Unlike Other Fairytales
.
.
.
.
I do not own any of these characters, and only the story. Kesamaan dalam cerita ini hanya kebetulan belaka
.
.
.
.
Any form of plagiarism would not be tolerated. Please report to me immediately if you ever found a post plagiarizing this story
.
.
.
.
Enjoy!
Jeno menghela nafas untuk yang kesekian kali siang itu. Duduk berpangku tangan, ia menatap keluar jendela perpustakaan dengan nelangsa. Angin semilir dari luar menggoyangkan beberapa helai rambut platinum blond-nya. Ia menghela nafas sekali lagi.
Doyoung, guru tata bahasa istana, memandanginya dengan bingung. Sang pangeran memang tidak pernah mencintai pelajarannya, tetapi tidak pernah hingga ke tahap seperti ini. Niat awalnya untuk menegur menjadi tidak tega. "Apa ada yang mengganggu pikiran Anda, Yang Mulia?"
Jeno hanya menghela nafas sebagai jawaban. Doyoung bingung bagaimana menyimpulkannya. Yasudah. "Mungkin lebih baik pelajaran hari ini kita cukupkan dulu dan istirahatlah, Yang Mulia?"
"Makasih," gumam Jeno sambil membereskan kertas-kertas dan pena bulu berserta tinta. Setelah Jeno menghilang dari balik pintu kayu oak, Doyoung mendekati Jaehyun yang sedang membolak-balik halaman buku resep. "Kau tahu kenapa dia tampak seperti orang setengah zombie?"
Pria itu menggeleng sambil tersenyum kecil, menampilkan lesung pipinya. "Mungkin ada hal yang membuatnya kecewa kemarin atau pagi ini?"
Jaehyun tidak salah sih. Memang benar Jeno sedang kesal dengan ayahnya, Yang Mulia Raja. Itu semua berawal dari percakapan saat sarapan kemarin tentang masa depan kerajaan akan dibawa kemana. Sebelum Jeno sempat kabur, topik pernikahan mencuat. Uh oh mulai lagi.
"Sampai kapan kau mau bersantai seperti ini, tidak memiliki tunangan sama sekali?" keluh Raja. "Setiap kali kau kami kenalkan dengan putri kerajaan lain atau anak-anak perempuan bangsawan lain kau selalu menolak. Kurang ini, kurang itu. Bagaimana kami bisa dapat kepastian masa depan kerajaan ini?"
"Benar kata ayahmu, nak," Ibunya mengelus lembut punggung tangannya. "Kau adalah putra mahkota satu-satunya di kerajaan ini. Harapan kami dan seluruh rakyat satu-satunya."
"Aku tidak mau punya tunangan yang tidak kukenal baik."
"Ya, kau bisa mengenal dia setelah kalian bertunangan," balas ayahnya kesal. "Tunggu! Bagaimana kalau kau sendiri yang memilih tunanganmu?"
Firasat Jeno buruk.
"Benar juga!" ibunya tersenyum lebar. "Kita akan mengadakan pesta untuk mencari gadis yang tepat untukmu! Semua gadis di kerajaan ini boleh datang, dan kau bebas memilih yang mana paling menarik hatimu."
Satu hal yang mereka tidak ketahui tentang putra tunggalnya; dia tidak pernah tertarik dengan gadis-gadis.
Jeno berakhir di istal. Mungkin berkuda sebentar bisa membantu menenangkan hatinya. Setelah membangunkan Jisung, penjaga istal yang terkantuk-kantuk (Jisung yang malang terjatuh ke tumpukan jerami karena terkejut), ia memacu kudanya. Melesat melewati gerbang istana menuju hutan. Dulu ia pernah diajak berburu sekali-dua kali di sana, tetapi ia tidak pernah menikmati rasanya membunuh hewan tidak bersalah untuk kesenangan.
Setelah sampai di tengah hutan yang lebat, ia menambat kudanya di salah satu pohon dan mulai berjalan masuk lebih dalam. Hanya di tengah-tengah hutan ia bisa bebas mengeluarkan isi hatinya pada rumput yang bergoyang.
Menarik nafas dalam, ia berteriak sekencang mungkin. "Aku tidak mau menikah! Aku tidak pernah tertarik dengan gadis-gadis itu!"
Rasa lega hanya hinggap sesaat, karena ia menyadari ia tidak sendiri. Seorang anak lelaki seumurannya, dengan rambut merah dan taring yang gingsul. Dan anak dengan rambut lavender ('warna yang…, unik?") bermata sipit. Mereka berdua mengenakan pakaian yang berbeda dari yang biasa dipakai di daerahnya. Sial. Jangan-jangan mereka mata-mata kerajaan lain?
Si rambut lavender menanyakan sesuatu pada rambut merah dalam bahasa asing pula. Atau jangan-jangan mereka assassin yang diutus untuk membunuhnya? Imajinasi Jeno semakin menggila.
"Um, jangan khawatir soal yang kau katakan tadi," Si rambut merah tersenyum canggung. "Kami takkan bilang siapa-siapa."
"Siapa kalian?"
"Lebih tepatnya, siapa kau?" Tanya balik pemuda berambut lavender. "Tapi dari pakaianmu sepertinya kau anak orang kaya."
Tanpa berpikir lagi, Jeno berlari. Kabur dari probabilitas akan dirampok atau bahkan dibunuh (oke, terkadang ia overdramatik). Ketika ia tiba di istana, waktu sudah menunjukkan pukul lima; dua jam lagi pesta busuk itu akan dimulai.
"Itu Yang Mulia!" Sang pangeran muda dapat melihat raut lega dari para pelayan dan ia sedikit merasa malu telah membuat mereka khawatir. "Ayo segera mandi dan mempersiapkan diri! Sebentar lagi tamu akan datang!"
Para pelayan sudah mempersiapkan kemeja putih dengan tambahan outer biru, celana dan stocking. Jeno duduk di depan cermin dengan lebih nelangsa lagi. "Kau tahu," mulai kepala pelayan saat menyisir rambutnya. "sering kali semuanya berjalan tidak seperti yang kita inginkan. Dan kita harus mengakui itu."
Wanita paruh baya itu menepuk-nepuk punggung Jeno pelan. "Tapi kita juga harus percaya keajaiban itu ada," Ia tersenyum menenangkan.
Jeno merasa mual.
Pertama-tama, ternyata Rambut Merah dan Rambut Lavender adalah bagian dari rombongan pedagang yang berkunjung ke istana. Ia sangat, sangat bersyukur sepertinya mereka menjaga janji untuk tidak menceritakan apa yang ia katakan tadi. Dan ternyata nama mereka adalah Renjun dan Chenle (Jeno tetap tidak bisa mengucapkan nama Renjun dengan benar dan Renjun tampak tidak keberatan).
Kedua, ia benar-benar mual dalam artian literal. Dengan banyaknya gadis yang datang, banyak pula aroma parfum yang tercampur aduk di udara. Bebauan bunga dan buah yang menyengat. Ditambah lagi dengan mereka selalu berusaha mendekati Jeno, membuatnya merasa tercekik.
Ia tidak tahan lagi. Ia harus pergi dari sana.
Dengan alasan ingin mencari udara segar ia berlari ke luar. Kemana saja, asalkan tidak diketahui gadis-gadis sialan itu. Setelah memutuskan bersembunyi di dapur, akhirnya paru-parunya bisa bekerja kembali. Tapi dia tidak sendiri.
"Sedang apa kau disini?"
Jeno berbalik badan dengan panik. Tapi ia melihat seseorang dengan surai cokelat tua dan mata yang besar dan lembut. Ia sedikit lebih pendek dari Jeno. Pipinya memerah karena panasnya tungku dan demi Tuhan apakah memang benar Tuhan mengutus malaikatnya untuk menyelamatkan Jeno saat ini?
"Aku…,"
"Kau kabur dari para putri itu kan?"
Tidak apa-apa, malaikat juga terkadang bisa berkata kejam.
"Aku memang mendengar kau tidak mau menikah tetapi aku tidak tahu kau akan kabur seperti ini," Ia mendengus. "Duduklah. Aku tahu kau belum makan karena harus meladeni orang-orang itu."
Dengan ragu-ragu ia menerima roti dan semangkuk sup panas darinya. "Makanlah. Mungkin masakan belum seenak kepala koki yang sering kau makan, tapi aku harap kau tidak muntah saat memakannya."
Memang benar ujung rotinya sedikit gosong dan supnya sedikit terlalu panas, tetapi Jeno lebih dari bersyukur bisa mendapatkannya. Ia tersenyum lembut. "Terima kasih. Masakanmu enak."
Sebelum Jeno pergi kembali ke pesta, ia ingin tahu siapa nama pemuda itu.
"Jaemin."
"Namaku Jaemin," ulangnya. Ia tersenyum lebar. Menampakkan deretan gigi yang rapi. Matanya turut tersenyum, berbinar indah seperti bintang.
Jeno sadar satu hal.
Ia tidak pernah merasakan kupu-kupu berterbangan di perutnya atau bagaimana jantungnya berdegup lebih kencang sebelumnya. Ia tidak pernah mengalami hal ini sebelumnya dengan gadis-gadis itu.
Kepala pelayan benar bahwa keajaiban itu ada.
Ia jatuh cinta.
FIN (?)
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Haloooo!
Setelah hampir setaun akhirnya bisa balik ke sini lagi TwT kali ini aku nyoba buat nulis yang lebih light daripada fanfic sebelomnya yang isinya nganu-nganu hehe. setelah GO keluar dan nana balik ke nct dream + jeno yang ya ampun ganteng banget pas we young lahirlah fic nista ini (maaf ya ini gakuku ganana mereka gans pol). Also, ini sebenernya emang endingnya rada nggantung kan, jadi its up to you guys mau ada lanjutan jeno ngejar2 nana ato ngga. Tolong banget, nget, nget buat reviewnya so i can know ini mau dikasih chap 2 dan which part yang kurang ato gajelas ato terlalu nista ehe 3
