TRASH
Disclaimer : Karakter-karakter yang digunakan bukan milik saya, namun milik yang empunya (?)
Dibuat dengan Microsoft Word milik om Microsoft (Bill Gates)
Warning : Sedikit gaje dan sangat garing (karena memang humornya dikit banget)
"Aku hanyalah sampah… Barang tidak berguna yang pada akhirnya hanya akan dibakar tanpa seorangpun yang akan mengingat keberadaanku di bumi ini. Aku hanyalah barang tidak berguna yang hanya dapat memberikan kekecewaan dan kesedihan dalam diri seseorang."
Pagi itu sangatlah cerah, hari pertama musim panas memang begini. Anak-anak sekolah Ginsei; salah satu sekolah di kota Tokyo itu. Dari kejauhan bisa dilihat beberapa anak berhamburan berlari masuk ke dalam sekolah dengan panik; mereka adalah Rin, Luka, dan Gumi. Tiga bersahabat yang selalu menempel dan tak terpisahkan. Tapi karena karakter utama di sini adalah Rin, maka saya sebagai narator hanya akan mendeskripsikan Rin saja.
Rin adalah gadis berambut honeyblonde sebahu dan maniak jepit rambut. Di setiap sisi rambutnya pasti terlihat jepit rambut warna putih bertebaran, entah itu untuk menahan poninya atau memang hanya untuk gaya. Ia adalah gadis remaja biasa yang memiliki teman segunung dan satu orang lelaki yang ditaksir. Kepribadiannya cheerful, outgoing, friendly, dan memiliki suatu karisma yang entah kenapa membuat orang mudah untuk dekat dengannya.
Karena bel sekolah sudah berbunyi 10 menit sebelum kedatangan si tiga bersahabat, mereka terpontang-panting lari menuju gerbang sekolah dan meneruskan ke kelas.
"JEDER!"
Pintu geser ala kelas-kelas di Jepang langsung terbuka lebar oleh Rin yang sudah ketakutan gurunya sudah datang, dan benar saja, di kelas itu berdirilah seorang guru Matematika yang sedang menulis sebuah rumus di papan tulis. Paniklah Rin dan kawan-kawannya.
"Kamu kenapa telat, hah?" tanya guru Matematika itu dengan garang.
"Eh, Bapak… Biasa lah, telat bangun," balas Rin dengan nada sedikit centil, mungkin untuk menghibur guru Matematika itu supaya ia tidak diberi hukuman. Guru Matematika itu nyengir, diikuti beberapa murid lain. Setelah beberapa basa-basi yang kurang penting untuk cerita ini, Rin dan kawan-kawan pergi duduk di bangku mereka masing-masing.
Rin menengok sedikit ke arah kanannya, sebuah bangku kosong namun bertas menangkap matanya. Bangku itu adalah kepunyaan Len, salah satu murid lain di kelasnya itu yang pendiam dan soliter. Ia selalu mengerjakan segala sesuatunya sendiri dan sepertinya tidak terlalu mempedulikan kondisi orang lain. Karena penasaran, Rin pun bertanya kepada guru Matematikanya.
"Pak, si Len ga masuk ya? Kok ada tasnya?"
"Ya ampun kamu kok bodoh sekali. Jelas-jelas kalo ada tasnya pasti orangnya masuk. Tadi dia dipanggil di awal pelajaran ke Tata Usaha," jelas guru Matematikanya itu.
"Lah kok bisa?" tanya Rin dengan logat agak Jawa, beberapa murid tertawa karena logatnya itu.
"Katanya sih tadi ada telepon penting buat dia," balas sang guru sambil nyengir. Rin setelah itu hanya mengeluarkan "Ooooh" dan tidak berkata-kata lagi, sebenarnya sih Rin bukan bertanya sekedar karena penasaran, ia hanya ingin menghambat pelajaran walaupun semenit saja. Pelajaran Matematika memang pelajaran yang menjadi titik lemahnya.
Beberapa detik sesudah itu, pintu geser di kelas itu tergeser. Terlihatlah sosok Len dengan wajah yang biasa-biasa saja dan berjalan menuju bangkunya dengan kecepatan yang biasa-biasa saja. Gurunya pun bertanya, "Kamu udahan teleponnya?"
"Udah," jawab Len singkat, jelas, padat.
"Katanya Bu Kaiko (yang ngasih tau tadi Len ada telepon) tadi, itu telepon penting? Emang tadi siapa yang nelpon?" tanya guru Matematika ingin tahu, Rin bahagia karena pelajaran makin terpotong.
"RS," balas Len tanpa mengubah intonasi dan muka datarnya.
"Hah? RS? Kok bisa nelpon kamu? Ada apa?" tanya guru tersebut kaget.
"Ibuku meninggal di RS tadi, katanya gagal jantung," balas Len masih dengan segala kedataran.
"Hah!? Erm… Turut berduka cita ya… Terus kamu ngapain di sini?" balas sang guru tidak tahu mau ngomong apa dengan berita duka seperti itu.
"Bapak ngusir saya?" tanya Len cuek.
"Eh, bukan. Kamu gamau ngeliat ibumu dulu di RS?" balas si guru kaget dengan sikap anak itu.
"Buat apa? Toh dia juga udah meninggal," jawab Len dengan muka 'bodo amat'.
Guru Matematika itu speechless, begitu juga dengan seisi kelas.
"Durhaka bener ni anak," pikir seisi kelas. Tapi Len tidak tergubris oleh tatapan-tatapan aneh yang diberikan murid lain kepada Len.
Rin yang paling kesel sama yang namanya anak durhaka langsung berniat untuk mengkonfrontasi Len saat istirahat nanti.
Datanglah saat yang ditunggu-tunggu Rin; jam istirahat. Ia telah menyiapkan segala jurus untuk memarahi Len saat pelajaran Matematika tadi. Ia langsung menghentikan Len seketika Len bangkit dari bangkunya; dengan segera ia menghalangi jalan antar meja agar Len tidak bisa lewat, Len memandang tajam ke mata Rin, matanya seperti mengatakan "Minggir bego gue pengen jajan" tapi Len bukanlah tipe orang yang suka jajan, melainkan ia lebih senang makan bekal bawaannya dari rumah. Ditambah lagi bahasa di fic ini seharusnya aku kamu jadi memang tidak mungkin sekali Len berkata sedemikian rupa.
"KAMU!" seru Rin mengagetkan sambil menunjuk ke muka Len, Len terlonjak sedikit saking kagetnya.
"IKUT SAYA KE ATAP!" lanjut Rin masih berseru, Len yang setengah bingung setengah ngerti itu terdiam membatu tidak tahu harus membalas apa. Akhirnya Len pun hanya membuang muka tanda tidak peduli dan menganggap Rin sebagai orang gila. Rin yang merasa terhina langsung menarik tangan Len. Len kembali kaget melihat gadis se-agresif ini.
"BAWA MAKANANMU!" perintah Rin, Len yang tidak suka diperintah hanya diam dan melepaskan tangannya dari borgol tangan Rin. Rin pun tidak mau kalah dan langsung mengambil bekal Len dan menarik kembali tangan Len. Len yang kaget itu pun diseret sampai ke atap sekolah.
Setelah diseret tanpa ampun oleh Rin itu, kaki Len jadi lemas karena telah terpentok-pentok ujung anak tangga menuju atap dan panas yang disebabkan oleh gesekan sepatunya dengan lantai sekolah. Ia pun terduduk menyilang sambil menunggu apa yang akan dikatakan oleh gadis itu.
"KAMU!" kembali Rin berseru sambil menunjuk muka Len, mata Len langsung melebar karena rupanya ia masih kaget dengan hal seperti itu (#apa sih).
"IBUMU MENINGGAL TAPI MUKAMU DATAR SEKALI! DASAR ANAK DURHAKA GATAU DIRI!" lanjut Rin dengan nada berat-naik-turun seperti yang biasa ada di sinetron perang zaman purbakala. Len hanya diam memperhatikan Rin.
"…Memangnya mukaku harus bagaimana?" tanya Len.
"YA NANGIS LAH, BODOH!" seru Rin dengan segera,
"Untuk apa?"
"YA… YA… KAN… KAN IBUMU MENINGGAL MASA GA NANGIS!?"
"…Haruskah aku menangis disaat ibuku akhirnya menemukan kebahagiaan..?"
Kata-kata Len itu entah kenapa menyentak Rin.
"Eh?..." gumam Rin, namun Len tidak mau melanjutkan lagi. Len bangkit berdiri dan langsung mengambil bekal yang diambil oleh Rin tadi. Lalu ia membuka tutupnya dan Rin segera mengintip ke isi bekal Len tersebut…
Ada telor dadar dipotong-potong persegi panjang kecil-kecil, nasi putih dengan taburan sejumput abon di atasnya, tomat ceri, selada, suwir-suwiran ayam, tahu… Rin langsung ngiler melihat bekal 4 sehat Len itu.
"Itu ibumu yang buatin, 'kan? Kamu ga sedih ga bisa makan bekal kayak gitu lagi?" tanya Rin mengungkit-ungkit yang tadi lagi.
"Buat sendiri," jawabnya singkat. Rin yang tidak percaya bahwa anak sedurhaka itu bisa membuat bekal sendiri menanya kembali, "Kamu memangnya bisa membuat bekal seperti itu?"
"Aku buat sendiri," jawab Len kembali dengan jawaban yang sama. Rin yang hanya bisa memasak telur dan mie itu langsung tidak bertanya apa-apa lagi. Rin yang belum makan dari pagi itu menunggui Len untuk memakan makanan itu, Len yang sadar bahwa gadis itu memelototinya langsung berkata, "Aku mau makan."
Rin yang bingung dengan perkataan itu bertanya, "Terus? Makan saja."
"Tolong pergi," balas Len ketus mengusir Rin. Rin yang sudah benar-benar kesel sama Len langsung bangkit berdiri untuk pergi meninggalkan atap, tapi matanya masih melirik bekal Len tersebut.
"Kruuuk…"
Tiba-tiba terdengar suara perut Rin yang kelaparan, suasana langsung hening dan scene itu membatu dalam sekejap.
"E…Ehehe~" tawa Rin menyembunyikan malunya, Len hanya menatap ke arahnya tanpa reaksi. Len tiba-tiba langsung melemparkan sebuah jeruk ke arah Rin, Rin menangkapnya dengan kaget. Mata Rin langsung terlihat berkaca-kaca penuh kebahagiaan.
"Buatmu saja. Harganya murah kok, waktu itu lagi promosi," balas Len dengan muka datar andalannya itu. Rin yang tidak pernah belanja makanan itu tidak tahu berapa harga jeruk.
"T-Terima kasih!" seru Rin sambil membungkuk, ia pun segera terduduk di lantai atap itu dan mulai mengupas jeruk itu.
"Kamu mau apa disini?" tanya Len dengan nada terganggu.
"Eh? Makan?" balas Rin yang polos lugu itu.
"Pergi. Kamu mengganggu," balas Len dingin. Rin yang terdiam sebentar itu langsung berdiri dan berjalan kembali menuju kelas dengan lesu.
Bel tanda selesainya istirahat pun berbunyi, semua murid kelas itu langsung kembali ke bangkunya masing-masing. Len pun kembali ke kelas dan langsung menyiapkan buku-buku pelajaran untuk pelajaran berikutnya setelah dia terduduk di bangkunya. Rin yang ada di sebelah kiri Len memandangi Len sambil berpikir, "Hmm… Sepertinya Len sebenarnya baik, tapi aku masih belum tahu menahu soal dia dengan ibunya. Emm… Kalau begitu aku harus mendekati dia lagi sampai dia mau membeberkan informasi tersebut!"
Dengan begitulah, Rin langsung berniat untuk mengganggu Len lagi pada istirahat kedua. Len yang merasa tidak enak karena diliatin oleh Rin yang tidak sadar bahwa ia ngeliatin si Len hanya senyum-senyum saja memikirkan rencananya itu. Len akhirnya mencoba untuk menghindari kontak mata dengan Rin.
"TRIIIIIIIIING!"
Akhirnya bel istirahat kedua pun berbunyi, Rin langsung menghampiri meja Len dengan senyum lebar di mukanya. Len yang takut kalau Rin itu benar-benar orang gila hanya buang muka keluar jendela kelas itu. Rin yang merasa dicuekin langsung menarik bangkunya ke samping bangku Len dan duduk melihat Len.
"…Apa?" Len yang akhirnya membuka mulut pun bertanya.
"Mmm~ Kamu paling suka pelajaran apa?" tanya Rin memulai sesi pendekatan itu. Len terdiam sebentar, bingung kenapa dia tiba-tiba ditanyai hal aneh seperti itu.
"Udah jawab saja," lanjut Rin yang tidak sabaran menanti jawaban Len.
"…Tidak ada," jawab Len.
"Eh? Em… Terus, makanan favorit kamu apa?" tanya Rin lagi.
"…Tidak ada," jawab Len dengan jawaban yang sama.
"A-Ah… Terus kalau… tempat favoritmu?" tanya Rin kembali agak takut kalau Len akan menjawab "Tidak ada" lagi. Len terdiam sesaat, sampai akhirnya ia menjawab.
"...Tempat yang sepi."
Merasa sedikit puas dengan jawaban yang diberikan Len, Rin pun melanjutkan pendekatannya ke Len.
"Umm… Hei, kenapa kamu diam sekali?" tanya Rin.
"Aku… tidak suka bergaul dengan orang lain," jawab Len.
"Hee? Kenapa?" tanya Rin lagi.
"…Aku tidak mau mengecewakan mereka…" gumam Len¸ Rin yang tidak mendengar gumaman Len tadi segera bertanya, "Eh? Tadi ngomong apa?" namun Len tidak menjawab, pandangan matanya yang sulit dibaca memberikan suatu impresi menyedihkan bagi Rin.
Hari demi hari telah berlalu, dengan segala jurus, akhirnya Rin bisa membuat Len lebih terbuka sedikit demi sedikit, walaupun sikapnya masih ketus-dingin-tsundere (#stop) gitu. Rin pun akhirnya berniat untuk menanyakan hal yang dari dulu ia tanyakan dan tidak pernah dijawab.
"Ooooi~" panggil Rin dari tempat duduknya kepada Len yang baru saja masuk kelas. Len mengabaikan Rin dan berjalan ke bangkunya. Murid-murid yang hadir di kelas pada waktu itu, termasuk Luka dan Gumi yang melihat itu langsung kaget semua, memang sebenarnya mereka sudah sering melihat Rin dan Len berbicara; walau harus dibilang hal itu terlihat seperti interogasi seorang polisi (Rin) kepada tawanannya (Len). Tapi sekarang sang polisi menyapa tawanannya itu dengan sangat bahagia bagaikan teman dekat bertepuk sebelah tangan.
"Eh, eh, Rin. Kamu temenan sama Len nih sekarang?" tanya Gumi.
"Ah penghianat kamu, kami aja belum dapet temen cowo sama sekali," tambah Luka.
"Jangan-jangan kamu sekarang jadian sama dia ya?" tambah Gumi.
"Enggak, aku cuma lagi demen-demennya aja nge interogasi dia—eh, maksudnya aku nyoba jadi temen dia," balas Rin kagok, takut niat aslinya terbeber.
"Kok bisa tau-tau gitu?" tanya Gumi yang hobi nanya-nanya alias kepo (Author : Ini cerita kenapa makin ga serius aja ya? #plak)
"Yaaaaa, mau aja. Kemaren sih niatnya mau marahin dia doang, tapi taunya jadi temen deh," balas Rin setengah tertawa.
"Marahin? Emang kenapa?" tanya Gumi lagi.
"Kan dulu aku pikir dia anak gak benar dan durhaka, jadi kuceramahin panjang lebar," jawab Rin.
"Oh," gumam Gumi mengingat kejadian waktu itu.
"Tapi tapi, kayaknya dia gak menganggap kamu temen tuh," kata Luka yang akhirnya angkat bicara sambil melirik ke arah Len yang seperti biasa dengan tenang melihat ke luar jendela di sebelahnya.
"Iya sih, dia memang susah didekatin," balas Rin sambil juga melihat ke arah Len, Gumi pun ikut-ikutan melihat ke arah Len. Len yang merasa diliatin langsung menoleh ke arah meja Rin yang dikerumuni oleh Luka dan Gumi, tapi walau Len sudah memelototi mereka, mereka masih saja melihat ke arah Len dengan muka yang prihatin entah kenapa. Len pun membalikkan lagi mukanya ke jendela.
Rin langsung tersenyum menahan tertawa melihat Len yang terlihat bingung sekali diliatin, yang lain ikut-ikutan. Rin pun berjalan menuju ke meja Len dengan sebelumnya berpamitan dengan teman-temannya itu. Luka dan Gumi pun merumpi di tempat lain.
"Eh, Len~ Nanti pulang sekolah jalan bareng yu!" ajak Rin hepi.
"Ogah," jawab Len singkat namun menusuk.
"Aaaah… Kenapa?" tanya Rin memelas, Len hanya melihat ke arah Rin dengan tatapan 'lu asal tanya ato emang gatau kenapa?' nya itu.
"Eh? Kenapa dengan muka itu?" tambah Rin polos.
"Intinya aku tidak mau pulang bersama denganmu," balas Len singkat. Rin mulai berpikir sejenak, lalu setelah itu ia berkata, "Oh, yasudah," dan berjalan balik ke mejanya.
Sepulang sekolah, Rin mengikuti Len sampai mereka sudah lumayan jauh dari sekolah. Lalu melompat ke samping Len ketika waktunya sudah terlihat tepat. Len yang kaget dengan kehadiran Rin yang tiba-tiba di sampingnya langsung berhenti berjalan.
"Kenapa?" tanya Rin masih polos polos bodoh seperti biasanya.
"Kamu ngapain disini?" balas Len dengan pertanyaan lain.
"Ehehe~ Sudah, tidak apa-apa~ Ayo kita ngobrol sebentar," ajak Rin bahagia. Len mengeluarkan geraman kecil dan melanjutkan perjalanannya ke rumah diikuti oleh Rin.
"Hei, hei… Len~ Aku mau nanya sesuatu," kata Rin sambil membelokkan kepalanya kepada Len.
"Apa?" tanya Len.
"Emm… Masih ingat kejadian dulu saat kita pertama kali bertemu?" tanya Rin.
"Waktu itu kamu masih teriak-teriak seperti orang kurang waras," balas Len jujur.
"Iiiih masa yang diingat itu saja?" balas Rin cemberut, "Bukan, maksudku tentang ibumu itu, yang saat waktu itu kamu bilang ibumu bahagia itu."
"…Kenapa memang?" jawab Len dengan sebuah jeda 10 detik.
"Err… Aku masih penasaran maksud perkataan tersebut apa, hehehe…" balas Rin agak lesu melihat Len yang tiba-tiba bernada serius sekali.
"…Itu…" gumam Len, "Karena aku adalah sampah yang hanya bisa membebani orang-orang yang dekat dengaku."
"..Eh?" balas Rin yang kurang paham dengan perkataan Len tadi.
"Aku hanyalah sampah… Barang tidak berguna yang pada akhirnya hanya akan dibakar tanpa seorangpun yang akan mengingat keberadaanku di bumi ini. Aku hanyalah barang tidak berguna yang hanya dapat memberikan kekecewaan dan kesedihan dalam diri seseorang," lanjut Len setelah ia menghentikan langkahnya, "…Ibuku tidak akan merasakan kebahagiaan jika ia ada di dekatku, aku hanya bisa memberikan bertumpuk masalah baginya."
Rin yang kehabisan perkataan terdiam dan berhenti mengikuti Len, sedangkan di waktu yang sama Len melanjutkan berjalan sampai pada akhirnya tak terlihat lagi.
