Summary: Demi membantu orang tuanya membayar hutang sebesar 100 juta, Sakura harus bekerja sebagai pembantu. Bagaimana nasibnya kalau majikannya adalah seorang yang kasar dan senang berlaku seenaknya? AU, R&R?

Rating: T

Disclaimer: No, no. Bukan punya saya, kalau memang punya saya dari dulu Naruto udah sama Sakura

MY LOVER, MY SERVANT

Pagi yang cerah, di mana burung-burung berkicau dan mentari bersinar dengan terang. Sakura, seorang siswa berambut merah melangkahkan kakinya di atas jalan setapak kecil yang melalui sebuah gang kecil di pinggir jalan. Ia menutup matanya, merasakan angin menerpa wajahnya. Saat ini ia baru saja pulang dari sekolahnya.

Sakura berasal dari keluarga tak mampu. Ayahnya bekerja sebagai seorang tukang cuci piring di sebuah restoran kecil dan ibunya bekerja dengan berjualan di pasar. Setiap harinya Sakura membantu ibunya mengerjakan tugas rumah, karena ia kasihan melihat kedua orang tuanya bekerja membanting tulang untuk mengais rejeki. Apalagi mereka harus membiayai sekolahnya dan adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, Konohamaru.

Sebenarnya Sakura pernah ikut kerja sambilan untuk membantu orang tuanya menopang perekonomian keluarganya, tetapi pada ahirnya ia dimarahi oleh ayahnya, ia mengatakan bahwa Sakura tak diperbolehkan bekerja sementara ia masih harus melanjutkan jenjang pendidikannya.

Karena itulah, Sakura pun akhirnya membantu orang tuanya dengan cara lain. Mengurus rumahnya, dan ia sering kali memasak untuk keluarganya apabila ibunya sedang kelelahan sehabis bekerja.

Sehingga ia tak pernah bisa menghabiskan waktunya dengan bersenang-senang seperti gadis remaja lainnya yang seusia dengnnya. Tetapi itu tak dipermasalahkan olehnya. Sambil bersenandung, Sakura terus berjalan hingga sampai ke depan sebuah rumah berukuran kecil, yang terletak di pinggiran gang.

Sakura mengetuk pintunya, "Ibu~! Aku pulang!" seru Sakura.

Tetapi tak ada jawaban dari dalam rumahnya.

"Konohamaru? Bukakan pintunya, dong! Aku sudah pulang, nih!" Sakura kembali memanggil. Masih belum ada sahutan dari dalam sana. Sakura mengernyit heran. Apa mungkin ibunya masih belum pulang dari berjualan di pasar? Lalu kenapa tak ada adiknya di rumah, Konohamaru? Kemana anak itu? Padahal biasanya adik laki-lakinya itu pulang lebih cepat darinya. Sakura kembali mengetuk pintu, dan kali ini ia mendengar suara pecahan piring dari dalam rumahnya disertai suara tangisan, suara tangisan Konohamaru.

"Pokoknya dalam waktu 3 bulan kalian harus membayar hutang kalian beserta bunganya! Titik!" terdengar suara teriakan dari dalam rumahnya, suara teriakan seorang pria. Sakura bergidik, " Jika tidak aku akan menjual rumah kalian dan mengambil semua harta benda yang kalian miliki!" lalu pintu Sakura terbuka lebar. Dari dalam rumahnya keluar 2 orang pria.

Sakura menatap kedua pria itu dengan tatapan bingung, 'Apa-apaan ini? Siapa mereka?' kemudian ia baru menyadari bahwa kedua pria itu juga sedang menatap dirinya. Mereka tersenyum menyeringai pada Sakura.

"Rupanya dia ini putrimu, ya, Tsunade?" kata seorang pria berambut perak dan berpakaian serba hitam. Ia menjilat bibirnya saat melihat Sakura, membuat Sakura merinding, "Kalau kau mau, kami bisa membantumu meringankan hutangmu kalau kau memberikan anak perempuanmu pada kami. Bagaimana menurutmu, Kakuzu?" ia menoleh pada seorang pria bertopeng.

"Ide yang bagus, Hidan," sahut pria bertopeng.

Sakura melangkah mundur secara perlahan, "A-apa?"

Seorang wanita keluar dari dalam rumah Sakura, ia adalah ibu Sakura, "Kumohon, jangan! Jangan ambil putriku!" serunya memohon-mohon, "Aku janji aku dan suamiku akan melunasi hutang kami dalam waktu 3 bulan!"

Hidan, pria yang berambut perak menyeringai lebar, "Baiklah kalau begitu. Aku pegang kata-katamu. Jika kau dan suamimu tak dapat membayarkan hutang kalian dalam waktu 3 bulan, kami akan menyita rumah ini dan seluruh barang-barang yang kalian miliki, termasuk anak perempuan yang manis ini," ia mencolek dagu Sakura, tanpa mempedulikan suara berontak dari Sakura, "Ayo Kakuzu. Kita pergi sekarang."

"Ya."

Setelah kedua orang itu pergi, Tsunade segera masuk ke dalam rumahnya, sedangkan Sakura mencoba menghentikan tangisan adiknya.

"Ibu, ibu dan ayah ternyata terjerat hutang dengan lintah darat, ya?" tanya Sakura pada ibunya.

Tsunade menoleh pada anaknya, "Kau tak perlu tahu, Sakura. Yang terpenting saat ini adalah kau harus melanjutkan sekolahmu. Kau tak perlu tahu masalah ini," ia mengambil beberapa pecahan piring yang berserakan di lantai.

"Tapi, Bu!" seru Sakura, "Aku juga perlu tahu! Bagaimana mungkin aku bisa berdiam sendiri sedangkan ayah dan ibu sedang mengalami masalah sampai-sampai harus terjerat hutang dengan lintah darat!" Tsunade tak menggubris kata-kata anak perempuannya. Ia masih sibuk membereskan pecahan piring yang berserakan di lantai, "Bu! Kenapa ibu tak mau menjawabnya?"

"Diamlah Sakura," kata ibunya ketus pada akhirnya.

"Bu!" Sakura menghela nafas, "Memangnya, ayah dan ibu berhutang berapa pada mereka?"

Tsunade memijit-mijit kepalanya, "Sakura. Biarkan ibu tenang sebentar..."

"Tapi, Bu... Aku pun berhak tahu..." Sakura masih terus memaksa ibunya berterus terang.

"...Seratus..." sahut ibunya. Sakura mengangkat alisnya.

"Seratus ribu ryo?"

"Seratus juta ryo," sahut ibunya lagi.

Sakura tersentak, "Se-seratus juta?" ia menggigit bibirnya sebelum berseru, "Yang benar saja, Bu! Bagaimana mungkin ibu bisa melunasi hutang sebanyak itu dalam waktu 3 bulan? Kita ini orang miskin, Bu! Bahkan ayah pun tak mungkin bisa melunasinya! Kalau begini lebih baik ibu menyerahkan aku pada mereka daripada harus membayar uang sebanyak i-"

"KUBILANG DIAM SAKURA!" seru Tsunade lebih keras membuat Sakura kembali tersentak, "Ibu tak mungkin menyerahkanmu pada lintah darat hanya untuk membayarkan hutang! Apa kau pikir kau itu bisa diperjual belikan seperti itu? Sekarang biarkan aku dan ayahmu yang menyelesaikan masalah ini. Kau dan adikmu biarlah melanjutkan sekolah kalian dulu."

Sakura berlari menuju kamarnya dan membanting pintunya. Di dalam kamarnya, ia menangis sejadi-jadinya. Ia tak percaya bahwa keluarganya sampai harus mengalami masalah sepelik ini. Ia merasa sedih sekali, kenapa ia dan keluarganya harus menjadi orang miskin dan bekerja membanting tulang demi mendapatkan kehidupan lebih baik sampai-sampai harus terjerat hutang segala? Dan tiba-tiba saja Sakura merasa kesal pada orang-orang kaya di luar sana. Mereka menjalani kehidupan yang lebih baik daripada kehidupan yang harus dijalani oleh keluarganya, bahkan mereka berani menghambur-hamburkan uang. Seandainya saja ia punya uang yang lebih banyak, ia pasti bisa membantu orang tuanya membayarkan hutangnya.


Pada malam harinya, ayah Sakura, Jiraiya baru saja pulang dari tempat kerjanya sebagai tukang cuci piring. Pada saat Sakura sedang mengerjakan PR-nya, Sakura mendengar suara ribut dari dapur. Sakura menghela nafas, pasti ayah dan ibunya sedang bertengkar mulut lagi. Dan kelihatannya, mereka sedang bertengkar mulut karena persoalan hutang yang menumpuk. Sakura menutup telinganya, ia ingin sekali bisa terlepas dari segala permasalahan ini dan bisa hidup selayaknya anak-anak remaja sebayanya.

"Kak, apa ayah dan ibu akan bercerai?" tanya Konohamaru pada Sakura.

Sakura mengangkat wajahnya dan menoleh pada adik laki-lakinya, "Kenapa kau berkata seperti itu?"

"Habisnya," Konohamaru menundukkan wajahnya, "Beberapa hari ini ayah dan ibu terus-terusan bertengkar. Aku takut kalau-kalau sampai ayah dan ibu bercerai, sehingga aku harus hidup terpisah dari kakak."

Sakura memeluk adiknya, "Jangan khawatir Konohamaru. Aku janji, kita pasti bisa melewati semua ini. Dan aku janji aku tak akan pernah berpisah darimu."

Konohamaru tersenyum, "Kakak janji."

Sakura mengangguk, "Ya, kakak janji padamu. Janji kelingking," ia menawarkan jari kelingkingnya pada Konohamaru.


Keesokan paginya, sehabis mengambil air di sumur, Sakura bergegas berangkat ke sekolah. Hari ini ia berniat mencari kerja sambilan untuk membantu orang tuanya secara sembunyi-sembunyi. Ia takut akan kembali dilarang oleh orang tuanya. Tapi ia harus melakukannya, jika tidak ia dan keluarganya harus kehilangan harta benda yang mereka miliki, rumah yang sudah lebih dari 15 tahun mereka tinggali dan termasuk dirinya.

"Hei, Sakura!" suara Karin, sahabatnya mengagetkannya.

Sakura menoleh, "Oh. Karin, ya."

"Kau kenapa? Kenapa kelihatannya lemas begitu?"

"Aku..." Sakura menarik nafas dalam-dalam, "Sebenarnya... Keluargaku terjerat hutang dengan lintah darat. Sebesar... seratus juta ryo."

Karin membelalakkan matanya, "Seratus juta? Astaga! Yang benar saja! Bagaimana keluargamu bisa membayar hutang sebesar itu?"

"Karena itulah, aku ingin mencari pekerjaan. Apa kau bisa membantuku mencarikan pekerjaan?" Sakura menatap Karin dengan penuh harap.

Karin menggaruk-garuk pipinya. Lalu jari tengahnya menaikkan kacamatanya yang melorot hingga ke hidungnya, "Hmm. Bisa saja sih. Tapi sayangnya kalau kau ingin bekerja setidaknya kau harus berusia di atas 16 tahun. Susah sekali mencari pekerjaan yang cocok untukmu, dan juga sulit menemukan tempat yang mau menerima pekerja berusia 15 tahun. Apalagi saat ini banyak pengusaha yang tak menerima pekerjaan sambilan," jelasnya. Sakura menghela nafas sedih.

"Begitu, ya..."

"Maaf Sakura. Aku tak dapat membantumu. Tapi kalau kau mau aku bisa minta ayahku untuk memberi sedikit bantuan pada keluargamu," tawar Karin tulus.

"A-apa? Ta-tak perlu! Kau tak perlu repot-repot seperti itu hanya karena ingin membantuku!" Sakura menolak dengan panik, "Pokoknya aku tak mau sampai merepotkan orang lain! Biarlah aku yang membantu orang tuaku!"

Karin menggelengkan kepalanya, "Kau keras kepala Sakura. Padahal ini 'kan menyangkut keluargamu..."

"Aku senang kau sudah menawarkan bantuan, tapi..." Sakura tersenyum lebar, "Aku tak akan pernah hidup bergantung pada orang lain! Itu adalah prinsip yang telah diajarkan oleh orang tuaku sejak dulu, karena kami sebagai orang miskin harus bisa mempertahankan hidup!"


Sepulang sekolahnya, Sakura berkeliling di sekitar kota dan berjalan menyusuri jalan trotoar untuk mencari pekerjaan. Tetapi sudah lebih dari 3 jam ia tak menemukan pekerjaan. Kebanyakan di setiap tempat hanya menerima pekerja yang berusia di atas 16 tahun, tepat seperti yang dikatakan Karin. Apalagi gaji yang dijanjikan cukup menggiurkan, berkisar mulai dari seratus ribu ryo sampai dengan delapan ratus ryo perbulannya. Sayangnya ia tak akan mungkin diijinkan bekerja. Sebenarnya bisa saja ia melakukan penipuan pada usianya, tetapi setiap tempat yang sedang mencari pekerja pasti akan meminta surat identitas dan itu sangat merepotkan.

Sakura duduk-duduk di taman setelah cukup lama berkeliling mencari pekerjaan yang cocok untuknya. Tetapi tak ada satupun yang cocok untuknya. Sakura berpikir keras, bagaimana caranya bisa membantu orang tuanya membayarkan hutang dalam waktu 3 bulan?

Dan tiba-tiba matanya tertuju pada sebuah pamflet yang tertempel di papan pengumuman di taman. Sakura berjalan mendekati papan pengumuman itu. Bibirnya bergerak-gerak, membaca apa yang terdapat pada pamflet tersebut, "Dicari," bisiknya, "Wanita berusia mulai dari 15 tahun sampai dengan 25 tahun. Berpenampilan menarik dan mampu mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Gaji yang diberikan tiga puluh ribu ryo perhari. Pendaftaran dapat dilakukan di toko-toko berlogo Namikaze Company. Info lebih lanjut hubungi 023-144-157."

Mata Sakura terbelalak lebar. Ia mengangkat tangannya ke atas dan berseru senang, "YESSS! AKHIRNYA AKU BISA MENEMUKAN PEKERJAAN YANG COCOK UNTUKKU!" dan tanpa perlu menunggu lebih lama Sakura segera mencari toko yang terdapat label Namikaze Company. Tak sulit untuk menemukannya karena di kota ini banyak sekali toko-toko berlogo Namikaze Company.

Sakura berdiri di depan sebuah pintu gerbang setinggi 6 meter di depannya dengan mata yang memandang takjub. Kemudian ia berjalan memasuki sebuah rumah besar yang terdapat di balik pintu gerbang raksasa ini. Rumah ini besarnya hampir 8 kali lipatnya lapangan bola, dengan sebuah taman luas dan 4 buah kolam renang yang letaknya terpisah-pisah. Rumah bertingkat 5 inilah yang akan menjadi tempat ia bekerja, bekerja sebagai seorang pembantu rumah tangga.

Sesampainya di dalam sana, Sakura memandang takjub. Di dalam sana terdapat banyak lukisan-lukisan kuno berukuran besar, mebel mewah, lampu chandelier di langit-langit yang tinggi, tangga yang melingkar, dan terdapat banyak kaca yang merupakan dinding rumah mewah tersebut. Saat Sakura masih takjub dengan pemandangan yang dilihatnya, seorang gadis yang sebaya dengannya. Wajah gadis itu luamayan cantik dengan rambut pirang panjang yang dikuncir jadi ekor kuda. Dari sikapnya yang berwibawa dan segi wajahnya, sepertinya gadis ini usianya lebih tua setahun dari Sakura.

"Kau pasti Haruno Sakura. Kau baru melamar pekerjaan hari ini, bukan?" tanya gadis itu ramah sambil tersenyum.

Sakura jadi kikuk, "E-ehm, iya. Namaku Haruno Sakura. Salam kenal... err?"

"Yamanaka Ino," kata gadis itu, "Saya adalah butler keluarga Namikaze. Hari ini saya langsung memanggilmu ke sini karena Tuan Besar meminta saya untuk segera mempekerjakanmu besok, sehingga hari ini kau bisa mencoba melihat-lihat rumah ini terlebih dulu."

"Kalau begitu terima kasih, Nona Yamanaka, saya akan berusaha sebaik mungkin," seru Sakura antusias, "Lalu, apa pekerjaan saya? saya bisa mencuci piring, memasak, mencuci pakaian, menyeterika-"

"Kau bekerja sebagai pembantu pribadi Tuan Muda Naruto," sahut Ino, "Jadi mulai besok kau sudah bertugas untuk mengurus segala keperluan Tuan Muda," ia menjelaskan, "Lalu bagaimana kalau langsung saja kita pergi melihat-lihat?" tawar Ino.

Sakura mengangguk.


"Huwaaaa... Ini di mana?" keluh Sakura panik. Saat ia dan Ino sedang berkeliling di sekitar kediaman keluarga Namikaze, tiba-tiba saja ia kehilangan Ino yang menjadi pemandunya, "Lagipula kenapa rumah ini bisa sebesar ini? Bisa-bisa aku dimarahi ayah dan ibu kalau pulang malam-malam, dan lebih gawatnya bisa-bisa aku ketahuan bekerja..."

Karena tak tahu jalan, Sakura pun berjalan mengikuti arah karpet merah yang terdapat di koridor utama kediaman Namikaze. Ia melihat ada beberapa pembantu yang sedang bekerja berpapasan dengannya, tetapi Sakura terlalu gengsi kalau ia menanyakan jalan keluar. Apalagi kelihatannya pembantu di sana tampak acuh tak acuh padanya.

Sakura menopang dagunya, 'Rasanya tadi aku meelwati jalan ini. Kenapa bisa kembali lagi ke sini? ' ia pun mulai kebingungan.

PRAAAANNNG!

Sebuah suara piring pecah mengagetkannya. Sakura yang mendengarnya langsung berjalan menuju ke asal suara tersebut. Siapa tahu asal suara tersebut merupakan petunjuk untuknya agar bisa keluar dari labirin raksasa ini. Tetapi apa yang dilihatnya membuatnya kaget.

Ia melihat seorang anak laki-laki sebayanya yang berambut blonde dan berpakaian cukup bagus sedang melotot marah pada seorang anak laki-laki berambut coklat. Anak laki-laki berambut coklat itu tampak tegang wajahnya saat dipelototi oleh anak berambut blonde itu.

"Apa maksudmu? Aku kan sudah mengatakan bahwa aku ingin meminum teh darjeeling! Kenapa kau malah membawakan teh Assam? Kau sengaja ingin membuatku marah ya?" bentak anak laki-laki berambut blonde itu, ia melipat tangannya.

"Ma-ma-maaf, Tuan Muda. Saya salah dengar," kata pria berambut coklat itu. Tampaknya dia adalah seorang pembantu juga, "Kalau Anda berkenan, biarkan saya kembali ke dapur. Saya akan membawakan teh darjeeling untuk Anda secepatnya," ia memunguti satu persatu pecahan cangkir yang berserakan di lantai dan mengambil nampan yang ia bawa.

"Tak perlu!" seru pria berambut blonde. Ia menarik nampan yang dibawa oleh pria berambut coklat dan melemparkannya ke dinding, "Aku sudah muak melihatmu! Masa begitu saja kau bisa salah dengar! Apa kau mau kupecat?"

"Tidak Tuan Muda!" pinta pria berambut coklat, "Saya mohon jangan pecat saya! Saya harus menghidupi ibu saya dan kakak saya setelah ayah saya wafat..."

Pria blonde menggeram, "Alasan!" ia mulai menendangi tubuh pria berambut coklat tersebut, tetapi Sakura segera datang menghampirinya dan menarik lengannya, agar pria blonde tersebut menghentikan aksinya.

"Hentikan!"

Pria blonde dan pria berambut coklat menoleh pada Sakura dengan tatapan terkejut, "Siapa kau? Beraninya menggangguku! Dasar pembantu kurang ajar!"

"Heh baka! Diam kau!" bentak Sakura sengit, "Kenapa kau berani sekali menyiksa pembantumu sendiri? Jangan mentang-mentang kau ini majikan di rumah ini kau bisa seenaknya bersikap kasar pada semua pembantu di sini!"

"A-apa?" pria blonde itu melotot marah pada Sakura, "Beraninya kau bicara seperti itu padaku!"

"Tentu saja aku berani! Orang kaya, tetapi sifatnya seperti orang yang tak tahu tata krama saja!"

"K-kau!"

"Tuan Muda, Anda sedang apa di sini?" tiba-tiba saja Ino muncul di antara mereka bertiga, "Dan Sakura, kemana saja kau? Saya pikir tadi kau sedang berada bersama saya..."

Sakura hendak membuka mulut, tetapi pria blonde itu berkata, "Hei, Ino. Siapa gadis ini? Apa kau mengenalnya?"

"Ya Tuan Muda," jawab Ino, "Gadis ini adalah Haruno Sakura. Mulai besok dia akan bekerja sebagai pembantu pribadi Tuan Muda."

Pria blonde itu tersenyum menyeringai pada Sakura, "Menarik. Pembantu pribadi, ya. Kalau begitu, lihat saja besok. Selamat datang ke neraka, maksudku selamat bekerja, Sakura-chan," lalu ia berlalu pergi. Sakura membelalakkan matanya dengan kesal.

"Kau tak apa?" tanya Sakura pada anak laki-laki berambut coklat itu sambil membantunya berdiri.

Pria berambut coklat itu tersenyum, "Te-terima kasih. Aku berhutang budi padamu. Padahal seharusnya kau tak usah menolongku."

"Apa maksudmu?" seru Sakura, "Orang itu sudah menginjak-injak harga dirimu! Seharusnya kau marah diperlakukan seperti itu!"

"Sakura, saya harap kau jangan bicara seperti itu pada Tuan Muda, karena mulai besok kau akan bekerja di rumah ini sebagai pembantu, tak lebih," kata Ino mengingatkan.

Sakura memukul kepalanya, 'Astaga, aku lupa...' ia menundukkan kepalanya di depan Ino, "Ma-maaf. Tapi saya..."

"Nona Ino! Ini semua salah saya!" seru pria berambut coklat, "Sayalah yang telah membuat Tuan Muda marah, tetapi gadis inilah yang menolong saya, sehingga Tuan Muda tak jadi memecat saya..."

Ino menoleh sesaat pada pria berambut coklat itu, "Benar begitu, Kiba?" dan pria berambut coklat itu menganggukkan kepalanya.

Sakura menatap pria berambut coklat itu, ternyata namanya Kiba toh. Sepertinya anak laki-laki berambut coklat ini usianya lebih tua darinya sedikit, mungkin sebaya dengan Ino. Ino menepuk jidatnya dan menghela nafas dalam-dalam, "Baiklah kalau begitu," ujarnya, "Tapi saya harap besok kau bisa mengubah sikapmu itu. Ingat Sakura, kau bekerja tak lebih dari seorang pembantu. Apalagi mulai besok kau akan bekerja sebagai pembantu pribadi Tuan Muda Naruto."

"Iya, maaf-" Sakura mengangkat kepalanya, "A-apa? S-saya pembantu pribadi siapa?"

"Tuan Muda Naruto. Orang yang tadi baru saja kau bentak adalah Tuan Muda Naruto," jelas Ino.

Sakura membuka mulutnya lebar-lebar. Aduh, gawat, batinnya.


Sepulang dari kediaman keluarga Namikaze, Sakura langsung pulang ke rumahnya. Dan karena waktu sudah berjalan sangat larut, Sakura terpaksa berbohong pada orang tuanya dengan mengatakan bahwa ia pulang larut karena harus kerja kelompok di rumah Karin. Ia tak punya pilihan lain untuk membohongi orang tuanya karena ia harus membantu membayar hutang orang tuanya, jika tidak ia harus rela dibawa pergi oleh lintah darat dan membiarkan keluarganya menderita lebih dari ini.

Sementara itu, di kediaman keluarga Namikaze, Naruto, Tuan Muda berambut blonde yang tadi sore berkelahi mulut dengan Sakura saat ini sedang melaksanakan makan malam. Di atas meja terdapat banyak makanan lezat dan bernuansa mewah. Dan di sekeliling ruang makan, ada beberapa orang pelayan, seolah-olah Naruto sengaja menggoda para pelayannya dengan makanan-makanan tersebut.

Dan di sisi meja makannya, berdiri Ino dan Shikamaru, koki pribadi Naruto.

"Bagaimana dengan masakannya Tuan Muda? Apakah Anda menikmatinya?" tanya Shikamaru sambil menundukkan kepalanya.

Naruto mengambil secangkir wine merah dan meneguknya, "Ya. Cukup enak. Kau memang hebat dalam soal memasak."

Shikamaru tersenyum.

"Oh ya Ino," Naruto menoleh pada Ino.

Ino membungkukkan badannya, "Ada apa Tuan Muda?"

"Gadis yang tak tahu sopan santun yang tadi siang itu apa benar-benar bekerja sebagai pembantu pribadiku mulai besok?"

"Ya, Tuan Muda," Ino menganggukkan kepalanya, "Memang kenapa Anda menanyakan hal itu?" Ino mengangkat alisnya.

"Karena mulai besok dia adalah pembantu pribadiku, bagaimana kalau besok aku memberinya kejutan?" Naruto menyeringai lebar.

Ino, Shikamaru dan para pelayan yang lainnya bergidik ngeri. Oh, tidak... Bagaimana nasib Sakura besok?


Keesokan harinya, sepulang sekolah Sakura langsung pergi menuju kediaman Namikaze. Di depan teras kediaman Namikaze sudah berdiri Ino dan beberapa orang pelayan lainnya. Kemudian mereka memandu Sakura ke dalam rumah keluarga Namikaze.

"Sekarang, apa yang harus kulakukan? Apa aku bisa langsung melayani Tuan Muda?" tanya Sakura pada Ino, tidak sabaran.

"Sebelumnya kau harus berganti baju di ruangan khusus. Kau harus memakai pakaian yang biasa dipakai oleh pelayan di sini," kata Ino menjelaskan. Ia memberikan beberapa lembar pakaian pada Sakura termasuk apron yang menjadi ciri utama pelayan di rumah orang kaya, "Kau bisa berganti baju di ruangan ini," ia menunjukkan Sakura sebuah ruangan yang letaknya berdekatan di dapur.

Sakura pun masuk ke dalam ruangan tersebut dan mulai berganti baju setelah Ino pergi meninggalkannya. Sakura mematut dirinya di depan cermin selesai ia berganti baju. Banyak sekali renda-renda di baju yang dipakainya, juga ia harus memakaikan aksesoris di kepalanya. Tetapi baju yang dipakainya itu tampak berkelas. Sakura mengernyit, keluarga Namikaze benar-benar kaya sekali. Bahkan para pelayannya sampai harus memakai baju sebagus ini. Bagaimana dengan pakaian keluarga Namikaze yang asli?

Lalu ia keluar dari ruangan ganti baju. Tiba-tiba, saat ia menutup pintu ruang ganti baju, seember penuh tepung jatuh menimpanya. Sakura memekik kaget, "Huwaaaa!" ia langsung panik saat ia mendapati seluruh tubuhnya termasuk baju kerjanya diselimuti tepung putih. Dan tiba-tiba ia mendapat sebuah lemparan telur, pas mengenai rambutnya.

"Hei! Hentikan! Apa-apaan ini?" serunya kesal. Sekarang ia benar-benar merasa seperti adonan kue. Kemudian beberapa butir telur kembali mengenai tubuhnya. Sakura memekik keras, "Hei! Siapa kalian? Beraninya melempariku telur!" ia mmbalikkan badannya dan mendapati beberapa orang pelayang laki-laki sedang melemparinya dengan telur.

PRAAKKKK!

"Yay! Tepat sasaran!" seru seorang pelayan berambut perak.

"Ayo! Lempar lagi!" sahut pelayan lainnya yang berbadan besar.

"Lempar tomat juga!" pelayan yang berambut merah mulai melempari Sakura dengan tomat.

"Hentikan! Hentikan!" Sakura menutupi kepalanya dengan tangannya, tetapi ia tetap dihujani oleh telur dan tomat. Akhirnya karena ia tak tahan dilempari telur dan tomat, Sakura langsung berlari keluar dari dapur menuju koridor utama sambil bercucuran air mata. Di sepanjang dapur dan koridor ia melihat beberapa orang pelayan menertawai dirinya. Apa-apaan ini? Kenapa di hari pertama ia bekerja ia sudah dikerjai seperti ini? Dan kenapa tak ada satupun yang menolongnya, malahan menertawainya?

Di belakang Sakura yang sedang berlari, berdiri sesosok bayangan yang sedang menertawakan dirinya. Naruto.

"Bagaimana Sakura-chan? Inilah balasannya bagi orang yang berani melawan Tuan Muda Naruto. Dan asal kau tahu saja, ini baru permulaannya, lho," ia tersenyum menyeringai.


Author Commentary: maaf kalau ceritanya gaje, otak saya gak mau diajak kerja sama. Dan maaf juga kalau karakter Naruto dkk kelewat OOC, mau bagaimana lagi, namanya juga AU. Hehehe -dikepruk readers-. Anyways, review?