War of DNA
Jimin tidak tahu apa-apa saat dia melihat seorang junior di kampusnya mati di hadapannya. Kejadian yang membawa takdir tujuh orang untuk bertahan hidup dari kejaran zombie.
BTS ff. BTS Kim Namjoon Kim Seokjin Min Yoongi Jung Hoseok Park Jimin Kim Taehyung Jeon Jungkook and other idols!
Zombie inside!
No plagiarism. I only own the storyline.
#1
Jimin sudah tidak tahan. Kaki nya sudah keram karena berlari, sempat terjatuh dan sekarang harus berjongkok. Begitupun kedua tangannya yang sedari tadi menutupi telinganya dengan sangat erat. Peluh menetes diantara surai coklatnya yang tak karuan. Sementara bibirnya digigit begitu kuat agar tak menimbulkan suara. Keadaannya sangat mengenaskan dengan tekanan batin yang terlihat dari matanya yang melotot kosong melihat lantai. Mungkin Jimin sudah pasrah.
Tubuh Jimin lelah, tapi ketegangan tak kunjung hilang. Jimin tadinya berada di kampusnya, duduk sambil makan siang di kafetaria. Bercengkrama dengan teman-temannya seperti biasa. Sampai tiba-tiba seorang mahasiswa berlari terseok-seok sambil berteriak kencang meminta tolong. Laki-laki itu tersungkur di salah satu meja di dekat Jimin yang diduduki oleh junior Jimin. Semua orang terperanjat dan berdiri memusatkan perhatian pada laki-laki itu. Namanya Youngjae, tiga tahun lebih muda dari Jimin. Youngjae mulai terisak.
"Jinyoung. To-tolong aku". Youngjae mencoba sedikit menetralkan nafasnya yang terputus-putus. Tangannya menekan kuat kakinya yang terlihat terluka. Entah karena apa kakinya sobek dan darah mengalir dari sana. Jimin yang berada dekat dari meja Jinyoung mendekati mereka.
"Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?"
Jimin khawatir. Dia mencoba memegangi Youngjae tapi Youngjae terus bergerak. Sebagai mahasiswa kedokteran Jimin memang selalu menjadi lebih sensitif saat melihat ada orang yang terluka. Bahkan niatnya untuk membantu oranglah yang membuatnya ingin menjadi dokter dengan masuk ke salah satu universitas kedokteran terkenal di Seoul, Hanyang University.
Pandangan mata Youngjae mengabur dan semakin tak fokus. Dia mulai meronta-ronta.
"Jinyoung... Jinyoung... Tolong... Selamatkan aku..."
Youngjae mulai menggelepar sedangkan Jinyoung hanya kebingungan.
"Apa yang terjadi padanya?" tanya Jimin pada Jinyoung. Raut muka Jinyoung benar-benar panik. Jinyoung malah melangkah mundur. Sama halnya dengan beberapa mahasiswa yang berada disana. Begitupun teman-teman Jimin. diantara mereka bahkan ada yang menyuruh Jimin untuk menjauh.
"Aku tidak tau apa-apa. Sumpah". Jinyoung menggelengkan kepalanya. Lalu terjatuh karena tak memperhatikan langkahnya. Jimin hendak mendekatinya namun terhenti karena Youngjae sudah tak bergerak lagi. Jimin pun mendekatkan diri pada Youngjae untuk mengecek nadi pada pergelangan tangannya. Jimin terperanjat. Jimin itu mahasiswa kedokteran jurusan dokter umum. Dia memilih jurusan itu agar bisa menolong siapa saja, dan tidak perlu melakukan perawatan lebih lanjut atas penyakit mematikan agar tidak berurusan dengan mayat. Jimin tidak tega melihat seseorang meregang nyawa. Tapi dihadapannya baru saja dia melihat juniornya kehilangan nyawa. Mata Jimin membola seraya dengan dia bangkit.
"Seonbae, seharusnya... aku melarang Youngjae pergi". Jinyoung ketakutan. Tangannya meremas rambutnya sendiri sedang air matanya mengalir. Tentu saja, Youngjae adalah salah satu teman dekat Jinyoung.
"Apa maksudmu?" Jimin mulai sadar dari keterkejutannya.
"Ini... Ini pasti karena percobaan departemen obat-obatan. Benar!.. Iya.. Benar seonbae! Youngjae pasti mati karena BamBam!. Seharusnya sejak BamBam pindah ke kampus ini Youngjae tidak dekat-dekat dengannya".
Jinyoung menatap lamat-lamat Jimin yang kebingungan.
"Aku tidak mengerti. Kau tetap disini. Aku akan menghubungi ketua jurusan untuk datang kesini".
Jimin mengumpulkan kembali kewarasannya setelah melihat Youngjae mati dihadapannya. Dia kembali ke meja tempat dia makan sebelumnya. Sedikit melirik nasi goreng kimchi yang belum dihabiskannya lalu mengambil tas dan ponselnya diatas meja.
"Aku pergi sebentar". Jimin berpamitan pada teman-temannya.
"Jim, kau tidak apa-apa?"
Itu Seulgi yang menahan tangan Jimin. Seulgi tau benar sifat Jimin yang sensitif dan tak tegaan. Jimin melepaskan pegangan Seulgi.
"Aku baik-baik saja". Jiminpun pergi menuju ruang ketua jurusan.
Jimin yakin keamanan akan segera tau apa yang terjadi karena ribut-ribut tadi. Mereka akan menghubungi ambulan untuk mengevakuasi mayat Youngjae. Lagi pula rumah sakit universitas mereka tidak lah jauh. Sekarang yang menjadi pertanyaan perlukah menghubungi polisi? Jimin tidak yakin penyebab kematian Youngjae. Dia sempat melihat luka koyak di kaki Youngjae dan juga bercak darah yang sangat banyak menempel pada bagian dada jaket berbahan denim yang Youngjae kenakan. Memang sebaiknya dia menemui ketua jurusan dulu, Kim Namjoon.
"Permisi. Saya masuk".
Kim Namjoon terlihat kaget saat Jimin masuk ke ruangnya. Dia tidak ada janji dan sekarang masih jam makan siang. Namjoon bahkan belum sempat membuka bekal makanan yang dibawanya.
"Ada perlu apa.. Hmm?"
"Saya Park Jimin. Mahasiswa tingkat tiga jurusan kedokteran".
Jimin berucap setelah berada tepat di depan meja Namjoon.
Namjoon menggaruk kepalanya tanda kebingungan. Siapa yang tidak mengenal Kim Namjoon. Dia adalah lulusan terbaik dari unversitas Hanyang, dan mengambil gelar doktornya selama tiga tahun di Universitas Oxford lalu kembali ke Korea. Sekembalinya, dia menolak menjadi dokter di rumah sakit Hanyang dan sekarang menjadi ketua jurusan di usianya yang masih sangat muda. Tujuannya menempuh bidang kesehatan bukan karena empati pada penderita penyakit yang memepertaruhkan nyawa. Dia hanya murni tertarik untuk mengembangkan pengetahuan medis di dunia ini karena dia yakin masih banyak misteri yang bisa terkuak di masa depan. Namjoon berasal dari keluarga yang biasa saja. Yatim piatu yang hanya tinggal dengan adik laki-lakinya. Tapi tentu Namjoon tidak mengenal Jimin. Hal itulah yang membuatnya bingung.
"Jadi, ada apa Park Jimin?"
Jimin sebelumnya melihat-melihat ke seluruh ruangan. Kikuk karena Namjoon menatapnya intens. Ruangan Kim Namjoon tidak bisa dibilang rapi. Tidak ada foto keluarga. Banyak kardus yang terbuka dan menampilkan bebarapa berkas yang berantakan dan buku-buku medis yang diletakkan seadanya. Lemarinya masih kosong. Apa Namjoon masih belum merapikan ruangannya setelah hampir satu semester menjabat sebagai ketua jurusan?
Jimin kembali melihat ke arah Namjoon.
"Begini pak. Terjadi sesuatu di kafetaria. Saya tidak begitu mengerti. Tapi saya melihat salah seorang mahasiswa meninggal di depan saya"
Namjoon benar-benar kaget kali ini. Dia menaikkan kedua alisnya. Apa maksud Jimin ada mahasiswa yang mati? Tapi Namjoon bukanlah orang yang bertele-tele untuk mengetahui suatu rincian dari sumber yang tak pasti. Dia segera bangkit.
"Kafetaria katamu?" Namjoon mengenakan jas yang sebelumnya tersampir di kursinya.
"Iya Pak".
Dan dengan itu Namjoon keluar diikuti dengan Jimin di belakangnya.
Saat menuju ke kafetaria kampus, Jimin dibuat bingung. Dia heran dengan keadaan yang sepi. Sebelumnya saat menuju ke ruang Namjoon, Jimin sempat mengintip ke jendela dan melihat mobil ambulans. Benar jika seseorang sudah menghubungi rumah sakit. Seharusnya sekarang banyak orang yang akan mengerubungi lokasi tewasnya Youngjae, kan? Tapi semakin mendekati kafetaria, Namjoon dan Jimin tidak berpapasan dengan siapapun.
Terakhir mereka bertemu dengan seorang ibu yang bertugas membersihkan ruangan lab sebelum berbelok ke koridor menuju kafetaria. Ibu itu membawa sapu sambil melepas sarung tangannya yang kotor. Dia membungkuk pada Namjoon sebentar lalu melangkah menuju tangga darurat. Mungkin shift nya sudah selesai dan dia ingin pulang. Namjoon dan Jimin pun hanya berlalu begitu saja.
Saat sampai di kafetaria, Namjoon semakin bingung. Bingung dan cemas.
"Apa-apaan ini?".
Jiminpun tak kalah bingung. Dihadapan mereka terlihat ruang kafetaria yang berantakan. Meja dan kursi tak beraturan saling tumpang tindih. Piring dan gelas pecah dengan Noda makanan disana sini. Benarkah itu noda makanan? Mengapa begitu merah dan tercium amis?
Namjoon mendekati salah satu meja dengan noda merah yang begitu kentara. Sementara Jimin tak bergeming di depan ruang kafetaria. Namjoon menyentuh noda itu dengan ujung telunjuknya, lalu mendekatkan jarinya ke hidung.
"Aneh. Ini darah. Apa yang terjadi disini?".
Namjoon mencoba melihat ke sekeliling. Jimin melihat sesuatu bergerak di pojok ruangan. Kaki! Itu kaki yang tertimpa beberapa kursi diatasnya. Iya, Jimin yakin itu kaki. Dan itu sepatu yang dikenakan Jinyoung!. Jimin pun memberanikan diri mendekat ke arah pojok ruangan. Diangkatnya beberapa kursi yang menutupi tubuh itu hingga ia melihat sosok Jinyoung, bersimbah darah.
"Jinyoung!"
Namjoon segera melangkahkan kakinya mendekati Jimin. Jinyoung yang tergeletak penuh darah mengerjap-ngerjapkan matanya lemah.
"Seonbae..."
"Apa yang terjadi, Jinyoung?" Raut muka Jimin berubah sangat cemas.
"Seonbae. Youngjae.. Dia.. Dia tidak mati... Seonbae larilah".
Jimin tidak mengerti.
"Diamlah Jinyoung. Perutmu tertusuk. Kau kehilangan banyak darah". Jimin melihat sebuah besi yang tajam menembus perut Jinyoung. Dari bentuknya sepertinya besi ini berasal dari kursi kafetaria yang patah. Darah masih mengalir di perut Jinyoung.
"Besi itu harus dicabut" Namjoon berucap santai. Jimin hanya menatap Namjoon panik. Apa Namjoon tidak ada niatan untuk membantunya?
Mungkin Namjoon berfikir Jimin bisa menarik besi itu sendiri. Tapi Jimin tak tega. Jimin membayangkan darah akan semakin deras mengalir dari perut Jinyoung. Jimin hanya panik sementara Jinyoung terbatuk-batuk menahan sakit.
Tiba-tiba tangan Namjoon terulur memegang besi yang menancap di perut Jinyoung. Detik kemudian dia mencabutnya dengan cepat dibarengi dengan teriakan kesakitan Jinyoung. Seperti dugaan Jimin, darah keluar dengan deras. Jimin pun segera menekan luka Jinyoung. Dibukanya jaketnya sendiri untuk menutup luka itu.
"Sudah...lah.. Seonbae.. Aku tidak tau kapan... Aku akan.. Berubah... Seperti mereka..." Tangan Jinyoung terulur untuk menyentuh tangan Jimin yang menekan perutnya. Jimin melihat luka bekas gigitan disana.
"Diam atau aku akan meninggalkanmu untuk mati!" Jimin yang panik berubah menjadi marah. Bisa-bisanya Jinyoung menyuruhnya menyerah.
"Seonbae.. Sebaiknya kau selamatkan orang yang.. Kau sayangi.. Sebelum terlambat.. Seperti aku..." Jinyoung susah payah mengatur nafas nya yang mulai habis.
"Park Jimin. Aku melihat seseorang menuju kesini". Namjoon meletakkan besi ditangannya dan mendekati pintu keluar kafetaria. Jimin hanya memperhatikannya dengan tangannya masih setia menekan luka Jinyoung. Namjoon sudah berada diluar dan dilihatnya seorang wanita sedang berjalan terseok. Saat melihat Namjoon wanita itu berucap lirih
"to..long.."
Namjoon sudah akan berucap saat dilihatnya bayangan lain di belakang wanita itu berjalan mengikuti si wanita. Sosok itu mencengkram lengan si wanita lalu membalik tubuhnya. Dengan tak sabaran pundak si wanita digigit dengan rakus. Terdengar suara gigitan lalu kunyahan yang tersamar oleh jeritan lemah si wanita. Darah mulai menetes ke lantai. Si wanita meraih-raih udara saat satu tangan lain dari belakang menarik pinggulnya. Lalu gigi-gigi bergemeretak menggesek kulit pinggulnya yang ditutupi kaos tipis. Namjoon melebarkan matanya. Tak percaya apa yang dilihatnya. Namjoon itu pintar dan dengan cepat bisa memahami keadaan. Dia memang masih shock dan tidak bisa berkata apa-apa, tapi dia segera masuk ke kefetaria.
Jimin menatap Namjoon bingung. Wajah Namjoon benar-benar sulit diartikan. Cemas? Panik? Takut?
"Pak, anda baik-baik saja?" tanya Jimin.
"Park Jimin, kita harus pergi. Tinggalkan saja dia". Namjoon sepertinya serius akan ucapannya.
"Tapi pak..."
"Sudah. Ikut saja".
Tanpa babibu lagi Namjoon menarik Jimin. Tangan Jimin pun terlepas dari perut Jinyoung. Jinyoung sendiri saat ini sudah tak sadarkan diri. Namjoon menarik Jimin keluar. Jimin yang tak rela terus melihat ke belakang. Dia harus meninggalkan seseorang sekarat menjemput ajal sendirian. Tentu Jimin tak tega meskipun dia tak begitu kenal dengan Jinyoung.
Saat Namjoon menyeret Jimin keluar melewati pintu, mata Jimin menangkap sosok wanita yang tengah 'dimakan' oleh dua sosok yang mengerubungi tubuh tersebut. Rambut itu... Jimin rasa pernah melihatnya. Jimin mencoba mengingat tubuh tak berdaya yang semakin kehilangan bentuk manusianya. Seketika Jimin memberontak dan berteriak.
"Seulgi!".
Tapi Namjoon memegangi tubuh Jimin erat. Jimin tidak bisa melepaskan diri.
"Ya Tuhan! Apa yang terjadi?!. Seulgi!!. Pak, tolong lepaskan aku. Dia temanku" air mata Jimin mulai mengalir. Tubuhnya meremang saat melihat tubuh Seulgi terkoyak-koyak. Antara tak tega, tapi matanya tak bisa lepas memandang. Dua sosok itu masih mengoyak tubuh Seulgi hingga darah menggenang disekitarnya.
"Diam saja. Kau belum mau mati kan?" Namjoon membekap mulut Jimin. Mereka harus segera mencari tempat aman sekarang. Begitu fikir Namjoon. Jika apa yang dilihat Namjoon ini nyata, pasti terjadi sesuatu di lab percobaan departemen obat-obatan. Namjoon terus menyeret Jimin menuju tangga darurat. Sementara Jimin masih terisak keras dengan mulut yang dibekap.
Setelah berhasil menuju tangga darurat barulah Namjoon melepaskan bekapan mulut Jimin. Jimin yang sudah mulai tenang mengusap airmata di kedua pipinya.
"Maaf Park Jimin, saya terpaksa melakukannya untuk menyelamatkan kita berdua".
Jimin hanya diam. Namjoon merapikan rambutnya sedikit.
"Kita harus keluar dari sini. Aku tahu tempat yang aman. Tapi aku harus menjemput seseorang. Kau bisa ikut denganku atau mungkin kau ingin menemui keluarga mu saja? Itu terserah padamu". Namjoon mencoba tenang. Dia mengecek ponsel di sakunya. Mengetik pesan singkat, lalu mengirimnya. Jimin menatap Namjoon tak percaya. Matanya masih memerah. Namjoon yang merasa ditatap mencoba menjelaskan keadaan yang terjadi.
"Aku belum tau pasti apa yang terjadi. Ini masih dugaan. Mungkin ada kebocoran di salah satu percobaan di kampus yang menyebabkan hal ini terjadi. Ini bukan virus. Tapi vaksin. Intinya kekacauan akan semakin meluas. Aku harus mengatasi ini".
Namjoon mencoba tenang sementara Jimin malah terlihat emosi.
"Jadi anda yang bertanggung jawab atas kejadian ini, begitu pak?!" Jimin marah. Sangat marah. Jimin belum selesai.
"Meluas bagaimana? Apa ini semacam serial zombie yang akan menghancurkan seluruh kota, atau bahkan dunia? Begitu hah?!".
Namjoon tidak tahu harus menjawab apa. Dia sendiri belum yakin akan apa yang sedang terjadi.
"Tenanglah Park Jimin. Anggap saja aku yang bertanggung jawab. Sekarang, apa kau punya keluarga? Kalau ada, cepatlah jemput mereka, aku akan menyiapkan tempat aman".
"Lalu bagaimana dengan temanku tadi?!"
Mata Jimin kembali berair.
"Jimin. Sepertinya kamu tidak mengerti keadaan yang terjadi sekarang. Lupakan mereka yang sudah berubah, selamatkan orang yang bisa kau selamatkan. Atau setidaknya, selamatkan dirimu". Namjoon mencengkram bahu Jimin, meyakinkam Jimin dengan tiap kata-katanya. Hal itu malah membuat linangan air mata jatuh di pipi Jimin. Dia teringat kedua orang tuanya dan adik perempuannya yang berada dirumah.
Hari ini hari sabtu. Keluarga Jimin sudah mengatakan akan memasak makanan enak untuk merayakan ulang tahun adiknya, Minah. Jimin sendiri sudah berjanji akan pulang sebelum jam makan malam. Jimin melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sekarang pukul 3.00 pm. Masih lima jam lagi waktu yang Jimin punya untuk menepati janjinya. Jimin masih ragu dengan penjelasan Namjoon. Tidak masuk akal, tapi hanya itu penjelasan yang ada.
Zombie? Jimin sempat tersenyum. Rasanya seperti berada di dalam film. Kecuali kau merasakan sakit, mual dan ngilu disaat melihat orang yang kau kenal tercabik-cabik.
Namjoon bingung melihat Jimin yang kalut. Digoncangnya tubuh Jimin.
"Dengarkan aku Park Jimin. Jemput keluarga mu dan pergilah ke rumah sakit Hanyang. Jangan masuk ke basement. Masuklah lewat pintu depan dan gunakan lift khusus pegawai menuju lantai 7. Pergilah ke sisi barat gedung dan cari ruangan 7x. Ingat 7x!"
Namjoon masih menatap Jimin memastikan Jimin mengerti saat ponselnya bergetar. Dia membuka pesan yang masuk. Setelah itu melepas dasi yang sudah berantakan dilehernya lalu membuangnya. Dimasukkannya ponsel kembali di saku celananya.
"Sialan bocah itu!". Namjoon melipat kemejanya.
"Jimin. Aku tidak bisa berlama-lama. Aku harap kau selamat. Sampai jumpa".
Namjoon pun meninggalkan Jimin yang masih terdiam. Entah mengapa Namjoon kembali masuk ke dalam gedung lewat pintu yang baru saja mereka lewati.
Bodoh. Jimin, kau harus segera sadar. Jimin menggelengkan kepalanya. Dia tidak tahu harus percaya atau tidak. Sambil menyeka air matanya yang kembali jatuh, Jimin mencoba menghubungi keluarganya. Tapi nihil. Ponsel adiknya, ibu, ayah, bahkan telepon rumah keluarganya tidak diangkat. Jimin akhirnya memilih untuk pulang memastikan keadaan keluarganya. Lagi pula rumahnya masih berada di distrik Sageun, tak jauh dari kampus.
Jimin menuruni tangga darurat dengan hati-hati, mencoba sama sekali tak membuat suara. Saat berhasil keluar dan berjalan menuju rumah. Jimin merasakan kengerian. Bagaimana tidak, berpuluh-puluh orang tergeletak dijalanan bersimbah darah. Jimin tidak berani mendekat. Baru kali ini Jimin mengabaikan orang yang sedang sekarat. Entahlah, Jimin tak yakin keadaan mereka, sekarat atau sudah mati, Jimin mencoba acuh. Terdengar suara ribut yang samar dari beberapa bangunan yang menyalakan lampu. Jimin mempercepat langkahnya. Namun tiba-tiba sesosok tangan mencengkram pergelangan kakinya.
"To..long.."
Ucap pria dengan jas lengkap namun penuh darah yang sedang menahan Jimin. Jimin ngeri. Bukan pada darah, tapi pada rupa pria itu yang tak bisa lagi dikenali. Jimin pun segera melepaskan tangan pria itu dan memutuskan untuk berlari menuju rumahnya.
Jimin sudah sampai di depan rumahnya. Lampu rumahnya menyala sempurna. Pagar dan pintu tertutup tapi tidak dikunci. Jimin pun segera masuk tanpa menutup pintu. Dia tergesa-gesa. Ruang tamu kosong. Dapur kosong. Jimin sedikit menoleh dan melihat kue ulang tahun adiknya yang masih belum disentuh. Lilinnya juga belum dinyalakan. Semua terlihat normal. Sampai tiba-tiba Jimin mendengar suara gaduh dari lantai atas, tempat kamar tidur keluarga Park. Jimin segera menaiki tangga, namun setelah sampai diatas Jimin membeku. Mulutnya kelu. Airmata tanpa permisi menetes sedangkan matanya membola. Jimin melangkah ke belakang, tak percaya apa yang dilihatnya.
"Eomma, Appa..."
Jimin bagaikan merasa kepalanya ditusuk-tusuk dan dadanya diremas. Dia melihat ayahnya tengah digrogoti oleh sesosok wanita yang membelakangi Jimin. Mata ayah Jimin yang melotot dan mengeluarkan airmata menatap mata Jimin tapi tak bisa berkata apa-apa. Kerongkongannya koyak. Di lantai tergeletak sang ibu yang tak berdaya. Salah satu tangannya entah hilang kemana, daging paha kirinya hancur. Darah dimana-mana. Saat sang ibu melihat Jimin, dengan kekuatan yang tersisa sang ibu menyeret tubuhnya.
"Lari..nak..."
Jimin tidak bisa bergerak. Kaki nya lemas tapi dia tidak jatuh ke lantai. Dia ingin mendekati ibunya tapi tak bisa. Sedih. Takut. Jimin teringat ucapan Namjoon yang mengatakan setidaknya selamatkan dirimu sendiri. Jimin merasa menjadi pecundang sekarang. Dia ingin menjadi egois dan meninggalkan orang tuanya. Tapi dia juga tak tega. Saat ini Jimin bahkan sudah tak mengingat adik kesayangannya lagi. Jimin kembali mundur lalu tanpa sengaja dia terpeleset hingga jatuh dari anak tangga. Tubuhnya berguling-guling begitu saja. Saat tubuhnya mendarat, Jimin merasakan sakit disekujur tubuhnya. Namun dia hanya meringis sebentar lalu berdiri dan mencoba keluar dari rumahnya.
Jimin sudah berada di depan pintu. Dia mengurungkan niatnya untuk keluar dan malah menutup pintu. Jimin sempat melihat sosok memasuki pekarangan rumahnya. Bodohnya Jimin yang tidak menutup pagar dan pintu. Jimin bingung. Apa dia akan mati sekarang? Apa yang harus dilakukannya? Jimin reflek hanya menutup telinganya tak kuasa mengingat kembali erangan suara ayahnya dan ibunya tadi. Dia pun berjongkok. Pasrah akan keadaan. Menunggu ajal. Dengan peluh besar-besar berjatuhan di kening dan sekujur tubuhnya. Matanya terpejam menanti malaikat maut.
Sampai pintu rumahnya terbuka.
"Apa kau baik-baik saja?"
TBC
Member BTS munculnya satu-satu aja ya.
Review?
Jmp!
