jelujur cinta
kuroko no basuke © fujimaki tadatoshi
peringatan; disini fem!midorima, menggunakan nama kecil; Daiki dan Shinta terimakasih
Aomine Daiki x Fem!Midorima Shintarou
Daiki memeluk Shinta.
"Shin, aku sayang kamu."
Shinta melingkarkan lengan pada pria ini, tapi ia membayangkan kehangatan dari orang lain. Pria ini yang memberi kenyamanan sebuah pelukan penuh kasih, Shinta mengharapkan limpahan cinta dari seseorang yang ia anggap separuh jiwanya.
Bukan Daiki.
(—aku sayang sayang sayang kamu, Shin-chan…!)
.
.
.
Kelopak mata Shinta mengerjap sebelum fajar menyingsing.
Saat keheningan masih menyergap kamar mereka, Shinta bangun dan melemaskan lengannya yang terasa pegal. Menguap sebentar, tengokan singkat dan kecupan sekilas mendarat di hidung Daiki. Setelah itu barulah Shinta meraba-raba atas laci, menemukan kacamata dan semuanya terasa lebih baik.
Daiki sebenarnya sudah bangun daritadi, namun ia terlalu malas menjauh dari hangat bantal yang menggodanya untuk tidur lebih lama. Satu mata Daiki sedikit terbuka, begitu hidungnya merasakan lembut bibir Shinta. Daiki menyembunyikan cengiran dalam selimut.
Shinta turun dari ranjang, mengikat rambut. Lengan Daiki bergerak cepat menahan pinggang Shinta,
"Kemana?" tanya Daiki dengan mata yang terpejam.
"Nonton Oha-Asa,"
.
Pagi hari memang sempurna diawali secangkir kopi dan koran. Tontonan wajib Shinta, tidak boleh diganggu gugat; Primbon for teens, kids and wives. Daiki menyeruput lagi kopi buatan Shinta. Oh sekarang asin. Minus si neng nambah gitu yah, gula sama garem sampai ketuker.
"Siniin A kopinya," Shinta yang selesai cuci piring membuat Daiki menengadah. "Neng tau kok itu asin," Maaf ya A, neng ketuker lagi.
Shinta menyodorkan secangkir yang aromanya lebih manusiawi, "A kalau mau muntah mah cepet ke kamar mandi,"
Daiki menggeleng dan terkekeh saat menyeruput kopi.
Ketika kata terimakasih lebih indah dari ucapan apapun, Daiki menikmati kopi yang ini. Shinta mendelik tajam, tapi rona merah tetap menghiasi wajahnya. Aroma dan rasanya mantap.
Begini, di rumah Shinta hanya mengenakan one piece warna monokrom. Ketat, seksi dan pas menonjolkan berbagai nilai tambah yang dimiliki Shinta sebagai seorang perempuan. Alasannya satu, Daiki belum punya cukup uang untuk membelikan Shinta baju baru yang lebih longgar.
Daiki membalik lipatan korannya. Mengintip Shinta iseng.
"Yay, kalau malu bilang aja, jangan tsundere mulu gemes tau,"
"Siapa yang malu?!" Shinta berdalih, "Aa aja yang malu-malu!"
"Neng kalau pipinya merah gitu makin cantik tau,"
"Siapa yang mukanya merah!"
"Neng kalau terus tsun kayak gitu lama-lama Aa cium,"
Shinta lari ke kamar mandi bersama handuk dan Daiki mengamati kelakuan istrinya yang masih saja malu-malu seperti ini.
.
Shinta menemukan sepiring nasi goreng dan sebungkus kerupuk palembang di atas meja.
Oh, ini hari Minggu dan penumpang angkot pasti banyak. Pantas saja Daiki langsung pergi tanpa pamit. Shinta melihat piring itu lagi, dan mulai sarapan. Sayang sekali, kemampuan dalam memasak, Shinta tergolong di bawah rata-rata.
Masakan Daiki selalu enak meski sederhana. Shinta kecewa pada dirinya sendiri yang lemah dalam kegiatan masak-memasak.
.
Aomine Daiki, 21 tahun. Virgo, supir angkot, mantan Kapolri. Mulai menyelami seluk-beluk kehidupan dengan mencoba merasakannya; membangun bahtera rumah tangga dari nol besar.
Aomine Shintarou, 19 tahun. Cancer, ibu rumah tangga muda, gagal impian masuk universitas terhalang biaya. Mulai menerima takdir setelah ia kehilangan asa dan cita-cita.
Dua pribadi, tinggal di bawah atap yang sama, berpetualang dalam ombak dan badai rumah tangga.
.
Kehidupan mereka dimulai dari keinginan Daiki memutus lingkaran setan kehidupannya yang dimulai dari uang dan berakhir di uang juga.
Terlalu mudah untuk mendapatkan segalanya, yang ia butuhkan atau yang ia inginkan membentuk arogansi dalam pribadi Daiki. Satu-satunya cara adalah meninggalkan kebahagiaan semu yang seperti madu. Orang-orang yang berteman, pergi dan datang dalam kehidupan Daiki hanya menginginkan uang saja, tidak lebih.
Sejak berhenti dari kehidupan hedonisme, tequilla berubah menjadi kopi tanpa gula, whiskey berubah menjadi buyung upi, puri menjadi rumah gang di Setiabudi, ferrari menjadi angkot Kalapa-Sukajadi, tol Jagorawi menjadi jalan Laswi, Alexandra menjadi Shinta,
Daiki tidak keberatan.
Mungkin dengan begini ia lebih bisa menghargai kehidupan dan menjadi orang yang lebih baik.
Sayangnya, aku tahu kamu bersandiwara bahkan untuk tersenyum, Shin—
Kenapa tidak dari awal—
Kamu menolakku—
Pelan-pelan—
Kamu mencekikku—
.
.
Neng, udah tidur?
Satu pesan masuk ke dalam ponsel Shinta yang bermerk 'nukieu'. Shinta yang sedang dalam fase konsentrasi penuh pada TV pun melirik tajam pada layar ponsel yang menyala. Perempuan itu mengalihkan perhatian dari tayangan televisi dan membalas pesan suaminya.
Belum, masih nonton KDI.
Aa masih di terminal?
Pesan terkirim dan Shinta membayangkan Daiki masih berjibaku dengan keramaian kota di malam hari. Pantas saja Daiki sering mengeluh pegal, menyetir mobil dari pagi sampai sekarang, istirahat sebentar. Sepertinya Shinta harus belajar teknik pijat mematikan dari mamahnya di Garut.
Shinta berkaca sebentar, memastikan hidungnya tidak semerah tadi. Dan matanya tidak sesembap barusan.
Nggak, aa depan pintu..
Shinta mengerutkan kening, segera beranjak dari sofa, tergesa-gesa. Kenapa sih nggak ngetok pintu aja? Shinta mengomel dalam benaknya. Kunci diputar dua kali dan Daiki berjaket biru memajang senyum iseng di mata Shinta. Si kacamata berbalik dan baru saja akan meninggalkan Daiki,
"Ei, mana nggak cipika-cipiki dulu ini teh?" Daiki menunjuk pipi kirinya, jahilnya kambuh melihat wajah ala Shinta yang tsundere; meskipun bibirnya cemberut dan alis mengerut, tapi ada rona merah di pipi seperti es serut. "Sini,"
Shinta melempar tatapan sebal dan ogah-ogahan menempelkan bibir di pipi kiri saat menyadari Daiki menyembunyikan tangan kanan di belakang punggung. Daiki tahu, Shinta malas dan menghindari tatapan matanya, seperti ada yang disembunyikan. Daiki menghitung sesuatu.
Perasaan minggu kemaren si eneng udah ah PMS-nya…
Daiki terkekeh melihat ekspresi Shinta yang manis dan minta dicubit, melepas sepatu dan menaruhnya di rak. Shinta masuk duluan, teringat kembali penasihat favoritnya yang sebentar lagi akan tampil, Mama Bertha. Daiki melepas jaket dan masuk ke dalam kamar untuk menggantungnya di dekat lemari baju.
"Kok tau aa bawa makanan?" Daiki menggeser kursi meja makan dan mengempaskan tubuhnya. Benar saja, dua kantung plastik hitam mengalirkan panas ke atas meja dan berarti tebakan Shinta tidak meleset.
"Baso sama bubur harum gitu masa aja nggak kecium," Shinta sebal dengan cengiran jahil Daiki yang suka meledeknya. Shinta meraih kantung pastik dan mengeluarkan bungkusan makanan.
Daiki menopang dagu, Shinta lari dari kontak mata.
"Yee, yang paling semangat makan baso sama bubur kacang teh siapa?" Daiki nyengir. "Sekarang aja judes palingan nanti minta nambah lagi," ledekan Daiki diselingi tawa dan Shinta berdecak sebal.
"A mau baso dulu atau bubur dulu?" Shinta menawarkan, kalau aku sih mending bubur dulu. Pasti si aa mau baso.
"Mau baso dulu," Daiki menjawab, kontestan favorit Shinta selesai menampilkan lagu dan si bulu mata lentik menuangkan baso ke dalam mangkok. Daiki mengaduk saus sambal yang ia tambahkan, sampai pedasnya menguar dan Shinta hanya bisa menyipitkan mata keheranan.
"Eh lagunya Takao Lasso enak semua neng?"
Shinta mengangguk, menyembunyikan pucat diantara poni rambutnya. Kenapa nama itu harus disebut lagi… padahal tadi udah lupa eh malah keinget lagi…
Bahu Shinta layu, perempuan itu menatap baso dan mie yang bercampur dengan sendu.
"Benerkan, aa jadi semangat ngevote supaya Takao menang di KDI lah yakin," Daiki merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik pesan singkat untuk mendukung Takao dalam acara kontes tarik suara.
"Tadi pagi a, di Gasibu nu pantura-an Takao Lasso," Shinta mengangsurkan sekeping CD, "Nih dia promosi CD barunya,"
"Beli besok neng full albumnya aa ngefans sama dia, bolehlah jadi wotanya sekalian juga kalau ada merchandise beli aja,"
"Katanya mau ngehemat uang nodayo," Shinta mengingatkan kembali janji Daiki pada dirinya sendiri, "Beli yang gitu semangat, nodayo,"
"Ada masalah, neng?" ini dia. Shinta memperbaiki kacamatanya dan berusaha menjelaskan bahwa tidak ada apa-apa, "Jangan cemburut mulu,"
Shinta nangis?
Gelengan diterima Daiki sebagai jawaban.
"Hei kamu kenapa?" Daiki mengamati bengkak mata Shinta. Kenapa nangis? Bulu mata Shinta juga lembap.
"Digodain lagi? Sama siapa?" Daiki meneguk air minum, mencoba mengingat siapa pria sekitaran rumah yang hobi menggoda Shinta. Seingat Daiki, semuanya sudah diberi peringatan bahaya dan ancaman maut, yang berani menggoda Shinta dipastikan akan tewas mengambang di sungai Bengawan Solo.
Masih menggeleng juga.
"A, kenapa sih waktu kita pas masih SMP aa ngejailin neng terus?"
Melangkah ke zaman jahiliyah, dimana Shinta dan Daiki pernah satu sekolah di SMP Teikou, Daiki kelas tiga dan Shinta si anak baru yang eksistensinya terabaikan. Ikhtisar dari kehidupan mereka di masa lalu; Shinta si cewek cupu dan Daiki si anak badung.
"Ah, tau kamu mah nggak ada peka-pekanya," Daiki menyeringai di dekat bibir gelas, kalau diingat-ingat lagi mungkin sifat jahilnya sudah bawaan lahir. Dan entah kenapa, dari seluruh gadis yang ada di Teikou, Shinta menjadi sasarannya. Daiki juga tidak tahu mengapa.
"Apa katamu, nodayo," Shinta mencubit lengan Daiki,"Aku nggak bakal lupa ketimpuk bola basket sama kamu a!"
"Yang itu aa minta maaf deh, nggak sengaja," Daiki tertawa, cubitan Shinta malah seperti gelitikan tak berarti.
"Katanya dulu aku kayak bayi karena rambut aku dikepang, tapi dipikir-pikir mana ada bayi yang rambutnya udah bisa dikepang, nodayo,"
"Ah neng dulu aku naksir banget sama neng," Daiki mencubit hidung Shinta, "Tapi nengngeliat aa aja susahnya minta ampun,"
"Bohong nodayo," Shinta menimpal, "Ngapain ngeliat orang yang tiap hari digandeng sama bule cantik, Alax atau Alex sih namanya,"
"Alexandra Garcia," ralat Daiki.
"Hmmh nama itu diinget," Shinta menuangkan teh panas ke dalam gelas Daiki, "Dasar,"
Daiki senang melihat Shinta seperti ini; cemburu. "Ya, kalau cemburu mah ngomong,"
"Sudi," cibir Shinta, siapa yang cemburu?
"Eh lagu Takao Lasso, neng! Single 'Ada Bayangmu' asli mantap," Daiki terpana melihat kemunculan performa Takao dalam acara di sebuah stasiun televisi terkenal. Daiki tersihir oleh syair-syair cinta dan percakapan mereka terhenti begitu saja.
Shinta mengiyakan lagi dan mempercepat kunyahan baso yang tidak terasa lezat di lidahnya kali ini. Daiki memilih untuk diam menyadari kode bahwa istrinya sedang tidak bisa dijahili. Kalau sudah agak tenangan mungkin Daiki akan bertanya.
Apa si Takao nyanyi di Gasibu nggak enak gitu sampe Shinta males gini?
Ruang tengah rumah mereka memang sederhana.
Hanya ada satu sofa biasa pemberian orangtua Shinta, satu meja dari Mama Shoichi dan selembar karpet dari mantan Shinta yang masih dirahasiakan namanya.
Kalau sedang nonton TV, posisi mereka berubah. Shinta duduk di atas paha Daiki, sedangkan Daiki menahan agar Shinta tidak jatuh, dan menguasai remote TV.
Shinta menerawang mengingat masa lalunya. Daiki berbicara tentang banyak hal, tidak ada satu pun yang Shinta dengarkan. Matanya pada layar, pikirannya berlayar tak ada tujuan.
Takao Kazunari, mantan kekasihnya.
Dan Daiki tidak tahu apa-apa.
.
.
.
Daiki tahu kalau Shinta tidak mencintainya.
Daiki tahu tapi berpura-pura tidak tahu.
.
Shinta punya kebiasaan; menimpa Daiki mendadak.
Daiki mengaduh, Shinta berguling dan melepaskan kacamatanya. Pukul setengah sepuluh malam. Shinta menarik selimut untuk berdua dan Daiki mengeluh. "Neng, jangan suka nimpa Aa kayak gitu ah,"
"Ga suka?" Shinta bertanya dengan mata terpejam.
Eh? Tumben judes pisan hari ini…
"Suka kok suka banget malahan," seneng banget kalo neng manja-manja sama Aa, Daiki terkekeh dan buru-buru menambahkan, "Cuma bikin kaget tau," ujar Daiki, merubah posisi dan memunggungi Shinta.
Kamu kenapa? Pertanyaan yang Daiki urungkan, melihat sikap defensif Shinta hari ini.
Shinta mengejutkan Daiki untuk kedua kali.
Shinta memeluk Daiki dari belakang, menempelkan wajah diantara lipatan kaus putih milik Daiki. Kalau Daiki melihat pasti malam ini akan ada debat panjang karena Shinta selalu kalah oleh ledekan Daiki yang entah kenapa senang menjahilinya.
"Jangan lihat ke belakang," Shinta mengultimatum buru-buru. "Tidur aja, gausah peduli sama pelukanku!" Daiki mengulum senyum menahan tawa.
Shinta pikir hari ini dengan tetap berakting seperti biasa, mungkin Daiki tidak akan bertanya atau mencari tahu. Shinta pikir hari ini termasuk kategori sial karena bertemu Takao dan itu berarti luka lama yang belum tertutup sempurna kini terbuka kembali. Shinta menggumamkan Kazunari dan beruntung Daiki tidak menyadarinya.
Oke, Shinta mengatakannya mudah sekali dan hal itu sangat sulit bagi Daiki ketika Shinta merapatkan tubuhnya pada punggung suaminya dan Daiki mati-matian menahan diri. Oke, Daiki kali ini tidak membalas Shinta dan pura-pura tidur.
Daiki menahan degup jantungnya dalam diam. Berpikir bahwa Shinta juga mencintainya sudah cukup membuat Daiki bahagia. Daiki membalikkan badan ketika pelukan Shinta melemah dan terdengar napas hangat yang teratur.
"Cantik," gumam Daiki diantara kekaguman akan kontur sempurna rahang istrinya.
Sayang sekali,
hanya satu yang jatuh cinta.
Kadang-kadang ketika Shinta sudah terbang ke alam mimpi, Daiki masih terjaga. Daiki pikir anak rambut menggelitik pipi kekasihnya, sehingga lelaki itu mengusap pelipis si rambut hijau sembari mematikan lampu di atas nakas. Daiki punya rutinitas sebelum benar-benar tidur.
Memperhatikan wajah istrinya, menatapnya dan mengecupnya.
.
.
.
.
Shinta menebak-nebak.
Sampai kapan ia dan Daiki seperti ini?
Bukankah ini sama saja dengan menipu pria yang berjanji akan terus bersamanya—
(Shin-chan… janji ya padaku?)
Shinta menutup mata.
.
.
.
.
.
.
.
(siang harinya)
Lapangan Gasibu selalu ramai. Segala macam pedagang menjajakan barang. Shinta pikir semuanya akan lebih lengkap dengan kombinasi kupat tahu, bubur ayam dan Aa Daiki. Suara kencang yang menggelegar dari sound system membuat Shinta mengeluskan dada.
Si perempuan cantik turun dari angkot dengan kaus oblong membungkus tubuh ayunya. Lirik kanan, lirik kiri, Shinta berasa anak hilang. Ah, peduli amat. Shinta segera menuju kerumunan orang-orang, heboh, dan sifat kepo sekaligus muna milik Shinta kambuh mendadak.
Takao Lasso adalah penyanyi favorit Daiki. Suami Shinta itu mengoleksi setiap albumnya dan mendengarkan pagi-siang-malam tidak kenal bosan. Dan Takao kini sedang membagi-bagikan CD Sample untuk single terbarunya. Dan Takao adalah mantan terkasihnya.
Shinta asalnya ingin memutar arah namun semua itu hanya tinggal impian karena nada lembut dari pita suara Takao memanggilnya.
"Shin-chan?" oh, tidak, kenapa harus sekarang…
"Takao?" Shinta menyembunyikan terkejut dalam gemetar suara yang lolos dari bibirnya. Takao kini berdiri di depannya dengan setelan santai, persis Takao yang dulu pernah membuatnya menangis tujuh hari tujuh malam.
"Shin-chan…?"
"Takao?"
"Shin-chan…!"
"Takao!"
Shinta terdiam dan menunduk, kenapa harus ketemu Bakao disaat seperti ini…
"Aku nggak nyangka bisa ketemu kamu disini," Shinta memperbaiki letak kacamatanya, "Takao… nodayo,"
Takao melepaskan diri dari kerumunan massa dengan kekuatan bodyguard yang ia miliki, menarik Shinta ke arah tukang cendol dan mereka akhirnya duduk di bawah rimbun mahoni. Dekat dengan Museum Geologi, lebih tepatnya di taman lansia, Takao pura-pura mengenakan bando dan di kacamata hitam. Shinta tidak menolak dan tidak mengiyakan, dia hanya bisa termenung, semuanya terjadi begitu saja seperti sihir.
"Aih, Shin-chan," Takao memejamkan mata, kapan terakhir ia bernapas selega ini? Sesegar inikah pagi hari di Bandung, bersama mantan dan jajaran yang dagang nasi kuning, Takao perlu bersyukur kepada Yang Maha Kuasa.
"Aku senang bisa ketemu sama kamu lagi,"
Dua-duanya bergeming.
Satu pertanyaan yang simpel dan menyakitkan memecah keheningan,
"Bagaimana kabarmu dan suamimu? Sehat kah?"
Shinta menggigit bibir, Takao yang tenang, seakan-akan tidak ada sesuatu yang pernah terjadi diantara mereka menyelipkan sesak di dalam dada Shinta.
"Shin-chan masih manis seperti dulu ya," Takao pamer giginya yang rapi dan bersih, "Masih cantik seperti dulu,"
"Masih nodayo-nodayo juga…"
Iya dulu saat kita masih bersama… Takao tersenyum, memastikan kerinduan yang meledak di dalam hatinya, mengirimkan segenap cinta untuk Shinta yang tak pernah bisa ia miliki lagi. Dulu bukan sekarang…
Takao setia dengan senyum cerahnya; mengingat kembali senyuman termanis Shinta yang pernah ia rekam dalam otak untuk selamanya.
Tentang padang ilalang, janji kelingking dan senja indah.
"Kenapa harus Takao Lasso bukan Takao Tingting, Takao Gotik atau Takao Daratista, nodayo?" Shinta mengalihkan topik, tidak berminta membahas hal yang sudah lalu, yang meredupkan atmosfer pertemuan mereka setelah sekian tahun lamanya.
Ayolah jangan sampai keki gini…
"Shin-chan, namaku ini diambil dari kisah cinta kita berdua. Aku Takao Lasso. Lasut dan Maso kalau digabung jadi Lasso, pas 'kan?"
Shinta terhenyak dan mencerna baik-baik apa yang ia dengar.
Takao kenapa kamu selalu dan selalu meremukkan hatiku…
Dari seluruh nama di dunia ini, demi pantai selatan yang tak pernah kukunjungi mengapa engkau harus semaso ini…
Kenapa aku harus jatuh cinta padamu…
Yang lasut dan maso…
Selancar kereta jurusan Bandung-Indramayu, semudah itu ia berbicara disaat Shinta mati-matian menyusun kembali kepingan hatinya yang luluh lantak oleh mata Takao yang dahulu cemerlang dan kini meredup.
"Bakao—aku …..a-aku—" pandangan Shinta mengabur, kehabisan paragraf untuk menyahut. Hatinya terombang-ambing, berbicara kembali dengan Takao, kenangan-kenangan indah mereka berputar dalam kepala Shinta, menertawakan habis-habisan.
"Ah, Shin-chan, jangan menangis," Takao cemas, "Kenapa harus menangis? Tidak ada yang perlu ditangisi lagi 'kan?"
Oh, begitukah, menurutmu, tidak ada yang perlu ditangisi, nodayo? Menurutmu, apakah aku tidak sedih menikah dengan orang yang tidak aku cintai, nodayo?
Menurutmu aku tidak sedih jika berpisah denganmu yang aku cintai, nodayo?
Menurutmu?
Nodayo?
"Aku yang salah tidak pulang lebih dahulu dan melamarmu,"
Angin bertiup, rambut Shinta yang panjang melambai dan keinginan Takao untuk menciumi helaian hijau tersebut terhalang oleh dinding besar bernama pernikahan dan Takao menutupi luka, kesedihan dan putus asa yang menggumpal dalam benaknya dengan senyuman. (lagi-lagi)
Shinta ingin sekali mengatakan, kau bodoh sekali nodayo, sayang, lidahnya kelu dan ia bisu oleh tumpukan sakit yang menyerangnya tiba-tiba.
"Shin-chan, lupakan aku dan berbahagialah tanpaku,"
Dan Takao menerbangkan seluruh asa yang Shinta punya ke langit, membiarkan suasana mereka melebur dalam fragmen-fragmen masa lalu, dimana kata aku dan kamu melebur menjadi kita tanpa ada dia sebagai orang ketiga. Orang-orang yang jalan berlalu-lalang tidak Shinta hiraukan.
Satu sisi dalam dirinya hanya memikirkan Takao, Takao dan dulu.
"Pulanglah Shin-chan… sebelum cinta ini berhamburan kembali saat menatap matamu,"
Takao jujur ketika satu menit lagi kisah cinta yang tertutup paksa ini akan berakhir. Shinta mengerjap, berdo'a semoga Takao tidak berbohong hanya untuk menghiburnya.
"Pulanglah," Takao menepuk-nepuk kepala Shinta yang lebih tinggi, menguatkan iman supaya tidak nangis. Aku superman, aku superman, aku superman, aku superman, Takao berbisik pada dirinya. Aku nggak akan nangis, aku nggak akan nangis, jangan menangis setidaknya di depan Shin-chan aku gaboleh nangis…
"Bakao…" hati Shinta mengucap nama sepenuh rasa yang ia punya. Penghinaan kalau dilihat secara kasat mata, tapi siapapun yang mengamati baik-baik, nada itu adalah keinginan untuk kembali ke masa lalu dan buncahan rindu yang berkuasa.
"Oke, hati-hati, nodayo,"
Hati-hati di jalan… hati-hati karena aku sayang kamu… hati-hati …
Shinta berbalik di tangannya ada CD sampel yang dibagikan Takao.
Suara Takao yang mengatakan, dadah Shin-chan baik-baik saja ya! Memantapkan langkah kaki Shinta untuk segera menghilang dari sini dan sampai di rumah.
Kalau di rumah mungkin ia bisa lebih bebas untuk menangis sepuasnya tanpa perlu ditanya, bertanya dan membuat repot orang lain.
Sayangnya, Shinta sudah tertelan kerumunan massa. Setidaknya di depan mantan yang paling ia cinta, Shinta berhasil menahan tumpahan perasaan yang sesungguhnya. Setidaknya, ia tidak terlihat memalukan di depan Takao mungkin untuk terakhir kalinya.
Takao tidak tahu, Shinta menyerah dan melelehkan airmata di tengah padatan orang-orang yang berbahagia.
Ada banyak hal yang perlu aku tangisi, Shin-chan.
Salah satunya, kebodohanku nggak ngisi pulsa waktu ke luar negeri.
Dan melamarmu saat jari manismu sudah dihiasi cincin milik orang lain.
(Takao juga menangis)
.
.
Daiki melihat langit, memikirkan kemungkinan Shinta yang ngambek karena kehujanan dan Daiki tertawa geli.
.
.
Shinta menarik napas panjang.
Di Gasibu macet parah, hujan turun deras. Andaikan ia tega menelpon Daiki minta dijemput, pasti ia sekarang bersantai depan TV sembari ngemil sukro. Sepanjang jalan menuju rumah, Shinta memandang hampa jendela angkot yang basah.
Takao, takao, takao.
—tidak ada Daiki dalam pelupuk mata Shinta.
.
bersambung
.
Catatan2: Kami sangat berterimakasih untuk anda semua yang sudah meluangkan waktu untuk membaca karya kami. Mohon bantuannya untuk kritik dan saran dari senpaitachi semua, salam kenal!
