Rating:T
Ringkasan: Liburan panjang ex-CP9 (dari judul udah ketahuan kan?). Menjadi buronan tidak menghalangi mantan agen pemerintah itu bersenang-senang. Ini buat Lolu-san XD.
Disclaimer: One Piece © Eichiro Oda
A/N: Beneran aku nggak tahu kalau Sadi bisa minggat dari Impel Down buat jualan baju! Aku pengen buat fic yang memepertemukan kedua sadisme itu aja (referring Sadi sama Lucci), tapi mungkin lain kali porsinya lebih banyak, hai...hai... Buat yang berharap Jya yaoi sama Kaku, tetaplah bermimpi! Karena kutekankan aku tidak membuat fic yaoi (tapi aku memang nggak pernah kepikiran bikin kok). Dan kuucapkan selamat membaca!
Liburan VIP
Ini murni masalah kebiasaan. Rob Lucci, setelah belasan tahun dalam hidupnya hanya memakai pakaian resmi warna hitam yang terlihat rapi bak salesman, sekarang harus melepas kebiasaan itu. Mengapa? Bukannya baju-baju itu kesukaannya? Mengingatkannya pada kerapian dan kesempurnaan?
Hm...sebenarnya itu dulu. Keadaan sekarang tidak memungkinkan dia untuk mengenakan baju seperi itu (lagi). Setahunya memang hanya dia, dan Blueno yang selalu mengutamakan kerapian dalam misi. Mereka mengenakan setelan hitam formal dengan saputangan putih di saku dada. Tapi itu sebagai agen pemerintah! Sekarang mereka tidak lagi berperan seperti itu di sini. Lucci tidak bisa mengenakan baju formalnya, karena baju itu tidak layak digunakan sehari-hari kata Kalifa (tapi sejak kapan dia mendengarkan Kalifa?), karena terlalu formal. Yang lain? Mereka tidak terlalu bermasalah dengan itu, karena pakaian mereka tidak pernah terlalu formal. Perubahan ini tidak mempengaruhi mereka. Mungkin hanya dia dan Blueno, tapi kelihatannya Blueno juga tidak peduli tentang hal ini kan? Jadinya kira-kira Lucci sendiri yang menemukan kebutuhan aneh untuk mengganti cara berpakaian.
Pembunuh berdarah dingin itu memulai dengan kaos-kaos pendek seperti yang digunakannya dalam misi sebelumnya di Water 7. Apapun baju yang dia pilih, itu harus menutupi tubuh atasnya. Bukan karena bagian tubuh atasnya tidak bagus. Ayolah ini Lucci! Mana mungkin bagian tubuh atasnya tidak bagus? Tapi Lucci tidak ingin punggungnya terekspos.
Biar sebenarnya hanya sedikit orang yang tahu kisah tentang 15 tahun lalu itu, tapi tetap saja luka itu terlalu menakutkan, dan menarik perhatian kalau dia biarkan terlihat. Bahkan Lucci tidak pernah memperlihatkan punggungnya pada siapapun dalam misi penyamaran manapun. Punggungnya terasa seperti bukti kelemahan yang tidak bisa hilang, dan ini sebenarnya cukup menganggu.
Pilihan kedua adalah kemeja. Lucci mengenakan kemeja ketika keluar dari rumah sakit, benar kan? Tapi itu mutlak bukan karena dia menginginkannya. Baju itu sumbangan, eh...dari Kaku. Karena tidak mungkin sekali mereka membiarkannya keluar dari rumah sakit dengan keadaan setengah telanjang. Meski sebenarnya itu juga tidak apa-apa. Kan waktu itu badannya nyaris terbungkus oleh perban? Punggungnya juga tidak akan terlihat dari balik perban itu. Tapi (lagi-lagi) Kalifa menganggap itu kurang layak.
Kalifa boleh dibilang tidak berubah karena peristiwa ini, dia tetap anggota agen yang fashionistic, dan sepertinya sangat peduli dengan apa yang rekan-rekan lain kenakan. Sebaliknya, Lucci merasa hidupnya terasa begitu kosong. Lagipula bagaimana dia menganggapnya? Damai? Untuk pertama kali Lucci tidak harus berkonsentrasi pada misi-misi yang dia dapatkan, tentang bagaimana menyelesaikannya dengan sempurna tanpa adanya tambahan kematian dari pihak korban yang tidak sengaja terlibat. Sebenarnya itu adalah nilai tambahnya sebagai agen. Jarang melakukan kesalahan.
"Mmmm, baju apa yang Anda cari? Sadi-chan siap membantu."
Seorang wanita muda berambut pirang lebat dan berponi yang meutupi matanya bertanya. Lucci memandang wanita muda di depannya. Perempuan berbaju seksi merah menyala ini bukannya salah satu sipir penjara Impel Down?
"Apapun yang cocok untukku."
"Ehmmm, begitu? Kalau begitu ambil warna-warna natural beige itu, kurasa kau cocok dengan kaos atau kemeja, terserah kau saja."
Lucci memang tidak pernah menggunakan, dan ini memang bukan waktunya untuk mulai, warna terang. Tapi dia merasa putih tidak terlalu mencolok juga. Diambilnya beberapa kemeja dan kaos warna gelap, juga celana panjang dan barang-barang lain yang mungkin dia butuhkan. Kasir bahkan sepertinya senang melihatnya belanja banyak, dan untuk sepintas, tatapannya tertuju pada dasi-dasi yang kelihatan rapi di balik etalase. Bibirnya membentuk seringai, sekarang dia tidak membutuhkan benda-benda itu lagi.
"Cooo..." Bahkan Hatori juga tahu.
"Lucci, belanja banyak?" Lucci menoleh, dia melihat Kalifa kembali dengan setidaknya lima bungkusan tas besar. Ayolah, gadis itu tidak mungkin membutuhkan semua baju itu kan? Lemari hotel mungkin tidak cukup untuk menyimpannya. Dia sendiri hanya membawa dua tas kertas. Dan menurutnya ini sudah banyak.
"Karena aku tidak punya pakaian ganti lagi. Jas sekarang kelihatan terlalu formal."
"Aku juga berpikir begitu." Gadis sekretaris itu tersenyum simpul. Dia mengayunkan tas-tas belajaannya. "Ayo pergi ke kafe." ajaknya.
"Dengan tas belanjaan begini? Kita harus kembali ke hotel dulu. Ini memalukan." Lucci memandang orang-orang yang memandang ke arah mereka. Sebagian otaknya berpikir, apa orang-orang itu melihat mereka berdua sebagai shopaholic? Kalifa mungkin iya, tapi dirinya hanya memenuhi kebutuhan darurat untuk baju. Lagipula Kaku dan yang lain pasti berbelanja juga kan?
"Baiklah. Tapi setelahnya ini kita akan pergi ke kafe." Kalifa masih tersenyum. Mungkin dia senang orang-orang jalanan 'melihat' kearahnya ketika mereka berjalan. Bukankah dia adalah wanita berambut pirang?
"Ada apa dengan kafe ini? Mengapa kita harus ke sana?"
"Aku ingin bertemu kawan lama."
Dan Lucci langsung tidak menyukai ide ini. Ketidaksukaannya terpancar dari wajah yang selalu tenang itu. Meski begitu Kalifa yang terbiasa untuk tahu sesuatu hal tentang Lucci walau Lucci tidak mengucapkan atau menampakkan apapun dalam ekspresi wajahnya, dia tahu tentang ketidaksukaannya ini. "Ayolah, kau pernah bertemu dengannya, mereka pindah ke sini beberapa hari lalu."
"Dan bagaimana kau menemukannnya?" tanyanya skeptis.
"Sebuah kebetulan, kau percaya itu? Di kota sebesar ini kita bisa bertemu dengannya lagi."
Lucci tidak mengucapkan apapun sebagai balasan. Dan mereka memasuki sebuah lobi hotel yang cukup, er...mewah. Kalifa tahu ini beresiko. Orang sialan yang selalu menumpahkan kopi panas ke celananya itu bisa jadi mencari informasi keberadaan mereka lewat agen-agennya (kemungkinan CP8, semenjak CP9 bubar di Enies Lobby) tapi Kalifa tidak ingin menjadikan itu alasan untuk harus tinggal di penginapan kecil sederhana untuk mengantisipasi hal ini. Dua alasan yang telah mereka setujui bersama.
Pertama, mereka ini ex-CP9, bahkan dari generasi paling kuat yang pernah ada. Kecuali ketiga admiral dan sengoku sendiri yang datang, dan kelihatannya tidak mungkin petinggi-petinggi itu mengurusi hal rahasia begini, mereka tidak perlu khawatir.
Dan alasan kedua, mereka ingin sedikit bersenang-senang (bahkan Lucci setuju dengan hal ini) menikmati hasil kerja mereka dari kecil. Jadi setelah kerja rodi dari kecil itu, mereka bisa dibilang cukup kaya sekarang. Bukankah sewaktu mereka menjadi agen tidak pernah punya kesempatan untuk menghamburkan bayaran yang mereka terima?
"Selamat datang kembali tuan Lucci, dan nona Kalifa," Seorang resepsionis menyapa mereka. "Apakah liburan anda menyenangkan?"
"Lumayan. "Kalifa memandang lobi yang jadi lebih penuh dari waktu mereka datang.
"Ada apa ini, apa musim libur sudah datang?" tanyanya penasaran. Kalifa termasuk orang yang menganggap informasi adalah kekuatan. Sebagai mantan agen pemerintah, sifat itu masih terbawa. Lucci cuma mengamati kerumunan orang yang kelihatannya banyak datang dengan berpasangan itu.
"Tidak. Kami memang baru saja menawarkan sebuah paket bulan madu bagi para pasangan muda yang baru menikah. Apakah Anda berdua tertarik juga? Kami mengenakan biaya spesial bagi orang-orang seperti Anda."
Kalifa memaku senyum 'tulusnya' dan melirik Lucci dengan cepat. Berharap laki-laki itu tidak marah mendengar perkataan barusan. Dia memandang resepsionis yang kurang beruntung (apabila Lucci tiba-tiba ingin membunuhnya) itu, menggeleng cepat. "Maaf, tapi kami bukan..eh pasangan."
"Bukan?"
Duh! Tapi mereka hanya memesan satu kamar dengan dua tempat tidur. Mereka menganggap ini cara yang bagus untuk menyamarkan jejak, kalau ada yang mencari jejak mereka. Lagipula Kaku juga sekamar dengan Jyabura. Ini juga untuk mengantisipasi kalau ada yang berbuat keributan, atau tepatnya menghancurkan kamar hotel, dalam kasus Fukurou dan Kumadori (untunglah Blueno bersedia menjadi pengasuh mereka) Kalifa bisa dibilang cukup beruntung karena akhir-akhir ini Lucci lebih manusiawi dibanding masih menjadi agen pemerintah.
"Kami punya acara bulan madu sendiri." kata Lucci tiba-tiba. Sedikit mengagetkan, eh bukan, mengagetkan sekali malah, kata-kata itu keluar dari bibirnya.
"Lucci?" Kalifa berkata pelan. Merasa 'senyum tulusnya' nyaris permanen terpaku di wajahnya.
"Kami ingin kembali ke kamar. Ada yang lain?"
"Eh, tidak. Kalau begitu silahkan tuan Rob Lucci dan 'nyonya' Kalifa."
Kalifa berjalan cepat ke lift. "Mengapa kau mengatakan hal itu?" tanyanya tidak nyaman, meski memang seharusnya peran itulah yang mereka mainkan: Pasangan muda yang berbulan madu.
"Hanya mencoba untuk tidak mencurigakan. Memangnya apa yang kau harapkan dari laki-laki dan perempuan muda yang memesan satu kamar untuk berdua?"
"Aku tahu." Kata Kalifa lirih, nyaris seperti bisikan.
Lift cepat terbuka, dan lagi, kosong. Kalifa merasa kalau peran ini menyenangkan kalau Lucci begini manusiawi. Mungkin pandangannya tetap dingin dan menusuk, tapi setidaknya hasratnya akan darah dan pembantaian massal tidak terlihat lagi. Berdua dengan Lucci, Kalifa tidak ingin lift ini cepat sampai ke lantai kamar mereka. Meski nanti di kamar juga hanya ada mereka berdua. Mereka berdua saja. Apa Lucci juga terpengaruh pada hal itu? Rasanya ini akan sulit dipastikan. Lucci tetaplah Lucci, dia selalu sedingin biasa. Atau mungkin Kalifa bisa menghangatkannya?
"Kau mau keluar atau berdiri di situ seharian?" tanya Lucci dari...luar? Mengapa lift hotel ini beroperasi cepat sekali? Rasanya baru beberapa detik...
Tunggu, apa ini wajar kalau dia mengeluh seperti itu?
Lucci berjalan duluan ke kamarnya, atau kamar mereka. Tepat ketika salah satu pintu kamar terbuka, dan seorang pelayan hotel keluar dengan ketakutan.
"Kau membakar baju favoritku, sialan! Pelayanan hotel macam apa ini?" terdengar gerungan yang nyaris menyerupai hewan. Kalifa jadi curiga kalau Jyabura benar-benar menampakkan sosok zoan-nya secara tidak sengaja ketika sedang marah.
"Jyabura, kau berisik sekali."
Jyabura, yang baru menyadari keberadaan Lucci, langsung menyeringai, melihat tas di tangan Lucci, dan kemudian Kalifa.
"Jadi pasangan baru baru saja berbelanja." Entah maengapa amarahnya tadi lenyap begitu saja, mungkin karena bertemu rivalnya. Kalifa menggunakan kesempatan ini untuk mengisyaratkan pada pelayan hotel tadi untuk pergi.
"Kalau kau cuma punya satu baju, kau memang harus berbelanja." balas Lucci pada Jyabura yang hanya mengenakan kimono mandi hotel. Wajah Jyabura memerah, dia mendesis. Kalifa yakin laki-laki itu akan berubah menjadi...
"Hentikan Jya. Lucci benar, kau harus berbelanja." Suara aneh yang terdengar tua datang dari dalam kamar.
"Jadi maksudmu aku harus berjalan ke toko dan memilih baju begitu? Kedengarannya seperti perempuan."
"Jya, aku memang perempuan!" Kalifa menjawab sengit. "Dan kurasa kau sudah berbelanja Kaku."
Laki-laki termuda itu mengangkat bahu. "Memang sudah."
"Apa? Kenapa tidak bilang padaku?" Jyabura menggerung marah.
"Kau kan menolak kuajak waktu itu. Ya sudah, aku pergi sendiri saja."
"Tapi setidaknya..."
"Kita pergi." Lucci berkata, menarik tangan Kalifa yang sarat bawaan, mengabaikan pertengkaran kedua rekan mereka itu. Kalifa sih menurut saja, lagipula mengapa harus menolak? Kamar mereka berdua ada di ujung.
Bunyi ceklikan kunci yang menyenangkan terdengar dari kunci elektronik yang diputar Lucci. Dan mereka mendapati kamar mereka yang lumayan mewah, dan bersih setelah dibersihkan. Lagipula kamar mereka juga tidak terlalu kotor sewaktu ditinggalkan.
"Baiklah, kutunggu kau mengganti baju lalu kita pergi menemui temanmu itu."
Eh? Mengganti baju. Mengapa dia harus mengganti baju?
Tapi Kalifa menurut. Tas-tas itu dia letakkan di kaki ranjangnya. Akan ada waktu untuk membongkar belanjaannya nanti. Dia mengambil sebuah dress hitam berenda agak klasik dari salah satu tas, dan berjalan ke kamar mandi. Sebenarnya tidak apa-apa kalau dia berganti baju di depan Lucci, tapi...
Kalifa memandang Lucci yang telah meletakkan bawaannya dan mengambil koran untuk dibaca, sama sekali tidak melihatnya untuk mencari tahu baju apa yang akan dia pakai nanti. Atau laki-laki itu sudah kelewat hapal dengan seleranya?
Dia tersenyum, mengusir angan-angan aneh itu dan menutup pintu kamar mandi. Sudahlah Kalifa, apa menurutmu Lucci laki-laki yang seperti itu?
Tapi bibirnya mengulum senyum juga sewaktu memikirkan kemungkinan ini.
Ada kemajuan sekitar 300 kata lagi. Yay! *aku aneh ya?* Aku tiba-tiba bangun selewat tengah malam dan nggak bisa tidur lagi. Jadi aku tergerak *hehehe* untuk mengetik fic. Lagi-lagi idenya muncul begitu aja, jadi aku tinggal meneruskan.
Semoga fic ini bisa mengimbangi kadar ke-yaoian fic CP9 yang sering banget aku temukan di fandom. Bukannya aku sok nggak suka yaoi, oke kadang-kadang aku baca sesekali. Tapi ake penganut heterogenisme, jadi yang berharap Jya jadian sama entah Lucci atau Kaku (hei! Bukannya kisah pacaran Jyabura-Gatherine membuktikan kalau laki-laki itu lebih dari sekedar straight!) maaf, tapi aku tidak bisa mengabulkan harapan kalian. Selebihnya, reviewlah! Thanks juga for reading ya?
-Ini for you deh Lolu-san XD, atau dirimu mau request something in particular *halah...* dulu aja ?-
