Author: Meonk and Deog.

Title: Hold on tight this mate.

Genre: Romance and comedy/humor.

Rate: T semi M (For this chapter).

Pairing: HaeHyuk.

Slight pair: HyukMin and KyuMin.

Cast: Lee Hyuk Jae, Lee Donghae, Lee Sungmin, Alan (OC), Brian (OC), Cho Kyuhyun.

Warning: Boyslove, Yaoi, Pedo Hae(?), GS for Sungmin, teenlit romance, AU, OOC, OC, typo, blur plot, mature content (for dialog) and etc.

Disclaimer: This story naturally ours. Cast belong themselves.

Hyuk Jae (15 years old)

Donghae (25 years old)

Summary: ""Pertemuan mereka terjadi karena satu hal bodoh. Anak brandal itu bahkan bukan gay, tapi bagaimana jika Donghae sudah terlanjur jatuh dalam pesonanya?"."

.

.

.

"Ini jam berapa? Kau belum berangkat?" Nada si wanita meninggi, logatnya kasar, namun kentara kekhawatiran didalamnya. Kebiasaan adiknya bangun siang memang sulit diatasi ditambah kesalahannya memberikan satu benda lagi untuk teman begadang—Game console. Yang diajak bicara menggidikkan bahu, agak tidak peduli dengan ocehan wanita virgin berkepala dua. Sementara mulutnya masih betah mengunyah satu objek lembut dilengkapi selai kacang.

"Aku naik mobil jadi tidak apa-apa."

"Mobil siapa?"

"Teman."

"Apa? Memangnya kalian punya sim?!" Si remaja memutar mata, kontan kepalanya mendongak memberikan fokus kasar pada sang kakak.

"Oh…, yeah perlukah? Ditilang atau tidak itu tergantung keberuntungan. Aku anak baik jadi Tuhan pasti memberkatiku. Lagipula mobil baru Brian terlalu sexy untuk tidak kutunggangi."

"Kau pikir mudah menunggangi mobil? Mengalahkan pria tidak semudah mengalahkan wanita." Si remaja memberikan gestur sebal. Insan didepannya ia tatap lebih dari 4 detik. Sedikit menggeser tubuh dari kursi, gerakkan rileks diberikan untuk mempermudah kaki kurusnya beristirahat.

"Aku tidak pernah menganggap mobil itu pria. Aku lebih suka twinkie…" Si kakak membulatkan mata, tungkai jemari ia kaitkan dipinggang. Kemudian menatap sengit si penerima interaksi.

"Apa topik kita kesana?!"

"Wanita virgin memang tidak boleh mengulas topik itu. Ok, aku tahu. Kau jadi terlalu sensitif." Remaja kurus ini menaikkan satu alis, manik pekatnya menatap sendu seonggok tumbuh yang tampil didepan mata. Kemudian menggeleng, realita jaman sekarang.

"Ya ampun, tubuhmu bahkan tidak lebih indah dari keledai. Kau pikir siapa yang mau menunggangimu?"

TUK!

Benda berlebelkan nice jam (selai), mendarat tepat dipelupuk kening. Pemuda bersurai agak kecokelatan ini mengaduh, benda ini lempeng, tapi dihujani tutup selai sama nyerinya dengan mencium gadis muda tiba-tiba lalu mendapat tamparan.

"Tutup mulutmu! Siapa yang bilang aku masih virgin?" Pemuda itu berhenti mengaduh, wajahnya pias menatap sang kakak.

"Oh my fucking god! Jadi kau pernah sex?!"

"Lee Hyuk Jae Tuhan tidak akan memberkatimu!"

.

.

.

"Maksudmu vodka?" Si rambut pirang membulatkan mata, pemuda bersurai kecokelatan ini menggeleng.

"Bukan yang lebih keras."

"Memangnya ada? Kau mau minum yang 100%? Kenapa tidak kau tegak saja air keras yang ada dimotormu?!" Hyuk Jae mendecih. Nyatanya teman segenknya tidak bisa dikategorikan hebat. Ada kejadian manis dulu, mereka minum segelas bir berbarengan. Semenit kemudian 5 dari 6 orang yang berkumpul merengek ingin pipis. Ini bukan globalisasi, mereka terlalu bodoh.

"Kita taruhan, dua tegak 100 dollar!"

"100 dollar? Serius?" Hyuk Jae menggidikkan bahu, mungkin dicicil satu dollar setiap harinya.

"Yep."

"Tidak, tidak. Aku masih ingin mengencani Kate, Hyuk." Satu gerakkan spontan muncul didaerah bibir. Hyuk Jae menaikkan satu garis kemerahan, pria tidak bisa hidup tanpa wanita. Mungkin memang benar, tapi bukan berarti mereka harus kencan setiap hari.

"Payah! Mobilmu kubawa ya?" Si gendut menggeleng keras, ia masih punya kepentingan lain dimalam minggu yang sepi.

"Tidak akan pernah! Telingaku terlalu panas jika sejam kemudian ayahku menerima kenyataan mobil barunya ringsek dimusim panas yang panas. Omelannya panjang asal kau tahu."

"Aku tahu tentu, karena itu biarkan aku meminjamnya. Lee Hyuk Jae adalah Asian yang kreatif dan lembut, jadi tidak mungkin western seperti audi merahmu meledak setelah kutunggangi." Hyuk Jae menggerakkan sembarang benda persegi dalam jemarinya, sesekali kekanan sesekali kekiri. Matanya mengedip beberapa detik, ekspresi bingung dari sang teman ditampik ketika layar smartphone itu mengeluarkan sebuah panorama indah. Brian—make out dengan wanita selain Kate.

"Aku bawa kartu Asmu. Kuncinya?" Brian menghela nafas, Asian kurus ini selalu berhasil membuatnya pusing. Perlahan, gerakkan yang begitu lamat menjadi respon terakhirnya sebelum mengumpat lebar.

"Asshole! Kau menang!"

"Jangan bercinta sembarangan seperti kucing! Kau harus berhasil meredam suaranya."

"Fuck up! Shut up! Audi merahku terlalu sexy! Jangan terlalu kasar menungganginya!" Hyuk Jae mengacungkan jari tengah kiri sebelum berhasil memasukkan diri kedalam mobil audi merah yang sempat menjadi topik utama pembicaraan. Sebuah gestur mengiyakan yang terlalu kasar digunakan untuk segera berkelit dari kemarahan sang teman.

"Aku tidak pernah kasar dengan wanita! Sampai jumpa!"

.

.

.

'Jachebalgwang boseogminam, say my name!'

"Lee Hyuk Jae!"

'Jachebalgwang boseogminam, say my name!'

"Lee Hyuk Jae!"

'What's my name?'

"Yeah…, Lee Hyuk Jae. You know that I'm Lee Hyuk Jae." Kepalanya menghentak mengikuti irama, bait lirik terdengar tak sebaik apa yang ditangkap indera. Bocah ini mengangguk terus, sedangkan obsidiannya terfokus kearah depan. Terkadang ia milirik kekaca hitam, jika ada beberapa wanita sexy melintas. Otomatis kaki menginjak gas rem—sekedar untuk bersiul, kemudian berkata. 'Hi cantik, mau kemana?'

Lagu terbaik dari kampung halaman yang pernah ia dengar. Sedikit mengkerutkan kening kala otaknya mengingat sebuah imej dimana kelompok penyanyi itu mengusung tema sedikit feminism—walau hanya untuk beberapa member. Ia menaikkan dagu, mengangkat sedikit wajah untuk memastikan jalan dalam keadaan normal. Rem kontan ia injak, jantung yang berpacu kencang hampir lepas dari tempat asalnya.

"Sial! Polisi!" Desisan pelan tak membuatnya mengeluarkan teriakkan. Hal yang paling dihindari dari mengemudi tanpa sim kini nampak didepan mata. Jalan keluar yang lama ia pikirkan dengan menginjak gas, kemudian memundurkan mobil dan berniat kabur, nyatanya gagal karena ada mobil lagi dibelakang sana. Hyuk Jae makin menggeram.

Seorang polisi berwajah oriental datang kemudian mengetuk kaca mobilnya.

"Malam yang indah untuk mendapatkan seorang bocah menyetir tanpa izin. Harusnya aku bawa kalkun panggang untuk merayakan ini." Pria didepan sana melebarkan senyum, raut ramah yang terlalu artifisial. Hyuk Jae meneguk ludah, apakah berpura-pura sedikit bahwa ia sudah pantas menunggangi si merah begitu sulit?

"Usiaku sudah 20 tahun tapi aku lupa bawa sim." Intensitas kerutan dikening si polisi bertambah lebih banyak, tubuhnya pendek jika diukur dari posisinya duduk. Wajahnya juga terlihat kekanak-kanakkan, mungkin imut? Dan remaja didepannya ini tidak pintar berbohong.

"Maksudmu kartu pelajar?" Hyuk Jae menggertakkan gigi, mereka sama-sama Asian. Apa tidak ada toleransi?

"Aku sudah kuliah pak polisi…."

"Oh yeah? Bagaimana dengan tanda pengenal?"

"Aku lupa bawa dompet…."

"Kurasa kantong celanamu penuh." Hyuk Jae memutar bola mata, tebakannya benar. Si oriental tak mudah ditipu.

"Okay, okay. Aku ditilang." Polisi didepan sana bahkan belum memberikan respon selain tersenyum manis. Hazelnya menatap lepas bocah kurus berras serupa dengannya. Kepalanya mendongak memasuki mobil lewat kaca. Sedangkan Hyuk Jae memberikan reaksi spontan: memundurkan kepala cepat, memberikan jarak yang lumayan jauh.

"Kau orang Asia?"

"Ya. Aku Asian, aku kuning, aku sipit." Pria didepan sana mengangguk, lengannya tertopang dipembatas kaca mobil.

"Hongkong?"

"Aku terlihat seperti orang Hongkong? Aku mafia? Aku memang sedikit mirip Jackie….,"

"Jackie Chan?"

"Bukan, aku anak bungsu Maggie Cheung…." Si polisi memutar mata, jika tidak ada sekat. Mungkin lengannya akan segera memberikan gerakkan reflek dengan memukul halus kepala bocah didepannya.

"Asal! Jepang?"

"Ah! Matsumoto Jun?!" Si polisi menggeram, wajahnya makin condong kedepan.

"Jika kau main-main, aku akan benar-benar menilangmu." Hyuk Jae mengangguk malas, ini cara kenalan menarik dengan sesama ras.

"Okay, ahjussi sorry sorry." Polisi itu membulatkan mata, ada kata yang menyentil saraf pendengarannya. Baru hendak mengeluarkan kalimat lain, bunyi klakson dari mobil berbeda dibelakang sana menginterupsi. Ia mendesah sejenak, lagi-lagi memberikan gestur monoton dengan tersenyum.

"Oh Korea?!—Parkir mobilmu disana…." Telunjuknya menunjuk sisian tempat yang lumayan sepi, hanya ada semak belukar. Ditambah ini malam hari, Hyuk Jae makin menyipitkan mata.

"Mau apa?"

"Parkir atau aku akan benar-benar menilangmu?"

"Calm down baby, okay, okay, arasseo!"

.

.

.

"Kelas tiga SMP?! Kau gila?!" Hal yang wajar ditunjukkan si dewasa dengan membulatkan mata dan mundur selangkah ketika mengetahui seorang bocah belum tamat sekolah menengah pertama mengendarai mobil Audi yang terlihat lumayan mahal.

"Globalisasi, bahkan ada yang lebih parah dari mengendarai mobil." Pandangan pria tampan ini menyipit, lagi ia mendekatkan langkah kemudian masuk kedalam mobil. Duduk dijok depan, bersisian tepat dengan Hyuk Jae. Merasa sedikit risih, ia menjauhkan jarak. Membiarkan ruang kosong menjadi penyekat.

"Aku juga orang Korea. Boleh aku memperkenalkan diri?"

"Go ahead," Hyuk Jae memiringkan kepala kearah kanan, mempersilahkan si tampan untuk mendominasi percakapan. Belum ada yang benar-benar janggal, yang ia tahu pria Asia memang sok ramah.

"Aku Donghae, Lee Donghae. 25 tahun."

"Jadi?"

"Aku tidak menilangmu karena aku ingin memberikanmu sebuah konpensasi." Pria bernama Donghae membiarkan ucapannya tak terselesaikan semuanya, menunggu balasan dari bocah ini dianggap sesuatu yang menarik terlebih ia belum tahu nama bocah itu. Sebuah pertemuan yang diulur waktu, Donghae selalu suka takdir.

"Maksudmu minum atau rokok?"

"Aku butuh namamu."

"Lee Hyuk Jae, 15 tahun." Donghae mengulum senyum, sesuai prediksi bocah ini memang tergolong masih 'polos'.

"Kau pikir apa yang aku inginkan?" Hyuk Jae diam sejenak, otak pas-passannya bergerak berpikir optimal.

"Uang bungkam?"

"Gajihku cukup untuk membiayai tetek bengek hidupku."

"Lalu?"

"Nomor telpon."

"What the hell?! Kau kencan dengan ayam?!" Mata Hyuk Jae membulat sempurna, sekalipun pria ini terlihat normal dan sedikit tenang, gesturnya selalu terlihat menggoda. Hyuk Jae bukan orang yang objektif, jadi walaupun enggan, ia mengakui laki-laki ini tampan—tapi hei! Cassanova sepertinya 100% normal!

"Ayam dengan ayam itu menyenangkan…."

"Ewww! Aku masih normal Donghae…., atau Donghae si pengencan ayam!" Nadanya naik satu oktaf, menocoba untuk tetap mengatur intonasi, ia tak berniat untuk segera memaki dengan teriakkan amat kencang. Yah, ia paham betul orang punya hak besar untuk mengatur penyimpangan seksual.

"Berikan nomor ponselmu atau kubiarkan mobil derek membawa paksa mobilmu kekantor polisi?" Kentara nada memaksa, Hyuk Jae menghela nafas singkat.

"Pak polisi ayolah, ini cara yang kasar untuk mengajak orang kencan."

"Apa bermain X-box dirumahku sebentar disebut kencan? Wow panggilan yang romantis." Bahu Hyuk Jae bergidik beberapa kali, angin lembut seperti menerpa bulu kuduk.

"Aku bukan gay, serius. Kita damai? Ini juga bukan mobilku, ini mobil temanku."

"Itu nilai plus, Hyuk Jae." Memasang senyum yang sama, Donghae menyenderkan punggung disenderan kursi. Fokusnya masih tersorot pada satu hal, mendapatkan sebuah kesempatan kemudian keesokan harinya menggaet target baru untuk dikencani.

"Aku masih muda."

"Aku sudah dewasa."

"Ayolah Donghae, tidak mungkin kau ingin sex dengan bocah sepertikukan?" Donghae menggidikkan bahu. Ia hanya ingin mengenal lebih dekat, taraf 'itu' terlalu dini untuk dijamah. Karena ia pria yang romantis jadi tentu ada beberapa tahap yang harus mereka lewati—itupun jika laki-laki ini mau.

"Apa dipikiranmu hanya ada sex? Bocah apa kau ini!"

"Siapa yang tahu pemikiran orang dewasa! Bisa saja kau memperkosaku!"

"Hei aku polisi!" Hyuk Jae memutar bola mata, banyak polisi yang bahkan terlibat kasus kriminal. Mengulur sedikit waktu, Hyuk Jae akhirnya menganggukkan kepala. Walaupun mengeluarkan reaksi yang diinginkan, bocah ini memberikan sebuah pengecualian.

"Baiklah, tapi hanya main X-Box…."

"Kita kerumahku dengan mobilmu—mobil temanmu."

.

.

.

"Main X-box dirumah polisi?" Pemuda bersurai ikal disamping Brian membulatkan mata. Bibirnya membentuk huruf 'O', ekspresinya tak main-main, ia memang benar-benar bingung. Semenjak tadi Hyuk Jae bercerita lewat ponsel, selalu ada kata polisi yang menyelip. Dan klikmaksnya—si afro dipaksa untuk ikut menemaninya bermain entah dimana.

"Tapi dia bilang aku tidak boleh mengajakmu." Brian mengkerutkan kening, ah! Ia menangkap sedikit gelagat kudeta diantara persahabatan mereka.

"Rencana yang baik! Tadi meminjam mobilku dan sekarang tidak mengajakku kedalam aktivitas bersenang-senang kalian! Apa ada diskriminasi orang gendut disini?!" Alan, nama si afro mengkerutkan kening. Ucapan si gendut disampingnya kentara nada melodrama. Konyol!

"Dia meminjam mobilmu?" Brian mengangguk.

"Bahkan dia belum mengembalikannya!"

"Sampai tengah malam?" Kalimat si afro ditanggapi anggukan antusias. Brian memamerkan senyum lebar kemudian duduk mendekat kearah Alan.

"Maka dari itu kita susul dia!"

"Kemana?"

"Kerumah polisi yang diceritakan!"

"Tapi aku tidak tahu alamatnya idiot." Brian menghela nafas panjang, sebenarnya yang pantas disebut idiot disini adalah si ikal. Untuk apa Hyuk Jae menghabiskan waktunya selama hampir 30 menit dengan menelponnya, menyuruhnya datang ketempat yang si kurus itu mau, kemudian dalam kurun waktu 2 menit si afro bertanya. 'Kemana?' Hell! Temannya bodoh semua!

"Ponselmu belum ditelan snoopykan?"

"What? Sebenarnya apa yang kau katakan?"

"Hubungi dia, tanya dia, kita kesana dan menikmati malam yang panas bersama-sama."

"Oh…, baiklah!"

.

.

.

"Tutup mulutmu! Liurmu nyaris membasahi lantai rumahku!" Reaksi Hyuk Jae dianggap berlebihan, mulutnya bahkan tak bisa terkatup hanya sekedar untuk menghentikan laju saliva. Jantungnya berdegup cepat, ini hal yang paling mempesona yang pernah ia lihat. Membandingkan dengan wanita yang disukainya disekolah, rumah ini bahkan jauh lebih cantik. Game dimana-mana. Game console limited edition, X-BOX, PS3, sampai Nitendo-Wii keluaran terbaru. Ia mendengar nyanyian gereja ditelinga.

"Ini benar-benar rumahmu?"

"Kenapa? Tidak menyesalkan menolak ajakkan 'kencan' romantis polisi oriental?" Hyuk Jae mengangguk antusias, stick PS3 ia elus lembut. Begitu lamat, hingga debunya terlihat menghilang.

"Berapa jam sehari kau ada dirumah ini?" Donghae terlihat berpikir, ia bukan seorang artis yang akan mementingkan berapa jam dia ada dirumah. Karena hidupnya dijalanan, berkutat dengan para penjahat dan pelanggar aturan lainnya.

"Tergantung shiftku, terkadang jam 7 malam aku sudah sampai rumah. Terkadang juga lembur dan terkadang juga libur seharian." Hyuk Jae mengangguk, matanya menatap lekat objek didepan mata yang bergerak tak teratur. Laki-laki yang menurut pemikirian subjektif Hyuk Jae tampan—kini tengah mengambil beberapa cemilan untuknya dikulkas.

"Boleh aku minta kunci rumahmu?" Donghae tersenyum, wajahnya menengok kebelakang sekilas sebelum meraih jus jeruk yang ada dikulkas.

"Tentu, setelah kau sex denganku."

"Oh…bitch! Aku bahkan hanya pernah make out!" Donghae mengangguk, sesuatu yang menarik. Ditambah ia tahu bocah ini masih belum tersentuh atau menyentuh siapapun—informasi yang sangat baik.

"Itu bagus untuk anak seumuranmu—tapi tidak untukku. Pengalaman pertama denganku, bukannya menarik?"

"Shut up!"

TOK! TOK! TOK!

"Nugunde?"

"Mungkin temanku."

"Kau mengajak temanmu?" Hyuk Jae mengangguk, jika seorang diri menghadapi pria ini ia rasa terlalu berbahaya. Harus ada beberapa penjaga, Alan dan Brian menurutnya fondasi yang kokoh. Karena ia tahu benar, Donghae tidak akan memperlihatkan sisi penyimpangannya didepan dua mahluk itu. Terlalu mengerikan untuk dibayangkan.

"Kau bilang kita kencan!" Hyuk Jae menggidikkan bahu, bibirnya memberi ruang untuk terbuka, hendak bicara lagi.

"Kencan pria itu berbeda. Aku mau kencan yang gentle!" Bibirnya tertarik lebar, ekspressinya bahagia—Hyuk Jae bisa tersenyum lebar sekarang. Sementara Donghae memutar mata serentak, dagunya menunjuk pintu kayu.

"Buka pintunya."

"Why me?! Naega wae?!"

"Itu temanmukan? Jadi kau yang buka pintu. Aku tidak mau mereka langsung pingsan ditempat karena melihat ketampananku. Bukalah, hitung-hitung menjadi istri yang baik."

"Ew…! Katakan itu sekali lagi kupastikan ayammu hilang ditelan bumi!" Donghae terkikik rendah, hazelnya menyipit serupa seperti gerakkan mulut. Sedangkan Hyuk Jae berjalan malas kearah pintu.

Ceklek.

"KAMI DATANG!" Pekikan dua orang didepan sana dihadiahi ringisan samar dari Hyuk Jae, telinganya mengalami disfungsi sementara.

"Masuklah, manusia itu menunggumu." Alan dan Brian sontak mengangguk, kaki mereka berjalan kencang kearah ruang tamu walau tanpa permisi si pemilik rumah. Gerakkan mereka secepat kuda, makanan ringan yang dibawa Brian bahkan tak menghalangi intensitas kecepatannya.

"Wow! Persahabatan tiga benua!" Alan dan Brian tersenyum tipis, memposisikan diri mereka menyentuh alas marmer, membiarkan bokong mendarat lebih dulu. Tidak memilih sofa, kedua orang ini lebih nyaman duduk dilantai marmer, memposisikan diri ditempat ternyaman untuk menikmati game yang disediakan.

"Bro, kau orang Hongkong?" Kening Donghae mengkerut beberapa kali, si hitam memanggilnya bro.

"Kau memanggilku bro?" Si Alan terkikik rendah, sementara Brian telah sibuk memilih kaset terbaik.

"Ayolah jangan sungkan." Hyuk Jae menggelengkan kepala, kebiasaan Alan yang sok kenal memang agak menganggu. Dia mirip orang Asia.

"Aku dari Korea sama dengannya."

"Selatan atau Utara?"

"Kalau dia dari Utara, tidak akan ada perjamuan sebaik ini. Mungkin kita akan berkabung atas kematianku." Hyuk Jae buka suara, memberikan gerakkan serentak untuk duduk disisi kanan Alan.

"I see."

"Aku kekamar mandi sebentar, kalian pilih yang kalian suka." Brian dan Alan memberikan gerakkan serupa, mengacungkan ibu jari tanda setuju. Berbeda dengan mereka, reaksi Hyuk Jae cukup berbeda. Jari tengahnya mengacung, ini hal terbaik untuk orang seperti Donghae.

"Mobilku masih utuhkan?" Brian menjadi orang pertama yang memulai pembicaraan, volume suara mereka kecil nyaris berbisik. Takut-takut orang itu mendengar. Hyuk Jae mengangguk, tak ada yang lecet bahkan si polisi bodoh itu membelikan si Audi merah bahan bakar.

"Dia bahkan mentraktir mobilmu makanan."

"Kalian saling kenal darimana?"

Tap, tap, tap….

Interaksi Alan menjadi tak bertuan, tapakkan seseorang berhasil menghilangkan fokus mereka sebentar. Seorang remaja cantik turun dari tangga, wajahnya manis dengan rambut hitam sebahu. Bibir cerinya dilengkapi mata foxy, ia bahkan mampu membuat Hyuk Jae tak berkedip.

"Oppa sudah pulang?"

"Sungmin?!"

.

.

.

TBC.

.

.

.

Mind to review?

.

.

.

Author note:

Okay, kami balik lagi dengan satu fanfict baru. Sebenernya ada banyak stok FF HaeHyuk yang mau kami publish, tapi kalau di post serentak sepertinya bakal begitu menyita waktu. Dan FF ini adalah salah satu FF juga yang setiap chapternya sudah selesai dan tinggal di publish.

Sebelumnya kami minta maaf untuk typo, diksi yang berantakan, alur cerita yang membosankan, juga kesalahan lain yang memperburuk kualitas ff ini. Kami minta maaf #bow.

Jadi gimana responnya?

Pantaskah FF ini untuk dilanjutkan?