Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
Midorima mengerjapkan matanya beberapa kali. Sinar baskara mulai masuk dari sela-sela tirai jendelanya, memberi ucapan selamat pagi yang begitu hangat. Harum kue pai apel menyambangi kedua lubang hidungnya, memaksa otaknya menerima sinyal lapar dari lambungnya. Samar-samar, Midorima juga mendengar suara permainan alat musik biola yang disinyalir datang dari ruang tengah.
Tidak butuh waktu lama bagi Midorima untuk beranjak dari kasur empuknya. Tungkainya berjalan konstan menuju ruang tengah. Tangannya terangkat keudara, membuka kenop pintu. Diruang tengah, Midorima melihat entitas mungil yang sedang menggesek senar biola.
"Sei?"
Gesekan biola berhenti. Entitas mungil berambut merah –Seijuuro Akashi—memindahkan atensi penuh ke surai hijau yang memandangnya dari arah pintu.
"Selamat pagi, Shintaro,"
Akashi berjalan menuju satu-satunya meja diruangan tersebut. Tangannya dengan cekatan menuangkan secangkir teh, kemudian menawarkannya kepada Midorima, sebelum menuangkan secangkir untuk dirinya sendiri.
"Ini hari Minggu, Shin, tidak biasanya kau bangun sepagi ini,"
Midorima hampir tersedak teh yang diminumnya. Sepasang netranya menatap tajam kedua mata belang Akashi.
"Kau yang membangunkanku, Sei. Oh ya, aku mencium bau kue pai apel. Kau yang membuatnya?"
Akashi tertawa pelan. Alih-alih menjawab pertanyaan Midorima, Akashi justru berpindah menatap kearah jendela.
"Sekarang sudah musim gugur, Shin. Ternyata waktu berlalu begitu cepat. Daun momiji sudah berubah warna semua. Hahahaha,"
Tawa getir menyeruak, hampir teredam udara. Namun telinga Midorima sudah lebih dari sekedar tajam untuk mendengarnya.
"Sei, kau baik-baik saja?"
"Seharusnya aku yang bertanya, Shin. Kau baik-baik saja?"
Tangan Akashi berpindah untuk menopang dagu. Semburat kekhawatiran terpancar dari netra merah-jingganya. Midorima membisu.
"Aku merindukanmu,"
"Aku juga,"
Sunyi. Hanya suara detakan jarum jam yang terdengar. Dua cangkir teh dibiarkan mendingin, menjadi saksi bisu keheningan kedua makhluk yang saling terdiam.
"Sebentar lagi musim dingin, jangan lupa mengenakan pakaian hangat. Jangan sampai sakit, mengerti?"
Akashi, berinisiatif membuka percakapan terlebih dahulu. Asap mengepul dari ceruk bibirnya. Midorima masih setia bergeming.
"Waktuku hampir habis, Shin. Jangan seperti ini. Kau tahu? Itu menyebalkan!"
Desahan nafas menjadi jawaban. Midorima enggan menatap Akashi. Ia lebih memilih untuk menatap daun-daun momiji yang berguguran dibalik jendela.
Akashi beranjak dari tempat duduknya, maju beberapa langkah mendekati Midorima. Kedua telapak tangannya menangkup pipi Midorima, membawanya untuk menatap si surai merah.
"Aku mencintaimu. Midorima Shintarou,"
Satu kecupan mendarat di bibir Midorima.
Dingin.
Akashi tersenyum lebar, sebelum menghilang bersama hembusan angin musim gugur yang menerpa. Dalam satu kedipan mata saja, Midorima merasa telah melewatkan satu momen berharga yang tidak akan terulang lagi dihidupnya. Midorima akan dihantui perasaan itu sepanjang ia masih menghembuskan nafas.
"Aku juga,"
Akashi telah pergi.
"Momocchi, apakah Midorimacchi benar-benar tidak ikut?"
Momoi mengendikkan bahu. "Entahlah,"
"Padahal ini peringatan satu tahun meninggalnya Akashicchi,"
"Mungkin dia masih butuh waktu untuk menerimanya, Ki-chan,"
FIN
A/N : apa ini ;A; Saya maso ternyata wkwkwk :"'
