Judul : An Issue of Consequence

Author : Faithwood

Disclaimer : Harry Potter © JK Rowling

Pair : Draco Malfoy/Harry Potter

Penerjemah : neko chuudoku

Catatan :

Saya tidak mendapatkan keuntungan apapun dari fanfic ini. Hanya untuk kesenangan pribadi, terima kasih banyak.

Ini adalah cerita slash aka boys love aka shounen ai aka yaoi aka hubungan romansa antara dua insan bergender laki-laki. Yang tidak suka silakan menjauh, jangan bilang tidak saya beri peringatan. Bukan untuk anak kecil, trims.

Summary:

Draco telah terbangun di semesta alternatif. Atau dia terbangun benar benar gila. Tidak ada hal lain yang bisa menjelaskan kenapa tiba-tiba Harry Potter tampaknya berpikir bahwa dia adalah pacar Draco.

Chapter 1

Kaki Draco tidak mau mendukung badannya. Dia harus menyeret kakinya untuk sarapan, mengeluhkan fakta bahwa dia tidak bisa meninggalkan kakinya ketika mereka sedang tidak berguna dan tidak kooperatif. Begitu pula dengan kepalanya, beneran deh, jelas-jelas kepalanya adalah sumber segala masalahnya. Sakit kepala membuatnya terasa dua kali lebih besar, hingga Draco harus mengecek ke cermin untuk memastikan kepalanya masih berukuran normal.

Dia pantas mendapatkannya. Orang waras mana yang belajar hingga larut pada Sabtu malam? Mikir apa sih dia? Dia menghabiskan terlalu banyak waktu untuk belajar. N.E.W.T masih jauh, dan bahkan meskipun tahun lalu samar-samar karena ketakutan dan rasa sakit, dia telah belajar lebih banyak dari yang dia sadari.

Kalau bisa memilih, dia tidak mau kembali ke Hogwarts. Tapi rupanya untuk memiliki masa depan, seseorang harus punya reputasi yang baik, pendidikan yang baik, dan emas yang banyak. Dia sudah pasti kehilangan reputasi baik, dan orang yang punya semua emas adalah Father, jadi pendidikan yang baik adalah semua yang bisa ia lakukan. Meski begitu, jumlah waktu yang dia habiskan untuk belajar beberapa bulan terakhir ini tidak wajar. Bahkan Father akan berpikir dia berlebihan.

Well, tidak. Dia tidak akan.

Draco merengut dan menepis pikiran tentang Father. Hal itu mebuatnya gelisah. Tekanan dari Father semakin bertambah tahun ini. Semua karena keduanya gagal melakukan hal yang dilakukan semua Malfoy sebelum mereka – berpihak pada pemenang. Well, peduli amat, adalah semua yang bisa Draco katakan. Dia tidak bisa memperbaikinya dengan mendapatkan nilai O di Ramuan. Bukannya ia berencana mendapatkan nilai kurang dari O. Tapi akan lebih baik kalo sakit kepalanya bisa berkurang atau badannya bisa diajak bekerja sama.

Sudah diputuskan. Dia akan bersenang-senang hari ini, dan tidak akan ada yang bisa menghentikannya. Lagipula ini hari Minggu, ia pantas mendapatkan istirahat. Quidditch sudah pasti jadi pilihan, tapi ia harus mencari orang lain untuk dijadikan lawan main. Sebaliknya, ia memilih tempat yang nyaman untuk menyergap siswa yang lengah dengan cara melemparkan bola salju. Dia tidak butuh bantuan siapapun untuk itu.

Draco merasa lebih baik saat ia melangkah menuju Aula Besar, entah karena resolusinya atau karena aroma manis makanan. Aula itu penuh sesak dengan cahaya, warna, percakapan dan bacon. Tidak ada tempat untuk sakit kepala dan anggota badan yang berat atau perasaan cemas ia harus melakukan sesuatu yang relevan daripada memiliki momen damai.

Saat ia duduk di samping Pansy di meja Slytherin, Draco melirik Aula karena kebiasaan. Potter berada di tempat biasa, dikelilingi oleh geng dari Gryffindor, tertawa dengan Weasley dan Granger pada sesuatu yang dikatakan gadis Weasley. Dengan tatapan tertuju pada Potter, Draco mengisi piringnya dengan bacon dan telur. Potter melihat ke arahnya hari ini karena hari ini adalah hari yang menyenangkan, dan mengganggu Potter adalah hiburan terbaik yang tersedia. Dan itu sangat mudah. Sebagai contoh, yang harus Draco lakukan hanya cemberut padanya, dan mata Potter akan menyempit, seolah tidak percaya seseorang akan berani memberinya tatapan jahat setelah ia menyelamatkan mereka semua dengan begitu berani. Tapi Draco berani dan sangat bangga akan hal itu.

Draco merasa lebih berani hari ini. Ketika Potter akhirnya menatapnya, Draco tidak hanya merengut, ia juga membuat gerakan tidak sopan ke arah Potter. Raut bingung Potter adalah emas. Tapi itu hanya berlangsung sekitar dua detik. Pada saat berikutnya, bibir Potter berkedut, seolah-olah dia hendak tersenyum, dan kemudian ia mengedipkan mata.

"Tidurku sangat nyenyak, terima kasih sudah bertanya."

Suara kesal Pansy membuat Draco berpaling. "Benar. Selamat pagi," katanya, terganggu. Potter telah berpaling ke arah teman-temannya, seolah-olah tak ada hal aneh terjadi. Draco menatap belakang kepalanya. "Potter barusan berkedip padaku."

Pansy menghela napas panjang. "Oh, jangan mulai deh."

"Mulai apa?"

"Dengan kebencian Potter. Masih terlalu pagi untuk itu." Dia melihat sekeliling dengan gugup. "Atau setidaknya jaga suaramu tetap rendah." Pansy tidak cemberut ke arah Potter akhir-akhir ini. Dia cenderung tersenyum padanya, dengan sikap malu-malu anak dua tahun, atau menghindari memandangnya sama sekali. Rugi untuknya, sungguh.

"Tidak, Pansy, kau tidak mengerti. Dia berkedip padaku."

"Mm-hmm. Yang jelas itu tanda dia berencana untuk melakukan sesuatu yang mengerikan padamu."

"Yah, mungkin." Tapi Potter tidak terlihat seperti orang yang sedang membuat rencana jahat. Dia tertawa dengan teman-temannya lagi, mengabaikan Draco.

"Atau kau berkhayal," Pansy melanjutkan. "Atau dia mengedipkan mata pada orang lain, dan kau hanya terlau percaya diri." Dia merengut pada sosis nya. "Atau mungkin dia mengedipkan mata pada Blaise."

Draco berpaling ke sekitar untuk melotot curiga pada Blaise, yang sedang menuang jus labu untuk dirinya sendiri. "Kenapa dia mengedipkan mata pada Blaise?"

"Semua orang mengedipkan mata pada Blaise."

Blaise pasti merasakan tatapan mata padanya karena dia mendongak, tersenyum, dan mengedipkan mata. Pipi Draco memanas. Dia benar-benar terpesona selama beberapa detik, dan kemudian ia menggelengkan kepalanya untuk mengubah sikap itu. Dia telah lama menduga bahwa Blaise sebenarnya Veela.

"Jadi begitu," kata Draco. "Tapi aku ragu Potter mengedipkan mata pada salah satu anak Slytherin."

"Kau kan Slytherin."

"Dia berkedip jahat padaku. Ada perbedaannya."

Pansy menggeleng dan meneruskan menganiaya sosis nya.

Draco memindai Aula mencari hal lain yang tidak beres. Seorang anak Hufflepuff tersenyum padanya, tapi para Hufflepuff memang aneh dan terlalu banyak tersenyum pada umumnya, sehingga itu tidak dihitung. Hal lainnya tampak cukup normal. Mungkin sedikit terlalu normal. Dugaan Draco, tiga asrama lainnya mungkin telah merencanakan sesuatu, trik setan untuk menjebak anak-anak Slytherin. Atau Draco khususnya. Dia berharap hal itu terjadi jauh sebelum ini. Sepanjang tahun memiliki udara yang tenang sebelum badai. Anak-anak Gryffindor bersikap terlalu ramah, menurutnya. Mungkin itu semacam keanggunan yang hanya bisa dilakukan oleh para pemenang.

Sembari mengkhawatirkan pemikiran itu, dari sudut matanya, Draco melihat Pansy menuangkan sesuatu ke dalam jus labu nya. Dia menenggak semuanya dalam beberapa tegukan besar dan kemudian mendesah senang.

Draco lebih dari sedikit terkesima. "Apa itu tadi?"

Dia mendongak, berkedip. "Apanya yang apa?"

"Kau barusan memasukkan sesuatu ke dalam jus labumu. Sebuah ramuan atau semacamnya."

"Jadi?" Dia mengangkat dagu. "Ini jus labuku. Aku bisa memasukan apa pun yang kusuka di dalamnya."

"Tapi…. Kau sakit atau –"

"Aku akan sangat menghargai jika kau tidak ikut campur." Dia tampak cukup bingung. "Kusarankan kau khawatir tentang rencana jahat Potter sebagai gantinya."

"Kau bilang kan jangan"

"Tidak, silakan saja. Hanya lakukan diam-diam."

Beberapa anak Slytherin sudah melihat ke arah mereka, dan Draco membiarkannya untuk saat ini. Dia mencolek rusuk Pansy. "Kau perlu lebih bersenang-senang dalam hidup. Ayolah. Kita keluar dan main Quidditch."

" Aku harus belajar. Kau harusnya ikut aku ke perpustakaan."

Itu, tanpa diragukan lagi, adalah hal terakhir yang ingin Draco dengar. Untuk sesaat, ia ingin menggeram, tapi ia berhasil menjaga emosinya. "Aku muak belajar. Yang kulakukan selama berbulan-bulan adalah belajar. Kita harus melakukan sesuatu yang menyenangkan."

Pansy memberinya tatapan meremukkan . "Aku tidak bisa bersenang-senang."

Draco menghela napas. Pansy memiliki masalah reputasi-pendidikan-emas sama dengannya. Hanya ayah Pansy memiliki emas jauh lebih sedikit daripada Draco, jadi kemungkinan masalah dia lebih buruk. Tapi bukan berarti dia harus belajar di hari Minggu.

Yah. Lagipula gadis itu tidak pandai Quidditch. Kecuali jika dibandingkan dengan Goyle, kalau mau sering terlempar dari sapu. Selain itu, Goyle masih di tempat tidur dan kemungkinan besar tidak bangun sebelum tengah hari. Tampaknya Draco tidak bisa main Quidditch hari ini. Sama seperti dia tidak bisa bermain Quidditch kemarin.

Menerima kenyataan bahwa Pansy tidak akan membantu, Draco cepat-cepat menyelesaikan sarapan, minum jus, dan melarikan diri dari Aula Besar. Tapi tidak sebelum ia menangkap kepala Pansy di telapak tangannya, meniup telinganya, dan berkata, "Lebih baik kau tidak menggunakan obat-obatan yang tidak kau bagi." Pansy mendorongnya sambil meringis, dan Draco meninggalkannya sendirian.

Ketika ia mencapai pintu masuk Aula dan melongok ke luar, dia melihat bahwa salju telah mencair semalam. Ia tidak akan bisa menyiapkan penyergapan bola salju sekarang..

Atau tidak akan pernah, ia menyadari. Ia akan sudah lama pergi ketika Hogwarts tertutup salju lagi.

Ia teringat tiba-tiba: tiga bulan lagi dan dia akan meninggalkan sekolah, meninggalkan rutinitas sehari-hari dan juga ribuan teman sekolahnya selamanya. Banyak dari mereka yang kemungkinan tidak akan pernah ia temui lagi, kecuali secara sepintas. Dia akan ada di rumah, dengan orang tuanya, mencari jalur karir masa depannya, mencari pekerjaan. Kemungkinan ia akan terjebak di manor selama berbulan-bulan, jika tidak lebih lama. Hal ini tak akan jadi masalah dua tahun lalu, tapi akhir-akhir ini rumahnya adalah tempat yang lebih gelap dan suram.

Dan di sinilah dia, khawatir dia tidak punya teman untuk bermain Quidditch hari ini, saat harusnya ia khawatir soal masa depannya, bukannya hari Minggu acak.

Draco merengut pada suara tawa keras di Aula Besar. Di sisi lain, kebanyakan dari mereka benar-benar menjengkelkan, dan akhirnya ia akan bebas dari mereka. Benar-benar, itu harusnya dirayakan bukan dikhawatirkan.

Setidaknya ada satu hal menyenangkan yang selalu bisa ia lakukan, dan ia tidak perlu siapa pun untuk membantunya. Dia memutuskan untuk kembali ke asrama dan memuaskan diri.

Dia sudah setengah jalan menuju dungeons ketika ia menangkap gerakan di sudut matanya. Potter telah keluar dari Aula Besar sendirian, yang tidak akan aneh, kecuali Draco tidak ingat kapan terakhir kali ia melihat Potter berkelana sendirian. Biasanya, teman-teman dan pengagum mengelilinginya, dan ia tidak bisa melangkah tanpa mereka. Dia terlihat seperti sedang menyelinap. Draco merasa berkewajiban untuk menyelidikinya.

Dia berbalik dan bergegas mengejar Potter, yang sudah berbelok. Kiri atau kanan, Draco tidak tahu, tapi koridor kiri menuju Menara Gryffindor, sehingga Draco memilih yang itu.

Potter tidak terlihat dimanapun. Tidak mungkin dia menghilang secepat itu. Kecuali ... Kecuali dia menggunakan Jubah Gaib. Kelihatannya begitu. Mungkin ini adalah hari Potter bersenang-senag juga, dan Draco sasarannya. Dia di suatu tempat dekat, menertawakan begitu mudah membuat Draco mengikutinya. Pansy benar. Draco harus berhati-hati untuk tidak menunjukkan terlalu banyak minat pada Potter, atau semuanya akan menjadi bumerang, dan Potter akan merasa seperti selebriti yang lebih besar.

Draco berbalik kembali menuju dungeons. Jujur saja. Setelah dipikir-pikir dia tahu tentang apa semua ini. Slytherin kalah dalam pertandingan kemarin dan kemungkinan besar kehilangan Piala, tapi Draco berasumsi tidak ada yang akan mengejek dia untuk itu karena kapten yang baru telah menendangnya dari tim berbulan-bulan lalu. Bahkan tidak menunda pertandingan Gryffindor-Slytherin untuk memberikan waktu pada Seeker baru untuk menyiapkan bantuan. Gryffindor masih menang. Pertandingan itu memalukan. Seeker baru sama sekali bukan ancaman untuk Potter. Jadi, jika ada orang yang berhak mengejek di sini, itu adalah Draco. Setidaknya itu jelas bagi orang yang mampu berpikir logis. Harusnya dia tahu Potter dan anak buahnya lebih tertarik untuk membuat Draco merasa seperti sampah. Kemungkinan ini adalah penyergapan. Para Gryffindor akan melompat keluar dari sudut setiap saat sekarang untuk menghina dia dan mendorongnya melakukan sesuatu yang akan membuatnya kesulitan.

Dia harus pergi sebelum itu terjadi. Kemarin, setelah pertandingan, Potter memberinya tatapan intens dan jelas-jelas jahat, hingga Draco melarikan diri ke asramanya. Dia berhasil menghapus Potter dari ingatannya dengan berkonsentrasi keras pada esai Transfigurasi-nya. Tapi kalau Potter pikir Draco bersalah karena sesuatu, dia tidak akan hanya membiarkannya.

Draco bergegas menyusuri koridor, berusaha untuk tidak melihat ke belakang.

Ketakutannya tidak beralasan.

Sesuatu yang cepat muncul dari kegelapan menyambar dan menarik lengan Draco. Sebelum ia bisa bereaksi, Draco diseret ke dalam lemari sapu. Pintu terbanting menutup. Lampu menyala. Gemuruh jantung Draco berhenti berdetak sama sekali.

"Potter?" ia menarik napas, karena itu Potter, dengan rambut hitam dan mata hijau, yang sepenuhnya terlalu hijau dan sepenuhnya terlalu dekat.

Disamping semua teorinya barusan, Draco tidak benar-benar berharap Potter akan menyergapnya seperti ini. Dia benar-benar tidak melakukan apa pun untuk mendapatkan kemarahan Potter. Tidak kali ini. Potter tidak punya alasan untuk menyerang dia, kecuali itu karena Draco telah memberi gestur tidak sopan saat di Aula Besar tadi.

Draco meraih tongkatnya, tapi Potter meratakan telapak tangannya di dada Draco dan mendorongnya ke dinding. Dia tidak tampak marah. Tapi dia tampak ... intens. Draco membeku. Dia hanya berdiri di sana, tak berdaya, ketika Potter maju dan menciumnya. Menciumnya tepat di bibir dengan bibir yang hangat dan semangat yang membuat kepala Draco serasa berputar. Dalam syok, Draco bahkan tidak menutup matanya. Dia bisa melihat Potter dengan jelas, rambut gelapnya jatuh di sekitar wajahnya, kacamatanya yang bundar, bulu mata tebal di pipinya. Dia hampir membiarkan, memejamkan mata dan mencium balik, tapi ini adalah Potter. Ini tidak masuk akal.

Draco meraih bahu Potter dan mendorongnya. Potter tampak terkejut, mengerutkan kening antara wajah Draco dan tangan Draco yang menahan Potter pada jarak aman.

"Apa yang kau lakukan?" Draco berbisik meskipun ia bermaksud untuk berteriak. Tenggorokannya kering dan suaranya rendah, dan bibirnya terasa penuh, panas dan kesemutan. Hal itu membuat berbicara jadi sulit.

"Itu namanya berciuman." Potter memiringkan kepalanya

Sekarang karena Potter tidak lagi menciumnya, pikiran Draco jadi lebih jernih. Cukup jernih untuk membuatnya benar-benar marah. "Aku tidak tahu lelucon apa yang coba kau mainkan, tapi itu tidak lucu." Draco senang mendengar suaranya terdengar tenang dan mengancam kali ini.

Namun, itu tidak berpengaruh pada Potter. Dia hanya tersenyum. "Yah, ada sesuatu yang ingin kulakukan, dan pastinya aku tidak mau kau tertawa karenanya. Jadi kupikir kita berada di halaman yang sama."

Draco berkedip melihat wajah tersenyum Potter, kehilangan kata-kata. Potter menggoda begitu terang-terangan sehingga tidak mungkin untuk salah paham. Yang berarti ia sudah cukup gila. Atau ada yang mengaturnya dengan sihir. Atau Draco yang gila, dan ini bahkan tidak terjadi.

"Er." Potter menatap tangan Draco. "Apa kau sudah mengerti? Karena genggamanmu cukup keras disana. Tak lama lagi aku harus mengatakan Ow." Potter menggigit bibir. "Dengan cara yang sangat turn on tentunya."

Potter tidak hanya gila, tapi kegilaannya juga menular. Draco bisa merasakan dirinya menyerah, ingin membiarkan Potter main mata dan menciumnya sebanyak yang ia inginkan.

Lengan Draco kehilangan kekuatannya. Potter mendekat, tangannya di dada Draco lagi, mulutnya tersenyum dekat dan menggoda.

"Lihat kan? Aku tak tertahankan."

Dia memang benar. Setidaknya Draco tak bisa menolak ketika Potter membungkukkan kepalanya ke samping dan menekan bibirnya ke leher Draco.

"Aku benci jubah," gumam Potter, menggigit rahang Draco, telapak tangannya menyeret kain jubah Draco, naik turun di sekitar pinggang dan pinggul, seolah-olah putus asa untuk mencari jalan masuk. Hal itu membuat Draco membenci jubah juga, dengan semangat yang biasanya ia sediakan untuk ... Well, untuk Potter. "Kau keberatan kalau aku merobeknya?" Potter bertanya, menahan napas, bibirnya dekat dengan Draco lagi. Dia mendorong Potter lagi.

Potter tampaknya tidak terlalu khawatir; Draco tidak berhasil mendorongnya terlalu jauh. Tangan Potter masih kuat di pinggul Draco.

"Kau terlalu mengkhawatirkan jubahmu," Potter mengatakan padanya, dengan cara bicara penuh kasih sayang yang hanya menambah kebingungan Draco.

"Bukan jubah yang kukhawatirkan," kata Draco. Dia lebih khawatir pada kewarasannya. Hal ini tidak benar-benar terjadi, pasti. Ini semua hanya ada di kepalanya.

Wajah Potter penuh dengan perhatian yang tulus. "Kenapa? Apa yang salah?"

"Um. Kau melakukan penyerangan seksual padaku adalah salah, menurutku."

Tanpa diduga, Potter tertawa. "Kau benar." Dia menekan lebih dekat dengan sinar nakal di matanya dan merendahkan suaranya saat ia berkata, "Kudengar kau menyukai hal semacam itu."

Draco mengerjap, terkejut. "Aku tidak suka hal seperti itu!"

Potter tampaknya juga menganggap hal itu lucu. "Well, kalau begitu... Salahku. Mungkin kau lebih suka menyerangku secara seksual? Aku suka hal semacam itu." Sambil menyeringai, ia memutar mereka berdua sehingga dialah adalah orang ditekan ke dinding. Hal itu membuat Draco pusing. "Silakan, kalau begitu," kata Potter. "Kau bebas merobek bajuku."

Itu adalah tawaran paling menggoda yang pernah Draco dengar seumur hidup. Jari-jarinya gatal untuk mengarahkan tongkatnya pada pakaian Potter dan merobeknya sampai hancur.

Kecuali ini rasanya seperti seorang tuan yang jahat baru saja menawarinya satu juta Galleon tanpa alasan sama sekali, dan jika dia setuju ia pasti akan berakhir menjual jiwanya.

Tapi sekali lagi ... Potter tampak begitu bersemangat dan bersedia, dengan bibir sedikit terbuka dan pupil mata melebar, mungkin itu layak untuk menjual jiwanya. Lagipula kelihatannya harganya tidak semahal itu.

Draco mengeluarkan tongkat sihirnya dan mengarahkannya pada Potter, sudah membayangkan dia telanjang. Tapi ada sesuatu tentang dia berdiri di sana dengan tongkat di tangan dan tatapan mata hijau Potter menatapnya mengingatkan dia - dia adalah Draco Malfoy dan ini adalah Harry Potter. Mereka tidak bertemu di lemari untuk merobek pakaian masing-masing dan bercinta. Ini adalah semacam lelucon. Lelucon yang akan membuat dia malu bila ia menunjukkan kelemahan.

Draco mencengkeram tongkatnya lebih tegas. "Menjauh dariku, Potter," katanya. "Atau lain kali, aku akan mematahkan hidungmu. Lagi."

Dengan itu, ia berbalik, membuka pintu, dan berlari menuju asramanya.

TBC

RnR sangat dipersilakan ^^

Top of Form