Lagi, lagi, lagi, dan lagi. Sarada benar-benar tidak tahu apa gerangan yang terjadi. Tubuhnya bergetar menahan rasa sakit yang menyesakan dada. Air matanya mulai berkumpul di pelupuk mata yang berwarna hitam legam. Tak dapat menahan lagi, gadis bersurai hitam sebahu itu menangis tersedu-sedu.

Netra sewarna dengan batu obsidian itu masih memandang benda langit yang bersinar terang di atas sana. Kembali lagi hatinya berdenyut sakit. Suara sesegukan semakin nyaring memecah keheningan di sekitarnya.

Setiap kali Sarada memandang bulan, rasa ini datang. Menghancurkan rasa kekaguman di matanya. Digantikan oleh air mata dan rasa sesak.

Namun secercah rasa senang ketika melihatnya. Sarada tak bisa berhenti memandang bulan. Ia suka, tapi juga tak suka. Sensasi yang unik ini membuat Sarada tak bisa berhenti. Setiap malam ia sempatkan melihat bulan. Walau hanya sekejap mata, sensasi itu tak berubah.

Tangannya bergerak untuk menyeka lelehan air matanya dan membenarkan posisi kacamatanya. Sarada memejamkan matanya dan bangkit untuk meninggalkan balkon kamarnya. Malam semakin larut dan Sarada perlu tidur karena besok ia harus bekerja.

Saat kakinya melangkah masuk, hembusan angin malam menerpa tubuhnya. Membuat tubuhnya membeku dengan mata membesar. Bukan karena dinginnya malam ini. Bukan juga karena heningnya malam yang terasa mencekam.

"I love you to the moon and back, Sarada."

Tapi karena bisikan lirih misterius yang terdengar jelas di telinganya.

- ᴍ ᴏ ᴏ ɴ -

ᴀ ᴍɪᴛꜱᴜꜱᴀʀᴀ ꜰᴀɴꜰɪᴄᴛɪᴏɴ

ᴅɪꜱᴄʟᴀɪᴍᴇʀ

ɴᴀʀᴜᴛᴏ belongs to ᴍᴀꜱᴀꜱʜɪ ᴋɪꜱʜɪᴍᴏᴛᴏ

ʙᴏʀᴜᴛᴏ belongs to ᴍᴀꜱᴀꜱʜɪ ɪᴋᴇᴏᴍᴏᴛᴏ

ᴍᴏᴏɴ by ᴀQɪᴋɪ-ᴄʜᴀɴ

Matanya menatap lelah pada lembaran kertas di depannya. Mulutnya terbuka lebar untuk menguap. Dalam kondisi mengantuk seperti ini, Sarada benar-benar tak bisa menjalankan tugasnya dengan maksimal.

Ini semua karena bisikan misterius itu. Membuat dirinya tak bisa tidur semalaman untuk memikirkan dari siapa dan apa maksud dari bisikan yang menyatakan cinta itu. Sarada tak mengerti mengapa ia bisa mendengar suara itu, padahal tak ada siapapun di belakangnya.

Lagi, Sarada menguap. Tak tahan lagi, gadis bersurai sewarna dengan netranya itu menggeser semua kertas laporan yang harus ia analisis dan melipat tangannya untuk dijadikan bantal kepalanya. Ia butuh tidur setidaknya tiga puluh menit. Persetan dengan laporan kasus, Sarada perlu tidur.

Rasanya baru saja Sarada memejamkan matanya, suara pintu dibuka membuatnya kembali terjaga. Matanya memicing tajam menunjukan kekesalan. Siapa yang berani membuka pintu ruangannya tanpa meminta izin?! Niat membentak sudah dikumpulkannya.

"Sarada?"

Wajah dongkol itu langsung digantikan dengan wajah berbinar penuh kerinduan. Ia pun menyunggingkan senyum manis dan menyambut wanita paruh baya bernetra emerald itu dengan hangat.

"Mama? Ada apa sampai datang kemari?"

Sakura tersenyum lembut pada putri tunggalnya itu. Wanita yang identik dengan warna merah muda itu mendekati meja Sarada dan duduk di kursi yang berada di hadapan Sarada. Suara benda diletakan menarik atensi Sarada. Wajahnya kembali berbinar ketika melihat kotak makan dari Sakura.

"Aku merindukanmu. Sudah dua minggu kau tidak pulang ke rumah. Apakah kau sangat sibuk, Sarada?"

Sarada menghela napas lelah, "Yah, begitulah, Ma. Akhir-akhir ini banyak sekali kasus yang harus ditangani. Tapi aku tak apa." Sarada menjawab diiringi senyuman.

Sakura tersenyum maklum. Putrinya adalah anggota intelijen negara yang sudah pasti sibuk setiap harinya. Sama seperti suaminya. Entah mengapa Sarada memilih jejak yang sama dengan Papanya yang sekarang menjabat sebagai Kepala Intelijen Jepang.

"Aku mengerti." Sakura tersenyum lembut menatap Sarada. Inilah yang Sarada kagumi dari Mamanya. Sosok yang kuat dan pengertian, tak lupa dengan perhatian yang tak pernah berhenti Sarada dapatkan walau umurnya sudah menginjak 25 tahun.

Sakura menyipit menatap Sarada penuh selidik. Wanita itu merasa putrinya dalam keadaan tidak sehat. Sakura bisa melihat wajah lesu dan kantung mata Sarada. Ada yang tidak beres pada gadis di hadapannya ini.

"Ada apa denganmu?" tanya Sakura dengan nada tajam penuh kecurigaan.

Sarada yang sedang asyik menikmati bekal dari Sakura pun menghentikan kunyahannya. Menatap bingung pada mamanya. Lama terdiam, Sarada memahami apa yang dimaksud Sakura.

"Ma, ini sudah biasa. Aku baik-baik saja," ucap Sarada bohong dengan senyum menenangkan.

Mana mungkin Sarada mengatakan bahwa semalam ia didatangi oleh sosok hantu tak terlihat yang membisikan kalimat cinta dan membuatnya tak bisa tidur semalaman.

Wanita yang umurnya tak lagi muda, namun wajah cantiknya tak pudar ini menghela napas lelah. "Kau adalah seorang perempuan. Mengapa memilih pekerjaan macam ini, Sarada? Aku tak habis pikir. Padahal pekerjaan sebagai dokter itu cukup menguntungkan dan berisiko lebih rendah daripada menjadi seorang agen intelijen seperti ini."

Sarada tersenyum maklum. Meski sudah lama berurusan dengan hal semacam ini, Sakura tak lelah mengomelinya seolah menyesal telah mengizinkan Sarada mengikuti latihan militer dan membiarkannya menjadi bagian dari intelijen negara.

"Ayolah, Mama. Aku telah memilih jalanku sekarang. Lagipula, aku bekerja di kantor. Hanya sesekali mendapat tugas keluar, itu pun tidak terlalu berat. Jadi, tidak apa-apa." Ucapan Sarada meyakinkan itu membuat Sakura pasrah. Kekeras kepalaan Sarada itu menurun dari dirinya sendiri dan juga suaminya. Lagipula mengomel sekarang pun tidak ada gunanya.

"Yah, mau bagaimana lagi. Baiklah, Sarada, semangat mengerjakan pekerjaanmu! Jangan sampai sakit, shannaro!" ucap Sakura semangat dan berpamitan untuk menemui Sasuke.

Tapi Sakura belum keluar dari ruangan Sarada, seseorang mengetuk pintu dan meminta izin dari Sarada untuk masuk. Setelah diizinkan, seorang laki-laki muncul dengan wajah hormat.

"Sarada-san, anda dipanggil oleh Sasuke-sama untuk segera ke ruangannya."

Sarada mengernyit. Jarang sekali Sarada mendapati panggilan langsung dari pemimpin tertinggi di Intelijen Jepang sekaligus Papanya itu. Bahkan tidak pernah. Biasanya orang yang dipanggil ke ruangannya adalah orang yang bermasalah atau mendapat tugas penting.

"Misi?" tanya Sarada tanpa suara dan sebisa mungkin menyembunyikan agar tidak terlihat Sakura. Pria itu mengangguk dan permisi keluar ruangan

Berarti Sarada akan mendapat misi. Bukan misi biasa. Dan ini pertama kalinya bagi Sarada. Rasa gugup dan senang menghinggapi hati Sarada. Akhirnya sebuah kesempatan ia dapat. Namun ada rasa takut jika saja nanti ia tidak dapat melaksanakan tugasnya. Tapi Sarada harus optimis. Itu yang ia yakini sekarang.

"Sarada? Ke ruangan Papa? Untuk apa? Ada sesuatu?" Mamanya pun tahu tidak sembarang orang akan dipanggil ke ruangan suaminya. Kemungkinan besar Mamanya akan menentang jika ia akan melaksanan misi penting.

"Aku tidak tahu, Ma. Ayo kita ke sana. Bukannya Mama akan ke ruangan Papa?"

Sakura mengangguk dan berjalan beriringan bersama Sarada. Koridor terlihat sepi, mungkin karena sekarang masih jam kerja. Sesekali mereka berpapasan dengan beberapa orang yang menunduk memberi hormat kepada Sakura.

Pintu ruangan Sasuke sudah di depan mata. Tanpa tunggu lama, Sakura membukanya tanpa izin. Memang kebiasaan Mamanya ini tidak pernah menghilang. Sarada menghela napas maklum.

Karena posisi Sarada sekarang sebagai bawahan dari Papanya, ia pun masuk dengan salam. Membungkuk hormat pada Papanya yang sedang menatap datar dirinya.

"Anata, aku membawakan bekal untukmu," ucap Sakura lembut seraya meletakan kotak bekal di meja Sasuke. "Aku tidak bisa berlama-lama karena waktu istirahat rumah sakit akan selesai sebentar lagi."

"Hn, iya. Hati-hati," balas Sasuke sambil tersenyum tipis.

Perasaan Sarada menghangat. Memang kedua orang tuanya jarang mengumbar kemesraan. Tetapi perhatian sederhana yang manis diantara mereka tak pernah terhenti. Terkadang Sarada mulai membayangkan dirinya dengan suaminya kelak. Apakah mereka akan seperti kedua orang tuanya?

"Hn, Sarada." Panggilan Sasuke membuyarkan khayalan absurdnya. Sarada tersenyum tipis dan menanggapi panggilan Papanya. "Ada apa, Sasuke-sama?"

"Tunggu, apakah aku boleh mendengar pembicaraan kalian?" Sakura berbicara dengan nada ragu.

Sasuke berpikir sejenak. "Aku harap kau tidak terkejut dan merahasiakan ini, Sakura." Sakura menganggup mantap.

Sakura mulai membayangkan jika Sarada akan dipecat dan terbebas dari pekerjaan berbahaya nan melelahkan ini. Dengan itu Sarada bisa mencari pekerjaan lain yang sederhana. Atau mudah mencari kekasih karena jarang sekali ada seseorang yang mau menikahi seorang gadis berprofesi sebagai agen intelijen.

Jika itu yang akan Sasuke bicarakan, Sakura akan menjadi orang pertama yang setuju. Mungkin ia akan mengadakan pesta besar-besaran dan mengundang anak yatim dari panti asuhan. Sepertinya itu ide bagus.

"Sarada Uchiha, kau akan mendapat misi. Menumpas sebuah mafia dari Benua Amerika yang mulai melebarkan sayapnya di Jepang, berkerja sama sebagai tim, dengan Shikadai sebagai ketua. Aku tahu ini kali pertama kau mendapat misi yang cukup berat. Berusahalah, Sarada."

Sakura melotot terkejut. Ekspetasinya langsung lenyap digantikan perasaan khawatir. Apa? Putri kecilnya akan berurusan dengan mafia?

"Tunggu. Sasuke-kun? Apa-apaan ini?! Kau yakin? Sarada-"

"Sarada bukan anak kecil lagi, Sakura. Dia memiliki kemampuan yang cukup hebat. Aku yakin ia bisa menyelesaikan misinya," ucap Sauke memotong perkataan Sakura dengan cepat dan tegas.

"Tapi-"

"Sarada sudah besar. Dan Sakura, ini tidak ada sangkut pautnya denganmu. Sarada di sini sebagai agen intelijen. Bukan sebagai anak kita." Sasuke berusaha memberi pengertian pada Sakura yang masih berwajah masam.

"Baik, Sasuke-sama. Saya akan berusaha dengan sebaik-baiknya."

Sarada cukup terkejut karena misi kali ini berbeda dari misi yang pernah ia dapatkan sebelumnya. Dulu misinya hanya seputar masalah dalam negri itu pun hanya masalah yang tidak membahayakan bagi negri yang identik dengan bunga sakura. Kali ini ia akan berurusan dengan warga negara asing dan itu menjadi misi tingkat kesulitan tinggi pertamanya.

Sakura Uchiha masih menekuk wajahnya masam dan kesal. Garis wajah yang menunjukan keresahan dan kegalauan memikirkan putrinya. Wanita itu tetap diam. Tak lama ia meninggalkan ruangan itu tanpa sepatah kata.

Sarada akan berbalik menyusul wanita nomor satu di hatinya itu jika Papanya tidak memanggilnya. "Biarkan saja, Sarada. Aku yang akan berbicara padanya." Ucapan Papanya tak bisa dibantah. Sarada hanya mengangguk menurut dan kembali berhadapan dengan atasannya.

"Shikadai akan menghubungimu untuk membicarakan hal ini secepatnya. Aku tahu kau memiliki kemampuan bertarung yang baik. Aku terlalu lama menyembunyikanmu dengan hanya memberimu tugas menganalisis, menyusun strategi, dan hal yang mudah lainnya. Kau memiliki potensi besar. Aku tahu kau bisa melakukannya."

Sarada tertegun tentang penjelasan Papanya. Selama ini Papanya selalu mengawasinya. Memperhatikan kemampuannya. Dan memuji kehebatannya. Rona merah dan tatapan berbinar karena senang tak bisa ia sembunyikan. Harusnya Sarada bisa mengendalikan dirinya saat ini.

"Baik, Sasuke-sama!" seru Sarada semangat dan tegas.

Sarada berbalik undur diri. Tapi saat langkahnya mencapai pintu. Sasuke kembali bersuara, membuatnya menghentikan langkahnya.

"Hati-hati, Sarada."

Suara Papanya yang menyiratkan perhatian itu membuat Sarada tersenyum. "Tentu, Papa."

"Mereka adalah generasi baru dari mafia terkenal di masa lampau. Mereka kembali membangun organisasi itu dari awal dengan nama yang sama, La Cosa Nostra. Mafia yang sempat menjadi organisasi kejahatan paling mengerikan di dunia. Sempat menyurut, kini organisasi itu kembali berjaya, bahkan mereka mulai berkembang di Benua Asia, salah satunya Jepang."

Sarada mendengarkan dengan saksama rekan satu timnya yang sedang berbicara itu. Shikadai, ketua dari timnya ini memang sosok orang yang hebat. Sarada tak bisa menyembunyikan raut kagumnya.

Tim ini beranggotakan lima orang. Shikadai, si pemimpin dan penyusun strategi terbaik diangkatannya. Iwabe, si barbar yang cukup menguntungkan untuk berkelahi jarak dekat. Sumire, gadis manis nan pintar melacak. Inojin, bermulut tajam yang dapat mempengaruhi orang banyak dan tentu saja bisa diandalkan di berbagai bidang.

Dan Sarada sendiri? Apa yang bisa ia lakukan? Tidak ada yang istimewa darinya ini. Masuk dalam tim ini membuat dirinya kurang percaya diri.

Tapi ia teringat kalimat Papanya. Pria nomor satu di hati Sarada itu sudah percaya padanya. Ia tidak boleh mengecewakan Papanya. Papanya itu memuji kemampuannya. Berarti Sarada setara dengan mereka semua.

Sarada sendiri ahli dalam menggunakan senjata api dan senjata tajam. Tangannya lihai menembak dan melempar itu patut diacungi jempol. Ditambah lagi dengan tatapan matanya yang tajam. Belum lagi otaknya yang juga cerdas. Sarada memang bisa diandalkan.

"Hanya itu yang baru kudapatkan. Karena organisasi ini baru saja berjaya, aggotanya masih misterius. Bahkan kita tidak tahu apa saja yang susah mereka lakukan di Jepang. Kuharap kalian bisa mengumpulkan informasi secepat mungkin. Dua hari, cukup?"

"Kurasa itu cukup," ucap Sumire dengan suara manisnya.

"Tunggu, aku ingin bertanya. Mengapa hanya dibuat satu tim dan hanya beranggotakan lima orang? Melawan mafia terkejam itu? Apa Sasuke-sama bercanda?" komentar Inojin dengan nada tajam seperti biasa. Untungnya ia sedang dalam keadaan serius sehingga tidak terdengar menyebalkan.

Shikadai menghela napas. "Kita hanya menghentikan mereka yang berada di Jepang. Bukan menyelesaikan semuanya yang ada di seluruh penjuru dunia, karena itu bukan tugas kita. Tapi kita memang perlu informasi dari beberapa negara tentang mereka."

Iwabe menganggukan kepala paham. "Berarti ini bukan tugas berat bukan. Hanya sebagian kecil dari anggota mafia itu. Ini tidak akan memakan waktu lama."

Lagi-lagi Shikadai menghela napas lelah. "Begini, Iwabe. Meskipun hanya sebagian kecil, bukan berarti mereka lawan yang mudah. Jangan meremehkan mafia satu ini."

"Cukup diskusinya, aku lelah. Keluar dari ruanganku," perintah Shikadai cepat. Jika seperti ini, mereka tidak perlu melakukan penghormatan kepada kepala tim.

Sarada tersenyum tipis dan membalikan badannya. Perasaan senang dan gugup tak bisa dihentikan dalam dirinya. Ia merasa akan mendapati sesuatu yang menyenangkan dalam tugasnya yang satu ini.

Sarada menyiapkan berkas berisi informasi yang ia dapatkan tentang kasus yang akan ditanganinya. Setelah dua hari mencari, Sarada cukup puas dengan hasilnya. Mungkin ini bisa menjadi petunjuk untuk menangkap para manusia jahanam tersebut.

"Sarada!" Suara pintu terbuka dan panggilan seseorang membuat Sarada mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Sejujurnya Sarada terkejut namun ia dapat mengendalikan diri dengan baik. Memang sudah seharusnya agen seperti dirinya memiliki pengendalian diri yang baik.

"Inojin bodoh, apa yang kau lakukan?" ucap Sarada datar dengan nada yang menusuk. Siapa yang tidak kesal ketika pintunya dibuka dengan kasar dan namanya dipanggil dengan teriakan, sungguh tidak memiliki tata krama.

Laki-laki berkulit pucat dengan senyum manis itu terkekeh geli karena melihat Sarada yang kesal. "Aku ingin ke ruangan rapat dan kebetulan melewati ruanganmu. Jadi aku mengajakmu pergi bersama." Inojin memamerkan senyum yang terkesan menyebalkan.

Inojin memang selalu sukses membuat orang kesal. Memang benar sepertinya jika Inojin mampu mempengaruhi orang dengan baik. "Tidak penting sekali." Sarada berucap dengan nada kesal. Ia pun menyusul Inojin dan berjalan berdampingan.

"Hm, jadi apa saja yang sudah kau temukan?" Inojin bertanya sambil melirik kertas yang dibawa Sarada.

"Tidak banyak, tapi sepertinya ini cukup membantu. Bagaimana denganmu?"

Inojin tertawa, "Kau tahu, kan? Aku tidak akan melakukan pekerjaan merepotkan seperti itu."

Sarada mulai ingat jika, Inojin tidak akan pernah mau bekerja untuk mencari informasi. Dia lebih suka bertindak dalam rencana dibandingkan menganalisis data.

Saat mereka berdua sampai, Sarada mengulurkan tangannya untuk mengetuk pintu, tetapi Inojin terlebih dahulu membuka pintunya tanpa permisi. "Tidak perlu kaku, Sarada. Tim ini berisi anggota yang tidak mempermasalahkan tata krama. Santai saja."

Sarada mendengus dan mengikuti Inojin masuk ke dalam ruangan itu. Shikadai dan dua rekannya sudah duduk manis menunggu mereka. "Lama sekali," komentar Iwabe ketus.

"Hah? Lama? Kalian saja yang terlalu cepat." Inojin melangkah masuk dengan cuek dan langsung duduk di kursi yang kosong.

"Selamat pagi," sapa Sarada singkat dan mengikuti Inojin duduk di sebelahnya.

Shikadai berdehem memulai rapat. Walau wajahnya terlihat malas-malasan, Shikadai tidak pernah menganggap remeh semua misi.

"Sudah berkumpul semua, ya. Kita mulai saja. Bagaimana dengan informasi yang kalian dapat."

Inojin dan Iwabe berwajah cuek seolah-olah tak tahu apa-apa. Shikadai mendengus, "harapanku hanya kalian, Sarada dan Sumire," menatap dua gadis berbeda warna rambut itu dengan serius.

"Aku hanya memdapatkan sedikit informasi tentang mereka. Seperti yang kita ketahui, mereka sudah melakukan banyak hal di Jepang. Penyeludupan narkoba, penjualan organ ilegal, pembunuh bayaran, dan yang paling parah adalah mengajak beberapa masyarakat Jepang untuk bergabung bersama mereka." Sumire berhenti sejenak untuk mengambil napas. "Aku mencoba mengira-ngira keberadaan mereka, kebanyakan dari mereka sepertinya berada di kota-kota besar untuk menjalankan aksinya. Tapi untuk perekrutan orang baru, mereka menjelajah di desa terpencil. Aku mendapatkan itu dari beberapa negara yang juga mengatasi mafia ini."

"Bagus, Sumire. Bagaimana denganmu, Sarada?"

"Identitas mereka sampai saat ini masih belum diketahui. Mereka tidak memiliki tanda pengenal untuk dilacak, seolah-olah mereka memang tidak memiliki identitas. Namun mereka memiliki teknologi yang tinggi dan koneksi dari orang dalam sehinga mereka dapat menjelajahi berbagai negara. Hanya beberapa negara yang dapat melihat wajahnya secara langsung. Saat mereka hampir ketahuan dan ditangkap, mereka akan pergi dari negara itu tanpa jejak. Setelah beberapa bulan, baru mereka akan menampakan diri lagi di negara yang lain. Bukankah strategi mereka cukup baik?"

"Dan setelah kutelusuri lagi, salah satu dari anggota terbaik mereka berasal dari Jepang."

Shikadai terdiam sejenak, "aku mengerti."

"Aku harap kita dapat menguak pelakunya. Tidak seperti negara lain yang gagal dan membuat mereka lolos untuk melakukan aksinya di negara lain," ucap Sarada sambil meletakan kertas yang baru saja ia baca tadi.

"Baik, Sarada. Dan Sumire, bisakah kau mencari tahu di mana biasanya mereka melakukan aksinya?"

"Tentu, secepatnya akan kuberikan hasilnya." Sumire tersenyum meyakinkan.

"Sudah selesai?" Inojin berkata singkat disela-sela kegiatan menggambarnya. Nadanya terdengar menyebalkan membuat Shikadai memasang wajah sebal.

"Bodoh, kau tidak memiliki kontribusi apapun di rapat ini!" Iwabe berseru kencang.

Inojin mengangkat salah satu alisnya bingung. "Kau juga." Melirik Iwabe sekilas dan melanjutkan menggambarnya. "Aku mendengarkan mereka! Sedangkan kau hanya bersantai! Bodoh!" Iwabe tersulut emosi.

"Hah, kalian, tolong bersikap dewasa. Jangan terlalu bersantai juga. Ini misi yang penting. Kalian harus bangga karena Sasuke-sama menyerahkan kasus ini pada kita yang masih pemula ini." Shikadai berujar bijak. Iwabe diam merenungkan, sedangkan Inojin tetap tidak peduli.

"Baiklah, aku akan menunggu hasil dari Sumire. Rapat selesai, kembali ke ruangan kalian masing-masing."

Mereka membubarkan diri. Sarada melangah keluar ruangan namun ditahan Inojin. "Sarada, mau ke kantin bersamaku, tidak?"

"Ini masih jam kerja," jawab Sarada dengan maksud menolak.

"Tanggung, dua jam lagi waktu istirahat." Sarada mengernyitkan dahinya bingung. Dalam konteks ini, dua jam tidak bisa disebut tanggung. "Tidak mau." Tak ada pilihan lain selain menolaknya secara terang-terangan.

"Ajak saja Sumire, mungkin dia mau," usul Sarada sambil melangkah meninggalkan Inojin.

Tapi tak menyerah, Inojin tetap mengikuti Sarada. Mencoba tidak peduli, Sarada tetap berjalan seolah-olah tak ada orang di sekitarnya.

"Baiklah, aku akan menemanimu bekerja. Lalu kau menemaniku ke kantin saat istirahat," kata Inojin memutuskannya secara satu pihak.

Sarada mulai kesal. "Apa kau tidak memiliki pekerjaan?" Inojin menggeleng dan tersenyum polos. Walau terlihat manis, tak dapat Sarada pungkiri jika Inojin sangat menyebalkan sekarang, ah tidak, setiap saat.

"Aku tidak tahu, mengapa aku sangat senang menganggumu. Kira-kira kau tahu tidak ini karena apa?" tanya Inojin mencari topik pembicaraan baru.

"Tentu aku tahu, karena kau menyukaiku." Sarada berkata asal. Lelaki pucat di sampingnya ini membuat mood buruknya datang.

"Sepertinya kau benar. Bagaimana denganmu? Apa kau menyukaiku?"

Ucapan Inojin membuat sarada menghentikan langkahnya. Ia tak pernah habis pikir, Inojin ini bodoh atau polos? Atau berbohong? Kalimatnya itu bisa saja berakibat fatal.

Tapi Sarada tidak ingin ambil pusing. Dengan cepat dan tegas Sarada berkata, "Tentu saja tidak." Sarada menoleh dan memberikan senyum termanisnya pada Inojin. Membuat lelaki beriris aquamarine ini tertegun menatapnya.

Sarada melanjutkan langkahnya menuju ruangannya. Banyak laporan yang harus ia analisis. Daripada menghabiskan waktunya bersama lelaki pirang ini, lebih baik ia berkencan dengan kertas laporan dan layar monitor laptopnya.

Inojin tetap mengejar langkah Sarada. "Oh ya? Dan aku tidak peduli. Aku tetap menyukaimu, Sarada," kata Inojin cepat dan memamerkan senyumnya sejenak. Lalu ia berjalan mendahului Sarada.

Tak mau ambil pusing, Sarada masuk ke ruangannya. Mengabaikan Inojin yang baru saja menyatakan perasaannya dengan terang-terangan. "Bodoh."

Malam ini bulan purnama. Sarada suka memandang bulan yang berada dalam fase sempurna itu. Sayangnya malam ini ia tidak dapat berlama-lama memandang benda langit favoritnya itu. Sebentar lagi ia akan melaksanakan misi bersama timnya.

Tapi rasa itu, rasa sakit yang menyesakan itu tetap ada. Membuat tubuh Sarada bergetar sesekali. Matanya mulai berkaca-kaca. Tidak, ia tidak boleh menangis saat ini. Sarada menggelengkan kepalanya.

Entah mengapa, kali ini rasanya lebih sakit. Seperti kekhawatiran dan ketakutan, namun tak bisa melakukan apa-apa. Sarada tidak mengerti ada apa dengannya ini. Resah tentu saja. Hal ini mungkin saja menganggu misinya.

Langit Kyoto berawan. Langit kelabu ini tidak dapat menghalangi cahaya bulan yang bersinar terang. Sarada menunduk, pemandangan ini indah, tapi terasa menyakitkan.

Setelah Sumire mendapatkan informasi tentang kegiatan yang dilakukan para mafia itu, mereka langsung merencakan tindakan lanjut dari misi ini. Menurut Sumire, mereka akan menjalankan misi di pinggiran kota Kyoto pada salah satu klub malam. Ke esokan harinya, mereka bergegas berangkat ke Kyoto. Malam ini mereka akan menjalankan misi ini.

"Bulan? Mengapa rasa ini sakit?" Sarada bergumam lemah. Angin berhembus kencang menerbangkan surai hitam sebahunya. Udara dingin ini tak sama sekali menganggu Sarada. Tapi tubuhnya menegang. Ini sama seperti beberapa waktu lalu.

"Karena kau mencintaiku, Sarada."

Suara berat itu membuat Sarada terdiam. Bola matanya melebar, keringat dingin mulai membasahi wajahnya. Suara itu sangat dekat denganya. Terdengar jelas dan jernih. Tapi Sarada tak menemukan siapa pun di sekitarnya.

Ini kedua kalinya, Sarada tak mengerti siapa orang itu. Tubuhnya melemas. Benar-benar lemas layaknya tak ada tenaga. Terduduk di balkon kamar hotelnya dan mulai menangis. Hatinya berantakan sekarang dan Sarada tidak tahu apa yang terjadi padanya.

"Kau siapa?" ucapnya lirih dan terbata-bata. Berharap orang itu menjawab pertanyaannya. Tapi suara balasan tak kunjung terdengar.

Sarada melipat kedua kaki dan memeluknya erat serta menelungkupkan wajahnya dilipatan pahanya. Menangis sesegukam menyembunyikan rasa takut yang entah berasal dari mana.

Mafia terkejam itu bukan sekedar julukan ternyata. Selain kejam, mereka sangatlah cerdik dalam bertindak. Sengaja membeberkan rencana pada intelijen untuk memancing kedatangannya. Tapi Sarada tidak tahu untuk apa mereka melakukan hal yang dapat membahayakan aksi mereka. Pasti terdapat niat terselubung di dalamnya.

Tapi Intelijen Jepang tidak sebodoh dan selemah itu. Iwabe mencoba untuk mengejar beberapa anggota mafia yang pergi. Sedangkan Sumire dan Inojin menangkap para klien yang bertransaksi dengan mafia untuk dimintai keterangan dan juga dijebloskan dalam penjara. Sedangkan Sarada dan Shikadai berusaha mengepung tiga anggota mafia yang mencoba melarikan diri.

"Sarada, tembak kaki mereka," perintah Shikadai melalui wireless yang tergantung pada telinga Sarada.

Sedangkan Shikadai berlari ke lain arah untuk membantu Iwabe yang kesulitan bertarung di tempatnya. Menyerahkan tugas ini pada Sarada.

Tanpa diberitahu pun Sarada tahu harus melakukan apa. Dengan jarak lima meter, menembak tiga orang itu bukanlah hal sulit bagi Sarada. "Ini akan berakhir."

Dor! Dor! Dor!

Tiga kali suara tembakan Sarada menggema di koridor. Peluru berdesing menuju kaki ketiga pelaku. Namun sayangnya seseorang di tengah mampu menghindar dari peluru yang dapat melumpuhkan pergerakan kakinya tersebut.

Melihat kedua rekannya terjatuh, seseorang ditengah itu berbalik. Sarada tak dapat melihat orang tersebut dengan jelas karena mereka menggunakan hoodie yang menutupi sebagian wajahnya.

Sarada terengah. Menatap seseorang di depannya yang masih dengan tegap berdiri, sedangkan dua lainnya jatuh terduduk. Suara ringisan kesakitan dapat Sarada dengar.

"Ikut kami," desis Sarada tajam. Gadis beriris onyx itu melangkah mendekati orang di depannya. Sarada mengernyit, mereka tak menjauh, kemungkinan mereka menyerah. Namun Sarada harus waspada karena mereka sangat licik.

"Aku menangkap mereka, salah satu dari kalian bantu aku!" Sarada mememinta bantuan kepada timnya melalui wireless.

"Aku segera ke sana. Sumire, tolong selesaikan mereka." Suara Inojin terdengar.

Sarada menyeringai, merasa berhasil menangkap mereka. Sarada semakin dekat. Kepalan tinju sudah gadis itu siapkan.

Sarada melayangkan tangannya ke arah wajah yang masih setia menyembunyikan dirinya di balik tudung tersebut. Namun tangannya di tahan dengan mudah. Sarada tidak akan kalah hanya karena ini.

Tapi kali ini, dadanya berdetak kencang. Membuat tubuhnya bergetar. Kontak fisik dengan orang di depannya ini adalah pengaruhnya. Membuatnya mau tak mau menarik tangannya dengan perlahan.

Orang di depannya tak ada pergerakan untuk membalas. Sarada tertegun sejenak. Rasa sakit ini, sesak tak mengenakan, dan rasa rindu? Apa ini?

Sarada menggeleng cepat. Ini bukan waktunya bergalau-galau. Ia harus bisa memisahkan urusan pribadi dengan pekerjaan. Jelas ini masalah yang berbeda. Ia harus bersikap profesional dan tidak mudah terbawa perasaan.

Tangannya kembali melayangkan tinju, berhasil ditepis namun kakinya sudah melayang untuk memberikan tendangan. Lagi-lagi serangan Sarada berhasil ditepis. Sarada terdorong mundur beberapa langkah.

"Tch." Sarada mendesis. Kembali ia layangkan tinju dan tendangan tetali kembali ditepis dengan mudah.

Sarada berhenti sejenak. Mundur beberapa langkah dengan terengah. Stamina adalah kelemahan Sarada.

"Jangan buat aku melukaimu, Sarada."

Sarada menegang, bulu kuduknya berdiri, matanya melebar. Suara berat yang sama dengan saat itu. Sarada tak bisa bergerak, tubuhnya membeku. Rasanya tubuhnya kaku seperti patung. Sama saat dirinya mendengar suara itu.

"Bulan," ucap Sarada lirih dan terbata.

Bulan, itulah yang ada dipikiran Sarada sekarang. Setiap rasa sakit saat menatap bulan. Rasa rindu yang membuncah itu kini semakin meledak-ledak.

Orang itu tersenyum lebar. Sarada akui senyum itu manis menggetarkan hatinya. Tudung jaket itu tertarik ke belakang, namun tak sampai terlepas dari kepala. Wajah pucat itu terlihat jelas dengan netra berwarna kuning layaknya mata ular. Mentapanya senang dan rindu.

Suara langkah kaki terdengar. Menurut perkiraan Sarada itu adalah Inojin. Dalam hatinya Sarada berharap jika Inojin datang dengan cepat dan menangkap mereka karena Sarada sudah tidak berdaya sekarang.

"Seseorang datang," bisik salah satu orang yang masih terduduk dengan luka di kaki itu.

Mereka berbalik membelakanginya, Sarada semakin panik. Jika begini mereka tidak akan tertangkap.

"Siapa kau? Mengapa kau tahu namaku? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Sarada lirih dengan keputusasaan.

Lelaki bermata ular itu hanya melirik Sarada dan memberikan senyum manisnya yang membuat Sarada bergetar. Ia merangkul kedua rekannya dan berlari dengan cepat meninggalkannya.

Sarada menangis. Hatinya berdenyut sakit. Lebih sakit. Ini sangat sakit. Rasa ini bertambah ketika ia gagal menangkap mereka. Menyesal dan marah pada dirinya sendiri karena gagal. Mengecewakan.

Hembusan angin terasa. Angin yang kencang, namun ini adalah sebuah ruangan. Bagaimana bisa angin berhembus sekencang ini?

Sarada membeku. Suara itu kembali hadir. Membuat hati Sarada berantakan. Lelehan air mata mulai membasahi pipi Sarada.

"Mitsuki."

Dan Sarada jatuh terduduk. Memandang lirih koridor yang sudah kosong di depannya. Mengabaikan suara langkah kaki Inojin yang mulai mendekat. Berakhir terbaring dengan kesadaran yang mulai menipis seraya bergumam lirih.

"Mitsuki."

ᴛᴏ ʙᴇ ᴄᴏɴᴛɪɴᴜᴇ

ᴀᴜᴛʜᴏʀ ɴᴏᴛᴇ

Gak paham lagi, ada dua cerita belom selesai malah bikin baru. -- tapi ini cuma short story, 5 chapter dan udah aku selesain. Tinggal update doang, eheh.

Bikin cerita lagi, dengan pair yang baru, mitsusara? Hah? Pasti gak banyak yang suka ya. Emang sih pair ini masih kalah fans dari pair sebelah. Tapi mereka overcutee bagi aku. Momen mereka bareng itu sederhana tapi manis.

dan oh iyaa, nama mafia itu aku pilih asal dari google wkwk, gak baca sejarahnya lagi karena mager. yah jadi intinya mafia itu aku ambil namanya aja, kisahnya sepenuhnya imajinasiku sendiri. Terus aku juga ga tapi pinter bikin action ato tema ginian tapi pengen heheh.

By the way, tiap chapternya emang agak panjang heheh, kurleb 4k words. Ini pengalaman pertama nulis mitsusara, eh udah ngambil tema ginian. Hope you like it!

By the way (lagi) aku update ff ini lebih dulu di ffn daripada di wattpad. kan biasanya wattpad dulu baru ffn ya heheh.

Mind to vomment(s)?

19 Mei 2019