Previous Story:

"Apabila bayanganmu di cermin semakin habis dan panjang bayanganmu ketika kamu berdiri di bawah cahaya matahari senja semakin pendek, maka itulah saatmu meninggalkan dunia ini."


"Kamu akan mati kurang dari dua hari lagi."

Di dalam cermin sana terpantullah bayang kepala sampai bahuku saja. Tanpa bagian dada sampai kaki. Sosok Sasuke pun turut ada. Namun tubuhnya yang di bungkus kaos lengan panjang hitam polos dan celana jins dengan warna senada terlihat utuh.

Dari dalam cermin, dapat kulihat pula seringai seram sarat kebahagiaan dari wajah pucat Sasuke di kala melihat raut hororku.

"Seperti yang sudah kukatakan empat puluh hari yang lalu. Saat kamu tidak mendapati pantulan dirimu di cermin, itu berati kamu harus ikut ke tempatku."

Dan meninggalkan Naruto di sini.


"Tidak Naruto. Maafkan aku."

Kugerakkan jemari tangan kiriku untuk melepas cincin tunangan yang kupakai.

Naruto — tunanganku – masih menatapku dengan bibir yang masih berbentuk senyuman saat kuletakkan cincin itu di depannya. Aku tidak tahu bagaimana sorot matanya. Aku terlalu takut untuk menangkap perasaan seperti apa yang tergambar dari kedua irisnya.

"Aku sadar kalau aku tidak mempunyai perasaan apapun padamu."


"Sakura?! Darah!"

Sedetik usai Naruto memekik terkejut, barulah dapat kurasakan aliran cairan hangat nan amis yang entah sejak kapan sudah membanjir dari kedua sela kakiku. Membuat rok kuning gading selutut yang kupakai basah kuyup oleh cairan berwarna merah tersebut.

Rasa sakit di kepalaku seperti saat teringat akan mimpi buruk yang kualami pun turut hadir. Aku ingin berpegangan pada Naruto. Ingin merasakan kehangatan genggamannya.

Kubuka kedua kelopak mataku untuk mencari tangannya. Namun kedua irisku justru bergulir ke arah lain, ke arah bayanganku lebih tepatnya. Seketika itulah, aku gemetar.

Matahari sore yang menyinariku terasa hangat. Namun tidak dengan tubuhku yang menggigil takut. Harusnya, bayangan tubuhku memanjang di sana. Tapi yang kulihat justru sebaliknya.

Aku, akan mati.


"Aku selalu mencintaimu, apapun yang terjadi."

Tangisku pecah seketika. Air mataku menyatu dengan air mata lain yang ikut merembes dari pelipisku.

"Kamu akan sembuh dan kita akan bahagia bersama."

Naruto bodoh?!

Aku tidak akan sembuh. Penyakitku ini sudah stadium akhir dan nyawaku sudah semakin dekat ke dalam genggaman tangan shinigami itu.

Ya. Sasuke sudah menunggukku. Dia sudah menyambutku dengan kedua tangannya yang terbuka lebar. Dan kini dia sudah ada di sampingku. Dia sudah hadir dengan senyum gembiranya dan telah berdiri di belakangmu, Naruto.

Sayangnya kamu tidak tahu. Kamu manusia yang masih jauh dengan ajalmu. Kamu tidak akan bisa melihat seringai senang Sasuke walau kamu berbalik ke arah Sasuke berdiri.

Aku sudah dijemput. Aku sudah sampai pada batasnya.

"Saatnya tiba, sayang." Ucap Sasuke.


Sebelum aku benar-benar terpejam, aku menangkap siluet pirang dari surai jabrik berikut dengan kedua iris sapphirenya dari belakang punggung Sasuke.

Itu Naruto?!

Tapi, bagaimana dia bisa ada di tempat Sasuke tadi? Kenapa dia menatapku begitu? Dia terlihat bahagia.


"Tentu saja." Sasuke terdengar menyetujui.

"Aku akan berusaha. Shinigami juga boleh menentukan jodohnya sendiri." Naruto berujar bangga.

Tunggu!

Shi..ni..gami?

Shinigami...

"Aku duluan, Dobe."

"Hati-hati, Teme."

Naruto dan Sasuke...

...Shinigami?


"Aku mencintaimu, Sakura. Apa kamu juga mencintaiku?"

Sasuke mencintaiku?

Sasuke...

Ada yang aneh. Aku tidak tahu apa itu. Aku ingin mengingatnya tapi bayang-bayang wajah Sasuke semakin memenuhi otakku. Mengisi pikiranku hanya tentang Sasuke. Tidak dengan yang lain.

Suatu kehangatan menjalari hatiku saat teringat semua memori itu. Membuat rongga dadaku melambung bagai ada ribuan kupu-kupu yang berterbangan di dalamnya.

Kedua tanganku bergerak membingkai wajah pucat tapi tampan di hadapanku ini.

Tampan?

Kenapa aku baru sadar kalau Sasuke begitu menarik?

"Ya. Aku sangat mencintaimu Sasuke-kun."

Apa yang bibirku rasakan usai mengucapkan kalimat itu adalah sebuah benda lunak dan basah yang menekan bibirku lamat-lamat. Juga dengan semakin majunya tubuhku ke depan hingga membuat dadaku sesak karena berdempetan dengan dada seseorang di depanku, dada Sasuke.

Kesadaranku semakin menghilang saat aku mulai merasakan tubuhku yang terbaring berikut dengan bisikan lirih di telingaku.

"Kamu milikku sekarang."


Sakura Hanami Proudly Present

Sequel of Shinigami Mate

.

.

.

Prologue

.

.

.

"Kamu tahu?" Tanya Orochimaru pada seorang pria cilik bersurai biru dongker yang tampak kepayahan mengatur napasnya.

Anak itu membuat jeda sejenak sebelum kembali menguarkan pertanyaan balik. Mengabaikan jawaban untuk lelaki dewasa yang duduk di balik meja besarnya beberapa meter di depan sana.

"Mengambil nyawa yang bukan haknya merupakan kesalahan fatal kan?"

Orochimaru spontan menarik kedua sudut bibirnya saat mendengar apa yang anak laki-laki itu tanyakan lagi.

"Memang Uchiha. Eksistensimu tidak perlu di ragukan lagi walau masih berumur sepuluh tahun."

Gerakan cepat naik turun dada anak itu mulai memelan. Tanda bahwa dia sudah bisa mengatur nafasnya. Kedua mata setajam elangnya terpejam. Hanya beberapa detik dan saat kedua iris hitamnya nampak kembali, sinar keseriusan yang lebih terpancar sangat jelas dari sana.

"Apa yang akan terjadi setelahnya?" Tanyanya lagi . Masih mengabaikan ucapan Orochimaru yang sama sekali melenceng jauh dari inti pertanyaannya.

Sikap yang tak sopan memang tapi Orochimaru sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut. Dia justru terlihat semakin senang. Ditandai dari senyumnya yang bertambah lebar.

"Menurutmu apa selain kehancuran Uchiha?"

Kedua bola mata anak itu langsung melebar sedetik usai perkataan Orochimaru berakhir. Dia tergugu. Tak dapat menyangkal lagi. Terlebih saat menilik kedua iris ular lelaki berambut panjang yang masih tersenyum lebar itu, tahulah dia bahwa tidak ada kebohongan dari mulutnya.

.

.

.

Fight Between Father and Son

.

.

.

"Seperti Madara dulu."

Tobi tidak merespon Zetsu. Dia tetap menatap lurus langit senja di luar jendela besarnya.

"Semua harus diakhiri, Itachi. Adikmu sumber bahaya."

Sama seperti Tobi, Itachi pun bergeming dalam posisinya yang tengah bersandar pada dinding di sebelah kiri jendela besar. Dia terpejam sambil bersedekap.

"Bagaimana yang dikatakan ramalan?" Akhirnya Tobi angkat suara. Namun tanpa mengubah posisinya.

"Hideaki yang harus melakukannya." Jawab Zetsu.

"Kalau begitu..." Itachi menggantung kalimatnya. Dibawa lah tubuhnya menuju satu-satunya pintu di ruangan ini.

"Aku percaya pada keponakanku."

Itachi pun membuka pintu. Meninggalkan Zetsu dan Tobi berdua saja.

.

.

.

Punishment for Naughty Shinigami

.

.

.

Pisau itu terangkat tepat di atas Sakura yang tertidur pulas. Dalam satu tarikan napas, tangan yang memegang pisau itu meluncur cepat ke bawah. Meninggalkan segaris cahaya putih biasan sinar bulan purnama dengan mata pisau tersebut dari jendela yang terbuka.

"Hideaki!"

Sedetik berlalu tanpa terasa. Begitu pula dengan kilatan putih yang akan menghunus Sakura berbelok ke arahnya sedetik usai teriakannya bergema ke seluruh sudut kamar. Mengagetkan Sasuke yang tidak siap terhadap reaksi di luar dugaannya.

.

.

.

Uchiha Crisis

.

.

.

Itachi melirik Shisui yang berdiri di sebelahnya.

"Uchiha tidak akan mati."

Ya.

Itachi tahu siapa yang sebenarnya akan 'mati'. Terdengarlah suara dengusan tawanya. Menertawakan kekalahan adiknya sendiri.

"Kamu percaya?"

Itachi menengadah. Menatap langit mendung menggemuruhkan guntur yang bergumpal di atasnya. Sebuah senyum yang tidak ditutup-tutupi dapat dilihat Shisui dengan jelas walau dari posisi menyamping seperti ini.

"Kenapa tidak?"

.

.

.

Reinkarnation Beginning of New Live

.

.

.

Seorang pria muda berperawakan tinggi berjalan santai dengan kedua tangan bersemayam di dalam saku jins hitamnya. Pria itu tampak tidak peduli sekitar. Pandangannya hanya lurus ke depan.

Dari arah yang berlawanan, seorang laki-laki cilik berjalan riang. Langkah kecilnya melompat-lompat ringan. Tak lupa pula senyum merekah cerah di wajahnya yang terlihat tampan untuk anak berumur sekitar tujuh tahunan sepertinya.

Keduanya pun berpapasan. Saling melewati arah yang berbeda. Namun langkah kaki pria tinggi dengan rambut kebiruan acak-acakannya itu tiba-tiba saja berhenti setelah dua langkah berlalu melewati anak kecil itu.

Untuk beberapa saat dia tetap diam tak bergerak. Mengumpulkan kesadaran atas apa yang tadi di dengarnya kala bersebelahan dengan anak itu sebelum dia memutar pelan punggungnya.

Di sana, beberapa langkah di belakangnya, anak laki-laki itu telah menatapnya penuh.

Dia menahan napas. Walau tidak memperhatikan bagaimana ekspresi laki-laki kecil itu sebelum lewat di sebelahnya, tapi dia cukup tahu akan langkah riang si cilik berambut hitam mencuat tersebut. Dari situ saja dia sudah dapat menduga bahwa anak itu pastilah tengah tersenyum gembira sepanjang perjalanannya.

Tapi apa yang dilihatnya sekarang sungguh berbeda. Seringai yang terpatri di bibir dengan kedua alisnya yang bertaut sama sekali tidak mempelihatkan ekspresi layaknya seorang anak kecil. Wajah yang harusnya masih polos itu kini justru terlihat menyeramkan.

Dan dia mengenali siapa anak kecil itu.

"Kamu sudah besar ya, Hideaki."

Dia pun sangat tahu sosok di belakangnya ini meski di wujudnya yang berbeda dari sebelumnya.

"Senang bertemu denganmu lagi."

Sebuah garis melengkung ke bawah tercipta di bibirnya. Rencananya sukses.

"Senang juga bertemu kemballi denganmu, Ayah."

.

.

.

.

.

Coming Soon


Author Note

Aloha :D

Pada akhirnya aku bikin sequel untuk Shinigami Mate karena banyaknya yang minta di bikinin sequel. Untuk yang belum tahu Shinigami Mate, silakan lihat di list fanficku^^

Aku mengucapkan terima kasih kepada yang sudah mereview baik yang login, lewat pm atau pun lewat sms langsung kepada saya. Makasih juga buat silent rider.

Untuk tester awal, aku cuma ngeluarin (?) prolog. So, mau di keep or delete? ;)

Aku tunggu dari respon yang masuk

Salam,

Sakura Hanami