"Bagaimana Yaya-chan?" Hikari mematut dirinya di depan cermin, lalu berputar, membuat gaun putih yang dikenakannya sedikit mengembang tertiup angin.

"Bagus", Yaya menjawab sambil terus membereskan baju-baju lain yang berserakan di atas kasur dan lantai. Semua baju itu telah dicoba oleh Hikari sebelumya.

"Amane-sama pasti akan suka melihatmu yang begini."

Memakai baju apapun kau akan selalu cantik Hikari. Bahkan kau semakin nampak seperti bidadari memakai gaun putih ini.

Ingin rasanya Yaya memeluk sang bidadari dengan erat, tak ingin membiarkannya terbang meninggalkan Yaya seorang diri. Tapi bidadari itu telah jatuh kedalam pelukan pangeran berkuda putih. Yaya, sekuat apapun keinginannya memiliki Hikari, tetap saja sang bidadari masih terlalu tinggi untuk diraih.

"Jangan lupa topimu. Hari ini cuacanya panas sekali", Yaya memberikan topi berwarna pink berhiaskan pita biru cerah dan meletakannya di kepala Yaya.

"Terima kasih Yaya-chan. Kau memang sahabat yang baik."

Entah mengapa saat Hikari mengucapkan kata 'sahabat', hati Yaya malah semakin teriris.

Sakit...

Dia sendiri tak mengerti alasannya, karena yang dia tahu, jika Hikari bahagia tentulah diapun akan ikut bahagia.

"Sudahlah, ayo cepat. Kau tidak ingin membuat pangeran menunggu lama di acara kencan pertama kan?" Yaya mendorong pelan punggung Hikari sambil tersenyum jahil.

Di luar boleh saja dia tersenyum, tapi hatinya menangis. Dia tahu saat Hikari kembali nanti, hatinya sudah benar-benar menjadi milik orang lain. Beribu kali dia memikirkan ini, tapi hasilnya sama saja. Memang mustahil tidak ada yang tak akan terpesona pada seorang Ootori Amane, orang paling populer di Santa Spica, dan orang terpopuler kedua di seluruh Astraea setelah Shizuma Onee-sama sang Etoile.

Tapi kenapa mesti Hikari? Kenapa dia?!

"Iya..iya.." langkah Hikari sedikit tergesa-gesa karena didorong Yaya.

"Pokoknya nanti aku akan bawakan Yaya-chan oleh-oleh", Hikari berdiri di ambang pintu, menoleh ke arah Yaya untuk yang terakhir sebelum dia pergi.

"Nah, aku berangkat", setelah berkata begitu, Hikari berjalan menjauhi kamar asrama, pergi meninggalkan Yaya yang masih berdiri mengantarkan kepergian Hikari dengan senyuman palsu diwajahnya.

Dengan perlahan dia menutup pintu. Dia masih saja berdiri disana, menundukkan kepala dengan tangan terkepal keras. Tidak ada air mata yang mengalir, padahal hatinya sangat sakit.

Siapa yang lebih berharga bagimu? Aku..atau Amane?

Jika saja kau sedikit terlambat bertemu Amane, akankah aku bisa memilikimu?

[ FIN ]

Meski saiaa salah satu pendukung Amane x Hikari, tapi tetap saja fanfic ini membuat saiaa bertanya, kok bisa Yaya terus yang jadi korban?

Next time bikin Yaya x Hikari sadja deh :run: