DISCLAIMER :
Togashi-Sensei
Runandra (for the original fic, she permitted me to translate it)
PAIRING :
Absolutely KuroPika^^
SUMMARY :
Kurapika claimed that Kuroro Lucifer was his archenemy, but lo and behold, here he was travelling with that man because of some stupid mistakes they did in a rush of moment.
GENRE :
Adventure & Romance
WARNING :
Gender-bender. An Indonesian version for 1001 Nights by Runandra, one of my favorite author!^^
BETA READER :
Runandra
A/N :
Ini salah satu favorite story aku yang banyak disukai juga sama readers lain. Selain versi English alias original, ada juga versi Spanish-nya. Aku harap kalian pun akan menyukainya^^
Happy reading^^
.
.
.
CHAPTER 1 : THE GENIE
Kepalanya terasa sakit…berdenyut-denyut seolah tengkoraknya bisa terbelah kapan saja. Kabut debu yang tebal membuat pandangannya menjadi kabur, bahkan ada yang masuk ke mulutnya hingga membuatnya jadi terbatuk-batuk. Ia mengibaskan tangannya, mencoba menyingkirkan debu yang beterbangan di hadapannya. Dia tidak semestinya menyingkirkan awan debu seperti orang kurang kerjaan begini! Seharusnya dia melaksanakan tugas yang diberikan oleh majikannya yang bodoh, yaitu mencari suatu benda purbakala yang sedang digilai majikannya itu. Seharusnya dia mengambil benda tersebut dari dalam reruntuhan, dan bukannya terjebak dengan konyol di gua bawah tanah dari reruntuhan yang sudah lama terlupakan seperti saat ini!
Kurapika menggeleng-gelengkan kepalanya denga keras, mencoba membersihkan rambut pirangnya dari debu dan kotoran. Ia mencoba mengingat kembali rentetan peristiwa yang telah terjadi. Baiklah, majikannya sedang putus asa. Neon Nostrad yang sudah seeperti tambang emas bagi majikannya itu, telah kehilangan kemampuannya hingga membuat pendapatan Nostrad menurun tajam. Pria itu harus membayar hutang yang menggunung. Kurapika sendiri tak tahu bagaimana Nostrad bisa menumpuk hutang sampai sebanyak itu, tapi satu hal yang ia ketahui pasti : Nostrad benar-benar sedang tidak punya uang sama sekali. Kemudian sepertinya Nostrad menemukan sebuah arsip tua berdebu yang menjelaskan tentang benda gaib yang bisa mengabulkan apapun keinginan pemiliknya. Dengan harapan bisa melunasi seluruh hutang dan meraih kembali posisinya di kalangan atas jika ia bisa memiliki benda gaib itu, Nostrad mengirimkan orang-orang terbaiknya—termasuk Kurapika—untuk mendapatkannya.
Sayangnya, keberuntungan Kurapika tampaknya semakin menipis belakangan ini. Tidak hanya Mata Merah terlepas dari kepemilikan Nostrad, tapi dalam waktu belum lama ini Kurapika merasa bahwa pengikat Nen yang telah ia paksakan pada musuh bebuyutannya, Kuroro Lucifer, telah diangkat. Jadi pada prakteknya, Pemimpin Gen'ei Ryodan terkutuk itu sedang berkeliaran di luar bersama dengan Nen-nya yang sudah terbebaskan. Bukannya memburu Kuroro, tapi ia malah diberikan tugas sepele untuk mendapatkan benda gaib tak jelas. Namun pada akhirnya, Kurapika sendiri heran…apakah dia sebenarnya sedang sial atau sedang sangat beruntung? Karena saat dengan dongkolnya berusaha mendapatkan benda gaib itu, Kurapika malah bertemu dengan kelompok yang tak disangka akan ia temui dalam misi dan tempat terpencil seperti ini, yaitu Gen'ei Ryodan…lengkap dengan pemimpin mereka tentu saja.
"Beruntung apanya…," gumam Kurapika dengan gusar.
Singkatnya, mereka bertarung. Pertarungan satu lawan satu antara Kurapika dan Kuroro Lucifer. Bersamaan dengan berlangsungnya pertarungan sengit itu hampir setengah dari daerah reruntuhan itu rusak parah. Lantai yang mereka pijak hancur lebur, membuat keduanya jatuh tertelan ke dalam gua bawah tanah reruntuhan itu. Jadi di sinilah Kurapika sekarang, diselubungi kegelapan yang lembab dan tebal. Kuroro mungkin saja berada tak jauh darinya, sehingga Kurapika tetap harus waspada.
Kurapika semakin merasa yakin saat ia merasakan gerakan tertentu dari sebelah kirinya. Pada detik selanjutnya, keduanya berada dalam posisi kunci mati. Kuroro menggenggam sebuah belati yang ditargetkan ke wajah Kurapika, sementara Kurapika membelitkan rantainya di sekitar pergelangan tangan Kuroro…mencoba menjauhkan belati itu dari wajahnya sebelum benda berbahaya itu bisa menancap melubangi kepalanya.
"Brengsek," kata Kurapika dengan tekanan dalam nada suaranya sambil memandang Kuroro dengan tatapan tajam yang bila tatapan saja sudah bisa membuat orang terbunuh, pasti tatapan Kurapika sudah membunuh pria terkutuk itu luar dalam.
Matanya memancarkan sinar yang mengerikan dalam kegelapan terowongan gua itu, bagaikan sepasang bara api yang menyala. Kuroro melirik mata Kurapika. Dengan wajah yang dingin, pria itu menerima semua perasaan negatif yang terpancarkan dari sana : kebencian, kemarahan, dendam…semuanya. Melihat mata yang menyala merah itu, Kuroro tidak dapat menahan senyumnya. Ia sudah bisa mengira sebelumnya, bahwa mata merah pemuda Kuruta itu adalah mata merah terindah yang pernah dilihatnya. Ternyata perkiraannya memang benar. Melihat senyum Kuroro yang menurut Kurapika merupakan sesuatu yang entah mengapa terasa salah dan tidak wajar, mata pemuda itu semakin menyala merah karena amarah. Dengan energinya yang berputar dan menari dengan ganas di sekitarnya, Kurapika memusatkan energinya lalu mulai mendorong Kuroro hingga pandangan matanya berada sejajar dengan pandangan mata pria itu.
"Oh?" Kuroro menaikkan sebelah alisnya, merasa terkejut dengan keberhasilan Kurapika membuatnya sedikit terpojok dalam posisi kunci mati seperti itu.
Setelah beberapa detik berlalu yang terasa sangat lama, mereka saling melepaskan diri. Namun hal aneh masih terus terjadi. Saat Kuroro melompat menjauh dari Kurapika, Kurapika merasakan sentakan kuat di pergelangan tangan kirinya. Tiba-tiba Kuroro pun berhenti di tengah lompatannya seakan-akan seseorang telah menarik pergelangan tangan kanannya ke depan, sementara Kurapika pun sama-sama tertarik ke depan dengan tajam.
Kuroro terkejut…dia mengedipkan matanya sekali. Kurapika merengut dalam kebingungan. Mereka saling memandang, keduanya sama-sama menyadari hal aneh yang baru saja terjadi beberapa saat yang lalu. Perlahan-lahan, keduanya menegakkan badan mereka sambil tetap mewaspadai satu sama lain. Kurapika menaikkan lengan kirinya dan menariknya. Lengan kiri Kuroro pun tertarik menuju ke arah yang sama dengan arah ke mana lengan kiri Kurapika tertuju. Kurapika merasa seolah-olah perutnya memberontak dan berusaha membunuhnya dari dalam. Ia menelan ludah. Apapun yang tengah terjadi sekarang, pasti bukan suatu hal yang bagus. Kuroro sendiri terlihat bermasalah. Ia menggunakan Gyo dan melihat pergelangan tangannya, sekilas Kurapika dapat melihat mata Kuroro membelalak. Penasaran, Kurapika pun menggunakan Gyo dan melakukan hal yang sama pada pergelangan tangan kirinya.
"Apa ini—" Kurapika dapat merasakan darahnya membeku dan wajahnya menjadi pucat pasi seperti mayat yang beku saat melihat pergelangan tangan kirinya. Pergelangan tangan kirinya dibelenggu, dan yang membuatnya tambah cemas adalah, fakta mengerikan bahwa belenggu itu terhubung dengan belenggu di pergelangan tangan kanan Kuroro.
"Apa yang terjadi di sini?" Kuroro bertanya-tanya.
Seolah menjawab pertanyaannya, sebuah cahaya biru muncul, berkelap-kelip di dalam kegelapan dan melayang dengan tidak wajar mengitari Kuroro dan Kurapika. Ternyata setelah diperhatikan lebih jauh, itu bukanlah bola cahaya…melainkan sosok bocah laki-laki yang hanya berukuran sebesar telapak tangan manusia dewasa, terbungkus cahaya biru. Bocah itu memiliki kulit berwarna biru pula, dengan mata berkaca-kaca yang terlihat…terlalu besar. Ia melihat Kuroro dan Kurapika dengan rasa penasaran dan tatapan nakal.
"Hehe…aku sangat beruntung. Hal pertama yang kutemukan saat terbangun dari tidur panjangku adalah pasangan yang tidak biasa." Ia tertawa cekikikan dengan suaranya yang mendesir seperti suara hantu. "Sekarang mari kita lihat apa yang akan terjadi."
"Tunggu sebentar," Kurapika merengut. "Apakah ini…" Kurapika mengangkat pergelangan tangannya yang terbelenggu dan menunjuknya. "…Perbuatanmu?"
"Siapa lagi? Siapa lagi? Hanya aku, Jin Hassamunnin yang hebat, yang dapat melakukannya. Hehehehe…," ia terus cekikikan, terbang mengitari Kuroro dan Kurapika dengan pandangan yang mengira-ngira. "Kulihat kau membencinya dengan sepenuh hati. Wah, itu tidak boleh! Tidak boleh!"
Jin itu menggelengkan kepalanya berpura-pura sedih, kemudian dengan jentikan jemarinya yang kecil, sesuatu yang benar-benar tidak menyenangkan terjadi. Rantai belenggu itu tiba-tiba memendek, membuat Kurapika dan Kuroro hampir saja saling beradu kepala satu sama lain. Kurapika mendongak, dan yang membuatnya kesal, wajah Kuroro hanya berjarak satu meter darinya. Ia menatap Kuroro dengan penuh kebencian, sementara Kuroro hanya menatap Kurapika dengan pandangan jengkel. Kuroro menoleh kepada Hassamunnin.
"Hassamunnin? Maukah kau berbaik hati melepaskan belenggu di pergelangan tanganku ini?" ia bertanya dengan sopan. Kurapika mendengus dengan jijik melihat sikapnya itu, tapi Kuroro mengacuhkannya.
"Tidak, tidak, tidak, aku tidak dapat melakukannya. Aku tidak akan melakukannya. Aku tak mau melakukannya," jawab Hassamunnin dengan riang. Suaranya bergema di gua itu.
"Tak ada yang dapat merubah pikiranmu?" tanya Kuroro lagi dengan nada suara yang netral.
"Tidak ada, tidak ada," jawab Hassamunnin dengan nada suara yang dilagukan sambil terus terbang di sekitar Kuroro dan Kurapika.
"Kalau begitu bagaimana caranya melepaskan ikatan ini?" Kuroro kembali bertanya. Kurapika menatapnya heran. Ia sama sekali tak mengerti apa yang sedang dibicarakan pria itu.
"Ooh…pertanyaan yang sudah ditunggu-tunggu! Kalau itu, aku akan memberitahumu. Dengarkan, Hai Manusia," Jin itu melayang turun hingga posisinya sejajar dengan mata Kuroro dan Kurapika. Ia berdehem lalu berkata, "Pertama, kau tidak dapat melepaskan ikatan itu dengan paksa. Tak ada yang bisa menghancurkan atau melepasnya, kecuali aku. Tapi aku tidak akan melakukannya, jadi jangan pernah berharap. Kedua, rantai itu mengikat hidup kalian satu sama lain. Jika salah satu mati, maka yang lainnya pun akan mati."
Kurapika mengerang dengan gusar, tapi Hassamunnin mengacuhkannya. Kuroro bergerak sedikit, merasa tak nyaman dengan ucapan jin itu. Lalu Hassamunnin kembali melanjutkan,
"Ketiga, kau tidak dapat membebaskan dirimu dari ikatan itu dengan memotong lenganmu. Ikatan itu akan melindungi lenganmu. Keempat, rantai itu menunjukkan kedekatan hubungan kalian satu sama lain."
"APA?" Kurapika tidak dapat menahan dirinya lagi kali ini.
"Jadi semakin dekat hubungan kalian—" Lagi-lagi Hassamunnin mengabaikan seruan Kurapika yang penuh kegeraman. "Ikatan itu akan menjadi semakin fleksibel."
"Jadi jika kami tidak lagi saling membenci satu sama lain, ikatan ini akan hilang?" tanya Kuroro menegaskan.
"Tidak, tidak, tidak semudah itu. Kalau hanya begitu, tidak akan menyenangkan," Jin itu menyeringai. "Perlu lebih dari itu untuk bisa melepaskan belenggu di pergelangan tangan kalian. Benar-benar perlu lebih dari itu. Lebih, lebih lagi." Setelah itu, Hassamunnin melayang, beraksi di udara, lalu POOF! Ia menghilang dalam awan tipis berwarna biru.
Suasana menjadi hening. Kurapika terpuruk tak berdaya, sementara Kuroro duduk dalam posisi yang kaku. Hal itu berlangsung selama beberapa menit, hingga akhirnya Kurapika angkat bicara,
"Bagaimana sekarang?" ia bertanya dengan kosong.
"Entah..."
.
.
"DANCHOU! APA KAU BISA MENDENGARKU?" Nobunaga mengintip ke dalam gua yang gelap dengan matanya yang besar, namun kegelapan itu benar-benar sulit ditembus. Suara Nobunaga bergema di dalam gua, namun tak terdengar jawaban sama sekali.
"Sial!" umpat Nobunaga sambil menegakkan badannya. "Sekarang kita harus bagaimana?"
"Mungkin seseorang harus pergi ke bawah sana untuk mencari tahu," Shalnark mengusulkan.
"Pergilah," kata Machi sambil mendorong pemuda itu.
"EEH? Tidak, aku hanya mengusulkan saja! Lagipula aku bukan orang tepat untuk ini!" protes Shalnark.
"Sssh!" Shizuku mendesis tiba-tiba sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. "Aku mendengar sesuatu."
Semua berkumpul di sekitar lubang yang menganga dan mempertajam pendengaran mereka. Ya, mereka mendengar suara-suara dari kegelapan di dalam gua. Phinks dan Nobunaga mencondongkan badannya dan mengintip lebih dalam lagi, berharap bisa mendengar lebih jelas atau bahkan melihat sesuatu. Mereka mendengar suara berdesing, seperti suara peluru yang dilepaskan ke udara. Tiba-tiba sesuatu berdesir melewati wajah Nobunaga, hampir saja mengenai hidungnya. Dalam keterkejutannya, Nobunaga mendengking seperti anjing yang ekornya terinjak, melompat mundur hingga jatuh terduduk di lantai yang berdebu. Sebuah rantai dengan bola besi kecil bergerak dengan liar bagaikan seekor ular, yang kemudian tiba-tiba melesat melewati kepala Phinks dan hampir saja mengenai telinganya, lalu meliliti sebuah pilar.
"Apa-apaan—" Phinks pun jatuh terduduk di sebelah Nobunaga. "Bukankah itu milik Si Pengguna Rantai—"
Sebelum mereka dapat bertindak apapun, terdengar suara yang lebih keras dari dalam lubang. Rantai yang melilit di pilar itu mengencang dan menjadi taut, seolah terdapat beban yang sangat berat di ujung yang satunya lagi. Sesuatu muncul dari dalam lubang seperti sebuah bola meriam. Melesat tinggi ke udara, lalu seolah-olah dalam gerakan sangat lambat (bayangkan saat menonton film dengan setengah kecepatan normal) jatuh mendarat dengan sangat tidak elegan sekitar beberapa meter dari tempat di mana Gen'ei Ryodan berada. 'Sesuatu' itu mendarat dengan menimbulkan suara berdebum yang keras dan getaran ringan. Debu-debu beterbangan tepat pada saat pendaratan. Setelah beberapa detik, semua baru menyadari bahwa 'sesuatu' yang jatuh itu adalah manusia, tepatnya dua orang. Keduanya terbatuk-batuk dan berusaha melepaskan diri dari satu sama lain.
"Menjauh dariku!" kata salah seorang dari mereka sambil menendang dengan kasar.
"Dan kau menyingkir dariku!" kata yang satunya lagi sambil mendorong orang yang berukuran lebih kecil darinya.
"Jangan sentuh-sentuh!" bentak seseorang yang bersuara lebih ringan.
Keduanya berusaha berdiri sendiri, namun gerakan mereka jelas sekali terbatas di sekitar pergelangan tangan mereka. Seluruh anggota Gen'ei Ryodan menunggu dengan cemas. Mereka mengenali suara kedua orang itu sebagai suara Danchou mereka dan suara Si Pengguna Rantai, tapi semuanya tidak mengerti bagaimana keduanya berakhir seperti ini. Yang lebih mengherankan lagi, adalah kenyataan bahwa Kurapika dan Kuroro sedang bertengkar mulut. Seluruh anggota Gen'ei Ryodan saling memandang satu sama lain. Sesuatu pasti telah terjadi di bawah sana.
"Sekarang setelah aku sudah berhasil mengeluarkan kita berdua dari sana, menurutmu apa yang harus kita lakukan?" geram Kurapika sambil berusaha berdiri sejauh mungkin dari Kuroro dalam jarak yang diperbolehkan oleh belenggu terkutuk itu.
"Tentu saja kita harus menyingkirkan…belenggu yang tak masuk akal ini," Kuroro menggerakkan pergelangan tangannya yang terbelenggu untuk menegaskan kata-katanya.
"Caranya?" tanya Kurapika.
"Oh, aku tak pernah menyangka kalau kau sebodoh ini, Kuruta," Kuroro menoleh pada Kurapika sambil tersenyum mengejek.
"Maksudmu?" Kurapika menatapnya tajam, ia merasa terhina.
"Jin itu berasal dari benda gaib yang kita incar. Menurutku benda itu hancur saat kita bertarung tadi, dan itu membuatnya terlepas."
"Lalu ini yang kita dapat sebagai imbalannya. Sungguh tahu cara berterimakasih," kata Kurapika sinis sambil memutar bola matanya. "Benar-benar hebat. Dan kau belum menjawab pertanyaanku."
"Jin benar-benar serius dengan kekuatan mereka. Tidak ada cara lain untuk mengakali peraturan yang ditetapkan jin pada kutukan yang mereka buat, selain dengan memenuhi seluruh persyaratan yang mereka ajukan," Kuroro berkata dengan nada suara yang monoton.
"Tapi aku 'kan tidak harus terjebak bersamamu dalam keadaan seperti ini!" Kurapika mengguncangkan tangannya yang terbelenggu ke arah Kuroro dengan marah. "Lebih baik aku mati daripada bepergian denganmu!"
"Dalam situasi yang normal, aku pun akan lebih senang membunuhmu. Tapi karena sekarang kondisinya tidak memungkinkan, sayangnya kau harus bersabar."
"Lagipula kenapa kau peduli? Aku mau saja bunuh diri, kalau dengan begitu aku dapat membawamu ke lubang neraka yang paling dalam!"
"Tapi jika kau mati sekarang, Mata Merah sukumu akan hilang selamanya."
Kurapika membuka mulutnya bersiap untuk berdebat kembali, tapi dia tidak bisa menemukan alasan yang cukup masuk akal untuk itu. Kuroro benar. Walau menjatuhkan martabatnya, ia harus terbiasa dengan aib itu sebab mengumpulkan kembali Mata Merah Suku Kuruta adalah salah satu tujuan Kurapika. Jika mati sekarang, ia tak akan pernah bisa melakukannya lagi. Kurapika menelan kepahitannya dan melotot pada Kuroro.
"Wah, wah, lidah kita terasa ringan hari ini, huh?" kata Kurapika sinis.
"Kau menjengkelkan."
"Dan kau manusia hina."
Mereka terus saling mencerca satu sama lain. Sepertinya mereka berdua sudah melupakan kehadiran sepuluh orang di sana, yang sedang menyaksikan pertengkaran itu dengan wajah bingung.
"Danchou?" panggil Machi, ia masih merasa tak yakin dengan situasi yang ada di hadapannya.
Mendengar suara Machi, Kurapika dan Kuroro menghentikan perdebatan konyol mereka dan menoleh ke arah wanita itu. Kuroro menahan diri untuk tidak menghela napas berat di depan para anak buahnya. Menjelaskan situasinya bersama Kurapika sekarang pasti akan sulit, terutama karena Nobunaga ada di sana. Samurai itu bernafsu untuk membunuh Kurapika dengan cara yang paling kejam sejak pemuda Kuruta itu membunuh teman baiknya, Uvogin. Lebih buruk lagi, karena kondisi konyol yang diterapkan oleh jin terkutuk kepada mereka, Kuroro harus melindungi Kurapika dari pembalasan dendam Nobunaga. Oh, persetan. Pada prakteknya mereka harus saling melindungi karena nyawa mereka bergantung pada satu sama lain.
Bagaimanapun juga, Kuroro harus memberitahu Gen'ei Ryodan. Jadi ia pun melakukannya. Kurapika tidak bicara apa-apa saat Kuroro menjelaskan, ia hanya melakukan kontes tatapan-tertajam dengan Nobunaga. Setelah penjelasan Kuroro selesai, suasana menjadi hening. Para anggota Gen'ei Ryodan saling memandang dengan pikiran yang sama muncul di benak mereka : "Bagaimana sekarang?". Ini merupakan salah satu kondisi terburuk yang mungkin bisa terjadi, seorang pemuda Kuruta terikat dengan pemimpin mereka sementara pemuda itu sangat menginginkan kematiannya. Itu sama saja seperti berjalan sambil membawa bom waktu.
"Sekarang, untuk sementara kita bubar hingga aku dapat menyelesaikan masalah ini," Kuroro mengumumkan. "Ada yang keberatan?"
"Danchou, boleh aku ikut?" tanya Nobunaga sambil terus menatap tajam Kurapika.
"Kau, Nobunaga, dilarang keras menemui kami hingga ada pemberitahuan lebih lanjut," perintah Kuroro tegas. Ia tidak ingin membuang energinya untuk berusaha mencegah pertumpahan darah di antara Kurapika dan Nobunaga dalam perjalanan mereka nanti. Nobunaga memprotes dengan meratap, hingga Franklin harus menyeretnya menjauh untuk menenangkannya.
"Sekarang…," Kuroro melirik pada Kurapika yang berdiri di sampingnya, yang mana tinggi badan pemuda itu hanya sedikit melewati bahunya.
"Apa?" tanya Kurapika dengan kasar.
"Nostrad yang mengirimkanmu ke sini 'kan?"
"Ya," jawab Kurapika pendek.
"Kalau begitu kau harus mati untuknya." Kurapika memalingkan wajahnya ke arah Kuroro, mulutnya terbuka seolah akan mendebat pria itu. Namun sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun, kepalanya dihantamkan ke lantai dan Kuroro menjepit Kurapika dengan memegang lehernya.
"...Lakukan!" kata Kurapika sambil terbatuk-batuk, karena tenggorokannya dicengkeram oleh tangan Kuroro yang kuat, tapi kemarahan membara terdengar jelas dari nada suaranya. Dalam kegeramannya, iris mata Kurapika berubah menjadi merah, membuat Kuroro yang berada di atasnya menyeringai puas. Kurapika meringis saat melihat ke sepasang mata hitam milik pria itu. Mata itu sangat gelap, tak berdasar dan menghanyutkan. Semakin lama, Kurapika merasa semakin tenggelam di dalamnya.
"Bagus. Coltopi, gandakan dia," Kuroro memberi perintah pada salah seorang anak buahnya, yaitu pria berperawakan kecil dengan rambut lebat dan kusut menutupi wajah hingga hanya sebelah matanya yang terlihat. Coltopi mematuhi perintah Kuroro tanpa berkomentar dan melakukan seperti apa yang diperintahkan. Dengan hati-hati ia menyentuh lengan pemuda Kuruta itu, yang terhimpit ke lantai karena pegangan Kuroro.
Dalam waktu satu menit saja, kopi sempurna diri Kurapika sudah jadi dan Kuroro melepaskan pemuda Kuruta itu dari cengkeramannya. Kurapika mendorong Kuroro dengan kasar lalu membersihkan dirinya dari debu. Ia tidak menuduh atau menuntut penjelasan apapun dari Kuroro, karena Kurapika sudah tahu apa yang hendak dilakukan pria itu. Kuroro perlu menggandakan Kurapika dan memalsukan kematiannya, sehingga Nostrad tidak akan mencari Kurapika saat ia mengetahui bahwa pemuda itu telah menghilang dalam misi yang ia berikan. Kurapika pun mengerti bahwa Kuroro mencoba memancing Mata Merah-nya. Karena bila jika mayatnya mempunyai Mata Merah, maka mayat bohongan itu akan terlihat lebih nyata di mata Nostrad. Kurapika menjadi kesal, melihat bagaimana rencana ini telah terpikirkan secara keseluruhan dan tanpa cela.
"Nobunaga," panggil Kuroro pada samurai yang masih cemberut. "Kau dapat menghias Kuruta palsu ini sesuka hatimu."
"Benar?" Wajah samurai itu cerah seketika, dan ia melompat menuju tubuh palsu yang terkapar di lantai. Saat Nobunaga menghunuskan pedangnya, ia memberikan seringai iblisnya kepada Kurapika. Kurapika membalasnya dengan memberikan tatapannya yang paling mengintimidasi.
"Keberatan kalau aku ikut serta?" tanya Feitan, rencana mengerikan terbaca jelas dari suaranya. Tanpa perlu melihat, Kurapika dapat merasakan seringai sadis pria itu.
"Silakan," jawab Nobunaga sambil membungkukkan badannya. Dalam waktu sebentar saja, terdengar suara daging dibelah dan disobek, bersatu dengan suara sabetan pedang mengenai daging dan kain di tubuh itu.
"Sisakan wajahnya. Mereka harus bisa mengenalinya," komentar Machi dengan dingin sambil memperhatikan dari pinggir. Tidak ada emosi sedikitpun yang nampak di wajah wanita itu saat melihat rekan-rekannya menghiasi tubuh Kuruta palsu. Sementara itu, Kurapika menatap tubuh palsunya dimutilasi tanpa berkedip ataupun mengernyit. Kuroro memperhatikannya dengan takjub.
"Menurutmu ini tidak menjijikkan?" tanya Kuroro penasaran. Si Pirang nampak sangat tenang. Kuroro pikir Kurapika tidak akan tahan melihat pemandangan berdarah itu.
"Aku telah melihat sukuku dalam kondisi yang lebih buruk," jawab Kurapika pelan, namun tidak terdengar lemah. Ia menguatkan diri melihat tubuh palsunya dipotong-potong begitu saja, sambil mengingat bahwa hal itu mungkin saja terjadi jika Gen'ei Ryodan benar-benar berhasil mendapatkannya. Kuroro melihat Kurapika dari ujung kepala sampai ujung kaki, memperhatikan dengan pandangan yang penuh perhitungan. Ia telah melihat kekuatan dalam diri pemuda itu, dan cukup merasa takjub…ternyata tubuh Kurapika yang kurus memiliki kekuatan sebesar itu.
Setelah selesai, mereka membuang tubuh palsu Kurapika ke lantai yang penuh debu dan membiarkannya begitu saja di sana. Kurapika melihatnya dengan ekspresi tanpa emosi, seolah bukan wajahnya yang ada di tubuh itu. Kuroro memerintahkan anak buahnya untuk segera bubar, dan seluruh anggota Gen'ei Ryodan pun pergi. Tinggallah Kurapika dan Kuroro berdua saja di reruntuhan itu, dalam keadaan terbelenggu satu sama lain.
"Kita akan pergi ke Ryuusei-gai," tiba-tiba Kuroro berkata memecah keheningan yang canggung di antara mereka.
"APA? Tidak!" Kurapika menolak dengan keras. Pergi ke kampung halaman musuhnya adalah ide yang konyol.
"Apa kau punya ide yang lebih bagus?"
"…Saat ini belum."
"Kalau begitu, sebaiknya kita memanfaatkan waktu sebaik mungkin dengan pergi ke Ryuusei-gai. Setidaknya aku kenal seseorang di sana yang dapat membantu kita mengatasi masalah ini," kata Kuroro.
"Baik, baik," Kurapika menggerutu.
TBC
.
.
A/N :
Review please…! ^^
