The Red String

by Chocobanana614

Rated: M

Pairing: Chanbaek

I gain nothing from the story.

p.s. Chanyeol x Seulgi is just a complement pair to complete this fanfiction.

It'll kinda confused you a bit with the italic and normal font. As for the italic explains what happened in their past, the normal one stands for current time. It's also a historical fanfiction, maybe? The era took places on Edo Period in Japan, while the plot and characters aren't^^

Oh and also, there'll be some words from Japanese like their clothes, houses and something like that.

Please take a note and enjoy the story~

_oOoOoOo_

Pada suatu siang, jauh di dasar Laut Jepang, sebuah patung yang terbuat dari batu tertutup segerombol tanaman rumput laut dan lumut. Tetapi, patung itu berhasil menghindar dari korosi yang diakibatkan oleh air laut meski telah tenggelam sejak beratus-ratus tahun, sebab garis lekuk serta kurva yang telah diukir beberapa ratus tahun silam masih terlihat sangat jelas. Dengan tiba-tiba, guncangan hebat yang berasal dari pergerakan lempeng bumi membawa dampak pada arus yang kuat. Akibatnya, gelombang itu mulai menarik batu tersebut dari sesuatu yang mengikatnya selama ini di palung laut dan berakhir dengan melepaskannya.

Park Chanyeol berdiri dengan beberapa rekan kerjanya sesama aktor di atas panggung. Melakoni sebuah peran dari berbagai macam cerita baik fiksi maupun nonfiksi, adalah pekerjaan yang ia lakukan sebagai seorang aktor. Seni teater, teatrikal musik dan panggung sandiwara yang ia perankan selalu disambut dengan sangat baik oleh para penontonnya yang setia. Perpaduan antara bakat akting, mimik wajah yang penuh penghayatan dan diperkuat dengan rupanya yang tampan, membuat mereka yang menyaksikan cerita yang ia sajikan selalu terpukau.

Ia memiringkan kepalanya ketika aktor lain sedang mengucap kalimatnya sesuai naskah, berdiri sedikit ke tepi sebab belum waktunya ia untuk berbicara. Ketika ia sudah mendapatkan gilirannya, cahaya lampu panggung yang menyilaukan mendadak membutakan penglihatannya untuk beberapa saat. Ia dapat melihat sebuah patung batu yang mengambang bangkit ke permukaan lautan gelap yang luas. Patung itu bergerak tanpa arah dan hanya mengikuti aliran gelombang laut yang tidak menentu.

Secara perlahan patung itu pun melayang naik…

Kelebatan gambar itu masih berlanjut dan mengganggu konsentrasinya. Beruntung ia sudah terlatih dengan amat baik untuk tetap melanjutkan dialog yang telah ia hafal semenjak hari kelima latihan berlangsung. Latar musik yang telah dimainkan oleh kru di belakang panggung terdengar di telinganya sebagai tanda pergantian adegan.

.patung itu terus naik ke atas, seolah membelah air asin dari lautan gelap tersebut dengan mudahnya….

Meskipun tepuk tangan penonton begitu keras dan kencang di pendengarannya seusai ia menyelesaikan adegannya, pemandangan patung itu menguasai pikiran dan memenuhi seluruh inderanya hingga ia merasa gila. Ia mengernyitkan keningnya, dua alis tebal yang dipoles alis pensil tipis itu menyatu.

.melayang dari kedalaman wilayah perairan itu….. naik, naik dan terus naik…..

Pergerakan Chanyeol menjadi kaku saat lawan mainnya meminta ia untuk berlari ke arahnya. Dahinya masih mengkerut tidak nyaman dan tambahan dari pemandangan patung batu itu masih menyelimuti pikirannya. Chanyeol tetap tidak bergerak di tempat ia berdiri. Gerak tubuhnya terkunci. Rekannya yang juga ada di atas panggung dengan penuh pengertian memintanya berulang-ulang untuk melanjutkan adegan yang sudah tertulis itu.

dan kemudian patung tersebut mencuat keluar dari dalam air dengan gelembung besar penuh tekanan yang berasal dari bawahnya, membuat patung itu memercikkan air di sekelilingnya dan menimbulkan gelombang kecil di permukaan…..

Penonton yang duduk di kursi masing-masing mulai berbisik-bisik tentang Chanyeol yang tidak kunjung bergerak. Sangat aneh sebab Chanyeol terkenal akan profesionalitas dan keahliannya dalam berakting. Ia hanya memejamkan matanya di atas panggung sana seraya memegang kepalanya yang terasa akan pecah. Bayang-bayang patung itu semakin memenuhi isi kepalanya dan seluruh kalimat yang telah ia hafal kini telah tergantikan dengan deskripsi secara rinci dari patung tersebut.

Seorang wanita berambut kecokelatan yang panjang tiba-tiba lompat dari bangku penonton baris depan dan lari sekuat tenaga agar dapat ke atas panggung. Bunyi hak sepatu tingginya menggema di penjuru aula yang sudah berubah menjadi sunyi, ia pun bergegas untuk memegang pundak Chanyeol dan menggoyangkan tubuh pria tinggi itu. Chanyeol mulai meringis dan mengeluarkan suara desisan karena rasa sakit yang ia tahan di kepalanya itu.

"Yeol! Chanyeol!" Seulgi, sang wanita yang menyusul Chanyeol ke atas panggung, perlahan meneteskan air mata dan tangannya tidak berhenti menggoncangkan tubuh Chanyeol yang terasa ringan. Ia memekik histeris saat pria bersurai hitam gelap itu terjatuh ke lantai, menarik ia untuk jatuh bersamanya.

"Park Chanyeol!"

Sebelum Chanyeol kehilangan kesadaran dan penglihatannya berubah menjadi hitam, ia dapat menyaksikan dari balik kelopak matanya. Sebuah patung yang sangat jelas dan mirip sekali dengannya.

Patung batu yang menghantui pikirannya itu mengapung dengan lamban di atas permukaan, membiarkan ombak di laut lepas membawanya entah kemana.

Untuk pertama kalinya patung tersebut merasakan hangatnya sinar mentari yang memanjakan material pembuatnya setelah hampir setengah milenium terkurung di dasar laut.

Dan akhirnya, patung itu pun bebas…

_oOoOoOo_

Angin dingin yang berhembus kencang, menggerakkan cabang dan ranting pohon di sekitar sebuah rumah Jepang kuno. Tiupan itu juga menghasilkan bunyi lolongan dari celah serta lubang kayu yang ada di rumah, menjadi musik tersendiri untuk menemani malam bagi kedua insan yang tengah dimadu kasih di dalam sebuah kamar. Mereka berdua berbaring di atas futon –materas tradisional Jepang yang terbuat dari kapas dan digelar di lantai-, menghangatkan tubuh masing-masing dari udara yang membekukan tulang belakang mereka.

Cahaya dari lilin yang berada di tengah lentera kertas, terus mengedipkan satu-satunya sumber penerangan di kamar itu, membentuk bayangan lembut dengan latar belakang fushuma –dinding sekat yang terbuat dari kertas tebal- bercorak pohon sakura yang sudah sangat tua. Jendela kayu yang sedikit bergetar akibat pergerakan angin itu tidak dipedulikan oleh pasangan yang sedang dimabuk asmara.

Setelah memagut bibir kekasihnya cukup lama, pemuda dengan rambut yang lebih gelap membawa bibirnya menyusuri pipi dan berakhir di rahang sang pemuda bersurai merah menyala. Ketika ia mulai mencium dan menggigiti kecil-kecil daerah bawah telinga kekasihnya, si rambut merah pun mengajukan pertanyaan, "Hey, aku ingin kau mengabulkan satu permohonanku. Bisakah kau melakukannya?"

"Apa itu, sayangku?" Pemuda yang lebih tinggi di antara keduanya menanggapi dengan tidak serius, bibirnya masih tetap menempel di tengkuk lehernya, menyesapnya sedikit dan membuat ia melenguh kenikmatan. Akan tetapi, ia menghentikan aktifitas kekasih jangkungnya itu dengan menarik telinga lebarnya menggunakan kedua tangan. Yang ditarik hanya menyeringai lebar dan akhirnya memilih untuk mendengarkan.

"Aku serius, bisakah?" Tanyanya lagi.

"Jika dengan kemampuan yang kumiliki saat ini aku dapat melakukannya, aku pasti dengan senang hati akan mengabulkannya untukmu."

Si rambut merah menarik nafasnya dalam dan mengatakan, "Tolong ulangi apa yang aku ucapkan ini: Apabila kau mati, aku akan tetap mengikutimu sebab aku tidak takut dengan rasa sepi yang dibawa oleh kematian."

"Maaf sebelumnya, tapi mengapa kau tiba-tiba berbicara tentang hal ini?" Kekasihnya menyangga tubuh menggunakan siku kanannya, posisi tubuh ia miringkan agar dapat berhadapan dengannya.

"Ucapkan saja." Ia memainkan tangan kiri kekasihnya yang besar yang masih berada di dadanya seraya mengatakan sesuatu dengan suara yang tertahan, "Kau tahu, perasaanku sedang tidak tenang akhir-akhir ini, ditambah dengan pekerjaanmu yang langsung diberikan oleh shogun."

"Ada apa dengan pekerjaanku, hm?" Ia menarik tubuh kekasihnya untuk kembali berada di dekapannya, mengendus aroma alami yang menguar dari tubuh mungil orang yang dicinta.

"Aku gelisah. Namun yang terparah sebenarnya aku taku—mmph!"

Chanyeol, pemilik surai hitam layaknya bulu burung gagak yang selalu memberi kabar buruk, membungkam bibir kekasihnya untuk tidak berbicara lebih lanjut. Dalam ciuman yang menuntut itu terdapat kelembutan serta ketulusan yang ia pancarkan seraya menatap lelaki kecil yang sangat berarti dalam hidupnya.

Orang lain mungkin hanya melihat Baekhyun sebagai seseorang yang berisik karena tawanya yang keras, tetapi di saat yang seperti ini Baekhyun dapat menyampaikan kejanggalan yang ia rasakan dalam hatinya. Sisi Baekhyun yang penuh emosi dan ketidakyakinan, hanya Chanyeol yang tahu. Hanya miliknya seorang. Hal ini tentu membuat Chanyeol sangat teramat mencintainya.

Chanyeol mengecup berulang kali rahang milik Baekhyun untuk menuju bibir tipisnya. Sebelum ia membuka dua daging kenyal yang selalu membuatnya ketagihan itu, ia membisikkan dengan suara selembut sutera, "Baekhyun, apabila kau mati, aku akan tetap mengikutimu sebab aku tidak takut dengan rasa sepi yang dibawa oleh kematian."

Baekhyun tersenyum dengan manis dan menjawab, "Terima kasih, Chanyeol. Kau tahu? Ku rasa dengan begitu, kita bisa menjadi satu pasang kekasih berwujud arwah yang indah di alam sana nanti."

Kekasihnya menggelengkan kepala tanda ia tidak setuju dan ini membuat Baekhyun terkejut. "Aku tidak ingin menjadi arwah yang indah atau sesuatu yang astral seperti itu. Aku suka darah dan daging. Sesuatu yang nyata dan dapat dipegang, seperti aku yang menyukai berada di dalam tubuhmu."

Baekhyun menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Chanyeol, semburat merah muda menyebar secepat cahaya di pipinya yang pucat. Masih dengan malu-malu, ia menatap kedua iris onyx gelap yang sudah memandangnya terlebih dahulu. Binar dari mata itu dapat menghisap Baekhyun untuk masuk ke dalamnya dan tinggal di sana pada jangka waktu yang sangat lama. Mungkin hingga keabadian.

"Aku juga sangat suka merasakan dirimu yang berada dalam tubuhku, baik itu yang tampak seperti dagingmu atau yang maya seperti arwahmu."

Chanyeol mulai mencium Baekhyun lagi, mencari jalan untuk bertemu dengan bibirnya. Baekhyun sungguh menggemaskan dan ia tidak tahan untuk itu. Ditemani pencahayaan yang temaram, tangannya yang berukuran hampir dua kali lipat tangan kekasihnya, masuk ke sela lipatan dari beberapa lapis baju yang ia kenakan. Sementara di satu sisi, mulutnya tidak berhenti melumat bibir ranum Baekhyun dengan penuh gairah.

"Astaga. Kau terlalu banyak memakai baju, Baek. Ini seakan tidak ada habisnya." Chanyeol mengeluh ketika tangannya terus bertemu dengan kain yang ada di bawah kain yang lain. Tugasnya terasa sangat sulit untuk memisahkan tumpukkan kain tersebut dari tubuh kekasihnya, apalagi dengan keadaan darurat yang ia hadapi saat ini. Ia benar-benar sudah tidak sabar.

Baekhyun terkekeh pelan, "Aku harus menghadap daimyou-sama yang sempat singgah ke sini tadi siang." Ia ingin menggoda Chanyeol lebih jauh lagi, namun kemudian ia teralihkan fokusnya kala sebuah telapak tangan dingin menyapu putingnya. Ia pun mengerang, tubuhnya menggeliat di atas futon. Perasaan nikmat terhantarkan hingga ke pembuluh nadinya. Chanyeol semakin intens meraba dada lelaki yang telah menjadi kekasihnya itu sejak lama dan memberikan senyuman miringnya.

Baekhyun terbangun dengan kaget disertai dengan erangan frustasi. Kenikmatan yang ia rasakan di dalam mimpi sungguh terasa seperti di dunia nyata. Nafasnya memburu dan semakin berat sebelum akhirnya ia bangkit dari tempat tidurnya untuk menuju ke kamar mandi.

Ia menyalakan keran shower dan mengaturnya agar menyemprotkan air dingin dari puluhan lubang kecil. Ia melepas seluruh piyama yang ia pakai yang sudah lengket di kulitnya akibat keringat. Ia berdiri di bawah kucuran air dingin, berusaha untuk menenangkan sesuatu yang telah bangun di bawah sana sambil melayangkan kembali pikirannya pada mimpi yang baru terjadi itu.

Baekhyun menggosok matanya dan menampar pipinya tidak terlalu kencang supaya ia dapat bangun dari mimpi sepenuhnya. Tanpa sadar, tangannya turun menjelajahi bibir, leher, dada dan semua tempat yang orang aneh dalam mimpinya telah sentuh serta kecup dengan amat intim.

Ia menggigil, tak tahu apa penyebabnya. Tetapi ia bertanya-tanya pada dirinya sendiri, mengapa perkataan yang diucapkan oleh lelaki yang tidak ia ketahui wajah dan namanya di dalam mimpi itu tidak dapat ia tangkis. Ia tidak menolak sama sekali pembicaraan kotor yang telah memacu gairahnya tersebut.

Ketika memastikan juniornya telah tertidur kembali, ia mengambil handuk yang tersimpan di dalam rak kabinet teratas di kamar mandinya dan ia berjalan keluar. Baekhyun memerhatikan bahwa ia ada di kamarnya sendiri yang telah ia tempati semenjak ia remaja. Tidak ada lentera kertas ataupun dinding sakura di ruangannya. Ranjangnya pun masih tetap sama, sebuah tempat tidur single dan bukan sebuah futon. Ia mengedarkan pandangannya ke jam weker yang duduk diam di atas nakas, menunjukkan hampir pukul satu di siang hari.

_oOoOoOo_

Seoul di pagi hari di penghujung bulan November selalu tidak bersahabat bagi mereka yang harus berangkat kerja lebih awal, atau yang lebih tepat berangkat setelah matahari terbit.

Baekhyun berjalan seraya menggosok kedua telapak tangannya, menggesekkan keduanya agar mendapatkan rasa hangat. Ia juga meniupkan karbon dioksida ke tangannya itu untuk mengurangi rasa dingin. Meski sudah dibalut oleh sarung tangan rajut pemberian ibunya, udara dingin tetap menggerogotinya. Wajar saja apabila ia masih merasa kedinginan, sebab sarung tangan itu benangnya sudah menipis karena terlalu sering dicuci usai ia pakai.

Gedung tinggi yang merupakan salah satu pencakar langit di pusat kota itu merupakan tempat kerjanya. Jika kalian berpikir Baekhyun adalah bagian dari karyawan yang menggunakan kemeja dan dasi serta membawa koper untuk bekerja, kalian salah. Seragam kuning cidernya yang terbuat dari bahan american drill telah setia menemaninya sejak pertama kali ia diterima di kantor ini. Tas kulit buaya asli berukuran sedang yang berwarna hitam, bukan miliknya sebenarnya tetapi ia membawa benda itu diam-diam dari kakaknya.

"Baekhyun!" Ketika ia baru saja melangkah masuk ke lobi utama gedung, suara nyaring yang sangat ia kenal memanggil namanya. Lantas ia menoleh ke sumber suara tersebut dan melihat Jongdae dengan balutan jas abu-abunya yang lengkap.

"Hei, Jongdae." Ia menyuguhkan senyum khasnya pada lelaki yang menghampiri tempat ia berdiri.

"Bagaimana libur panjang akhir pekanmu? Menyenangkan?"

"Uh…" Mimpi yang ia dapatkan kemarin malam terlintas lagi di benaknya untuk beberapa detik sebelum ia menggelengkan kepala untuk melenyapkan pemikiran itu. Dengan terpaksa, ia pun berbohong pada teman satu-satunya di kantor ini, "Bisa dibilang begitu."

Kedua lelaki tersebut menggerakkan kaki mereka untuk mencapai lift. Ruangan kerja Jongdae berada di lantai yang sama seperti ruang pantry tempat Baekhyun bertugas. Jongdae merupakan seorang asisten kepala HRD di perusahaan itu. Sikapnya yang terlampau ramah dan senang menebarkan senyum pada siapa saja, membuat ia mendapat banyak teman, termasuk Baekhyun.

Mereka melewati sekumpulan wanita yang Baekhyun ketahui bekerja di bidang marketing. Ternyata enam orang wanita itu juga ingin masuk ke dalam elevator yang sama dengan Baekhyun dan Jongdae, padahal tiga lift yang beroperasi di gedung itu sedang terbuka secara bersamaan serta masih tidak ada yang ingin menempati salah satu ruang sempit tersebut.

Baekhyun memilih tempat di pojok, memutar tubuhnya untuk menghadap dinding cermin itu. Kumpulan wanita tersebut asyik mengobrol dan mengikik geli. Jongdae mendengar satu di antara mereka mulai berbisik ke temannya, samar ia mendengarkan wanita dengan rok pastel selutut menyebut rambut merah. Sedangkan Baekhyun, ia justru tidak peduli akan sekitarnya dan justru larut membersihkan noda kecil yang tidak dapat dihilangkan di cermin. Suara gesekkan kecil hasil aduan kuku telunjuknya dan cermin terdengar di telinganya sendiri.

Ketika lift berhenti di lantai departemen marketing, para wanita tersebut keluar satu persatu. Jongdae memberikan senyumannya yang mempesona dan membuat mereka tertawa lagi. Setengah dari mereka berjalan mundur dengan mata yang masih menatap Baekhyun, berharap ia juga dapat memberi senyumannya. Tentu saja Baekhyun tidak mengindahkannya.

Pintu elevator itu tertutup kembali dan tali besi yang bekerja lanjut menarik kotak balok yang berisi dua lelaki sebelumnya. Jongdae menekan tombol untuk ke lantai mereka dan ia mengeluarkan suara mendesau. Baekhyun membalik posisi tubuhnya, menyerah pada noda membandel di cermin dan memutuskan untuk bertanya pada Jongdae, "Ada apa? Apa kau ada masalah, Jongdae? Kau bisa bercerita padaku kalau kau mau."

Ia membuang nafasnya kasar dan merespon, "Kau. Itu masalahnya."

"Aku? Kenapa dengan aku?"

"Sudah berapa lama kau tidak berpacaran? Terakhir kali kau punya pacar, kapan itu, Baek?"

"Tidak ingat. Tiga tahun yang lalu, mungkin." Baekhyun menjawabnya tidak yakin, melirik Jongdae dari ekor matanya dengan kepala yang ia tundukkan.

Denting bel elevator berbunyi dan pintunya terbuka. Baekhyun jalan mengekori Jongdae di depannya masih dengan kepala tertunduk. "Mau aku jodohkan? Bagaimana dengan Mina dari bagian administrasi?"

"Tidak, terima kasih."

"Hyori di departemen marketing?"

"Aku bahkan tidak tahu itu siapa, Jongdae-ah." Matanya ia paksa untuk naik dan melihat kawannya. Tanpa seorang kekasih di hidupnya pun, ia tetap baik-baik saja. Kenapa juga Jongdae yang harus repot memikirkan kehidupan cintanya yang saat ini sedang redup.

"Nara bagian keuangan? Ia yang paling cantik Baek di departemen itu."

Jongdae berhenti di persimpangan jalan kecil yang memisahkan kubikel-kubikel pekerja di lantai itu. Baekhyun mengikutinya untuk menolak lagi penawaran yang telah diberikan. Ia sungguh tidak berminat untuk menjalin hubungan dengan siapapun saat ini. "Lebih baik untukmu saja, karena aku tidak tertarik."

Ia membawa tungkai kakinya yang kecil menuju ruang pantry di ujung lantai sembilan, mendengar Jongdae yang berteriak ketika ia sudah menjauh, "Kau sudah 25 tahun, Baekhyun! Jangan lupakan itu!"

Secara refleks ia menggerakkan kedua tangannya untuk menutupi cuping telinganya, melindungi dari polusi suara yang bersumber pada sosok laki-laki teman dekatnya itu. Teriakkan Jongdae alhasil membuat segelintir pekerja yang telah tiba lebih cepat menoleh ke arah Baekhyun. Memalukan sekali sebab ia amat tidak suka menjadi pusat perhatian.

_oOoOoOo_

Sebuah handuk abu-abu kecil melingkar di leher jenjangnya yang putih. Sebelah tangan membawa nampan berisi cangkir-cangkir kosong sedangkan tangan yang satunya ia gunakan untuk menghimpit di antara ketiaknya, beberapa map hijau yang di dalamnya terdapat berkas untuk ia fotokopi.

Baekhyun meletakkan nampan tersebut di atas meja bulat yang terbuat dari kayu mahogani berkualitas tinggi. Cat pelapisnya masih bagus dan membuat meja itu sangat mengkilap, memantulkan sinar dari bohlam lampu putih yang ada di ruangan dengan luas sepuluh meter persegi itu.

Ia ingin memfotokopi di toko samping swalayan yang ada di seberang kantor, toh ini sudah masuk jam makan siang. Pikirnya ia dapat makan siang sekaligus bekerja di satu waktu. Biarlah ia sekali mendayung dapat melampaui dua atau bahkan tiga pulau dalam satu gerakan itu.

Di siang hari pun cuaca di Cheongdam tetap ekstrem. Menurut ramalan cuaca yang semalam ia saksikan di televisi kecil di ruang tengahnya, mengatakan bahwa prakiraan suhu untuk hari ini yakni hingga minus satu derajat celcius. Padahal salju belum turun dan akhir November baru permulaan untuk kedatangan musim dingin. Baekhyun tidak dapat membayangkan seberapa dinginnya kota trendi ini saat butiran putih itu berjatuhan ke bumi.

Sensor otomatis dari pintu minimarket, menggerakkan dua daun pintu kaca tembus pandang ke arah yang berlawanan. Baekhyun mendapati tiga konsumen yang tengah mengantri di kasir untuk membayar barang belanjaan mereka. Ia langsung berjalan ke rak susunan ramyun serta mengambil satu botol air mineral. Ia akan meminta kasirnya untuk menyeduhkan bongkahan mie kering itu nanti.

Luhan, nama kasir yang bertugas di balik meja tembaga lengkap dengan monitor komputer yang terpasang, merupakan kakak kandung satu-satunya yang ia miliki. Mereka adalah dua bersaudara dari keluarga Byun yang kurang beruntung. Nasib mereka tidak sebaik orang-orang usia mereka yang sewajarnya.

Luhan mengisyaratkan Baekhyun untuk duduk di kursi dengan sebuah meja yang terpasang menyatu dengan dinding. Seraya kakaknya melayani pelanggan lain yang ingin membayar, Baekhyun pun mendudukkan bokongnya di kursi tinggi yang diminta. Kepulan asap dari ramyun yang telah diberi air panas menerpa wajahnya. Tidak masalah, justru dengan seperti ini ia dapat menghangatkan tubuh kecilnya di cuaca yang sedang gila seperti sekarang.

Luhan menarik kursi di sebelah Baekhyun, menumpukan dagu lancipnya di telapak tangan yang kurus itu sementara pandangannya ia buang ke luar jendela.

"Ibu sudah sakit parah. Seri-baa-san bilang untuk bernafaspun beliau sudah semakin sulit."

Luhan tidak menatap Baekhyun ketika mengatakan itu. Ia masih sibuk mengamati jalanan yang tidak terlalu ramai oleh pejalan kaki namun penuh dengan kendaraan roda empat. Baekhyun tidak terkejut pula saat hyungnya memberi kabar tentang ibunya yang mulai parah dari hari ke hari, seakan kesehatan tubuhnya sudah tidak ada harapan lagi.

"Lalu, hyung ingin aku untuk bagaimana?" Ia menyeruput kuah ramyun di mangkuk plastiknya. Rasa panas yang menyapa lidahnya sungguh menyegarkan dan sensasi pedas yang ditinggalkan di kerongkongan membuatnya meraih botol air yang baru ia beli.

"Setidaknya datanglah untuk menjenguk. Yang aku ingat terakhir kali kalian berdua bertemu yaitu saat hari kelulusan sekolah menengah atasmu, ya kan?"

Secepat kilat Baekhyun menjawab, "Aku tidak punya uang untuk kembali ke Kyoto. Tiket ke sana sangat mahal."

"Ikutlah denganku kalau begitu. Dua minggu dari sekarang kita akan berangkat, sebaiknya kau meminta izin untuk mengambil cuti."

Baekhyun mendengus geli. Meremas botol yang sudah habis airnya itu dan memasukkannya ke dalam mangkuk ramyun. Tetapi, ia tetap mengangguk pada akhirnya.

_oOoOoOo_

Kyoto tidak banyak berubah setelah tujuh tahun ia meninggalkan kota kelahirannya itu untuk ikut ayahnya ke Seoul usai tamat sekolah wajibnya.

Ayah Baekhyun pernah berjanji padanya untuk mendaftarkan ia ke universitas dan melanjutkan studinya dalam rangka mengejar cita-cita. Diimingi janji manis itu, tentu dirinya yang naïf percaya dan menuruti ayahnya untuk pergi bersama. Ia tidak ingin membuat Luhan dan ibunya terus terbebani membayar biaya pendidikannya yang tentu tidak murah. Luhan bahkan harus bekerja paruh waktu di banyak tempat setiap hari, padahal usianya hanya terpaut empat tahun dengan Baekhyun.

Hyungnya telah menyerahkan keinginan untuk kuliahnya sejak lama. Faktor terbesar yang menghalangi adalah biaya dan yang kedua adalah ada dua anggota keluarga yang harus ia tanggung di umurnya yang masih belia. Ibunya buta, sepasang reseptor penglihatannya sudah tidak berfungsi karena katarak tebal yang tidak kunjung ditindaklanjuti. Ibunya juga pernah terjatuh dan kepalanya terbentur di genkan rumahnya, mengakibatkan saraf anggota gerak tubuhnya mati. Penyakit asma bawaan yang diturunkan oleh keluarganya, semakin memperkeruh kesehatan wanita tua itu. Kini ia sudah tidak dapat berbuat apa-apa selain berbaring di ranjang, bernafas, makan dan terkadang berbincang dengan bibi Luhan dan Baekhyun, Seri-baa-san.

Luhan dapat mengejar beasiswa di universitas yang ada di dekat rumahnya jika ia berusaha dengan sungguh-sungguh. Tidak perlu di kampus yang ternama, ia hanya perlu belajar dan mendapatkan gelar guna memudahkan masa depannya nanti. Namun, ia teringat Baekhyun yang saat itu hendak masuk sekolah menengah atas. Harga seragamnya saja butuh ia cicil empat kali sebelum lunas. Akhirnya, Luhan pun mengalah pada adik semata wayangnya dan memutuskan untuk bekerja memenuhi kebutuhan hidup.

Ayahnya bukanlah sesosok ayah yang bertanggung jawab seperti pada umumnya. Pria kelahiran Korea itu menikahi ibu Luhan dan Baekhyun yang berasal dari Tokyo tiga puluh tahun yang lalu. Ketika ibunya mengandung dirinya, ayahnya kembali ke Seoul dengan alasan pekerjaan. Akan tetapi, yang disebut pekerjaan itu tidak menghasilkan apa-apa. Ibunya tetap harus bekerja sebagai penjaga toko cenderamata di sebuah tempat wisata di Kyoto. Selang tiga tahun, ayahnya datang lagi dan kemudian pergi saat mengetahui istrinya telah hamil untuk anak yang kedua.

Luhan tidak pernah mempercayai ayahnya. Seumur hidupnya, tidak pernah sekalipun terbersit baginya untuk menaruh kepercayaan di pundak pria berambut putih itu. Ia sangat mati-matian ingin menahan Baekhyun agar tidak pergi ke Seoul, tapi niat itu ia urungkan sebab ia tahu keinginan terbesar Baekhyun adalah dapat merasakan dunia perkuliahan yang tidak pernah ia dapati.

Tentu saja itu semua hanya bualan belaka. Baekhyun tiba di Seoul, tak berapa lama ia dipaksa untuk mencari uang karena ternyata ayahnya adalah seorang pengangguran yang kecanduan berjudi. Ia bersyukur ayahnya tidak kasar dan tidak pernah melayangkan tangannya pada Baekhyun sebagai pelampiasan ketika ia kalah taruhan dengan teman-temannya. Ia hanya akan meminta Baekhyun untuk menemaninya menenggak soju di kedai makan pinggir jalan hingga pagi menjelang.

Baekhyun kecewa tetapi ia tidak dapat berbuat apapun. Seoul merupakan tempat asing baginya yang selama ini lahir dan besar di Kyoto. Menghafal jalan menuju rumah saja masih cukup sulit untuknya di lingkungan baru itu.

Tahun ketiga Baekhyun menetap di Seoul, Luhan datang untuk menjemputnya. Waktu itu Baekhyun sudah diterima menjadi seorang office boy tetap sebuah perusahaan dan ia tidak dapat mundur dari pekerjaannya itu. Dengan penghasilan tidak seberapa ditambah dengan uang simpanan yang selalu diambil ayahnya, tidak memungkinkan untuk Baekhyun pulang dan menjenguk ibunya yang ia dengar semakin parah keadaannya.

Luhan dan Baekhyun tiba di rumah mereka. Shoji –pintu geser yang dibungkus dengan kertas tipis yang direkatkan pada petak-petak kayu dan bingkai pintu- digeser oleh Luhan secara perlahan, tidak ingin membuat bunyi gaduh agar tidak mengganggu waktu istirahat ibunya.

Ibunya terkulai lemas, berbaring di atas ranjang dengan seprai merah muda yang pernah menjadi kesukaan Baekhyun. Kepalanya ia tolehkan ke pintu, walau matanya tidak awas, pendengarannya masih dapat mendengar langkah kaki yang mendekat.

"Nee-san?" Pasti ia mengira yang datang adalah bibi Seri dan tidak menduga bahwa kedua putranya ada di sana.

"Bu, aku pulang." Ucap mereka bersamaan yang disambut dengan tangis haru dari ibunya.

_oOoOoOo_

Chanyeol melayangkan sorot matanya ke jendela, memandangi gedung dengan lampu berkelap-kelip dari balkon apartemennya seraya memutar gelas wine yang isinya ia telah teguk setengahnya. Angin malam kota Kyoto berhembus menerpa rambut hitamnya yang berantakan dan membuat pipinya menjadi dingin. Sepasang lengan ramping membungkusnya rapat di pinggang dari belakang secara tiba-tiba, dibarengi dengan dua bongkah daging kenyal dari tubuh lembut yang bersandar pada punggung lebarnya.

Chanyeol berbalik dan memberikan wanita muda itu sebuah senyuman kecil yang dapat ia tawarkan. Sebagai balasannya, Seulgi mengecup bibir tebalnya cukup lama, menghangatkan satu anggota badannya. Ketika tautan mereka terpisah, Chanyeol bertanya pada kekasihnya yang tingginya hanya mencapai dadanya.

"Apa yang Junmyeon katakan tentang aku yang pingsan di atas panggung waktu itu?"

Chanyeol menyelipkan beberapa helai surai kecokelatan Seulgi ke belakang telinganya. Merengkuh tubuh ringkih itu ke dalam dekapannya dengan tangan kanan. Wajahnya ia benamkan di puncak kepala wanita cantik tersebut.

"Diagnosa yang ia berikan yaitu kau terlalu kelelahan dan sedikit stres akibat serangkaian drama historikal yang kalian perankan." Suara Seulgi tertahan di dada bidang Chanyeol dan membawa getaran tersendiri ketika ia mengatakannya, "Junmyeon-oppa menyarankanmu untuk memperbanyak istirahat dan juga…."

Chanyeol menarik tubuh Seulgi untuk menjauh karena ia tidak melanjutkan kalimatnya. Sebelah alis ia angkat tinggi-tinggi dan tangannya masih bersandar di lekuk pinggulnya itu, "Juga?"

"Juga…." Jari telunjuknya ia gerakkan untuk memainkan bahan dari sweater yang Chanyeol pakai. Menggaruk daerah dada Chanyeol dengan bahasa tubuh yang malu-malu.

"Apa itu Seulgi? Kau harus mengatakannya, ini masalah kesehatanku yang sedang kita diskusikan."

"Juga kau perlu dosis teratur dari kegiatan seks, paling tidak seminggu sekali." Ia kembali menyembunyikan wajahnya pada dada Chanyeol. Melingkarkan kedua tangannya di punggung yang telah menjadi tempat sandarannya selama beberapa tahun silam.

Seulgi tidak melihat senyum lebar yang ditarik sudut-sudut bibir kekasihnya itu. Ia mengusap kepala kekasih yang telah menjalin hubungan dengannya selama enam tahun, semenjak ia masuk ke dunia akting. Ia telah bersama dengan Chanyeol dari mulai ia baru merintis karirnya hingga menjadi aktor terkenal saat ini. Seulgi benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk Chanyeol, ia selalu mengikuti kemanapun Chanyeol pergi. Padahal Chanyeol belum pernah memberi janji agar terus bersamanya, namun Seulgi masih di sini untuk menemaninya.

Memiliki kekasih cantik, baik dan pengertian seperti Seulgi seharusnya sudah membuat dirinya bahagia. Merayakan kesuksesan filmnya, menemaninya tampil di panggung teater, selalu ada di tiap momen berarti di hidupnya, mengisi kesehariannya yang sunyi. Semua itu seharusnya melengkapi Chanyeol dan membuat ia puas, tetapi akhir-akhir ini kehidupannya yang terlihat sempurna itu terasa salah. Terlebih ketika bayang gambaran patung batu di laut lepas itu datang ke mimpinya.

Chanyeol menggosokkan hidungnya di rambut Seulgi, mengatakan sesuatu yang tak terduga, "Kau tahu, patung itu sungguh menyerupai aku. Kemiripannya benar-benar bukan lelucon."

"Hm, mungkin itu menjadi pertanda bahwa hidupmu akan menjadi lebih baik?"

"Aku harap demikian."

Udara dingin mulai merayapi kulit sepasang kekasih itu. Seulgi yang hanya menggunakan gaun malam tentu merasa kedinginan. Ia semakin mengeratkan pelukannya pada Chanyeol, memintanya untuk membagi kehangatan tubuh yang ia miliki.

Chanyeol menengadahkan wajah Seulgi dan ia sedikit menundukkan kepalanya supaya dapat mencapai bibir wanitanya. Ia memulai dari pipi dan memberi kecupan-kecupan basah hingga ke bibir yang ia inginkan. Mereka terus berciuman lembut untuk beberapa menit, tidak ada tuntutan dan paksaan di dalamnya, sekedar saling menikmati rasa masing-masing.

Chanyeol memutuskan kontak itu terlebih dahulu, menuruni leher putih Seulgi dan membuat suara kecupan basah di sana. Dan ketika bibirnya melengkung di leher itu, matanya tertuju pada pintu yang menjadi pembatas kamar dan balkon yang terbuka dan apa yang ia lihat menghentikan aktifitasnya tiba-tiba.

Chanyeol tidak menemukan tempat tidurnya yang berukuran sangat besar di tengah ruangan. Lampu tidur berbentuk jamur di meja kecil disebelahnya tergantikan oleh lilin yang terbakar di dalam sebuah lentera kertas. Ruangannya sangat temaram, berbeda dengan kondisi yang ia tinggalkan tadi sebelum pergi ke balkon. Meski dengan pencahayaan yang minim, ia mampu menangkap dinding kokoh apartemennya berubah menjadi dinding kain dengan lukisan pohon sakura tua di atasnya. Lantai keramiknya yang berwarna hitam juga tiada, ia menginjakkan kakinya pada tatami –lantai tradisional Jepang-.

Kamarnya telah berubah menjadi sebuah ruangan yang sangaat tidak ia kenal.

Seorang pemuda bertubuh mungil berjalan masuk ke kamar dengan menggeser fusuma sakura itu. Rambut merahnya memantul saat ia melangkahkan kakinya ringan seraya menyenandungkan nada sesuai yang ia mainkan pada kecapi di tangannya. Hanya dengan sehelai jubah putih seperti yukata tapi lebih tipis, ia duduk di atas tatami dan lanjut memainkan kecapi tersebut. Rambut merahnya yang panjang layaknya wanita, diikat asal di atas kepala membentuk sebuah gulungan longgar.

Pemandangan itu membuat ia sangat takjub, namun membuatnya sedikit takut secara bersamaan. Chanyeol merasakan kakinya bergerak untuk menghampiri orang yang mengagumkan itu, ia mendongakkan kepalanya ke arah pintu balkon dan tersenyum dengan indahnya.

Seulgi mencoba untuk menepuk pundak Chanyeol yang sedari tadi ia panggil tapi tidak menanggapinya. Tangan Chanyeol terulur ke dalam kamar, seolah ia ingin menyentuh apa yang ada di dalamnya. Nyatanya di kamar itu tidak ada siapa-siapa, sebab dua orang penghuni yang menempati kini sedang berdiri di balkon.

"Chanyeol?" Pada panggilan yang hampir ke-dua puluh empat itu, Chanyeol pun terkesiap. Ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan memutar tubuhnya lagi ke tempat ia meninggalkan Seulgi.

Seulgi mengamati Chanyeol dengan ekspresi bingung di wajahnya. Dengan cepat, Chanyeol melihat kembali ke pemuda rambut merah itu duduk, namun kamarnya telah kembali seperti semula dengan cahaya yang terang, kamar dengan dinding bercat putih modern tanpa ada dinding berlukiskan sakura serta kelopaknya yang jatuh di musim gugur.

Lelaki berambut merah dengan kain pakaian yang tipis menghilang dalam sekejap mata. Tidak ada jejak yang ia tinggalkan di kamarnya. Zither yang ia mainkan pun tidak bersisa sama sekali. Ia mendudukkan dirinya di kursi santai di balkon, menghela nafas panjang dan mengaku pada kekasihnya.

"Seulgi…" Panggilnya lirih.

"Aku di sini, Chanyeol."

"Sepertinya… sepertinya aku melihat hantu seseorang dari masa lalu."

_oOoOoOo_

Baekhyun membalik halaman koran yang ia baca. Ia mengambil koran itu dari kolong tempat tidur ibunya. Tanggal yang tertera di pojok halaman menuliskan koran tersebut baru lewat beberapa hari yang lalu. Huruf hiragana, katakana serta kanji di atas kertas lebar ia baca dengan mudah. Ia tidak tertarik pada kolom politik yang memberitakan tentang pejabat korupsi, kolom kriminal yang berisi orang-orang dibunuh oleh penjahat kelas teri, ia pun tidak memiliki ketertarikan dengan kolom ekonomi yang membahas kebijakan-kebijakan apa saja yang telah pemerintah ambil untuk negara. Sejak ia kecil, ia akan melompati halaman-halaman itu dan langsung berfokus pada bagian Teknologi dan Penemuan.

Tak dapat dipungkiri, Jepang memang merupakan kota dengan angka perkembangan teknologi tertinggi di dunia. Penduduk Jepang terkenal dengan kreatifitasnya yang tiada akhir, selalu menyodorkan gagasan dan gebrakan terbaru di dunia yang sudah serba mesin ini. Penemuan benda peninggalan sejarah oleh arkeolog juga menarik perhatiannya sebab ia bisa memperkirakan berapa harga dari benda itu saat dilelang yang disiarkan di sebuah stasiun televisi nanti.

Ibunya sedang memejamkan mata. Walaupun bagi Baekhyun tidak ada bedanya pula saat ia membuka kedua bola mata itu. Asma ibunya kambuh lagi tadi malam akibat terlalu banyak menangis. Senggukan yang dihasilkan membawanya menjadi sulit bernafas. Bibi Seri bilang itu sudah wajar, karena ibunya memang sangat sensitif di akhir-akhir ini yang menyebabkan penyakitnya sering kumat.

Luhan tidak tahu kemana karena ketika Baekhyun bangun, ia sudah tidak ada di tempat tidurnya. Bibi Seri telah berangkat kerja di toko cenderamata yang sama seperti ibunya. Ia sebagai anak bungsu, mendapat tugas untuk menjaga ibunya. Berjaga-jaga apabila asmanya datang lagi.

Sesungguhnya ia pun simpati pada ibunya. Ingin sekali memberikan penghasilan yang tak seberapa untuk membeli obat asmanya itu. Selama ini selalu hyungnya yang mengirimkan uang ke bibi Seri untuk biaya pengobatan ibunya. Bagaimanapun juga, Baekhyun masih anak ibunya dan sudah menjadi tugas sebagai seorang anak untuk berbakti. Tapi sayangnya, tiap kali upahnya diberikan dan ia sisihkan sedikit untuk ditabung, uang simpanan itu pasti lenyap keesokan harinya. Tak peduli di mana ia menyembunyikan uang tersebut, ayahnya selalu tahu tempat penyimpanannya.

Gambar sebuah pedang katana yang panjang, terpampang di halaman bagian discovery itu. Judul artikel tersebut mengatakan bahwa telah ditemukan katakana milik seorang pejabat pada zaman Edo di taman rumah warga kota Kyoto. Sarung pembungkus katana itu berwarna hitam kelam, dihiasi dengan batu permata kecil di dekat lubang tempat pedang itu dimasukkan.

Tanpa sempat ia menebak harga yang akan dihasilkan oleh benda sejarah itu, ia buru-buru menutup dan mengembalikan korannya ke kolong ranjang. Sekelebat bayangan mengerikan masuk seenaknya dan tidak meminta izin pada Baekhyun terlebih dahulu.

Bayangan itu sangat mengerikan dan ia harap ia tidak akan melihatnya lagi.

_oOoOoOo_

a/n: jadi ceritanya aku dapat ide ff ini dari dosen matkul East Asian Politics pas nerangin topik tentang Restorasi Meiji beberapa bulan yang lalu. Inti ceritanya aku pernah tulis di balik halaman materi itu dan ga sadar waktu nulis kenapa bisa berakhiran jadi smut gini ( o_o)

Karena Roses for Baekhyun ku udah tamat dan tinggal dipost (ini cerita lama sebenarnya), so I start to continue writing another story. Sorry to say kalau adegan smutnya terlalu cringey ahahahah saya baru pertama kali nulis NC, so, maapin?._.

Seulgi dan Chanyeol bukan main pair di cerita ini, yang aku fokuskan itu tetap Chanbaeknya kok. yeey~

See u on the next chappie~

.

Btw, I need to know ur respondsss, therefore, RnR puhleaase?;)