disclaimer: sdr2 adalah milik spike chunsoft; saya tidak menerima keuntungan material dari pembuatan fanfiksi ini
warning: OOC, HUGE SPOILERS, tidak akurat, typo(s)
catatan: ini semacam rencana saya bikin fic post-game (entah sdr2 atau dr itu sendiri) dan meski saya berencana untuk tidak menambah fic bersambung lagi, tapi yah begitulah. nantikanlah update yang tidak konsisten dan hiatus di masa depan heehhHEHE.

btw judul mungkin diubah idk

(dan doain supaya fic post-dr selesai AMIN)


Di garis tipis yang memisahkan kesadaran dan ketidaksadaran, Hinata membuka mata.


BEEP. BEEP.

Alarm berbunyi dan beberapa orang berbaju putih datang seraya Hinata menggapai-gapai udara, jari menekuk dan kulit berkerut. Rasanya bernapas adalah hal yang begitu asing untuk dilakukan. Udara adalah alien dan kehampaan adalah hal yang ia perlukan. Tapi, toh, paru-parunya mengembang dan mengempis seraya matanya jelalatan melihat orang-orang asing datang menghampirinya, menekan tubuhnya agar kembali berbaring di kapsul.

"Tenanglah!" teriak mereka satu per satu. Baju putih mereka tidak terlihat suci. Banyak rahasia yang bersembunyi di balik baju-baju putih itu. Hinata tak mungkin tenang mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada merekayang tersembunyi dalam dirinya sendiri.

Hinata menjerit keras. Ia mendengar suara Izuru di dalam kepalanya, suaramu keras sekali, menyedihkan, dan Hinata menjerit lagi.

Salah satu orang berbaju putih itu pun berhasil mengurung Hinata di dalam kapsul. Dinding kacalah yang membatasi Hinata dan dunia luar. Mereka tak berkutik dari tempatnya, hanya mengangkat clipboard dan menulis apapun yang Hinata asumsi merupakan data. Salah seorang dari mereka beranjak pergi untuk menaruh ponsel di telinganya. Samar-samar terdengar nama Naegi.

Hinata berusaha menstabilkan pernapasannya seraya mempertanyakan orang bernama Naegi. Matanya menerawang, memandang langit-langit yang tak begitu familiar. Putih.

Hinata melayang dalam dunia putih. Terperangkap lagi di dalam kepalanya.

Ada siluet seseorang yang bajunya mirip seorang suster, datang memeluk dirinya di atas tempat tidurnya; seseorang dengan rambut empat warna berteriak padanya, senyum lebar terulas; televisi yang tak menayangkan siaran apapun selain boneka yang suka minum fruit punch; seringai seseorang yang muncul ketika ia memutar gagang pintu, tertekuk dan penuh akan ambiguasi.

Ah.


Ini adalah daftar semua hal yang dilihat Hinata ketika jiwanya dirangkul oleh ketidaksadaran:

1. Lima belas wajah

2. Dua boneka

3. Air mata yang menggumpal di atas pasir

4. Darah yang kerap terlihat di ujung rambut

5. Deretan jarum-jarum dengan ukuran bervariasi

6. Tombak

7. Jari-jari yang bertautan dan senyum penuh harapan

8. Hinata-kun—error error errrROORRRR


"Halo. Siapa namamu?" tanya Naegi kepadanya dengan senyum terulum, tulus tapi penuh dengan kewaspadaan. Itu adalah hal pertama yang diperhatikan Hinata sebelum melihat postur tubuh Naegi, lebih tinggi dan tidak terlalu kurus seperti Naegi yang terakhir kali ia lihat di—eh? Di mana?

Hinata tidak punya jawabannya. Naegi punya.

"Halo?" Suara Naegi muncul di telinganya. Senyumnya masih lebar. Masih baik. Masih ramah.

Hinata menekan bibirnya.

"Namaku Hinata," jawab Hinata, meluruskan jari-jarinya yang sebelumnya mencengkeram selimut dan menyadari kukunya panjang seperti kuku seorang model. Sekilas imaji darah terciprat di atas kuku sehingga kuku-kuku panjang itu terlihat seperti telah diolesi kuteks warna merah gincu. Seseorang berbisik, oh, lihatlah, tangannya yang cantik ini, dan Hinata memejamkan mata. Gelap. Hinata menarik napas. "Bukankah kau sudah tahu namaku?"

"Aku sudah tahu, Hinata-kun," kata Naegi dengan tawa kecil yang terdengar sedikit hampa di sisi suaranya. Ia mengulurkan tangan yang tadi tersembunyi di belakang punggung. "Selamat datang."

Hinata membalas ulurannya. Kuku panjang itu menyentuh pergelangan tangan Naegi. Lelaki berjas hitam itu sama sekali tidak menarik tangannya menjauh dari Hinata.