatan sulit membentuk senyum, ia menarik sudut bibirnya susah payah lalu berkata, "Aku senang bisa membantu." suaranya agak kaku karena menahan-nahan rasa kesal.
"Kalau begitu, kami duluan, ya. Aku akan menemuimu kalau bug-nya(7) sudah diatasi."
Lambaian tangan Baekhyun adalah gestur terakhir sebelum ia berjalan cepat dengan Jongdae menuju asrama. Chanyeol tahu. Sangat mengerti dengan senyum jenaka Jongdae yang diperlihatkan untuknya.
"Sialan…"
.
.
.
.
to be continued
a/n: Yahoooo~ saya muncul membawa yang baru~ iya ini nanti cuma 2 atau 3 chap sih. Dari dulu kepikiran buat karakter yg berhubungan sama dunia IT, akhirnya kesampean :D
sekali lagi, ini murni imajinasi saya. Jadi kalo ada penempatan yang salah soal sistem universitas, bidang, sampai pelajarannya mohon maaf dan tolong dimaklumi. Anggep aja bisa begitu, kan ini fiksi belaka :D
(1)IT : bidang pengelolaan teknologi
(2)Floppy disk : semacam flashdisk, tapi ini muncul tahun 1990, sama-sama buat menyimpan data / file
(3)Mainboard /motherboard: papan utama di dalam CPU
(4)Bahasa pemrograman : instruksi untuk memerintah agar menjalankan fungsi / program tertentu
(5)Koding : proses implementasi logika yg dilakukan programmer (bahasa gampangnya, mengetik pas membuat program)
(6)Beta tester : orang-orang yg mencoba / menguji software untuk mengetahui kekurangannya
(7)Bug : error atau kesalahan yg disebabkan hardware / software
jadi gimana pendapat kalian? Saya terima kritik saran di review~
Terima kasih sudah membaca~! :)
