Tampak seorang gadis bermata lavender sedang menggenggam sebuah amplop sambil melihat situasi di sekitarnya. Dengan cepat ia bersembunyi di belakang pohon besar dan mulai membuka amplop yang diterimanya. Perasaannya kacau membuat tangannya gemetar memegang kertas dari dalam amplop, gadis itu mulai membaca isi amplop tersebut,

DENGAN INI KAMI NYATAKAN PESERTA YANG BERNAMA :

HYUGA HINATA

TIDAK LULUS.

Air wajahnya langsung berubah diiringi mata yang berbinar-binar dan seulas senyum.

DEVIL AND THE BAD BOY

.

.

Naruto © Masashi Kishimoto

Disclaimer : Naruto dan kawan-kawan murni goresan tinta Masashi Kishimoto, aku cuman minjem.

Rated : T

Pairing : NaruHina (main)

WARNING : Cerita abal plus pasaran n GJ, alur kecepetan, OOC, typo(s) dan gangguan lainnya.

DLDR

RnR

Happy Reading

Sebuah keluarga tengah berkumpul menunggu sebuah kabar, raut wajah ketegangan tercetak jelas di setiap wajah mereka. Suara ketukan pena dan derap kaki menggema hebat di ruangan yang tengah dinaungi keluarga tersebut, sesekali sorot mata mereka bertemu dengan jarum jam dinding nan sibuk berputar.

"Ayah, kenapa Hinata lama sekali?" tanya Neji di ambang kegelisahannya, kerap kali pemuda itu menggigit bibir bawahnya.

"Ayah juga tidak tahu Neji, mungkin sebentar lagi." balas Hyuga Hiashi yang sibuk mengitari ruang tamu.

"Tou-san, nee-san, bisakah kalian bersikap tenang? Konsentrasiku bisa pecah jika melihat tou-san dan nee-san bertingkah seperti ini!" gerutu Hanabi sambil mengetukkan ujung penanya ke meja kayu. Tapi tetap saja, Hiashi dan Neji enggan menghentikan ritual itu dan menganggap ucapan Hanabi sebagai angin lalu.

"Ugh, ya sudah! Aku mengerjakan tugas ini di kamar saja!" Hanabi mengambil buku-buku dan alat tulisnya lalu berjalan menuju kamarnya dengan kesal. Ia membuka pintu kamar dan membantingnya dengan keras, dinding di sekitarnya langsung retak serta pigura yang menempel di dinding terjatuh dan pecah.

"Ayah, sepertinya besok kita harus merenovasi rumah lagi." saran Neji lalu menunjuk-nunjuk dinding yang retak. Sang ayah hanya bisa mengangguk paham.

Krek!

Decitan pintu terdengar dan menelusuri gendang telinga Neji maupun Hiashi, tampak seorang gadis berambut hitam memasuki rumah lalu menutup pintu dengan pelan. Langkahnya terlihat ringan dan sebuah senyuman terpatri indah di wajah cantiknya, tangan kanannya yang mengenggam sebuah amplop membuat kakak dan ayahnya semakin penasaran. Tatapan gadis itu terhenti ke dinding yang penuh dengan retakan.

"Nee-san, apakah Hanabi marah lagi?" tanya gadis yang baru saja memasuki rumah.

"Yah, begitulah..." jawab Neji sambil menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak terasa gatal. Hinata menatap Neji datar dan berlari kecil menuju kamar pribadinya. Hinata sudah terlalu bosan dengan sikap kakaknya yang enggan mengalah dengan Hanabi.

"Tunggu dulu Hinata!" perintah Hyuga Hiashi, Hinata langsung berhenti dan menoleh ke belakang menatap ayahnya.

"Ya, ada apa ayah?" ujar Hinata lengkap dengan memasang wajah innocent nya.

"Bagaimana dengan hasil tes mu Hinata?"

Napas Hinata langsung tercekat, kenapa ayahnya bisa ingat bahwa hari ini ia menerima hasil tes? Otaknya berfikir keras tentang cara menyampaikan kabar buruk itu menjadi tidak terdengar buruk, tapi tetap saja otaknya buntu. Hinata hanya bisa menunduk, ia tak berani menatap wajah ayahnya yang terkadang berubah menjadi sangar. Gadis itu menghirup udara dalam dan mengumpulkan keberaniannya.

"A… aku tidak lulus…"

Neji dan Hiashi terkejut! Mata yang terbelalak dan mulut yang menganga tak percaya memperkuat keterkejutan mereka. Dunia seakan berhenti berputar dan waktu berhenti enggan untuk berjalan. Napas mereka menderu-deru setelah mendengar kabar buruk itu, Hinata mencoba melarikan diri namun gagal. Pergelangan tangannya telah digenggam Neji dan mengambil amplop yang sedari tadi berada di tangan kanannya. Neji membuka lalu membaca isi amplop, hatinya semakin remuk saat melihat tulisan tidak lulus tercetak besar di kertas itu.

"Maafkan aku…" ucap Hinata lirih, ia kembali berjalan menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat, meninggalkan kakak dan ayahnya yang tengah dilanda shock berat.

Gadis cantik itu menghempaskan tubuh kecilnya ke kasur empuk yang terletak di kamarnya, ia menutup mata dan membukanya lebar lebar. Tampak langit-langit kamar yang berwarna ungu memenuhi pandangannya. Beberapa detik kemudian, seulas senyum kembali diciptakan bibir tipis itu dan suara tawa kecil akibat kebahagiaan yang dirasakannya. Mungkin terdengar aneh jika seseorang terlihat sangat bahagia saat dinyatakan tidak lulus. Tapi bagi Hinata, itu merupakan sebuah prestasi besar. Hinata yang terlalu bahagia memeluk bantal gulingnya dengan erat sambil menenggelamkan tubuhnya di dalam selimut hangat yang tebal. Tak terasa, gadis itu terbuai dalam kantuk yang menyerangnya.

҉҉҉

"Ayah, bagaimana ini? Ini sudah yang kesepuluh kalinya Hinata gagal dalam tes masuk Sekolah Iblis!" cemas Neji. Hiashi memijit pelipisnya mencoba mengurangi rasa sakit yang menghinggap di kepalanya.

"Ayah juga tak habis pikir Neji. Hinata adalah anak yang pintar, bahkan dia yang mengerjakan tugas akhirmu di Sekolah Iblis. Tapi, kenapa ia tak mampu lulus dalam tes masuk Sekolah Iblis?"

Tiba-tiba pintu kamar Hanabi terbuka lebar dan memperlihatkan seorang anak kecil keluar dari kamarnya. Ia mendekati ayah dan kakaknya dengan perasaan senang.

"Nee-san, apakah nee-chan sudah pulang? Ada soal yang tak bisa ku kerjakan." tanya Hanabi, Neji memberi death glare kepada adik bungsunya yang tidak bisa membaca situasi dalam klan Hyuga saat ini.

"Hanabi, kakakmu gagal lagi." berita buruk itu akhirnya tersiar kepada Hanabi. Mata lavendernya membulat tak percaya, dengan sedikit berlari gadis kecil itu menuju kamar Hinata. Rambutnya lurus memperindah adegan lari-lari kecil Hanabi.

"Hanabi, kenapa kau pergi ke kamar Hinata?" tanya sang ayah, Hanabi menghentikan adegan lari-lari kecilnya.

"Aku ingin menanyakan kebenaran berita itu."

"Jangan Hanabi, mungkin Hinata kini tengah bersedih dan mengurung diri karena gagal dalam tes masuk Sekolah Iblis." jawab Neji, Hanabi langsung terdiam mendengar penuturan kakaknya. Yah, bisa saja sekarang Hinata tengah meratapi nasibnya di dalam kamar dan menginginkan keadaan seorang diri.

"Yang terpenting, sekarang kita harus memikirkan cara bagaimana Hinata bisa lulus tetes masuk Sekolah Iblis." Neji dan Hanabi mulai berpikir, bagaimanapun juga Hinata itu sangat pandai. Sayang jika otaknya yang cemerlang itu tidak digunakan bangsa iblis.

"Ayah, bagaimana kalau kita beri nee-chan kumpulan soal-soal tes masuk Sekolah Iblis biar nee-chan bisa memprediksi soal-soal yang akan keluar?" saran Hanabi.

"Telah ayah coba Hanabi, kakakmu bisa menjawab semua soal-soal prediksi dengan benar. Hanya saja ayah heran, kenapa di saat tes ia tidak bisa menjawabnya?"

"Mungkin saja situasi saat Hinata mengerjakan soal ujian tidak memungkinkan. Seperti ada yang meribut, menyuruhnya memberikan contekan, atau yang lainnya." kini Neji mulai unjuk gigi.

"Tidak Neji, Hinata ikut ujian secara privat, dimana di dalam kelas itu hanya ia sendiri dengan seorang pengawas." sanggah sang ayah.

"Lalu karena apa?"

Tik…

Tik…

Tik…

Hiashi berdiri dari tempat duduknya dan berdiri tegap. Neji maupun Hanabi sontak menoleh ke arah sang ayah.

"Tidak ada cara lain," imbuh Hiashi lalu menghembuskan napasnya pelan.

"Maksud ayah apa?" tanya Neji tidak mengerti, keningnya langsung berkerut mendengar perkataan ayahnya tadi.

"Ayah akan membuang Hinata ke bumi, agar ia tahu bagaimana cara menjadi iblis yang sesungguhnya." tutur sang ayah, spontan kakak beradik itu berdiri dari sofa.

"Jangan ayah, bumi itu tempat yang berbahaya! Kejahatan pasti ada di setiap jengkalnya, kalau terjadi apa apa sama Hinata bagaimana?" protes Neji.

"Iya ayah, kalau nee-chan pergi ke bumi nanti yang nunjukin pe-er aku siapa?" sambung Hanabi yang kembali mendapatkan death glare dari Neji. Bukan mencemaskan keadaan kakaknya malah memikirkan tugasnya.

"Hanabi, jangan tugas melulu yang kau pikirkan!" bentak Neji kesal, Hanabi langsung menatap remeh kakak sulungnya dan berdecak.

"Nee-san, coba deh nee-san ingat! Siapa dulu yang sering mengeluh kalau ada tugas terus merengek minta tolong sama nee-chan? Nee-san sendirikan! Nah sekarang aku membahas tugas nee-san malah marah-marah!"

"Tapi situasinya berbeda Hanabi!" ujar Neji tak mau kalah.

"Beda? Beda bagaimana? Sudah jelas it…"

"HENTIKAAAAAN!"

Teriakan menggelegar Hiashi langsung menghentikan perdebatan konyol antara Neji dan Hanabi. Mereka spontan terdiam dan mengatup mulut masing-masing seakan-akan telah dikunci dan kunci itu hilang di suatu tempat. Hiashi melempar tatapan tajam kepada kedua anaknya dan menggertakan giginya geram.

"Baiklah, sekarang ayah kirim Hinata ke bumi!"

"JANGAAAAAAAAAN!"

҉҉҉

Cahaya lampu yang menerobos masuk kornea Hinata memaksa Hinata untuk terbangun dari tidurnya. Gadis itu mengucek matanya perlahan dan menguap, tangannya ia rentangkan lebar lebar untuk merelaksasikan tubuhnya setelah tertidur nyenyak. Sesekali matanya mengerjap imut, kepalanya ia miringkan seakan-akan tengah berpikir. Gadis cantik itu memutar otaknya, perasaan ia tidur di dalam kamarnya kenapa ia malah terdampar di jalanan yang tidak ia ketahui? Atau mungkin kini ia tengah bermimpi? Tidak mungkin mimpi, tempat yang ia duduki ini terlalu nyata untuk dikategorikan dalam sebuah bunga tidur. Lalu sekarang ia ada dimana?

Mari kita deskripsikan daerah sekitar. Ada gedung besar yang berdiri kokoh dan berjejer di seberang jalan, lampu papan iklan yang berkerlap-kerlip sebagai sumber cahaya, langit hitam legam yang menandakan suasana malam, dan barusan sebuah mobil tengah melaju pelan di hadapannya. Keadaan di sekelilingnya membuat gadis itu bingung. Di Kerajaan Iblis tidak ada gedung tinggi nan berjejer dan lebih dari satu, karena yang ia tahu gedung tinggi hanyalah istana iblis dan itupun terletak di atas bukit, bukan di seberang jalan. Di tambah lagi cahaya yang menyilaukan di sebuah tonggak, karena di Kerajaan Iblis benda itu tidak diperlukan, untuk apa menyediakan cahaya jika bangsa iblis dapat membentuk api dengan tenaganya? Pemborosan bukan? Dan, kendaraan apa yang melintas tadi? Di Kerajaan Iblis hanya naga yang dijadikan alat transportasi.

Hinata mulai frustasi, kenapa ia harus berada di daerah yang bahkan tidak ada di peta? Gadis itu berdiri dan membersihkan debu-debu yang menempel di baju kaus biru mudanya. Tiba-tiba Hinata mendengar suara besar yang menggema dari atas langit, suara itu sangat mirip dengan suara ayahnya.

"Hinata, apa kau bisa mendengar suara ayah?" tanya suara besar itu.

"Ya ayah, aku bisa mendengarnya." jawab Hinata, ia sangat bahagia karena masih bisa berinteraksi dengan orang tuanya.

"Hinata, ayah menitipkanmu di bumi agar kau bisa belajar menjadi iblis yang sesungguhnya." sambung suara besar itu.

"He? Bumi?" ujar Hinata bingung.

"Iya Hinata, bumi. Kau akan kembali ke Kerajaan Iblis jika kau melakukan pembunuhan diawali dengan sebuah niat."

"Apa? Pembunuhan? Ayah, mana mungkin aku melakukannya!"

"Disitu letak kesalahanmu Hinata! Kau terlalu iba dengan makhluk di sekitarmu! Ingat Hinata, lakukan pembunuhan! Semakin cepat semakin baik."

Suara besar itu spontan menghilang, Hinata yang dilanda perasaan kacau membuat kondisi berpikirnya menjadi buruk. Sinar matanya langsung meredup, kakinya menelusuri jalan dengan gontai. Ia tak menyangka jika ayahnya tega mengasingkannya di bumi. Hinata terima jika ia diasingkan, tapi kenapa harus di bumi? Hinata bukan iblis yang bodoh, gadis itu pernah membaca buku yang berisikan betapa kejamnya kehidupan di bumi. Kejahatan yang selalu tercipta di setiap detiknya, dan pihak yang dirugikan berjatuhan. Ugh, Hinata mengutuk apapun yang bisa ia kutuk sekarang.

Ditambah lagi, kenapa ia harus membunuh dengan niat jika ia ingin kembali? Ya, walau Hinata tahu jika membunuh adalah kegiatan biasa bagi iblis, tapi tetap saja itu terdengar janggal. Maksudnya, kenapa ia tidak diperintahkan untuk mencuri? Atau menganiaya? Atau mengganggu orang lain di bumi? Bukankah semua tindakan itu juga termasuk tanda-tanda bahwa ia tidak iba dengan lingkungan sekitarnya?

Perjalanan Hinata terhenti di saat ia melihat seorang pemuda tengah tersungkur di atas trotoar. Mata lelaki itu tertutup dan tak ada pergerakan, Hinata merasa khawatir langsung memeriksa keadaan Si Pemuda. Tak ada yang aneh, tak ada darah yang berceceran di tubuhnya, suhu badannya juga normal, lalu kenapa lelaki ini tertidur disini? Hinata berpikir jika pemuda itu pingsan, dengan cepat Hinata memukul pipi pemuda itu dengan keras.

Beberapa detik kemudian kelopak mata yang sedari tertutup mulai terbuka, tatapan pemuda itu sendu. Telapak tangannya yang gemetar mencoba meraih pipi putih Hinata secara perlahan, iblis bersurai hitam yang merasa terkejut mulai mundur beberapa langkah. Ia takut jika ternyata pemuda itu akan meninggal, bisa-bisa ia dikembalikan ke Kerajaan Iblis karena terbukti membunuh seorang pemuda dengan menamparnya berulang-ulang.

Namun pemuda itu terlihat sedih, Hinata yang merasa sungkan mulai mendekati pemuda itu dan menatapnya dengan takut. Disaat Hinata telah berada dekat dengan dirinya, sang pemuda menyunggingkan senyumannya dan mulai membuka mulutnya,

"HEI KENAPA KAMU KALAU NONTON DANGDUT SUKA NYA BILANG, BUKA DIKIT JOSS!" teriak pemuda itu tiba-tiba sambil bergelinjang dengan abstrak, Hinata kembali mundur dengan bola mata yang membulat. Dangdut? Joss? Apa itu? Hinata tidak pernah mendengar kosakata itu sebelumnya.

"KENAPA PERGI?" tanya pemuda itu dan berusaha untuk berdiri, Hinata yang berada di ambang ketakutannya semakin mempercepat langkah untuk mundur, sialnya ia malah tertahan oleh sebuah dinding. Pemuda itu mendekati Hinata dengan langkah yang terhuyung-huyung. Hinata baru mengetahui jika manusia bumi berjalan aneh, tidak tegap seperti bangsa iblis di daerahnya, sungguh manusia adalah makhluk yang unik.

Pemuda itu kini berdiri tepat di hadapan Hinata, napasnya yang menderu menyentuh kulit sensitive Hinata. Ditambah lagi, aroma mulut dari manusia di depannya berbau aneh. Gadis bermata lavender itu menutup matanya erat-erat dan membaca jampi-jampi agar lelaki itu enyah dari hadapannya. Tapi efek setelah membaca mantra-mantra aneh, Hinata malah merasakan tubuhnya terasa hangat seperti dipeluk. Gadis cantik itu langsung membuka matanya dan mendapati rambut kuning jabrik sejajar dengan lehernya dan sepasang lengan yang memeluk leher jenjangnya dengan hangat.

Jantung Hinata berdetak kencang, wajahnya memerah seketika. Ia sangat terkejut melihat pemuda itu memeluk dirinya dan tampak enggan untuk melepaskannya. Terbukti karena Hinata yang berusaha mendorong tubuh pemuda itu tapi lelaki itu masih tetap memeluknya. Pemuda itu mendongak menatap Hinata dan tersenyum meremehkan.

"Jangan berusaha kabur, kau hanya untukku…" bisik pemuda itu, wajah Hinata semakin memerah mendengar penuturan pemuda jabrik yang memeluknya. Lagi, disaat pria berkulit sawo matang berbicara aroma aneh itu menyeruak menelusuri indra penciuman Hinata. Dengan susah payah, Hinata membebaskan lengan kanannya dari pelukan pria aneh lalu mengapit hidung mancungnya agar tak mencium bau aneh itu lagi. Sebuah pintu kios terbuka dan tampak seorang kakek tua tengah memegang sekantong plastik berisikan sampah, kakek itu menoleh ke arah Hinata.

"Oh, jadi kau kekasih Naruto?" lontar kakek itu sambil menutup pintu kios miliknya, Hinata mengerutkan keningnya bingung

"Na… Naruto, siapa itu?" tanya Hinata kepada kakek pemilik kios, tak lama sang kakek tertawa kecil yang membuat Hinata malu.

"Dasar anak muda sekarang, kau tak perlu malu mengumbar hubunganmu dengan Naruto."

"Tapi, aku benar-benar tidak tahu Naruto dan aku bukan kekasihnya." bantah Hinata, bagaimana mungkin ia memiliki kekasih dalam jangka waktu tiga puluh menit di bumi?

"Kalau kau bukan kekasihnya, kenapa kalian saling berpelukan malam-malam seperti ini?"

Skakmat!

Hinata melihat lelaki berambut kuning yang tengah memeluknya dengan nyaman, tapi perlu dikoreksi bahwa mereka tidak saling berpelukan. Hanya lelaki yang bernama Naruto itu yang memeluknya. Pantas saja kakek itu mengira jika mereka tengah berpacaran. Ingin rasanya Hinata meralat jika ia tak mempunyai hubungan khusus dengan pria beraroma mulut yang bisa membuat perut menjadi mual itu, tapi sudah pasti kakek-kakek sok tahu itu tak percaya. Kalau ia tak berpacaran, kenapa pria itu memeluknya, tengah malam pula?

"A… aku…" lidah Hinata terasa kelu, sungguh ia merasa mati kartu.

"Sudahlah, aku tidak akan memberitahukan hubunganmu dengan Naruto kepada orang lain. Sepertinya kau harus mengantarkan pacarmu itu ke rumahnya." saran kakek itu lalu memasukkan sekantung sampah ke keranjang sampah.

"Aku… tidak tahu dimana rumahnya." balas Hinata, sesekali ia membenarkan posisi Naruto yang seperti orang lumpuh dengan tungkai yang tak bisa menahan beban tubuhnya.

"Dasar Naruto, pasti ia tak pernah mengajakmu ke tempat tinggalnya karena kamarnya yang berantakan seperti habis perang ninja kedua." Kakek itu langsung berasumsi dengan bebas, jujur jika ia tak memegang Naruto, maka Hinata akan menutup mulut kakek itu dengan lakban hitam.

"Baiklah nona muda, Naruto tinggal di apartemen Shiori yang berada di seberang dengan kamar nomor 38." titah sang kakek sambil menunjuk ke arah apartemen yang dimaksud, Hinata mengangguk mengerti.

"Te… terima kasih."

"Ya, sebaiknya cepat kau antarkan dia, lihat bibirnya sudah pucat karena dinginnya malam. Dan peringatkan dia agar tidak sering mabuk-mabukkan. Kau tahu, sebelum kau menjadi kekasihnya akulah yang mengantar Naruto ke kamar apartemennya. Dan itu membuatku jadwal tidurku terganggu karena harus mengantarkannya ke kamar, ditambah lagi ia sangat hobi bernyanyi saat mabuk." curhat kakek tua itu dan memasuki kiosnya lalu menutup pintu, meninggalkan Hinata berdua dengan pemuda yang baru ia ketahui bernama Naruto.

Selama lebih kurang empat puluh menit Hinata di bumi, ia mempelajari beberapa hal. Pertama, mulut manusia akan berbau aneh dan merangsang kita untuk mengeluarkan makanan yang belum selesai dicerna jika ia mabuk. Kedua, manusia normal berjalan tegap hanya saja jika ia tidak dalam kondisi mabuk atau manusia itu masuk kedalam kategori manusia abnormal. Ketiga, jangan mau dipeluk oleh orang yang tidak kau kenal, ditambah lagi jika di sekitar itu terdapat sebuah kios yang dimiliki oleh seorang kakek tua renta yang dengan mudahnya menyusun sebuah variabel bebas.

Kini, lihatlah Hinata! Ia tampak berusaha menyeret tubuh Naruto menuju kamar bernomor 38 yang terletak diujung lantai 3. Gadis itu mengeluh dan mengeluh saat Naruto meronta serta menahan tubuhnya agar tidak berpindah tempat, tapi beberapa waktu kemudian ujung sepatu Hinata sampai di depan pintu bernomor 38 dengan tangan kanan yang memegang kerah baju Naruto. Ia menyeka keringat yang mengucur deras di dahi, seakan-akan ia ikut dalam ajang tarik tambang. Dengan bangga, Hinata memegang gagang pintu dan mencoba membuka pintu bernomor 38 itu. Tapi, ternyata oh ternyata pintu itu dikunci oleh Si Tuan Rumah.

" Naruto, dimana kuncimu?" tanya Hinata.

"SAKITNYA TUH DISINI, DI DALAM HATIKU UYEEE UYEEE…" Naruto membalas dengan jawaban yang jauh dari kata 'nyambung'. Hinata menghembuskan napasnya kasar lalu menyandarkan tubuh Naruto ke dinding, dengan lelah Hinata berjongkok di depan Naruto.

"Serius Naruto, dimana kunci kamarmu!" Hinata menatap Naruto dengan tajam, ia sudah muak dengan tingkah Naruto. Pantas saja kakek pemilik kios di seberang jalan terlihat bahagia saat mengetahui (lebih tepatnya mengira) jika Naruto memiliki kekasih, yang berarti tugasnya membopong Naruto disaat mabuk telah terlepas dari pundaknya sambil berteriak `Im free!`

Sedangkan Naruto menatap Hinata dengan mata yang menyipit dan tersenyum miring. Amarah Hinata telah sampai di ubun-ubun, gadis itu mengepal tangannya kuat-kuat.

"Ugh, biar kucari sendiri!" gadis bermata lavender itu langsung memeriksa semua tempat yang memungkinkan disimpannya kunci kamar bernomor 38. Dengan cepat tangan kanan Naruto menggenggam tangan Hinata.

"O-O KAMU KETAHUAN, RABA SAKU KU YE YE YE…" tuduh Naruto sambil menyanyi dengan suara sumbang, wajah Hinata langsung memerah karena dituduh seperti itu.

"Aku mencari kuncimu! Bukan untuk hal lain!" protes Hinata, sayangnya Naruto masih tetap menyanyi tak mengacuhkan Hinata. Sebuah bohlam lima watt bertengger indah di atas kepala Hinata yang menandakan bahwa gadis itu memiliki ide yang cukup cemerlang, dengan cepat Hinata menampar Naruto dengan keras hingga pemuda itu pingsan kembali. Disaat itulah Hinata melanjutkan misi mencari kunci.

"Gomen…" bisik Hinata yang sibuk menggeledah saku celana Naruto, sedetik kemudian kunci kamar telah ditemukan. Hinata membuka pintu kamar Naruto lalu (kembali) memapah Naruto menuju kamarnya.

Cklek!

"AYAH PULAAAANG!" teriak Naruto dengan lantang yang ternyata telah sadar dari pingsannya tadi, ia melepaskan tubuhnya dari pegangan Hinata dan berjalan terhuyung-huyung menuju kasur minimalis miliknya. Dengan santai Naruto menghempaskan tubuh kekarnya ke atas ranjang dan meninggalkan Hinata yang tengah termangu di tempat.

Sudah sangat pantas Hinata terkejut. Bagaimana tidak, ruangan yang ia pijaki kini sangat amat pantas untuk dibersihkan! Lihat saja, sampah organik maupun anorganik bertebaran dimana-mana. Piring kotor yang bertumpuk dan terlihat seperti Menara Pisa, seandainya saja sehelai bulu berada di puncak tumpukan piring-piring itu maka sususan piring kotor itu berhasil membangunkan sang tuan rumah menggantikan bunyi alarm akibat pecahan yang terjadi. Baju dengan warna beraneka ragam yang menggantikan alas meja. Buku-buku terlantar di atas ubin, dan tanaman lidah buaya nista yang telah mati karena kekurangan air di sudut jendela yang tampak tak pernah dibersihkan.

Mungkin Laurence Llewelyn-Bowen dan tim desain andalannya dalam acara Changing Rooms bisa menelusuri kamar ini lalu membersihkan semua debu maupun sampah yang menghinggap di kamar Naruto, mengganti cat merah mencolok menjadi warna yang lebih menyejukkan. Mungkin mereka bisa mengirimkan baju di atas meja ke laundry lalu menggantinya dengan alas meja yang manis dan menyusun semua buku dengan rapi sesuai dengan ukuran. Mungkin mereka bisa mengubah beberapa ornament seperti mengganti lidah buaya dengan bunga mawar wangi di sudut jendela dan menambahkan beberapa pajangan artistik menggantikan boneka Barbie yang tangannya hilang sebelah mengendarai sepeda motor ala Harley Davidson.

"Hatchih!" Naruto tiba-tiba bersin di sela-sela mimpinya, lamunan Hinata langsung buyar dan berjalan mendekati pemuda aneh itu. sesampainya disana, Hinata mengambil selimut yang entah kenapa tergeletak di fentilasi udara. Dengan sigap Hinata menyelimuti Naruto agar pria itu tidak merasakan kedinginan. Hinata mulai meneliti wajah Naruto, sebenarnya tidak ada yang aneh. Bahkan pria ini bisa dikatakan tampan dan terlihat polos saat dalam keadaan tidak sadar. Tak terasa, Hinata mengelus pipi Naruto dengan pelan agar pria itu tidak terbangun. Setelah puas, Hinata berdiri dan berjalan meninggalkan Naruto yang tengah mendalami bunga tidurnya dengan syahdu. Langkah Hinata terhenti seketika disaat pergelangan tangannya ditarik secara paksa oleh Naruto yang mengharuskan wajah Hinata berjarak 5 cm dengan wajah Naruto yang setengah tertidur. Refleks, Hinata blushing karena berada dalam situasi ini.

"Kumohon, temani aku disini…" bisik Naruto memohon, napas pria itu menabrak pipi putih Hinata hingga gadis berambut hitam itu merasa geli. Tak hanya berhenti di situ saja, Naruto membawa tubuh mungil Hinata ke dalam dekapannya hingga posisi Hinata kini tertidur di atas kasur sambil dipeluk oleh Naruto yang tertidur lelap. Lagi dan lagi, Hinata mencoba melepaskan pelukan itu tapi tetap saja tidak bisa. Hinata merasa sesak karena hanya bisa menukar oksigen dengan bau keringat Naruto plus bau alkohol yang menyebar, dengan kesal Hinata merutuk dalam hati,

"Naruto, sebenarnya maksudmu apa sih?"

.

.

.

TBC

JENG JENG JENG JENG ! (backsound: Beethoven symphony no. 5). Megumi Si Author Paling Baik (ini Fitnah) datang bawa fic NaruHina again! Terima kasih udah sudi membaca fic bergenre fantasy perdana milikku, aku membuat cerita ini penuh dengan suka dan duka *tsaaah. Gomen kalau aneh (karena 'aneh' adalah salah satu unsur intrinsik dalam setiap cerita ku), dan aku merasa sangat senang fic ini sempat dibaca oleh para readers. Terima kasih buat para readers yang nantinya ninggalin jejak buat fic yang jauh dari kata sempurna ini. Jika banyak hal yang tidak dimengerti tolong dimaklumi, karena tidak mungkin aku ungkap konflik secara langsung di chap awal. Aku akan lebih berusaha lagi! Cerita ini aku persembahkan untuk kalian semua!

The last of my bacot : review plis…