Promise Between Us

Disclaimer:
Vocaloid bukan milik saya. Tapi fic ini milik saya.

Rating: T

Genre: Romance, Tragedy, Hurt/Comfort.

Warning: Typo, OOC, alur kecepatan, death character pada akhirnya.

Note: Menerima flame yang wajar. Terima kasih bagi yang mau RnR~

Summary:
"Sebuah janji kecil yang mempersatukan kita. Akankah harapanku terkabul?"

Author: Fic baru lagi...

Miku: Dengan pairing yang berbeda!

Author: Yup. Karena ini request dari teman saya. Pairing kali ini MiKai.

Kaito: Tumben, biasanya RinLen terus.

Author: Saya juga nggak tahu bisa buat fic MiKai yang bagus atau nggak. Mohon bantuannya, para senpai.


Miku POV


Aku melamun dan menatap keluar jendela. Suasana hari ini tampaknya menyenangkan sekali. Matahari bersinar tak terlalu terang, sepertinya akibat awan yang menutupinya.

Namaku Miku Hatsune. Di sekolah elite Voca Gakuen ini, aku lebih memilih diam dan tidak banyak bicara. Meskipun banyak orang yang mengenalku sebagai diva sekolah ini. Tapi aku lebih memilih menutup diri. Aku tidak memiliki banyak teman. Mungkin itu karena aku lebih banyak diam?

"Melamun lagi?" ujar sebuah suara. Suara orang itu mengagetkanku sedikit. Aku segera berbalik badan dan mendapati sahabatku berdiri di sampingku. Ia tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang putih.

"Gumi. Kamu mengagetkanku saja," balasku pelan. Aku menghela napas, kemudian menatap keluar jendela lagi.

"Hm... Kamu memikirkan kejadian itu lagi?" kata Gumi lagi. Aku terdiam. Walaupun aku merasa pasti ekspresi wajahku berubah. Menjadi tidak tenang, gelisah, dan muncul rona merah di kedua pipiku.

"Sedikit," jawabku singkat tanpa mengalihkan pandanganku ke arahnya.

Gumi menepuk-nepuk punggungku pelan. Aku membiarkannya menepuk-nepuk punggungku.

"Tenang saja, Miku. Ia pasti kembali. Dan kalian bisa seperti dulu lagi," ujar Gumi iseng sambil terkikik. Kini wajahku sudah sangat memerah.

"Urusai!" seruku sambil berbalik ke arahnya. Aku dapat melihatnya tersenyum nyengir ke arahku. Aku hanya cemberut. Mau tahu siapa yang dimaksud Gumi?

Yang dimaksud Gumi adalah...

Kaito Shion. Dia teman masa kecilku.


Flashback (Sembilan tahun yang lalu)

"Kaito-nii! Kaito-nii!" Aku berlari-lari ke arah Kaito-nii sambil membawa bunga-bunga putih di tanganku. Bunga itu baru saja kudapat di antara semak-semak berduri yang tidak jauh dari lapangan ini. Entah kenapa bunga-bunga seindah ini harus tumbuh di dekat semak-semak berduri.

"Aduh!" Aku merintih pelan. Duri tajam dari semak-semak tadi berhasil menggores kakiku. Aku berhenti berjalan dan mulai berjalan dengan tertatih-tatih. Sekarang gantian Kaito-nii yang berjalan mendekatiku.

"Kenapa, Miku? Wah, kaki dan tanganmu kenapa?" balas Kaito-nii. Ia meraih tanganku dan melihat tanganku yang penuh luka.

Kenapa aku memanggilnya Kaito-nii? Mudah saja. Karena aku berusia delapan tahun dan Kaito-nii berusia sebelas tahun.

"Aku nggak apa-apa, kok!" seruku sambil menarik tanganku lagi dari genggaman Kaito-nii. Menurutku ini hanyalah luka kecil. Dan yang penting saat ini bukanlah luka-luka itu, tapi bunga yang kudapat tadi.

"Ini, aku menemukan bunga-bunga ini di semak berduri yang berada di sana," ujarku sambil menunjuk ke arah semak berduri tadi. Kaito-nii hanya geleng-geleng kepala. Ia melihat kakiku yang tak beralaskan sepatu atau sandal dan penuh luka.

"Miku, besok aku harus ke Inggris dan tidak akan kembali untuk jangka waktu yang lama," ujar Kaito-nii sambil memegang kedua tanganku.

Aku memiringkan kepalaku. "Pulangnya jam berapa? Nanti Miku tunggu!" seruku. Dasar, namanya juga anak kecil. Tak kusangka aku berbicara seperti itu.

Kaito-nii menghela napas lagi. Ia mempererat pegangannya di tanganku.

"Aku nggak akan kembali untuk beberapa tahun," jawabnya. Aku terdiam.

"Maksudnya... Kaito-nii nggak akan pulang?" tanyaku dengan kaki yang gemetar. Aku nggak percaya! Aku nggak percaya Kaito-nii nggak akan pulang! Aku akan kesepian tanpa Kaito-nii!

Kaito-nii hanya mengangguk pelan.

Tak terasa air mataku mulai menetes. Kemudian dengan cepat aku memeluknya. Karena hantaman yang begitu keras, Kaito-nii jatuh ke rumput, dengan aku yang menimpanya dari atas sambil memeluknya.

"Kaito-nii nggak boleh pergi! Kaito-nii nggak boleh pergi! Huaa!" seruku. Aku mulai nangis di pelukannya. Kaito-nii mengubah posisinya menjadi posisi duduk. Lalu ia memelukku.

"Aku pasti pulang, kok," ujarnya sambil membelai lembut rambutku. Aku mengusap mataku yang penuh dengan air mata. Kaito-nii membantuku menghapus air mataku. Aku terdiam.

"Dan nanti tentunya aku akan menjemputmu," balas Kaito-nii dengan senyum di wajahnya. Aku menatap wajahnya yang lembut itu. Menjemputku? Apa maksudnya?

End of flashback


Aku hanya mendesah setiap kali mengingat kejadian itu. Kejadian yang manis, tapi juga pahit untukku. Sampai sekarang Kaito-nii belum pulang, dan aku masih menunggunya. Karena aku percaya, dia pasti pulang.

"Dia pasti pulang," ujar Gumi seakan dapat membaca pikiranku. Aku menoleh padanya lagi. Ia hanya tersenyum. Melihat senyumannya yang lembut, aku pun membalas senyuman itu.

Ya. Aku percaya. Kaito-nii... pasti akan pulang.

.

.

Aku keluar kelas dengan lesu. Ajaran Iroha-sensei di kelas sudah benar-benar keterlaluan. Aku nggak ngerti satu pun yang ia ajarkan. Aku menelusuri lorong kelas sampai seseorang menahanku.

"Hatsune, ada waktu sebentar?" ujar seorang murid laki-laki. Err... Siapa namanya? Ah, iya. Piko Utatane-kun.

"Ada apa?" tanyaku.

"Hatsune, err... aku suka padamu," ujarnya dengan gugup. Wajahnya memerah semua. Aku tidak terlalu kaget. Karena sudah sering aku mendapat pengakuan cinta dari cowok-cowok seperti ini. Dan aku tak peduli. Tak ada satu pun di antara mereka yang berhasil menarik perhatianku.

"Maaf, Piko-kun. Aku tidak dapat membalas perasaanmu. Tapi terima kasih telah menyukaiku," ujarku seperti biasanya kalau menolak pernyataan cinta itu, disertai dengan sebuah senyum manis.

Piko-kun hanya menggaruk kepalanya yang aku yakin tidak gatal itu. Kemudian ia membungkuk.

"Terima kasih, Hatsune," ujarnya. Aku pun balas membungkuk dan melanjutkan jalanku. Siapa ada yang menyangka akan ada yang menahanku di lorong untuk menyatakan cinta di tempat umum? Aku sendiri tidak tahu.

Aku keluar dari gerbang sekolah. Sebelum pulang, aku menyempatkan diri untuk mampir ke kios es krim kecil yang berada di dekat sekolah. Mungkin es krim dapat menyejukkan pikiranku yang kacau ini. Melihat es krim, aku jadi teringat pada Kaito-nii...

Ketahuilah, Kaito-nii sangat menyukai es krim. Sukanya nggak tanggung-tanggung. (Author: Itu semua juga udah tahu.)

Aku berdiri di depan penjual es krim tersebut dan memilih-milih rasa es krim yang tersedia.

"Um... Blueberry," ujarku akhirnya memutuskan. Penjual es krim itu mengangguk dan menyiapkan es krim yang kupesan. Tak ada semenit kemudian, ia menyerahkan sebuah cone es krim padaku. Aku membayarnya dan segera keluar dari kios itu. Baru saja aku berjalan beberapa langkah, tiba-tiba aku secara "tidak sengaja" menabrak seorang pemuda.

"Eh!" seruku kaget. Es krim yang dibawa pemuda itu jatuh dan mengenai rambutku sedikit. Aku kaget.

"Kalau jalan hati-hati, dong!" seru pemuda itu ketus.

"G-Gomenasai!" seruku sambil menatap ke arahnya. Seketika aku merasa jantungku berhenti berdetak begitu melihat wajahnya.

"Apa lihat-lihat?" serunya ketus.

Aku terdiam. Meyakinkan diriku sendiri. Ini bukan... mimpi?

"Kaito... nii?" balasku pelan. Pemuda yang kusangka Kaito-nii hanya menaikkan sebelah alisnya dengan bingung.

"Bagaimana kau tahu namaku?" tanyanya lagi dengan gusar. Aku merasa ada petir di sampingku. Rupanya Kaito-nii sudah lupa padaku? Padahal janji kita sembilan tahun yang lalu... akan bertemu lagi.

"Kau lupa padaku? Aku... Miku," ujarku pelan, berusaha agar Kaito-nii mengingat apa yang terjadi sembilan tahun yang lalu. Kaito-nii mengerutkan dahi. Kemudian dia menggeleng.

"Aku nggak tahu siapa itu Miku. Sudahlah, lebih baik kau bersihkan rambutmu dulu di rumah. Aku kasih nomor handphone-ku saja. Baru kita bicara lebih lanjut," ujarnya cepat. Ia merobek kertas notes yang ia bawa dan menuliskan nomornya. Kemudian ia memberikannya padaku.

"Sana," ujarnya seperti mengusir.

Aku mengangguk kemudian berjalan pulang, tak peduli dengan rambutku yang belepotan es krim dan dilihat orang. Sekarang pikiranku benar-benar kacau. Ya, Kaito-nii menepati janjinya. Ia sudah kembali. Tapi masih ada satu janji yang belum ia tepati.

"Dan nanti tentunya aku akan menjemputmu."

Bagaimana ia mau menjemputku kalau ia tidak ingat padaku?

.

.

Aku membanting tubuhku ke kasur sesampainya di rumah. Pikiranku yang kacau ini tidak bisa diajak kompromi. Tanpa memedulikan rambutku yang masih terkena es krim, aku tertidur.

Sore harinya aku bangun. Secepat kilat aku memasuki kamar mandi dan mandi, juga membersihkan rambutku yang lengket itu. Mengingat kejadian tadi siang benar-benar membuatku sesak.

TING TONG

Aku mendengar bel pintu rumahku berbunyi. Aku mengeringkan rambutku secara asal lalu membukanya.

"Ya?" balasku setelah membuka pintu. Dan yang membuatku terkejut adalah, sekarang di hadapanku ada sosok pemuda yang tadi siang kutemui. Kaito-nii?

"Eh, kamu?" ujar Kaito-nii sambil memiringkan kepalanya.

"Ada apa?" tanyaku.

"Ayahmu, Mikuo Hatsune menyuruhku untuk tinggal di sini denganmu. Katanya ia perlu pergi keluar negeri untuk satu bulan, bekerja tentunya," jawab Kaito-nii. Ia memainkan syalnya.

Aku menatapnya dengan pandangan tidak percaya. Otou-san menyuruh Kaito-nii untuk menjagaku, sementara ia pergi selama satu bulan? Apa otou-san masih menyadari bahwa pemuda yang ia suruh adalah Kaito-nii?

Kalian belum tahu, ya? Otou-san-ku sibuk sekali. Sedangkan okaa-san sudah meninggal semenjak aku masih bayi. Dan sekarang aku akan tinggal serumah dengan Kaito-nii?


Kaito POV


Aku tak menyangka putri tunggal Mikuo-san adalah gadis yang kutemui siang ini, yang menabrakku. Tapi ia aneh. Ia seperti bertanya apakah aku ingat padanya, dan hal-hal lain yang aneh. Apa yang terjadi sebenarnya?

"APA?" Hanya itulah respon dari gadis berambut hijau tosca yang diikat twintail ini. Aku mendengus. Setelah lama berpikir dan reaksinya cuma itu?

"Ta-Tapi..." Ia tergagap.

"Kamu takut aku macam-macam?" ujarku sambil mengulum senyum iseng. Aku dapat melihat perubahan yang terjadi padanya. Wajahnya langsung merah seketika. Aku meletakkan tanganku di dahinya.

"Panas. Demam, ya?" ujarku mengetes apakah ia demam atau tidak. Wajahnya memerah dan suhunya naik.

"Ti-Tidak, kok. Maksudku aku tak berpikir seperti itu dan aku tidak demam," jawabnya lagi, sekali lagi dengan tergagap. Aku hanya mengangguk-angguk.

"Oh, ya. Silakan masuk," ujarnya lagi. Aku pun masuk sambil menenteng sebuah koper besar dan sebuah tas kecil.

"Di mana kamarku?" tanyaku. Gadis itu memandangi rumahnya. Kemudian ia menunjuk ke sebuah pintu yang berada di hadapanku.

"Di samping kamarku," jawabnya. Aku hanya mengangguk. Setelah mengeluarkan dan mengatur kamarku, aku berjalan keluar kamar dan mendapati gadis yang harus "kujaga" sedang duduk di sofa yang berada di ruang tamu. Bisa kulihat dia memegang kedua tangannya.

"Siapa namamu?" tanyaku lagi. Heran, aku sudah berbicara banyak dengannya meski aku belum tahu siapa namanya.

"Miku. Miku Hatsune," jawabnya pelan. Aku mengangguk-angguk.

"Kaito-nii, kau ingat padaku?" tanya Miku pelan. Ia menarik lengan bajuku. Aku menengok padanya dan memberikan pandangan heran. Ingat? Ingat apa?

"Ingat? Memang kita pernah bertemu? Kapan?" tanyaku pada gadis yang diikat twintail ini. Miku melepaskan pegangannya pada lengan bajuku. Kemudian ia menghadap ke arah bawah.

"Tidak, lupakan saja," jawabnya pelan. "Sudah kuduga kau akan lupa..." Aku tak menyadari air mata yang mengalir di sudut matanya.

"Ah, ya. Kau sudah makan? Kalau belum, aku bisa masak. Aku juga belum makan," ujarku sambil bangkit berdiri. Miku mengalihkan wajahnya dariku dan menggeleng.

"Di mana dapurnya?" tanyaku lagi. Miku masih belum menghadap ke arahku. Ia hanya menunjuk dapur yang berada di ujung kamar. Aku hanya mengangguk lalu berjalan ke dapur itu untuk memasak. Sebenarnya apa yang terjadi?


Miku POV


Untung saja Kaito-nii sudah pergi. Ia memang lebih lembut dari tadi siang. Tapi aku dapat merasakan perbedaan yang terjadi dalam dirinya. Ia sangat berbeda dengan sembilan tahun yang lalu.

Ah, tidak heran jika ia lupa. Toh, aku tidak penting baginya, kan? Lagipula kejadian itu sudah berlalu sembilan tahun yang lalu. Sembilan tahun bukanlah waktu yang singkat. Jadi wajar saja jika ia lupa.

Tapi entah kenapa, jika mengingat janji yang ia buat dengan sikapnya sekarang, dadaku terasa sakit...

Aku sebenarnya tidak ingin ia melihatku menangis. Nanti ia akan bertanya kenapa dan pastilah aku repot menjawabnya. Maka aku mengalihkan pandanganku darinya, untuk menyembunyikan air mataku.

Aku berjalan dengan agak terseok-seok ke kamarku. Sepertinya air mataku tidak bisa dihentikan begitu saja. Dan bisa repot jadinya kalau Kaito-nii melihatku menangis. Maka lebih baik aku mengurung diri untuk menenangkan diriku sendiri selama ia memasak.

Aku berbaring di kasurku dengan posisi tengkurap. Aku menutup wajahku dengan bantal, berharap air mataku segera berhenti. Tapi air mata itu tak kunjung berhenti. Semua yang kurasakan di hati dan di pikiranku, semua itu sakit...

"Miku?" Aku mendengar suara Kaito-nii dan juga pintu kamarku yang diketuk. Aku membuka sebelah mataku yang tadi kupejamkan. "Makan malam sudah siap," lanjutnya. Aku hanya bergerak sedikit di tempat tidurku. "Miku?" Kaito-nii mengetuk pintunya lagi.

"Ya, ya! Nanti aku akan keluar," jawabku dengan suara keras. Setelah itu aku tidak mendengar ada yang mengetuk-ngetuk pintuku lagi ataupun suara Kaito-nii.

Aku berdiri di samping kasurku dan berjalan menuju kamar mandi yang berada di dalam kamarku. Setelah itu aku mencuci muka, berharap Kaito-nii tidak melihat mataku yang sembab ini.

.

.

Aku menarik kursi yang berada di samping Kaito-nii lalu duduk di sana. Setelah itu aku mulai mengambil makanan yang tersedia di sana dan mulai menyantapnya. Begitu juga Kaito-nii. Kami semua makan tanpa suara sampai akhirnya...

"Matamu merah? Habis nangis, ya?" ujar Kaito-nii tiba-tiba, memecah keheningan di antara kami. Aku tersedak ketika mendengarnya. Kaito-nii memberiku tisu. Buru-buru aku mengambil dan menutup mulutku dengan tisu itu.

"Err... Tadi Kaito-nii ngomong apa?" tanyaku untuk memastikan bahwa aku tidak salah dengar. Kaito-nii hanya mengangkat bahunya.

"Lupakan saja. Mungkin aku yang salah," jawabnya lalu mulai melanjutkan makan.

Aku menghela napas lega. Untung saja Kaito-nii tidak ingin meneruskan pembicaraan ini. Aku tidak bisa berbohong padanya. Aku mempercepat makanku agar aku bisa segera ke kamar. Menahan tangis dan menyembunyikan air mata bukanlah hal yang mudah. Aku tidak pintar dalam akting.

"Uhuk!" Aku tiba-tiba tersedak karena makan terlalu cepat. Kaito-nii langsung menoleh padaku. Dengan cepat ia menyodorkan segelas penuh air putih padaku. Aku menerima air putih itu dan segera meminumnya.

"Miku, ada saus di dekat bibirmu," ujar Kaito-nii setelah aku selesai minum.

"Eh?" Aku kaget. Lalu dengan cepat aku meraba bagian dekat bibirku dengan ibu jariku untuk mengelap saus yang belepotan.

"Sudah?" tanyaku.

"Belum. Itu ke atasan... Sini, deh," ujar Kaito-nii akhirnya. Ia mengambil saputangan yang berada di sakunya. Kemudian ia memajukan tubuhnya ke arahku. Lalu ia menghapus saus yang berada di dekat bibirku dengan saputangannya.

Spontan wajahku memerah karena itu. Tak lama kemudian Kaito-nii duduk lagi dan memasukkan saputangan itu ke dalam sakunya lagi.

"Sudah," jawabnya tenang.

"A-Arigatou." Hanya itu yang bisa kukatakan. Sementara saat ini wajahku sangat memerah.

Kaito-nii hanya tersenyum. Kemudian ia melanjutkan makan. Kini aku makan dengan agak pelan. Tapi tak lama kemudian aku menghabiskan makananku yang tinggal sedikit itu.

"Terima kasih atas makanannya," kataku pelan lalu berdiri dan membawa piring serta peralatan makan lainnya ke dapur.

Setelah itu aku memasuki kamarku dengan berbaring di kasurku, seperti biasanya. Aku juga menutup mataku dengan tangan. Rasanya aneh. Kesanku saat berhadapan dengan Kaito-nii sudah berubah, tidak seperti dulu lagi. Ada apa sebenarnya?


"Miku! Ohayou!" seru Gumi pada keesokan harinya sambil melambaikan tangan. Aku memasuki kelas perlahan. Semua menoleh padaku. Tapi tanpa memedulikan pandangan mereka, aku segera berjalan ke arah Gumi.

"Ohayou, Gumi," balasku. "Aku sudah bertemu dengannya lagi," ujarku memulai topik baru.

Mata Gumi membesar ketika mendengar aku berbicara demikian.

"Yang benar? Wah... Senang, dong," balas Gumi riang.

Aku hanya menggelengkan kepala dengan pelan.

"Tidak. Dia lupa padaku," jawabku. Gumi terdiam sejenak.

"Apa? Lupa padamu?" tanyanya lagi. Aku hanya mengangguk kecil. Sahabatku itu menepuk pundakku.

"Sabar, ya. Semoga dia segera ingat," ujarnya seperti menghiburku. Tapi entah kenapa aku tidak merasa terhibur. Aku mengangguk saja.

.

.

"Tadaima." Aku membuka pintu rumahku pelan. Aku melepas sepatu dan melangkah ke dalam. Kemudian aku menyimpan tasku dan mengecek ke dalam rumah ini. Di mana Kaito-nii?

"Kaito-nii? Kaito-nii?" Aku memanggil-manggil namanya karena tidak melihatnya ada di rumah. Aku berjalan menuju ke dapur. Mataku menangkap sebuah kertas kecil berwarna putih berukuran kecil seperti note. Kertas ini ditulis dengan tulisan tangan dengan tinta berwarna hitam yang rapi. Aku melepasnya dari kulkas karena kertas ini memang ditempel di kulkas dengan menggunakan selotip.

Sepertinya sebuah catatan singkat dari Kaito-nii.

Miku, aku ada keperluan sebentar. Aku akan pulang sore nanti, sekitar jam lima sampai jam enam.

Hanya itu yang ditulisnya. Aku menghela napas dan meletakkan catatan kecil itu di meja. Kemudian aku membuka kulkas dan menemukan beberapa bahan makanan. Mungkin akan lebih baik jika aku memasak sendiri.

.

.

Setelah makan aku memasuki kamarku dan berbaring seperti biasa. Tak lupa juga memasang earphone yang menghubungkan ke handphone-ku untuk mendengarkan musik. Aku membaca majalah-majalah lamaku.

"Miku? Oi," Aku baru sadar kalau bahuku digoncangkan oleh seseorang. Aku melepas earphone dan menoleh. Ternyata itu adalah Kaito-nii.

"Kaito-nii? Sudah pulang?" sambutku sambil memasang posisi duduk.

"Aku sudah mengetuk-ngetuk pintu kamarmu, memanggil dari luar, tapi kau sama sekali tidak menjawabnya. Akhirnya aku masuk saja," jawabnya sambil mendengus.

"Ups. Gomenasai. Tadi aku pakai earphone. Sama sekali nggak kedengaran," jawabku. Aku melihat ke arah jam yang berada di atas meja belajarku. Jam setengah enam. Secepat itukah waktu berlalu?

"Sudah makan?" tanyanya lagi.

"Makan siang," jawabku singkat.

"Kalau begitu, kita makan dulu, yuk," ajak Kaito-nii. Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Lalu keluar kamar dengan perlahan.

.

.

Aku melihat makanan yang berada di meja makan. Apa ini semua hasil masakan Kaito-nii? Banyak sekali.

"Aku membelinya tadi. Dalam perjalanan pulang," jawab Kaito-nii seakan dapat membaca pikiranku.

"Souka," hanya itu jawaban yang keluar dari mulutku.

"Memangnya Kaito-nii tadi ke mana?" tanyaku penasaran ketika makananku sudah mau habis.

"Eh? Habis kencan," jawabnya.

Mendengar jawaban itu, keningku berkerut. Sejak kapan Kaito-nii punya pacar dan kencan seperti itu? Aku terbatuk pelan dan melanjutkan makan, berharap Kaito-nii tidak melihat perubahan di wajahku.

"Oh? Kaito-nii sudah punya pacar?" balasku sambil berusaha untuk tersenyum. Kalau kalian perhatikan baik-baik, sebenarnya senyuman ini tidak cocok untuk disebut senyuman. Senyuman ini terlihat seperti senyuman yang hambar, tak ada perasaan di dalamnya. Tentu saja, karena aku memaksakan senyuman ini. Miris sekali, ya.

"Sudah. Aku baru jadian dengannya dua bulan yang lalu," jawab Kaito-nii dengan senyum yang menghiasi wajahnya. Sepertinya ia senang sekali berbicara tentang pacarnya yang aku sama sekali tidak kenal itu.

GREK...

Aku mendorong kursiku ke belakang dengan keras lalu berdiri sambil menunduk.

"Maaf. Tapi aku sudah selesai makan," ujarku pelan. Tepat pada saat itu makananku tinggal sedikit. Aku membawanya ke dapur.

Aku ingin sekali melepaskan semua air mata yang kutahan ini. Kenapa harus selalu seperti ini? Apa yang kuharapkan dari Kaito-nii? Dia tidak ingat padaku, sadarlah, Miku. Hidup Kaito-nii bukan urusanku. Apa hakku melarangnya berpacaran dengan cewek lain? Seharusnya aku baik-baik saja. Tapi yang ada malah aku merasakan sakit seperti ini...

Aku menyentuh daun pintu dengan tangan kananku. Sebelum aku masuk, aku merasakan tangan kiriku ditahan.

"Miku, tunggu," Aku dapat mendengar Kaito-nii berbisik di belakangku. Aku hanya terdiam. Tak lama kemudian aku menoleh, tanpa berusaha untuk menyembunyikan air mata yang sudah tak bisa kubendung itu.

Kaito-nii yang melihatku menangis tidak dapat melakukan apa-apa. Ia hanya menarikku ke dalam pelukannya, itu saja. Aku hanya diam di dalam pelukannya, walau sebenarnya aku ingin sekali menangis keras-keras. Maka aku hanya menangis dalam diam, membiarkan air mataku menetes dan membasahi pipiku.

"Aku tidak tahu kenapa kau menangis. Tapi menangislah, lepaskanlah semuanya," ujar Kaito-nii, masih dengan memelukku. Aku terus menangis tanpa suara. Rasa sakit di hatiku ini benar-benar tidak bisa kuterima. Aku tidak bisa menerima semuanya. Kami-sama, kenapa semua ini harus terjadi padaku? Apa salahku?


Aku bangun dari kasurku dengan malas. Sebenarnya aku tidak ingin bangun. Aku dapat merasakan mataku sembab, mungkin akibat menangis semalaman kemarin. Setelah Kaito-nii melepasku dan aku kembali ke kamar, aku menangis lagi di sana, dengan diam tentunya. Jika aku berteriak-teriak pasti Kaito-nii dapat mendengarnya.

Mungkin perasaan inilah yang disebut dengan cemburu. Tidak terima orang yang kita sayangi sudah dimiliki dan memiliki orang lain. Dan kita ini tidak dianggap penting olehnya. Aku cemburu, aku sadar.

Aku sakit hati karena Kaito-nii meninggalkanku. Aku sakit hati karena Kaito-nii melupakanku. Aku sakit, aku tersiksa karena... ia melupakan janji sembilan tahun yang lalu. Janji yang selalu menempel di pikiranku. Janji yang tak bisa kulupakan.

Aku beranjak dari kasur dengan gerakan lambat. Untung saja hari ini libur. Kalau tidak, aku tidak yakin aku bisa menghadapi semua pertanyaan dari teman-temanku, khususnya Gumi, mengenai mataku yang sembab ini.

Aku menuju kamar mandi dan mandi lalu berpakaian. Setelah itu aku turun ke bawah dan duduk di ruang tamu. Rumah ini seperti mati, sepi sekali. Mungkin Kaito-nii masih tidur.

TING TONG

Aku beranjak dari dudukku ketika mendengar bel di depan rumahku. Aku berjalan menuju pintu dan membukanya. Di hadapanku ada seorang gadis dengan rambut berwarna cokelat pendek dengan pakaian serba merah. Siapa dia?

"Ano... Maaf. Siapa, ya?" tanyaku setengah berbasa-basi dengannya.

"Aku Meiko Sakine. Di sini Kaito tinggal, bukan? Maksudku Kaito Shion," jawabnya sekaligus bertanya padaku.

Keningku berkerut. Siapa gadis ini? Apa dia teman Kaito-nii?

"Ya," jawabku singkat. Kemudian ia membungkuk pelan.

"Salam kenal. Aku pacarnya Kaito. Kau pasti Miku Hatsune, kan? Kaito sudah bercerita banyak tentangmu," katanya seperti memperkenalkan diri dengan senyum terukir di wajahnya.

JGER!

Aku merasa seperti tersambar petir pada pagi hari ini. Bukankah itu aneh? Tidak, jangan pikirkan hal itu. Kembali ke persoalannya. Gadis yang berada di hadapanku ini adalah pacar Kaito-nii, yang sangat-sangat tidak ingin kutemui, mungkin begitu.

Aku seakan membeku untuk beberapa saat. Aku tidak dapat membalas sapaannya. Bahkan aku tidak ingin menemuinya. Aku tidak ingin mengenalnya. Semua ini akan membuatku tambah sakit. Aku tak bisa membalas sapaannya, untuk saat ini. Maka aku hanya diam. Mungkin ia akan berpikir kalau aku ini tsundere karena menunjukkan sikap tak bersahabat. Tapi siapa peduli? Yang harus kupikirkan adalah bagaimana caranya untuk lari darinya.

"Meiko!" Aku mendengar suara yang cukup familiar bagiku memanggil gadis ini. Aku menoleh ke belakang dan menemui Kaito-nii dengan penampilan yang sudah rapi. Sepertinya ia tahu pacarnya akan datang hari ini.

"Ah, Kaito," balas... Meiko, pacarnya Kaito-nii ini. Aku nggak peduli dia umur berapa, aku panggil Meiko saja. Dia tidak memberiku nama panggilan.

"Ini pacarku, Meiko." Kaito-nii memperkenalkan Meiko padaku. Aku sudah kenal padanya. Dan kejadian tadi ia memperkenalkan diri bahkan sudah melebihi cukup untukku.

"Sudah tahu, dan aku tidak ingin mengetahui lebih lanjut lagi," balasku pelan, seperti berbisik. Dan seperti yang kuduga, mereka tidak mendengar bisikanku. Baguslah.

Mereka berbincang untuk sejenak sambil sekali-sekali tertawa. Hatiku seperti teriris melihat hal itu.

"Aku bilang ke Meiko untuk datang hari ini ke sini. Tidak apa, kan?" Kaito-nii beralih padaku. Aku segera sadar dari lamunanku ketika Kaito-nii berbicara padaku.

"Ah, tidak apa-apa," jawabku singkat sambil memasang sebuah senyum kecil. Aku masuk ke dalam rumah dan tidak memedulikan mereka berdua lagi. Terserah mereka mau ngapain. Yang penting, jangan ganggu aku untuk saat ini. Aku butuh waktu sendiri.

Aku duduk di pojokan kamarku sambil memeluk lutut, untuk menenangkan diriku sendiri. Aku berharap mereka tidak menggangguku, agar aku tidak sakit lagi. Tapi namanya hidup, tidak selalu sesuai harapan.

"Miku, ayo ikut ngobrol dengan kami." Tiba-tiba Kaito-nii sudah muncul dari balik pintu kamarku. Aku menengok dan berdiri. Sekarang apa yang harus kulakukan? Benar-benar seperti mimpi buruk.

.

.

TO BE CONTINUED


Author: Update. Pertama kali nulis fic sampe 4.000 kata.

Miku: Dan cerita ini GAJE. Karena ini fic pertama MiKai karangan si author baka.

Author: Saya agak mau membetulkan penulisan fic, Minna. Penulisan POV, penulisan cerita, disclaimer, dan lain-lain. Mohon bantuannya *bows*

Kaito: Ya, ini request fic. Semoga sesuai yang diharapkan, ya.

Author: Dan mungkin ini two-shots atau three-shots. Tergantung bagaimana alur cerita yang ada di otak saya. Yang pasti satu chappie mungkin bakal 4.000-an kata.

Miku: Jangan janji yang macem-macem kalau belum bisa! Jadi lama banget, kan, jadinya?

Author: *tepar*

Miku: *sweatdrop* Akhir kata, RnR, Minna. Seperti biasa, kurang dari dua, mungkin fic ini nggak akan lanjut. Review sebanyaknya, ya. Kritik dan saran diterima. Karena itu yang membuat si author semangat menulis bagaikan orang gila. *nyeret author*