Hope in My Dream
Main Cast: - Kim Kibum
- Lee Jinki
Other Cast: - Woohyun
- Minho
- etc
SHINee Fanfiction
Warning: Boys Love, OOC, Alur Kecepetan –"
Disclaimer: Kibum milik Jinki, Jinki milik Kibum, mereka milik SMEnt dan orangtuanya, dan cerita ini milik pengarangnya :p
^Happy Reading^
Aku selalu memimpikan hal yang sama. Selalu, aku berdiri di jalan menuju rumah itu. Rumah sederhana yang tampak begitu hangat dimataku. Rumah sederhana yang terasa dekat dihatiku. Saat aku ragu untuk melangkah masuk, akan ada tangan yang akan selalu membimbingku. Tangan besar yang menggenggam erat tanganku itu selalu terasa hangat. Selalu begitu. Saat aku hendak melirik wajah pemilik tangan itu…..aku terbangun.
"Kibum-ah, sampai kapan kamu ingin tidur? Ayo bangun. Eomma sudah menyiapkan sarapan untukmu."
Selalu. Aku selalu terbangun dengan cara yang sama. Selalu terbangun dengan tepukan lembut eomma setiap pagi. Selalu terasa hampa setiap kesadaranku kembali.
Aku membuka mata perlahan dan melihat eomma sedang menyibakkan tirai kamar, seperti biasa. Kamarku bermandi cahaya sekarang. Aku bangkit dari tempat tidur dan dengan langkah gontai menuju kamar mandi.
Kusikat gigiku sambil menatap cermin yang memantulkan bayanganku. Aku melihat wajah hampa didepanku. Pucat. Kembali bayangan rumah itu terlintas dipikiranku. Hanya memikirkannya saja hatiku menjadi hangat. Aku ingin kehangatan seperti ini. Merasakannya setiap hari, setiap jam, setiap detik dalam hidupku. Aku ingin kehangatan ini nyata, bukan hanya dalam pikiran saja.
Butuh beberapa menit lagi sebelum aku sampai di ruang makan. Eomma dan Appa sudah duduk dan menikmati sarapan. Aku menggeser kursi berhadapan dengan eomma lalu meraih roti dan selai yang ada dihadapan sebagai sarapanku pagi ini.
"Bagaimana tidurmu?" Tanya appa. Selalu. Selalu pertanyaan yang sama setiap pagi. Apa aku harus terus menceritakan mimpi yang sama setiap pagi?
"Seperti biasa." Jawabku pendek.
"Begitu?"
Setelah itu sama sekali takada percakapan. Yang terdengar hanya suara kunyah dan denting sendok dipiring. Sungguh, jeda ini sangat menyiksaku. Entah kenapa appa selalu menjaga jarak denganku. Eomma juga beralasan semua yang dilakukan appa hanya untuk melindungiku. Tapi melindungiku dari apa? Aku pernah bertanya, tapi eomma hanya diam.
Terdengar suara mobil memasuki halaman. Aku segera bangkit tanpa menghabiskan sarapanku.
"Aku berangkat dulu." Pamitku.
"Hati-hati." Kata eomma. Aku berjalan dengan langkah cepat. Aku tau bahkan sekalipun aku pamit, appa sama sekali tidak melirikku.
Begitu melangkah keluar dari pintu utama, namja itu sudah melemparkan senyumnya. Senyum yang sama setiap hari. Aku membalas senyum itu.
"Pelayanan untuk tuan Putri." Katanya sambil membukakan pintu mobil untukku.
"Kamu tidak perlu berbuat begitu. Aku bisa membukanya sendiri."
Namja itu hanya tersenyum dan segera menuntunku masuk ke mobilnya. Dia berlari kecil mengelilingi mobil. Membuka pintu dan duduk dibelakang kursi kemudi.
Namja disampingku, Woohyun, adalah tunanganku. Sejak kecil kami sudah dijodohkan. Walaubegitu, Woohyun benar-benar memperlakukanku dengan baik. Dia selalu menjadi orang yang menyenangkan. Berusaha mencerahkan suasana hatiku yang selalu murung. Selalu bersikap lembut dan penuh senyum.
Aku mencintai namja ini, atau lebih tepatnya aku berusaha mencintai namja ini, namun Woohyun bukan orang yang bisa menghangatkan hatiku. Dia bukan namja yang selalu ada dalam mimpiku.
"Kita sampai." Katanya membuyarkan lamunanku. Aku melirik gedung perkantoran tepat disampingku. Benar, kami sudah sampai di gedung tempatku bekerja. Aku keluar dari mobil dan menutup pintunya. Woohyun menurunkan kaca mobil.
"Aku akan menjemputmu." Aku hanya mengangguk. Woohyun kembali tersenyum. "Aku pergi." Lanjutnya.
"Hati-hati." Kataku sambil melambaikan tangan. Woohyun melajukan mobilnya. Sebelum mobilnya menghilang ditikungan, aku sudah berbalik memasuki kantor.
"Kibum-ah, proposal tentang proyek bulan depan sudah kamu selesaikan? Lee sajang-nim meminta proposal itu." tanya Minho, teman satu timku di kantor.
"Ne, aku sudah menyelesaikannya." Kataku sambil memainkan game dikomputer.
"Apa yang kamu lakukan?" Tanya Minho. Dia melirik komputerku. "Ya! Daripada hanya bersantai seperti ini lebih baik kamu mengerjakan pekerjaanmu yang lain!"
"Karena tidak ada pekerjaan lain makanya aku bersantai." Jawabku santai.
"Jangan sampai kamu dipecat gara-gara ketahuan main game saat kerja!"
"Tidak selama hasil kerjaku bagus."
"Arrasseo, arrasseo! Kamu adalah Kim Kibum. Si nomor satu di kantor." Ujar Minho, kalah. Aku tersenyum mendengar Minho yang selalu kalah, atau mengalah hanya untukku.
"Hei, wajahmu pucat. Kamu sakit?" Tanya Minho saat dia duduk dikursinya.
"Geureu? Bukankah setiap harinya wajahku pucat?" tanyaku. Aku menghadap Minho. Menatap mata belo-nya yang selama ini membuatku iri.
"Hari ini kamu lebih pucat. Apa tunanganmu tidak menyadarinya?" aku terdiam. Ah, Minho saja menyadarinya. Apa eomma, appa, dan Woohyun juga menyadarinya?
"Mungkin aku hanya lelah." Kataku beralasan. Minho hanya mengangkat sebelah alisnya. "Sebaiknya aku segera melaporkan proposalku." Aku mengambil map yang berisi proposal dilaci.
"Sebaiknya kamu ijin pulang. Aku takut kamu pingsan di jalan." Usul Minho agak khawatir. Aku hanya mengangguk lalu berjalan menuju kantor Lee sajangnim. Aku masuk sesaat setelah dipersilakan.
"Kim Kibum. Akhirnya kamu datang. Aku sudah bertanya-tanya kapan kamu akan menyerahkan proposal itu." Kata Lee sajangnim dengan riang. Tanpa banyak bicara aku menyerahkan map itu. Selama Lee sajangnim memeriksa pekerjaanku tanpa sadar aku kembali melamun. Membayangkan rumah yang ada dimimpiku dan kehangatan namja yang menggenggam erat tanganku. Aku tahu aku mencintai namja itu. Karena aku selalu berdebar saat namja itu menggenggam tanganku. Selalu merasakan aura panas yang naik kewajahku. Tapi siapa namja itu? Apa dia hanya khayalanku saja?
"Lee sajangnim, bolehkah saya ijin pulang lebih awal? Saya merasa tidak enak badan." Entah kenapa kalimat itu meluncur dengan sendirinya.
"Selama pekerjaanmu sudah selesai tentu kamu boleh pulang. Beristirahatlah dan beri warna pada wajahmu, oke?"
"Nde, gamsahamnida. Kalau begitu saya permisi."
Begitu keluar dari kantor Lee sajangnim aku segera kembali ke ruanganku dan mengambil tas yang kubawa. Berpamitan pada Minho yang masih mengerjakan pekerjaannya. Dia hanya mengangguk dan memintaku untuk berhati-hati. Aku turun ke lantai dasar. Menyapa beberapa staff yang kukenal dan segera mencari taksi yang melintas didepan kantor. 10 menit berlalu dan masih belum ada taksi yang lewat. Aku memutuskan untuk berjalan sambil ke halte bus terdekat.
Halte bus itu sepi. Hanya ada aku dan seorang ajushi yang duduk menunggu. Cukup lama kami menunggu sampai ajushi itu berdiri menghampiriku.
"Mianhaeyo." Katanya lalu dengan secepat kilat tas ku berhasil berpindah ketangannya. Baru beberapa detik kemudian aku sadar bahwa tasku dicuri. Segera aku berlari mengejar ajushi itu.
"Ya! Ajushi! Kembalikan tas ku!" teriakku. Entah memang karena aku bodoh atau apa, aku berusaha keras mengejar ajushi itu dengan tenagaku yang memang sudah tipis.
Seberapa jauh aku sudah berlari? Molla. Dipikiranku hanya aku ingin ta situ kembali. Tas lama yang using dan entah kenapa sangat berharga bagiku. Jantungku memompa darah dengan cepatnya. Dadaku sesak. Nafasku tersenggal-senggal. Aku menyerah. Aku tidak sanggup lagi mengejar ajushi itu lagi.
Aku tertunduk sambil memegangi lutut. Mengatur nafas yang kini hanya sepenggal. Ah, capek sekali. Pasti sekarang wajahku sudah sepucat mayat. Aku mendongak.
"Memang tidak bisa terkejar. Ah, dimana ini?" Kataku sambil terengah-engah. Aku menatap berkeliling. Mencari nama daerah itu sampai mataku terpaku menatap sebuah jalan.
"Ini…jalan ini…ada dalam mimpiku. Jadi semua ini…nyata?" gumamku. Untuk beberapa saat aku hanya berdiri terpaku menatap jalan itu. Perasaan hangat mulai melingkupi hatiku lagi. Aku tidak sedang bemimpi kan? Ya Tuhan, kuharap kali ini nyata. Aku ingin jalan ini benar-benar nyata.
Dengan penuh tekad aku mulai berjalan menyusuri jalan itu. Memandang sekeliling dan mengingatnya dalam pikiranku. Menikmati kehangatan yang mulai mengisi hatiku. Merasakan kerinduan yang entah kenapa muncul dihatiku. Tidak lama kemudian rumah itu kelihatan. Hatiku berlonjak gembira. Rumah itu bukan khayalan. Rumah itu nyata. Namja itu juga pasti….namja dalam mimpiku itu juga pasti nyata.
Aku hendak berlari kerumah itu saat kurasakan kepalaku mulai pusing. Pandanganku mulai tidak fokus. Aku memegang kepalaku. Jangan! Kumohon jangan sekarang! Setelah semua yang kulihat, aku tidak ingin kembali terbangun saat ini!
Badanku limbung. Aku hendak terjatuh saat sebuah tangan menahan lenganku. Belum sempat aku melihat siapa penolongku, semuanya sudah berubah gelap.
"xxxxxxxxxx"
Aku mendengar seseorang berbicara disekitarku. Aku ingin membuka mata, tapi mataku berat sekali. Aku juga mencium bau obat-obatan. Apa aku dirumah sakit?
Seseorang menggenggam tanganku. Kehangatan mulai merambat ketanganku. Dia mengusap rambutku. Menyibakkan poniku sebelum mendaratkan ciuman dikeningku.
"Kibum-ah, aku merindukanmu. Sangat merindukanmu." bisiknya ditelingaku. Seharusnya aku marah pada namja ini karena dengan seenaknya mencium keningku, tapi yang kurasakan hanya kehangatan yang mulai menjalar diseluruh tubuhku dan jantungku yang mulai berdebar.
Aku membuka mataku perlahan. Menutupnya lagi karena belum beradaptasi dengan sinar lampu ruangan tempatku terbaring.
"Kibum-ah, syukurlah kamu sudah sadar. Dokter bilang tekanan darahmu rendah, kelelahan dan kamu kurang makan…" suara namja itu membuatku berpaling padanya. Wajah namja itu yang semula buram kini sudah terlihat jelas. Dia tersenyum lega. Ah, senyuman itu. Senyuman yang selalu ada dalam mimpiku. Senyum lembut yang bisa membuatku merasa nyaman.
"Dugu?" tanyaku.
"Kibum-ah, kamu melupakanku?" Tanya namja itu. Senyum itu sudah menghilang dan diganti dengan kerutan didahi. Wajahnya terlihat kecewa. Entah kenapa aku tidak suka melihatnya memiliki raut muka seperti itu.
"Apa kamu mengenalku?" tanyaku. Namja itu hanya tersenyum sedih.
"Aku sangat mengenalmu. Tahu kekurangan dan kelebihanmu. Tahu apa yang kamu benci dan yang kamu sukai…" suara namja itu sedikit bergetar.
"….aku bahkan masih mengingat setiap inci dari tubuhmu." Kata namja itu sambil menatap mataku. Panas mulai menjalar ke pipiku.
"Apa maksudmu mengatakan itu padaku? Siapa kamu?" tanyaku tersinggung. Beraninya namja ini merendahkanku. Apa aku pernah berhubungan dengan namja ini?
"Aku Lee Jinki, suamimu." Kata namja itu sambil tersenyum sedih.
Aku merasakan dunia sudah terbalik tepat didepan mataku. Aku punya suami? Nan?! Ini benar-benar tidak masuk akal. Kalau aku sudah punya suami, namja itu pasti Woohyun. Kalau namja bernama Lee Jinki ini suamiku, lalu apa gunanya aku dijodohkan dengan Woohyun? Namja ini pasti berbohong. Dia pasti hanya ingin membuatku bingung.
"Kau berbohong! Aku belum pernah menikah! Jika memang aku seorang istri, suamiku itu pasti Woohyun, tunanganku, bukan kau!" Kataku. Jinki terlihat shock. Tiba-tiba dia mencengkeram lenganku.
"APA YANG SUDAH DIA LAKUKAN PADAMU? BAGAIMANA BISA KAU MELUPAKAN AKU, KIBUMIE?!" teriaknya sambil mengguncang-guncangkan lenganku. Aku hanya bisa diam sambil menatapnya. Setelah menangkap raut ketakutan dimataku Jinki merosot ke kursinya. Dia tertunduk dengan tangan menutupi wajahnya.
"…bagaimana bisa kamu melupakanku? Melupakan semua kenangan yang sudah kita buat?" kata Jinki masih tertunduk. Kulihat bahunya mulai bergetar. Apa dia menangis?
"Aku tidak mengerti apa yang sedang kamu bicarakan. Bagiku ini adalah pertemuan pertamaku denganmu." Kataku tanpa memandang Jinki. Hening sesaat sampai kulihat Jinki bangkit dan duduk berhadapan denganku. Tangannya kembali menggenggam tanganku. Tangan itu basah.
"Kembalilah padaku Kibumie, jebal? Selama setahun ini aku sakit, Kibumie. Sakit karena terlalu merindukanmu. Suaramu, tawamu, cerewetmu, aku benar-benar ingin mendengarnya setiap hari, setiap waktu. Kumohon kembalilah. Kembali padaku lagi, ne?" mohon Jinki. Aku menatap matanya. Sama sekali tak ada kebohongan disana. Tapi bagaimana aku tahu kalau dia tidak berbohong? Memang benar Jinki lah namja yang selama ini ada dalam mimpiku. Dan aku juga mengakui kalau aku mencintai namja dalam mimpiku. Tapi apakah mimpi itu sudah pasti nyata? Jalan itu memang nyata. Rumah dan namja itu juga nyata. Tapi apakah perasaan Jinki juga nyata?
"Aku tidak bisa. Aku sudah memiliki Woohyun." Jawabku sambil memandang tangannya yang masih menggenggam tanganku.
"Tapi kamu tidak mencintainya!"
"Kamu tidak berhak memutuskan sesuatu yang berhubungan denganku." Kataku sambil melepaskan tanganku darinya. Jinki meraih daguku dan menghadapkan wajahku padanya.
"Kalau begitu tatap aku dan katakan kamu mencintainya!" Mata itu kini menatapku tajam. Aku marah dan juga takut. Apa dia punya hak menyuruhku mengatakan itu?
"Aku tidak punya kewajiban untuk memenuhi permintaanmu." Kataku sambil menampik tangannya didagu ku. "Memangnya kamu pikir kamu itu siapa? Padahal kita baru bertemu tapi kamu sudah mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal. Kamu menyuruhku kembali padamu? Aku saja tidak mengenalmu! Lalu kamu menyuruhku mengatakan kalau aku mencintai Woohyun sambil menatap matamu? Kamu pikir kamu itu siapa seenaknya memberiku perintah?"
Jinki terdiam melihat reaksiku. Sebuah senyuman mulai terukir dibibirnya.
"Mwo? Kamu menertawakanku?" kataku sambil mengerutkan dahi. Senyumannya semakin lebar saat melihatku mempoutkan bibirku.
"Ani. Akhirnya semangatmu sudah kembali, Kibumie." Kata Jinki sambil mengusap kepalaku. "Maaf karena aku sudah terlalu egois. Aku bahkan tidak bertanya kabarmu selama setahun ini." Lanjutnya sambil tersenyum. Rasanya jantungku berhenti saat aku melihat senyuman itu. Begitu kesadaranku kembali aku segera memalingkan wajahku darinya.
"Sudah kubilang kan kalau aku tidak mengingatmu?" kataku masih tidak mau melihat ke arah Jinki.
"Kalau begitu kita mulai saja dari awal lagi. Annyeong, namaku Lee Jinki. Kamu?" kata Jinki sambil mengulurkan tangannya. Aku menatap tangan itu dan wajah pemiliknya bergantian. Aku merasa ini sangat konyol. Baru beberapa menit yang lalu kami bertengkar, sekarang dia mengajakku berkenalan?
"Kamu bodoh ya?" ejekku.
"Kamu bilang kamu tidak ingat padaku, jadi aku ingin memulainya kembali dari awal." Katanya. Senyumnya masih melekat dibibir itu. Ah, aku menyerah. Aku tidak mungkin bisa menolak senyuman itu. Aku menyambut tangannya dan membalas senyumannya.
END?
Hai hai hai aku kembali dengan FF baru ^^
Ini sebenernya FF buatan temenku sih, namanya Sanny :D Ini orangnya ribut mulu pen ngepost FF-nya di –"
Agak kurang 'sreg' sama endingnya? Berteriaklah di review biar dibuatin lanjutannya sama Sanny :p Oke review-nya aku tunggu ya! ^^
