Seorang gadis berambut biru langit, sedang duduk di depan balkon rumah sederhananya, memandangi langit yang terasa sangat biru. Saking tenang dan damainya, tak sengaja dia menyanyikan sebuah lagu berbahasa Jerman yang diam-diam ditemukannya lewat Internet dan dipersembahkannya untuk seorang cowok bersurai merah dengan mata heterochromic, sekalian mengenang masa-masanya di Teikou…

.

.

.

The Basketball Which Kuroko Plays ~ Ewige Feder und Emotinale Flattern

© Himomo Senohara

Warnings : OOC, AU, songfic dari suatu anime, slight pairing AofemKuro dan AkafemKuro, pairing utama KuroxfemKuro, translate ababil dan sebagainya. Flame dilarang keras.

Disclaimer : The Basketball Which Kuroko Plays © Tadatoshi Fujimaki, Eternal Feather and Emotional Flutter © yang membikinnya.

A/N (Mun) : Penpik pertama gue di fandom KuroBasu! Yang bisa nebakin lagu ini tak kukasih Aomine-kun! /dhesh/ Oke, selamat membaca! Oh ya, ini two-shot lho~

.

.

.

-xXx-

Der ferne Himmel jenseits des Fensters

(The distant Heaven outside the window)

Die unerreichbaren Wolken beobachteten

(Watching the unreachable clouds)

Langitnya sangat biru, cerah tiada mendung sekalipun.

Gadis itu menengadahi langitnya dengan wajah rindu, dengan kedua tangannya memegangi sebuah bingkai foto yang ada dirinya bersama tujuh– coret, delapan anak cowok dan cewek berpakaian SMP Teikou. Lima di antaranya benar-benar berambut pelangi, dan dirinya hanyalah seorang bayangan. Begitu pula dengannya. Ia tak bisa melupakan masa-masa yang indah sekaligus bergolak itu, yang menjadi pemicu dirinya dan orang yang itu, memilih untuk hijrah ke sebuah sekolah baru yang tak punya nama seperti Seirin.

Melihat langitnya, serasa seperti melihat Surga dari kejauhan, dan juga melihat awan yang tak bisa diraihnya.

.

-xXx-

Das verletzte Herz wird geheilt

(The broken Heart will be healed)

Einen zärtlichen Ton hörte ich

(I heard a gentle song)

Ia masih ingat, ketika pertama kalinya seorang cowok bersurai biru malam itu, kaget setengah mati kala dirinya dan orang yang itu, bertemu dengannya. Sejak saat itu, mereka berdu– coret, bertiga, akrab dan sering bermain basket bersama di lapangan keempat yang selalu saja kosong berkat gosip-gosip nggak karuan tentang keberadaan hantu di sana. Pada saat itulah, ia merasakan bahwa hatinya sesak. Ia sering kali mencuri pandang cowok berkulit gelap itu, dan ketika mendengarkan suara cowok itu, ia jadi sedikit lebih tenang.

"Tetsu, kenapa cewek itu ya?" tanya cowok bersurai biru malam itu, penasaran dengan wajah datar diriku itu.

Seorang cowok berkulit pucat dengan rambut dan mata berwarna biru langit, senada dengan punyaku. Hanya saja, dia itu laki-laki. Ia lalu menjawabnya dengan datar pula, "Biasa, dia senang kalau ada yang bisa akrab denganku. Kami sama-sama kesepian karena tak ada yang menyadari keberadaan kami yang terlalu tipis untuk bisa dirasakan."

Tanpa disadarinya, gadis itu menaruh suatu perasaan khusus padanya. Pada cowok berkulit gelap dan berambut biru malam itu.

Dan pada hari itu, ia tak tahu bahwa lagu yang lembut dan sebuah keputusasaan sedang menantinya.

.

-xXx-

Aus meiner Hand entgleitet die Splitter des Traumes

(Out of my hand flows a sliver of the dream)

Um die verlorene Antwort zu suchen, rene ich los

(To search for the lost answer, I start running)

Pecahan ingatannya masih bernyanyi di dalam kepalanya. Ia masih ingat hari yang itu.

Hari dimana diriku dan orang yang itu, terpana kaget.

Tak menduga bahwa pada lapangan keempat itulah, seorang cowok berambut merah dengan mata berwarna merah yang tajam, berdiri tepat di depan kami berdua.

Dengan seorang cowok tinggi berkulit gelap dan berambut biru malam, kami pun berpandangan dengan mata merah milik cowok itu. Hatiku berdegup kencang, begitu pula dengan orang yang itu. Yang dipanggil 'Tetsu' oleh cowok bersurai biru malam, tentunya. Cowok itu lalu bertanya pada cowok berkulit gelap itu dengan wajah penasaran, "Siapakah mereka berdua, Aomine? Mereka seperti saudara kembar."

"Iya!" Cowok bernama Aomine ini, lantas menjelaskan tentang kami dengan semangat, "Mereka memang anak kembar identik. Yang cowok, namanya Kuroko Tetsuya dan yang perempuan Tetsumi. Yang bermain basket itu Tetsuya." lanjutnya sambil menyingkirkan dirinya dari pandangan cowok bersurai merah crimson itu, untuk membantunya melihat lebih dekat dengan kami.

"… Aomine, pergi ke lapangan string 1." perintahnya dingin.

"U-Uapa? !"

"Atau kutambah porsi latih–."

Tanpa cowok merah itu menyelesaikan kalimatnya, cowok berkulit tan itu keburu berlari keluar lapangan ini. Pendapat pertamaku tentang cowok ini adalah : totalitas. Ya, tak salah lagi. Tapi aku rasa aku kenal cowok bermata tajam itu entah di mana… Majalah basket? Oh iya, iya yang itu. Yang buletin bulanan Teikou, di mana wajah cowok itu seringkali muncul di kolom olahraga, dan kadang kala kolom kompetisi lain… Err, dia ikut apa ya, selain basket? Aku benar-benar lup–.

Cowok itu, seolah tahu pikiranku, mengklarifikasinya, "Shogi, Tetsumi. Hey kalian, namaku Akashi Seijuurou. Hmm… Tetsuya, aku tertarik padamu. Kemampuanmu berbeda dengan kami, dan mungkin bisa berguna."

"Eh?"

Hatiku bertambah bingung. Selain Aomine-kun yang meski kasar tapi baik dan perhatian, aku lagi-lagi terjatuh dalam pesona orang lain. Kali ini cowok berambut merah crimson ini, err, yang namanya Akashi Seijuurou itu, berhasil menyihir hati dan pikiranku. Ia begitu totalitas dan… Arogan? Bukan, bukan. Ia sama sekali tidak terlihat arogan. Apa ya? Ng… Mutlak? Oh iya, iya, itu. Dia sangatlah mutlak, seperti mengekang kita dalam rantainya. Namun aku tahu, dia juga bukan tipe penyiksa. Dia selalu memperhatikan kita dengan baik, walaupun dia memberi kita porsi kesadisan yang berkali-kali lipat.

Dalam hatiku, aku kebingungan. Mengapa orang-orang ini harus berada dalam hidupku dan Tetsuya-kun?

.

-xXx-

Hinweg über die Zeit der Begegnug

(Transcending unification)

Zwei Hande, die sich übereinander legen

(Two hands, combine)

Ia masih ingat, waktu sepulang sekolah setelah diberitahu oleh Akashi-san itu.

Aku masih ingat, aku dan kakakku – Kuroko Tetsuya –, pulang ke rumah dengan wajah lesu meski dibalut dengan wajah datar. Mereka benar-benar tak menyangka, mereka bisa mendapatkan mimpi itu. Ditawarkan masuk ke string 1, walaupun salah satu di antaranya memiliki stamina yang sangat lemah. Aku benar-benar takut, andaikata mereka bisa mem-bullynya… Walau aku tidak yakin sih. Di sana kan ada Aomine, berarti tidak ada masalah bagiku dan Tetsuya-kun. Namun… Aku kok merasa tidak enak ya?

Tanpa aba-aba, Tetsuya-kun diam-diam menawarkan tangan kirinya kepadaku, mencoba menenangkan kegelisahanku.

Aku pun segera menyambut tangan kirinya dengan tangan kananku, saling bertaut. Kakakku memang selalu tahu apa yang kupikirkan…

"Jangan khawatir, Tetsumi. Jalani apa adanya saja." sahut Tetsuya menenangkan.

"Hai." Aku menjawabnya dengan nada kelegaan. Kalau ada Kak Tetsuya, tidak apa-apa… Dia kan kuat dalam menjalani hidup…

.

-xXx-

Erinnerungen, die wiederwachen

(Holding the reviving memories)

In dieser Brust verschlossen

(To my chest)

Hatiku semakin berdebar-debar.

Dadaku mulai sesak, mengumpulkan secuil ingatan yang berserakan dalam kepalaku, mencoba mengutuhkannya. Mengingatnya dalam hari-hari pertama dia berada dalam string 1, juga pertandingan pertamanya. Makin banyak kepingan ingatan, makin kucoba untuk menyatukannya, makin pening kepalaku. Perlahan-lahan hari-hari indah itu beriringan dengan hari-hari yang menyakitkan. Aku selalu tahu hal itu, batinku sedih. Langitnya mulai mendung. Mata biru langitku melihatnya, dan segera memasukkan kursiku ke dalam, agar aku tak kedinginan dan kehujanan.

.

-xXx-

Die vergessene Gestalt suchen

(I search for your back that I have forgotten about)

Die Trauer, beende sie

(Making the loneliness end)

"Akashi-kun." Tetsuya menyapanya datar.

Aku melihatnya menyapa cowok bersurai merah itu dengan wajah yang meski datar, bisa dibilang sedikit khawatir. Aku selalu tahu hal itu. Dan aku mendengarnya berbicara tentang apa yang tak seharusnya kudengar. Ah, lebih baik lupakan saja. Aku pun keluar dari gedung lapangan basket itu, menunggui kakakku selesai berurusan dengan dunianya sendiri. Menantinya dalam kesendirian.

Namun, setelah kakakku keluar dari gedungnya, aku bisa melihat wajah sakit hatinya, walau masih dalam balutan topeng wajah datarnya. Aku pun menghampiri dan menanyainya dengan khawatir, "A-Apa keputusanmu sudah final, Kak?"

"Maafkan aku Tetsumi, tapi sudah." Ia menjawab dengan suara lirih.

Aku selalu tahu hal itu. Suatu hari dia pasti akan kecewa dengan apa yang didapatnya dari cara bermain di Teikou.

Aku pun mengelus punggungnya, yang manakala aku sudah lupa berapa kali aku menggantungkan harapanku padanya, seraya berkata menghiburnya, "Tak apa Kak. Masih ada aku, adikmu, Tetsuya-kun. Kita akhiri drama kita ini. Aku dari dulu sudah mengira bahwa akan begini jadinya. Kita dari awal selalu berdua, sendirian dalam dunia kita sendiri."

Tetsuya lalu menoleh kepadaku, dan mengulas senyuman pahit. Cukuplah kita berdua tahu itu.

Dan kami berdua memutuskan satu hal. Suatu kelak ketika kita masuk SMA, kita akan masuk SMA biasa. Dan keputusan itu sudah final.

.

-xXx-

Ich glaube an Dich, aber ich mache mir Sorgen

(I believe you, but I feel uneasy)

Deine Stimme ist mir im Traum begegnet

(And I dreamt of your voice)

Sejak saat kita memutuskan untuk keluar dari dunia basket, Akashi-san dengan segala kemutlakan dan tingkat akurasi analisisnya yang mengerikan, mendatangi kelasku yang berbeda dengan kelas Tetsuya-kun. Saat itu aku kelas tiga, sama-sama seangkatan dengan mereka semua, termasuk kakakku sendiri. Aku benar-benar tak bisa membayangkan, aku yang memutuskan untuk ikut kakakku, malah didatangi oleh orang dari dunia basket sendiri. Mengerikan, bukan?

"Tetsumi." panggil Akashi tegas, dari mulut pintu kelasku.

Aku pun menelan ludah, sudah tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi denganku. Sungguh di luar dugaanku.

Aku pun membawa tubuhku, mengikuti tubuh sang Emperor itu, keluar kelas. Aku tahu, di belakangku mendadak muncul banyak gosip berkaitan dengan pemanggilan diriku oleh Akashi-san. Entah mereka yang suka bergosip atau kejadian ini memang terlalu langka untuk disaksikan. Aku terus berjalan di belakangnya sampai ia berhenti di atap sekolahnya. Aku menatap punggungnya dengan mata yang sedikit terpesona dan juga ketakutan. Takut akan apa yang akan dia katakan selanjutnya.

Ia pun membalikkan tubuhnya, menghadapiku, dan bertanya dengan nada mutlak, "Apakah kau percaya padaku? Ini bukan perintah kok. Tak apa-apa jika kau bilang sesuatu yang berlawanan dengan apa yang kuinginkan."

Aku pun terdiam.

Jujur, aku mempercayainya sebagaimana Kakakku mempercayainya. Tapi semenjak keluarnya kakakku dari basket, aku jadi ragu untuk mempercayainya. Entah perasaanku yang gelisah atau apalah. Aku benar-benar bimbang untuk menjawabnya. Setelah beberapa lama kemudian, aku akhirnya memberanikan diriku untuk menjawabnya, dengan suara lirih pula, "A-Aku… Sejak Kakak keluar dari basket, jadi ra-ragu untuk mempercayaimu. Maafkan saya."

Cowok bersurai merah crimson itu, lalu menghela napas dengan berat. Seolah tak rela kalau dia tak mempercayainya sepenuhnya. Ia lalu berkata dengan nada dipaksakan, "Ya sudah kalau kau ragu mempercayaiku. Percaya atau tidak, aku selalu memimpikan suaramu, sejak kalian berdua memutuskan untuk tidak menampakkan diri lagi di dalam dunia basket. Sudah, itu saja. Kau boleh pergi."

Dia memimpikan suaraku? Aku sungguh-sungguh tak percaya akan hal itu.

.

-xXx-

Vor Angst verletzt zu warden, erzeuge ich ein falsches Lächeln

(Fear of being hurt, I create a fake smile)

Verwundbarer Mut wird hervorgebracht, wenn wir zu zweit wären

(I'll start weaving a breakable courage, if we're together)

Sejak saat itu, aku berjuang sendirian untuk menghindari Akashi-san.

Aku mulai menciptakan senyuman palsu ketika bertemu dengannya secara tak sengaja. Syukurlah aku tak perlu hal itu, karena dia sendiri juga jarang dijumpai selama sisa masa sekolahku di Teikou sejak Tetsuya-kun keluar dari basket. Tetsuya yang tahu tentang masalahku dengan Akashi-san, pasti menghiburku seperti ini, "Jangan khawatir. Kita akan mencoba membuat keberanian yang dapat dibobol, jika kita bersama. Dengan begitu, kita tak perlu lagi bersama orang lain. Cukup kita berdua saja yang seperti ini."

Aku pasti tahu apa yang dimaksudkan Tetsuya-kun. Sebuah pernyataan pahit, bahwa dia pun juga sama pengecutnya dengan diriku.

.

-xXx-

Gefrorener Schmerz

(When I change even the pain)

Wenn er in Wärme gewandelt wird

(Frozen onto me into warmth)

Selama sisa waktuku di Teikou, aku mencoba mengubah kepahitan dalam hidupku dan Tetsuya-kun.

Sebuah fakta kalau kakaknya sekarang membenci basket karena mereka berlima.

Dan aku yang tak bisa menolongnya mencari solusi untuk mengakhiri ketakutan dan dystopia itu. Aku berharap, di SMA nanti kelak, dia harus bisa kembali mencintai basket. Aku senantiasa berdoa akan hal itu. Aku tahu, kalau Kakak mencintai basket, dia akan menghangatkanku dari kebekuan. Kebekuan abadi yang mengekangku dari dunia yang indah ini.

.

-xXx-

Die Glocke, sie ertönt

(The sound of the bell, echoes)

Bis in die unendliche Zukunft

(Into the endless future)

Pada akhirnya, bel itu berdentang dengan khusyuknya.

Pertanda waktunya telah tiba. Waktu kelulusan angkatan Teikou.

Aku pun termasuk di antara murid Teikou yang lulus, bersama kakakku. Aku kini bebas dari yang namanya kekangan. Bebas dari seragam Teikou yang kukenakan selama tiga tahun itu. Bebas dari kekangan ingatan-ingatan itu. Namun aku masih punya satu misi yang belum kulaksanakan. Apa yang akan kulakukan untuk Kakakku Tetsuya-kun. Aku percaya, dia akan kembali mencintai basket, apapun keadaannya.

"Selamat tinggal Teikou, selamat tinggal mimpi burukku…" gumam diriku memandangi gedung sekolah Teikou itu.

Aku dan Tetsuya-kun akan terbang menuju masa depan yang tak berakhir.

.

-xXx-

Fliege hoch, hoch in den Himmel

(Soar up high, into the sky)

Auch wenn Du keine Flügel hast

(Even if you don't have wings)

Langit pun kembali membiru. Pertanda cuaca sudah kembali cerah.

Aku pun menoleh ke jendela dekat balkon itu, merasakan bahwa cahaya mentari kembali menerangi kamarku dari jendelanya. Aku kini mengerti, bahwa cuaca hari itu kembali cerah. Aku pun berdiri dari kursiku, dan membukakan jendelanya serta membawa kembali kursinya ke balkon itu. Beberapa lama kemudian, aku pun duduk di kursi itu dan menikmati langitnya yang sangat biru dan cerah. Aku jadi ingin terbang di langit… Walau aku tak punya sayap.

"Hei! Tetsumi!"

Ah, suara Tetsuya-kun, batinku senang. Aku langsung menyahutnya dari balkon, "Masuk saja, Kak."

Dan pintu pun dibuka, dan sesosok cowok berambut baby blue dengan mata yang senada dengan warna rambutnya, muncul tepat di belakangku. Ia lalu kemari, semakin dekat denganku. Ia yang melihatku sedang menengadahi langit biru itu, kemudian ikut memandanginya. Awan-awan pun menari menghiasi langit birunya. Tetsuya pun berkata dengan lirih, "Birunya… Ah, aku jadi ingin terbang. Sayang aku nggak punya sayap."

PUH!

Aku pun tertawa kecil mendengar perkataan Tetsuya-kun. Kakak laki-laki kembarku ini lalu menolehku dan bertanya dengan heran, "Kenapa, Tetsumi?"

"Nggak… Pikiran kita kadang-kadang mengejutkan. Aku juga berpikir sama." jawabku sambil menyunggingkan senyuman bak mentari.

"Oh, begitu?" Kakakku akhirnya mengulas senyumannya.

Aku pun menggangguk dengan yakin, tanpa menoleh kakakku. Aku bersyukur pada kenyataan bahwa aku dan kakakku masuk Seirin, sesuai dengan harapanku. Di sanalah, Tetsuya mulai mencintai basket lagi, dan aku tak lagi harus memendam kesedihanku memandangi wajah tegang dan sedih Tetsuya-kun. Semua ini terasa sangat indah, bagaikan utopia. Aku berharap semua ini akan berlanjut sampai kelulusan aku dan Tetsuya-kun dari Seirin. Ah, aku jadi tak ingin meninggalkan Seirin…

.

.

.

[ To be Continued ]