Ditariknya katana yang tersarung, kilatannya menyilaukan semua mata. Pedang terhunus. Tapi sang pangeran membeku, tak mampu bergerak sedikitpun. Untuk kedua kalinya ini terjadi. Kedua pasang mata saling berpagut. Merah biru. Pesona mata seindah langit biru seakan mematikan seluruh rangkaian sarafnya. Sampai akhirnya sang pangeran hanya mampu membelalakkan mata, ketika tetesan darah meleleh dari sudut bibir pucat di depannya.

Sama seperti waktu itu, bukan dia yang bergerak, tapi mahluk yang telah mempesonanya memajukan diri, menyambut tajamnya pedang putra mahkota Rakuzan.

Menyongsong kematiannya.

Gemuruh suara di koloseum, membuat telinganya serasa mendengung.

::

::

BLUE PRINCE

Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Story by Mel

Warning :

Typo(s), AU, sho ai, DLDR, cover not mine, it's only fictitious

Please enjoy

::

::

Negeri Seirin kini sudah jatuh, meninggalkan banyak luka, terutama di hati para penduduknya yang sangat mencintai negeri ini dan sang pemimpin. Negeri yang tenang dan damai dengan kekayaan alam melimpah, penduduk yang tentram, serta pemerintah yang adil.

Negara kota yang indah, pantai di sebelah timur, tempat dewa surya tidak bosan menyapa dengan hangat, menggeliatkan bentang selimut kelam.

Cahaya yang semakin semarak memancar, melapisi setiap dinding yang memantulkan warna warni meriah. Kaca-kaca jendela tampak berkilau cemerlang. Selalu sama seperti ini.

Namun, tahun ini walaupun keindahan kota ini masih ada, tapi hampir di semua tempat, telah telah tergores luka.

Walaupun penguasa baru tidak sama sekali menghancurkan negeri yang cantik ini. Tidak juga menyentuh rakyatnya.

Mereka menjatuhkan raja - penguasa negeri ini yang diwariskan secara turun temurun - yang dicintai rakyatnya.

Satu minggu telah berlalu, kerajaan Seirin yang sudah jatuh dijaga ketat. Adalah panglima tertinggi negara besar tetangga yang sudah mengambil alih paksa. Menggulingkan pimpinan yang sah dan menawannya. Panglima perang itu Jenderal Aomine Daiki, seorang yang gagah berani, kekuatannya luar biasa. Walaupun kulitnya memiliki kelebihan bila dibanding dengan rata-rata orang di semenanjung ini. Kelebihan melanin menjadi ciri fisiknya. Meski begitu wanita-wanita cantik dengan tubuh aduhai selalu mengelilinginya.

Hari ini sang panglima perang mempersiapkan istana yang baru beberapa hari ia duduki. Seluruh ruangan telah dibersihkan, seluruh lambang dan panji Seirin sudah diturunkan diganti dengan lambang kerajaan Rakuzan, warna emas, oranye, dan merah mendominasi, tidak ada lagi warna putih, biru muda, dan hitam yang menenangkan.

Sajian makanan istimewa dari dapur istana sudah siap, drum-drum anggur kualitas terbaik berjajar di koridor dalam, serta barisan pelayan wanita dipilih harus yang cantik. Ia membuat semua sempurna.

Tidak hanya bertarung di medan perang ia juga piawai dalam urusan perjamuan dan seremoni.

Lambang-lambang ciri negaranya sudah memenuhi seantero istana. Panji-panji telah dipasang di sepanjang jalan arah ke istana yang baru dideklarasikan sebagai salah satu properti. Penyambutan ini harus meriah.

Tepat pada saat matahari sepenggalahan, terompet dari barisan drumband berbunyi nyaring. Disusul march yang bersemangat, mengiringi derap langkah kuda gagah sekira 200 ekor.

Seragam merah dengan bulatan kancing emas serta rumbai kuning di bahu, senjata Laras panjang bersangkur di tangan sebelah kanan dan pedang bersarungkan kayu hitam dikaitkan dipinggang kiri. Di kepala mereka bertengger pet berwarna hitam. Panji-panji dan bendera menyemarakan barisan itu.

Rakyat Seirin jarang sekali mendapat pemandangan menakjubkan seperti ini.

Seirin adalah negara yang sangat mengutamakan perdamaian, penguasanya tidak merasa perlu memiliki pasukan perang yang hebat, mengingat luas wilayah yang kecil.

Pemimpin barisan adalah seorang pangeran - putra mahkota Rakuzan, yang sudah dikenal oleh semua warga tidak saja di negeri asalnya, bahkan di Seirin pun pangeran itu sangat terkenal, karena ketampanannya, pemikirannya yang luar biasa, dan kekejamannya, dalam perang sekali tebas maka beberapa nyawa melayang diujung pedangnya.

Pangeran itu menunggangi kuda berwarna putih dengan pakaian seorang satria utama, jubah dipunggungnya berkibar. Seluruh mata yang memandangnya terpesona. Dia dengan pongah hanya menyeringai, dengan sorot mata angkuh. Namun tetap saja terlihat menawan.

"Selamat datang yang mulia pangeran." Jenderal Aomine dan pasukannya berlutut memberi hormat ketika sang pangeran menjejakkan kakinya di pelataran istana yang sudah diklaim menjadi miliknya. Pangeran itu hanya menggangguk. Langkahnya gagah, menapaki undakan tangga yang berjumlah sebelas. Sebuah aula tampak mewah, singgasana berlapis beludru merah terlihat sangat anggun. Sang pangeran tampak puas.

"Kerja bagus, Daiki!" pujinya kepada sang jenderal, berada tiga langkah di belakangnya.

"Istana Seirin memang sudah indah, kami tidak terlalu repot merubahnya." angguk sang jenderal.

Singgasana dengan sepasang kursi kebesaran. Sang pangeran - Akashi Seijuurou - melintasi aula luas lalu kembali menaiki empat undakan lagi. Menatap kedua kursi itu. Sebelum akhirnya memutuskan untuk duduk di kursi sebelah kanan.

Diliriknya kursi kosong. Siapa yang akan duduk di situ batinnya. Ia masih belum mempunyai permaisuri. Ya, pangeran masih berusia 21 tahun. Tidak mungkin pula panglima perang itu yang akan duduk disampingnya. 'apa disingkirkan saja kursi satu ini' batinnya.

Jenderal Aomine berdiri tegak disamping sang pangeran, "ini untuk siapa, Daiki?" telunjuk mengarah pada tempat duduk yang mungkin belum atau malah tidak akan berpenghuni.

"Kami siapkan singgasana ini untuk Raja Masaomi dan Ratu Shiori." jawab sang jenderal mantap. Putra mahkota mengangguk, ayahanda dan ibunda takkan pernah memerintah disini, semua urusan Seirin adalah urusanku', batinnya sambil mengedarkan pandangannya. Aula ini sungguh meriah, meja jamuan berjajar ratusan petinggi dan prajurit, merayakan kemenangan mereka merebut tampuk kekuasaan negeri cantik ini.

Dengan aba-abanya pesta pun dimulai. Mereka bersuka cita. Makanan yang lezat, pelayan-pelayan cantik menggoda, serta anggur yang memabukkan.

Pangeran pun ikut dalam euforia tapi tidak mau ikut larut.

"Daiki, dimana Raja Seirin, kau tidak membunuhnya, bukan?" suaranya dingin, membuat jendral gagah itu sedikit memundurkan kakinya.

"Untuk urusan itu hamba serahkan kepada yang mulia." Sahutnya, suaranya bergetar.

"Bagus, antarkan aku ke tempatnya." Ia bangkit dari singgasananya.

"T tapi bukankah pestanya baru dimulai, yang mulia?" suaranya terdengar lirih. Aomine tahu apa yang akan terjadi. Hatinya sangat khawatir, entah kenapa kakinya tak mau diajak melangkah.

"Jenderal Aomine!" langkah sang pangeran terhenti, menunggu. Aomine meneguk liurnya susah payah.

"H ha'i..." langkah diseret. Ia tahu kilatan amarah di mata merah gold itu.

Aomine sungguh tak ingin mengetahui apa yang akan terjadi pada keluarga kecil itu, sepasang suami istri baik hati, raja dan ratu yang pasrah ketika ia merebut tampuk kekuasaannya, dan seorang putra mahkota yang sangat menawan. Pemuda yang membuat hatinya jatuh.

Keringat mengalir dari tiap lubang pori-porinya, kesan basah mengalir dari pelipis. Aomine berkali-kali mengusapnya dengan punggung tangan. Sangat khawatir.

"Apa yang membuat seorang panglima perangku takut, hn?" sindiran penuh ejekan terlontar.

"Aku akan menebas orang-orang yang membuatmu takut, Daiki!" ucap pemuda yang tingginya lebih rendah tetapi sungguh mempunyai harga diri setinggi langit.

Sang jenderal tidak mampu berkata apapun. Ia berusaha menutup getaran hebat di jiwanya.

Pintu terkuak, di dalam ruangan yang tidak terlalu luas duduk sepasang suami istri, sang raja terguling, berumur pertengahan empat puluh tampak seorang yang bijak. Dan sang ratu sangat cantik, rambut biru langit dibiarkan tergerai sepunggung. Akashi terpana melihatnya. Tapi ia mengeraskan hatinya untuk melenyapkan simbol hidup kerajaan Seirin. Seperti perintah ayahnya. Yang Mulia Raja Diraja Masaomi.

Seolah sambaran cahaya kilat, hanya dalam 10 detik dua raga rupawan itu roboh. Katana perak bersalut darah masih mengacung ketika teriakan itu ia dengar.

"Tou-sama, Kaa-sama!" direngkuhnya kedua raga tanpa jiwa.

Mata Akashi terbeliak, badannya berputar menghadap ketiga sosok di depannya. Katana masih terhunus dengan darah yang masih menetes diujungnya.

Mata merah dan gold terkunci pada manik biru indah di depannya.

Mata itu tidak menyiratkan takut sama sekali. Indah, teduh, dan hangat.

Sosok itu bangkit menantang pada ujung katana, membiarkan leher jenjang sewarna susu tergores, cucuran darah sangat kontras dengan putihnya kulit leher. Akashi masih terpaku. Seolah waktu membeku, seluruh ototnya tidak bergerak sama sekali, hanya cengkraman pada gagang katana terasa longgar.

"Cukup! Kumohon jangan pangeran!" Aomine berusaha merebut senjata panjang dari sang putra mahkota. Katana membentur lantai granit, nyaring, membawa kembali kesadaran sang pangeran.

"Siapa kau?" wibawanya telah kembali.

"A aku Kuroko Tetsuya." matanya menatap tajam pemuda di depannya, tanpa rasa takut sedikit pun. Darah masih mengucur dari lehernya tidak dipedulikan.

"Hee, putra mahkota Seirin, huh?" Sorot mata penuh ejekan dialamatkan pada sosoknya yang mungil. Kulit putih, surai biru muda, mata biru langit yang lebar.

Pakaian yang membalutnya sangat sederhana, celana panjang berwarna coklat tua melapisi kaki jenjang, kemeja putih dengan bahan terbaik, lengan bajunya dilipat sebatas siku, sebuah vest krem melapis bagian luarnya, dan sepasang sepatu boot kulit menutup ujung celananya.

Mata lebar masih menatap, ada riak kebencian memancar dari wajah yang rupawan. Ujung mata menggenang cairan bening. Bagaimana tidak, saat ini ia mendadak menjadi yatim piatu, sebatang kara.

Tetsuya kembali berlutut di depan orang tuanya, diraih jemari bundanya, ditangkupkan ke pipi putihnya.

"Kaa-sama, aku sendiri sekarang, ijinkan aku ikut denganmu!" suara lembut terdengar lirih. Ada dua hati tersayat.

Pemakaman berlangsung singkat, hanya dihadiri beberapa orang. Tetsuya tidak beranjak dari tempatnya, duduk diantara pusara orang tuanya terpekur seorang diri.

Orang tuanya selalu mengajarkan tentang segala hal yang baik, tentang kasih sayang, tentang perdamaian, tentang hidup yang tentram. Tapi saat ini ia sangat membenci orang-orang asing yang merenggut orang tuanya, penguasa negeri, bahkan negerinya sendiri. Seolah kini berdiri di atas bara.

"Daiki, suruh dia kembali ke istana!" dagu runcing itu diarahkan ke sosok yang duduk seharian di sana, diantara dua nisan . Sang jenderal mengangguk. Mata heterokromia menatap interaksi keduanya. Dia mendengar perkataan Aomine begitu lembut pada pemuda itu - ini baru pertamakalinya Akashi mendengar suara sang jenderal yang begitu tulus, bersimpati atas kejadian yang menimpanya.

Gelengan penolakan, tegas disampaikan. Dia bersikukuh untuk duduk diam, dan ini sudah hari ketiga.

"Kenapa kau begitu keras kepala, Tetsuya!" rutuknya.

Akashi duduk di singgasana seorang diri, ditatapnya kursi kosong di sebelahnya. 'Aku mau kau yang duduk disampingku, kau pasti akan sangat cocok.' batin Akashi.

.

"Aku akan membawamu ke Rakuzan!" titah sang putra mahkota, pada tawanannya. Kuroko menggeleng.

"Aku tidak akan kemana pun, aku akan selalu disini, di Seirin" tolak Kuroko berkeras. Bunga-bunga yang masih segar ia taburkan di pusara kedua orang tuanya.

"Hee...kau yakin? Kau bahkan sudah tidak punya negeri. Aku bisa mengganti nama negerimu sesukaku, menghapus semua yang pernah ada disini", dingin, penuh ejekan dan sangat sinis.

Bunga dalam genggaman sudah tertabur semua, tangan ditangkup memanjat berbaris doa. Tidak peduli dengan makhluk arogan yang berdiri di sampingnya.

"Kenapa tidak kau bunuh aku sekalian?" tantang Kuroko, tubuhnya bergerak perlahan mengecup kedua nisan tanpa nama, dengan penuh sayang diusapkan kedua tangannya, seakan kedua orang tuanya hadir di sana, "semoga tou-sama dan kaa-sama selalu bahagia." Kuroko tidak pernah tahu ada sekeping hati yang iri pada tingkahnya.

Suara tawa melecehkan. "Aku akan membunuhmu kapan pun aku mau, hidupmu ada ditanganku"

.

.

Setengah diseret, Kuroko dipaksa untuk meninggalkan tempatnya, para pengawal dengan kasar memperlakukannya bagai tahanan.

"Hei hei, jangan pernah memperlakukannya seperti itu!" suara berat sang panglima menegur.

Kuroko mengusap lengannya yang tadi ditarik. Ia menghela nafas. Tampak gurat merah bekas cekalan tangan prajurit.

"Maaf untuk kekasaran kami." sosok tinggi itu berada di depan Kuroko sedikit membungkuk.

Pemuda beriris biru langit hanya diam, memalingkan wajahnya. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya ia merasa terhina seperti ini.

"Untuk apa aku harus pergi ke negerimu?" suara lirih memecahkan kesunyian.

"Yang mulia pangeran Akashi ingin membawamu ke sana, saya hanya melaksanakan titahnya saja." ujar sang jenderal

"Aku ingin disini saja, dekat orang tuaku!" ada isak kecil tertahan pada nada suaranya.

"Biarkan aku di sini bila aku harus mati." katanya sendu. Aomine, memalingkan wajah tampannya. Ia tahu seperti apa rasa kehilangan yang dialami Kuroko.

"Mohon bersabar, rombongan sudah siap, saya akan mengantarkan anda." Ucap sang jenderal.

Seekor kuda berwarna coklat yang gagah sudah siap untuk membawanya pergi.

"Naiklah pangeran!" tangan besar itu membantu pemuda mungil itu untuk naik dan mengendarai kudanya.

Sepasang mata beda warna mengawasi, dengan angkuh mendekati mereka, hentakan kaki kuda membuat sang jenderal mundur beberapa langkah.

"Aku tak mau kau merepotkan pasukanku dengan melarikan diri di tengah perjalanan!" tangan berbalut sarung tangan kulit meraih tali kekang menarik kuda yang Kuroko tunggangi.

Mata sewarna langit memicing tidak suka dengan perlakuan sang putra mahkota Rakuzan.

Sudut mata Akashi menangkap tatapan keberatan dari jenderalnya.

"Cepat Daiki!" titahnya

Rombongan kecil itu berangkat dengan sang putra mahkota paling depan selangkah dibelakang sebelah kanan adalah Jenderal Aomine, dan di sebelah kirinya pangeran dari Seirin.

Perjalanan memakan waktu hampir satu hari.

Surai biru langit melambai terkena angin, tapi wajah rupawannya beku.

Dua orang di sebelah kanannya sesekali melirik ke arah tubuh mungil, keduanya sama-sama khawatir dengan tubuh ringkihnya.

Tapi yang dikhawatirkan tidak menunjukkan ekspresi sama sekali, seolah jiwanya masih tertinggal di Seirin.

Akashi melambatkan laju kudanya, sejajar dengan Kuroko dan Aomine.

Tapi Kuroko sama sekali tidak peduli, matanya kosong.

"Kau lelah?" suaranya terdengar rendah, sedikit menoleh ke arah kiri. Kuroko menghela nafas lalu menggeleng. 'Apa pedulimu' batin Kuroko.

Aomine hanya diam.

"Kalau kau lelah kita bisa berhenti sejenak, kau belum minum dari tadi." Kuroko hanya menggeleng. Wajahnya datar, air muka tanpa ekspresi.

.

"Paduka, kami datang!" Putra mahkota itu berlutut di depan singgasana Rakuzan yang diduduki Raja Masaomi dan Ratu Shiori.

Sang ibu tersenyum anggun dan bangga dengan keberhasilan putranya, sedangkan sang ayah terlihat senang, walau kemudian perkataannya sangat menusuk.

"Berikutnya kau harus mendapatkan negara yang besar, bukan negeri kecil yang lemah seperti Seirin, tidak ada apa-apanya sama sekali!" Pangeran itu hanya mengangguk, mengiyakan.

"Kemarilah Seijuurou" panggil sang ayah. Pemuda itu bangkit, menaiki beberapa undakan menuju sebuah kursi di sebelah ayahnya.

"Kau membawa tawanan, pangeran dari Seirin, aku ingin kau menunjukkan jiwa satriamu di depan rakyat Rakuzan, bahwa kau layak menjadi seorang raja yang kuat, seorang calon kaisar." pangeran itu menyimak.

"Besok buktikan itu di koloseum!" titah sang raja.

.

.

Saat ini ia berada di tengah koloseum seperti perintah ayahnya. Rakyat hadir memadati lapangan luas itu. Semua mengelu-elukan namanya. Menyerukan keberhasilannya menaklukkan negara lain. Tapi semua hanya seperti dengungan lebah di telinga. Keringat mengucur tanpa bisa dicegah.

Putra mahkota Rakuzan berbalut baju perang kebesaran, berkilau memantulkan sinar matahari pagi pada beberapa bagian bajunya yang terbuat dari metal terbaik, udara yang berhembus terasa sangat mengiris setiap sel di tubuhnya.

Di depannya berlutut seorang pangeran bertubuh mungil, kedua tangannya terikat kebelakang, mengenakan pakaian seorang putra mahkota Seirin.

Entah siapa yang memulai, seruan berubah menjadi sebuah titah untuk mengeliminasi musuh di depannya.

Suara terompet berbunyi, semua hening. Raja berdiri.

"Lakukan!" Sang Raja bertitah, dagunya terangkat.

Nafas Akashi muda tersengal, dihadapannya seorang pemuda dengan surai dan mata biru langit yang menawan seakan menenggelamkannya. Bukan. Bukan ini yang ia mau. Bukan seperti ini. Ia hanya ingin mengenalkan pemuda itu pada ayah dan ibunya, ia ingin meminta ijin mereka untuk bisa duduk berdampingan di singgasana Seirin.

.

.

"Seijuurou-sama." suara sang jenderal yang berdiri tiga langkah belakang tidak mampu menenangkannya.

"Terimakasih karena sudah membebaskanku." bisiknya lirih ketika pangeran bersurai crimson itu memeluknya. Keping hatinya tertusuk sangat dalam.

"Andai aku bisa terbebas sepertimu, Tetsuya, bisa terbang ke nirwana bersamamu." bisiknya pada tubuh yang mulai terkulai mendingin dalam pelukannya.

"Pangeran…" bisik sang jendral menarik kesadarannya, nafasnya tercekat.

"Kami-sama jangan ambil dia sekarang!" teriaknya teredam dalam rongga mulut.

Sang jenderal memberikan kode pada dua orang pengawal yang sudah berjaga dari tadi. Membawa tubuh yang telah terkulai ke balik tembok koloseum.

Sorak sorai menggema. Bagai seorang gladiator yang telah mengalahkan seekor singa, berdiri di tengah koloseum. Padahal ia hanya mengalahkan sesosok ringkih yang bahkan melawan pun takkan mungkin bisa dilakukan.

Lengan sang jenderal mengangkat lengan sang pangeran tinggi-tinggi. Teriakan menggema. Mata rubi mengabur, semua menjadi samar dimatanya, dan sorak sorai menjadi raungan yang memekakan.

Akashi menarik lengannya yang masih mengangkat, seolah menjadi seorang pemenang pertarungan.

Tungkainya berlari secepat yang ia bisa, menyusul tubuh yang dibawa ke sebuah bilik. Seorang tabib tengah menuangkan cairan berwarna hijau ke arah luka bekas pedang yang menembus tubuh mungil itu.

"Tetsuya bertahanlah, kumohon!" tapi tubuh itu tergolek. Sama sekali tubuh itu tak bergeming.

.

"Tetsuya…bangunlah kau di Seirin sekarang!"

Sepasang netra beriris lazuardi terbuka. Tapi tidak ada sinar yang terpancar dari sana.

"Kaa-sama, Tou-sama, kita akan segera bertemu." suara lirih masuk kedalam telinga sang pangeran Rakuzan.

"Tetsuya, kumohon bertahanlah, kau akan segera sembuh!" bisiknya lirih, surai lembut itu dibelai dengan sayang.

Lengan kurus terangkat, seolah menggapai sesuatu, sigap tangan kokoh itu menggenggamnya. Dengan lembut dikecupnya telapak tangan mungil.

"Tetsuya, sembuhlah, jangan tinggalkan aku!" saat kedua iris langit itu mulai menutup.

Lengan lembut membawa kenangannya kembali, saat ia menelusur pesisir, seorang bocah cantik sedang berlari kecil, surai biru langit, kulit seputih susu, dengan bibir yang menyunggingkan senyum.

"Daiki, siapa dia? Kejar dan bawa padaku!" yang diperintahkan segera berlari menangkap bocah yang juga mempesonanya.

Bocah itu tidak bisa memberontak. "Ikutlah, pangeranku ingin bertemu denganmu!" bocah mungil itu hanya bisa pasrah ketika tangan mungilnya ditarik.

Sang pangeran bersidekap. "Siapa namamu?" mata sewarna rubi menatap tajam, namun anak lelaki dengan surai biru itu menolak menjawab. Mata biru lebarnya bergulir, membuat yang menatapnya terpesona.

"Tetsuya-chan, aku mencarimu kemana-mana, tolong lepaskan tanganmu dari pangeran!" sebuah suara tiba-tiba muncul, sosoknya tinggi, surainya berwarna abu-abu. Tangannya menarik lengan tan yang memegang tangan sang pangeran Seirin.

"Chihiro-nii, tolong!" tangannya melambai-lambai minta diselamatkan.

"Pangeran Seirin, huh?" suara angkuh terdengar. Pangeran bersurai biru itu kemudian menatap sepasang rubi didepannya, usia mereka hanya berbeda satu tahun, namun pangeran Seirin terlihat begitu mungil, wajah datarnya sangat rupawan.

"Tetsuya, aku ingin kau mengingatku, hingga dewasa nanti kita akan bertemu lagi." kepala mungil itu meneleng ketika pangeran Rakuzan menyentuh kakinya yang putih, mengikat seutas pita berwarna merah. Lalu menatap puas hasil karyanya.

"Jangan membukanya sampai kita bertemu lagi, Tetsuya!" sebuah perintah yang tak berbantah. Aomine Daiki dan Mayuzumi Chihiro sang sepupu pangeran Seirin, menyaksikan aksi sepihak Pangeran Rakuzan.

"Jangan pernah membuka ikatan itu, Tetsuya!" sekali lagi perintah sebagai pengingat. Setelah itu waktu berlalu.

Akashi Seijuurou selalu mengingatnya, setiap tahun ia akan datang ke pantai itu. Namun sang pangeran Seirin tidak pernah terlihat lagi. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menaklukan negeri kecil itu demi bertemu lagi dengan malaikat biru kecilnya yang kakinya telah ia ikat.

"Seijuurou-sama, apa yang kau lakukan?" suara tabib tidak membuatnya mengurungkan apa yang ia lakukan.

Tangan kokoh itu mengangkat ujung celana panjang yang dikenakan Kuroko, kemudian membuka kaos yang melapisi kaki putih itu. Matanya berbinar.

"Tetsuya, pita itu masih melingkar di kakimu!" diusapnya pergelangan kaki yang tampak pucat itu.

"Kumohon, bangunlah, lihat dikakiku juga ada pita yang sama." bisiknya.

Mata beriris biru langit itu terbuka perlahan nampak dari persembunyiannya di balik kelopak putih

"Seijuuro-kun…."

::

::

tbc

::

::


Happy Eid Mubarak

(walaupun telat…)

Muaaf readers tachi, satu cerita masih belum lanjut, saya sudah publish yang ini XD

Cerita lama yang mengendap disalah satu flashdisk kusam…:"D

Terimakasih sudah meluangkan waktu membacanya.

Luv u all

Mel~