Saat itu hanya ada desiran ombak, lengkingan camar, semilir angin laut, dan cahaya lembut matahari senja menyelimuti pantai yang tenang ini. Sosokmu yang bersandar padaku berkata, "Kita bisa meluapkan semua emosi kita di sini karena ini adalah tempat kita. Dan walaupun kita berpisah, kita akan bertemu kembali di sini karena di sinilah rumah tempat kita pulang," sambil mengulum senyum termanismu. Aku mengingatnya dengan jelas, tentu saja. Semua kata-kata dan untaian kenangan indah di tempat ini sudah terukir rapi di memoriku. Namun, sepertinya takdir tidak mengizinkan semua itu tersimpan lama di benakku. Perlahan mereka memudar, seperti butiran kapur yang tertiup angin.


Summer Promise

By 狐氏例(Kitsuneshi Rei)

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki-sensei

Warning : Gaje, missed typo(s), OOC, dll.

.

.

.

Enjoy!


"Oi, Kuroko! Kau kenapa?"

Kuroko Tetsuya yang sedang terbengong menatap jalur kereta yang nampak jarang digunakan itu hanya terkesiap pelan begitu mendengar suara si macan merah. Kagami Taiga yang sejak tadi diacuhkan panggilannya oleh pemilik surai azure itu—beruntunglah kali ini panggilan Kagami didengar Kuroko—hanya menggeram lirih. Pemuda bermanik merah itu menatap sahabatnya yang kembali asyik dengan dunianya. Sudah sebulan berselang sejak kejadian itu namun Kuroko masih terlihat seperti orang linglung. Sebenarnya Kuroko tidak bersalah di sini dan dia tidak bisa disalahkan atas keadaannya sekarang. Jujur saja Kagami menyesal. Seandainya ia tidak membiarkan Kuroko sendirian saat itu, mungkin semuanya akan berbeda. Saat ini, walaupun yang berdiri di sampingnya itu pemuda bernama Kuroko Tetsuya, Kagami merasa jika si surai azure bukan Kuroko Tetsuya.

"Nee, Kagami-kun..."

"Apa?"

Kali ini Kuroko menatap Kagami dengan manik azure-nya yang membulat penasaran. Wajahnya memang sedatar tembok, namun itu tidak mempengaruhi kadar keimutan pemuda berkulit porselen ini. Jika saat ini mereka tidak sedang berada di stasiun, Kagami mungkin bisa kelepasan dan memeluk pemuda imut itu. Tentu saja Kagami tak mau mempermalukan dirinya sendiri. Ia tidak mau dikira aneh, atau malah dikira dirinya menyukai Kuroko.

Tapi bukankah ia memang menyukai Kuroko Tetsuya?

Oke, ini memang bukan kisah yang terlalu menarik untuk diceritakan. Kagami tidak percaya dengan cinta pandangan pertama, dan itu memang benar. Semua ini bermula karena sikap Kuroko yang—menurut Kagami—menyebalkan karena muncul seenaknya tanpa diundang saat ia membeli burger di Majiba. Jujur saja Kagami saat itu merasa kesal. Namun, rasa 'kesal' bisa menjadi permulaan dari 'suka', bukan?

"Kagami-kun?"

"Waa!" Persendian Kagami berbunyi begitu Kuroko menarik lengannya keras-keras. Kontan saja macan itu langsung murka. "Kuroko teme! Apa yang kau lakukan, hah?!"

Kuroko masih memasang muka-polos-tak-berdosa-nya. "Ini semua salah Kagami-kun karena tidak memperhatikanku," protesnya dengan nada monoton. Oke, kesalahan saat ini memang disebabkan oleh Kagami yang mengkhayal. Walaupun begitu, memangnya tak ada cara lain yang bisa menyeret Kagami kembali ke alam nyata selain membuat tulangnya hampir bergeser? Paling tidak Kuroko masih bisa melemparkan wristband-nya keras-keras ke muka Kagami atau menjegalnya. Itu mungkin lebih baik daripada membuat lengannya copot dari tubuhnya.

"Baik, baik! Akan kudengarkan perkataanmu!" seru Kagami sambil mengangkat kedua tangannya. "Kau mau bicara apa?"

Surai azure itu terdiam sejenak. Ia menunjuk ke jalur rel yang sedaritadi diperhatikannya. "Apa Kagami-kun tahu pemberhentian terakhir kereta yang melewati jalur ini?"

Kagami memiringkan kepalanya, berpikir. "Kudengar itu tembus ke desa kecil yang dekat dengan laut," jawabnya entah benar atau salah. "Karena jarang ada orang yang berkepentingan di desa itu atau tempat pemberhentian sebelumnya, sepertinya intensitas kereta yang melewati jalur ini tidak terlalu banyak."

Kuroko mengangguk. "Ternyata Kagami-kun tahu banyak, ya?"

Kagami menyeringai. Sebuah tanda perempatan menghiasi dahinya. "Kau pikir aku sebebal apa, hah?" Tangannya mengacak-acak surai azure Kuroko. "Lagipula, memangnya kau ada kepentingan di sana?"

Kepentingan? Tentu saja tidak. Kuroko bahkan baru mendengar desa itu—walaupun ia tidak tahu apakah ia pernah mendengarnya sebelum ini. Dan sebenarnya Kuroko tidak mengerti kenapa ia menanyakannya. Hanya saja...

Hanya saja...

Sepertinya ada sesuatu yang ia tinggalkan di sana.

"Tidak." Kuroko menggeleng. "Kurasa tidak."

Kagami kembali memiringkan kepalanya. Tangannya disilangkan di depan dada. "Kau tahu, mungkin rasa penasaranmu itu bisa terobati nanti," ujarnya sembari mengulum senyum misterius.

"Memangnya kenapa?" tanya Kuroko.

Masih dengan senyum misterius yang sama, Kagami menjawab, "Kau akan tahu minggu depan."

Kuroko hanya menatap sahabatnya itu dengan manik bulatnya yang menyiratkan rasa penasaran. Ia lalu memalingkan wajahnya. Seulas senyum terlukis di wajah manisnya yang pucat. "Kagami-kun sok tahu."

"Apa katamu?!"


Kuroko menyandarkan tubuhnya pada sandaran bangku kereta yang ditumpanginya bersama para anggota klub basket SMA Seirin. Saat ini adalah liburan musim panas dan pelatih mereka memutuskan bahwa latihan kali ini dilakukan di pantai. Sebenarnya Kuroko sudah tahu itu. Tapi, siapa sangka tempat tujuan mereka kali ini adalah tempat yang sama dengan yang dimaksud Kagami waktu itu?

Pemuda surai azure itu terlalu berkonsentrasi dengan pikirannya sendiri sampai ia—kembali—tidak menghiraukan panggilan teman-temannya. Catatan, Kuroko tidak boleh terus menerus melamun jika ia tidak ingin kelewatan stasiun tujuan dan ditinggal rekan-rekannya.

"Kau benar, Kagami-kun," ujar Kuroko setelah berhasil menjajari langkah Kagami.

Pemuda surai merah itu menyeringai lebar. "Kubilang juga apa, jangan meremehkan Kagami Taiga ini!" balasnya sambil menepuk dadanya bangga.

"Kau berlebihan, Kagami-kun."

"Berisik!"

"Anak kelas satu, bisakah kalian diam sebentar saja?"

Suara itu bernada monoton, namun mampu membuat bulu kuduk manusia se-sangar Kagami berdiri. Pasangan cahaya dan bayangan itu menoleh. Mereka mendapati Aida Riko yang tersenyum manis di belakang sana, namun aura hitam bercampur biru tua menghiasi pelatih itu. Kontan kedua manusia kelas satu itu menelan ludah, kompak.

"Lari sampai penginapan sana!"

"H-Hai!"

Riko hanya menghela napas pasrah. "Huh, kenapa mereka tidak bisa tidak ribut untuk sehari saja, sih?" gerutunya sambil mengacak-acak surai cokelat pendeknya.

"Biarkan saja, Riko." Kiyoshi Teppei menengahi. "Mungkin dengan itu Kuroko bisa kembali seperti semula. Lagipula sekarang dia sudah mulai kembali ke Kuroko Tetsuya yang dulu," tambahnya.

Riko menatap Kiyoshi, lalu menundukkan kepalanya. "Kuharap juga begitu."


Kagami masih berusaha mengatur napasnya setelah menempuh kurang lebih enam menit berlari dari rombongan menuju penginapan. Jarak mereka saat itu begitu jauh, dan itu hampir membuat napas Kagami habis. Sebenarnya ia tidak masalah dengan semua itu, berbeda dengan Kuroko yang terkapar di bungalo tepi pantai di depan penginapan yang mereka jadikan tempat istirahat itu.

"Kau masih hidup, 'kan, Kuroko?" tanya Kagami sambil mengibaskan tangannya di depan wajah si surai azure. Jujur saja, saat ini Kuroko benar-benar seperti orang yang akan mati kelelahan.

Kuroko menutupi matanya dengan sebelah lengan. "Ini semua salahmu, Kagami-kun," gumamnya memprotes.

Kagami memincingkan matanya. "Hei, ini semua karena kau meledekku, tahu!"

"Aku tidak meledek Kagami-kun, kok," bantah Kuroko lirih.

"Kau...!" Sebuah tanda perempatan menempel di dahi Kagami. Sebelah tangannya terkepal, namun akhirnya ia menghembuskan napas pasrah. Tidak ada gunanya berdebat dengan Kuroko Tetsuya sekarang, walaupun itu pertanda bahwa pemuda itu sudah mulai kembali ke dirinya yang dulu. Kagami pun bangun dan beranjak dari sana.

"Kau mau kemana, Kagami-kun?"

Kagami menoleh dan tersenyum. "Beli minum. Kau tunggu saja di sini." Ia mengacak-acak surai azure Kuroko.

"Terima kasih, Kagami-kun," balas Kuroko tersenyum. Sosok Kagami pun perlahan mengecil dan akhirnya menghilang di kejauhan.


Akashi Seijuurou berjalan tanpa arah di bibir pantai tempat tinggalnya ini. Melangkah mengikuti kata hati memang terdengar konyol bagi calon pewaris Akashi Corp. itu, namun inilah yang Akashi alami sekarang. Pemuda bersurai crimson itu hanya memastikan apakah ia bisa bertemu lagi dengan orang itu atau tidak. Memang terdengar meragukan, namun tidak ada salahnya memastikan, bukan?

Walaupun ia sering berolahraga, kaki-kaki Akashi juga memiliki batas ketahanan. Perlahan rasa nyeri mulai merayapi telapak kakinya. Tentu bukan Akashi Seijuurou namanya jika ia menyerah sebelum tujuannya tercapai. Pemilik manik heterokrom itu terus berjalan sampai kakinya benar-benar sudah tidak kuat lagi menopang tubuh mungilnya. Akashi pun memilih untuk beristirahat di bungalo di depan sebuah penginapan.

Akashi meluruskan kaki-kakinya. Manik dwiwarnanya itu menjelajah sekeliling. Sudah berselang tiga tahun sejak orang itu pergi, dan sudah berselang tiga tahun pula sejak janji itu terucap. Akashi tidak tahu apa orang itu masih ingat dengan janji itu atau tidak, tapi Akashi yakin bahwa orang itu akan kembali entah kapan itu. Sebenarnya pemuda itu bisa saja melupakannya, namun pemuda yang memiliki manik senada dengan langit musim panas itu terlalu istimewa bagi seorang Akashi Seijuurou.

"Kagami-kun, kau kah itu?"

Sebuah suara yang familiar di telinga Akashi terdengar dari belakangnya. Akashi menoleh. Sesosok pemuda bersurai azure duduk di sana sembari berusaha membuka kelopak matanya. Akashi tercengang. Pemuda surai crimson itu menahan napas ketika manik sosok itu terlihat jelas.

Manik azure...

Manik yang senada dengan langit musim panas...

Manik yang sama dengan manik orang itu...

Tanpa sadar Akashi langsung menubruk sosok itu, menariknya ke dalam pelukan Akashi. Sebuah perasaan lega merayapi dada si surai crimson. Kali ini bukan seringai menakutkan yang terlukis di wajahnya, melainkan seulas senyum. Senyum bahagia. "Kau kembali, Tetsuya. Kau kembali..."

Ya. Akashi berani bersumpah bahwa pemuda yang berada dalam dekapannya ini adalah Kuroko Tetsuya, orang yang begitu ia rindukan selama tiga tahun terakhir ini. Akhirnya Kuroko Tetsuya kembali. Akhirnya Kuroko Tetsuya pulang. Akhirnya Kuroko Tetsuya menepati janji. Akhirnya... Tunggu, apa yang dikatakan Tetsuya tadi? 'Kagami-kun'?

"Maaf..." Tetsuya melepaskan pelukan Akashi. Rasa lega yang sempat Akashi rasakan tadi berubah menjadi firasat yang sama sekali tidak baik. Jangan bilang...

"... Anda siapa, ya?"


Kuroko merasakan ada seseorang yang duduk di bungalo. Cepat sekali Kagami kembali, itulah yang sempat dipikirkan Kuroko. Namun Kagami biasanya memanggilnya terlebih dahulu dari kejauhan sebelum ia mendekati bungalo. Mata Kuroko masih susah untuk dibuka, namun ia berusaha duduk. "Kagami-kun, kau kah itu?"

Tidak ada jawaban. Kuroko masih berusaha untuk membuka matanya. Dan saat cahaya matahari musim panas menyambutnya, tubuh Kuroko seketika ditubruk oleh seseorang.

Surai crimson...

Jujur saja Kuroko tidak mengenal pemuda yang tiba-tiba memeluknya ini. Namun, Kuroko seperti tidak mau melepaskan diri dari dekapan pemuda surai crimson itu. Kuroko begitu merasa nyaman dan begitu... familiar.

"Kau kembali, Tetsuya. Kau kembali..."

Gumaman pemuda itu membuat manik Kuroko membulat. Darimana orang ini tahu namanya? Dan lagi, apa maksudnya 'kembali'? Apakah Kuroko pernah kemari sebelumnya?

"Maaf..." Kuroko melepaskan pelukan pemuda itu dan bertemu pandang dengan sepasang manik heterokrom itu. Pemilik manik itu terlihat... kecewa. Sungguh Kuroko tidak mau melihatnya seperti itu, walau ia tidak tahu kenapa. Tapi...

"... Anda siapa, ya?"

Kuroko merasa seperti ada benda yang menohoknya begitu pertanyaan itu terlontar dari bibir tipisnya. Pemuda itu terlihat semakin kecewa.

"Kau bicara apa, Tetsuya? Ini aku, Akashi Seijuurou," ucap pemuda itu sambil memegangi bahu Kuroko. "Kau tidak ingat padaku?"

Ah, sepertinya Kuroko benar-benar pernah kemari sebelumnya. Sepertinya ia juga mengenal pemuda bernama Akashi Seijuurou itu. Hanya saja kejadian sebulan lalu itu sudah merenggut semua yang terjadi di masa lalu Kuroko.

"Tetsu..."

"Kuroko!"

Sontak Kuroko dan Akashi menoleh. Tampaknya Kagami sudah kembali dari perburuan minumannya dan memperlambat larinya. Walau jauh, Kuroko bisa melihat kilatan heran di manik merah pemuda itu.

Kagami meletakkan plastik berisi dua botol air mineral dan beberapa camilan. "Ini, ambillah. Dan..." Ia menatap Akashi dengan tatapan curiga, "... siapa kau?"

Akashi menyeringai. "Kau sendiri siapa?"

Sebuah tanda perempatan kembali menghiasi dahi Kagami. "Kau...!"

"Kuroko! Bisakah kau kemari sebentar?" Koganei Shinji memanggil Kuroko dari kejauhan sambil melambaikan tangannya ke atas. Rupanya rombongan klub basket Seirin sudah sampai di penginapan.

Kuroko mengambil sebotol air mineral miliknya dan bangkit dari sana. "Terima kasih, Kagami-kun," ucapnya sembari tersenyum, lalu membungkuk di depan Akashi. "Saya permisi dulu, Akashi-san." Kuroko pun berlari kecil menuju tempat Koganei.

"Akashi-san, eh?" gumam Akashi sambil mendengus. "Jadi, kau teman Tetsuya?"

Kagami mengangguk. "Memangnya kau siapa?"

Akashi menerawang. "Aku teman masa kecil Tetsuya," jawabnya. Dan kekasihnya, tambahnya dalam hati.

"Teman masa kecil, ya?" Kagami bergumam. "Apa dia mengenalimu saat melihatmu tadi?" tanyanya.

Kedua alis Akashi bertautan. "Apa maksudmu?" Alih-alih menjawab, Akashi malah balik bertanya.

"Yah, kau tahu, sejak sebulan lalu, Kuroko..." Kagami menggantungkan kata-katanya. Ia mengernyit begitu mengingat apa yang terjadi sebulan silam. Karena ia membiarkannya sendirian, Kuroko...

"... kehilangan ingatannya."


Banyak yang tidak menyadarinya, namun para orang yang jeli bisa melihat kilatan kaget di manik dwiwarna Akashi. Tetsuya kehilangan ingatannya? Jadi, Tetsuya tidak ingat apapun yang terjadi sebelum sebulan lalu? Itu berarti Tetsuya juga tidak ingat dengan dirinya dan masa-masa tiga tahun lalu? Pantas saja tadi Tetsuya tidak mengenali Akashi. Oh, tolong katakan pada Akashi Seijuurou kalau ini hanya bercanda.

"Kenapa Tetsuya bisa amnesia?" tanya Akashi lirih. Sorot iris heterokrom itu meredup.

Kagami terdiam. Diam-diam ia menghela napas. Kejadian sebulan lalu itu masih disesalinya. Dan kini potongan-potongan peristiwa itu tersusun kembali di benaknya. Sungguh, Kagami ingin kembali ke saat itu. Namun, waktu tidak bisa diulang dan Kagami harus menerima semua yang sudah terjadi, walau ia tak ingin.

.

.

.

Para anggota klub basket Seirin sudah menyelesaikan latihan sore mereka seperti biasa. Namun, sepertinya kali ini sedikit berbeda. Musim panas sudah datang, dan sebulan lagi liburan musim panas akan menyambut mereka. Disamping memikirkan rencana latihan tambahan yang akan diadakan pelatih selama tiga hari di awal liburan, mereka sudah memiliki tempat tujuan yang akan dikunjungi mereka kelak. Tak jauh berbeda dengan anggota yang lain, duo cahaya-bayangan itu juga tampak membicarakan rencana liburan mereka saat perjalanan pulang.

"... sepertinya festival hanabi kali ini lumayan menarik. Mungkin aku akan... Hei! Kau dengar tidak, Kuroko?!" Sebuah tanda perempatan muncul di dahi Kagami yang dari tadi diacuhkan oleh pemuda surai azure yang berjalan di sampingnya itu. Bayangkan saja, sudah lima menit Kagami mengoceh namun Kuroko hanya berkonsentrasi pada vanilla milkshakenya tanpa merespon satupun perkataan Kagami. Itu menyakitkan sekali.

Kuroko menatap Kagami dengan wajah tak berdosanya. "Maaf, Kagami-kun," gumamnya lirih.

Satu lagi tanda perempatan menghiasi dahi Kagami. Ia sudah sering berdebat dengan Kuroko Tetsuya dan itu sama sekali tidak berguna. Sebenarnya berdebat dengan Kuroko cukup seru, namun kadang itu bisa memicu penyakit darah tinggi Kagami jika diteruskan. Akhirnya pemilik surai merah itu hanya menghembuskan napas menyerah. "Jadi, kau mau berlibur kemana setelah latihan tambahan musim panas?" tanyanya kemudian.

Surai azure itu terdiam, lalu kembali menatap Kagami dengan manik bulatnya yang menggemaskan. "Entahlah, mungkin hanya menemui seseorang..."

Kening Kagami berkerut. "Menemui seseorang?" ulangnya. "Siapa?"

Kuroko tersenyum misterius. "Itu rahasia, Kagami-kun."

"Tch!" Kagami membuang mukanya. Ia termenung. Jujur saja pemuda bermanik merah itu penasaran dengan orang yang ingin ditemui Kuroko itu. Saudaranya kah? Temannya kah? Atau mungkin orang yang disukai Kuroko? Kagami baru mengenal Kuroko saat penerimaan siswa baru dua setengah bulan lalu dan Kagami belum terlalu tahu banyak tentang hal yang berkaitan dengan pemuda bermanik azure itu. Jika Kuroko memang mempunyai orang yang disukai, sepertinya Kagami harus berjuang mulai sekarang.

"Sepertinya kita harus berpisah di sini, Kagami-kun." Kuroko menghentikan langkahnya saat mereka sudah berada di dekat jembatan penyeberangan.

Kagami memiringkan kepalanya. "Memangnya ada apa?"

"Aku masih ada sedikit urusan di kantor pos," jawab Kuroko sambil menepuk tas sekolahnya.

"Perlu kutemani?" tawar Kagami.

Kuroko menggeleng. "Tidak, Kagami-kun. Terima kasih," tolaknya sopan. "Sore ja, mata gakkou e*," tambahnya.

"Oke. Hati-hati, ya!" Kagami mengangkat sebelah tangannya. Kuroko tersenyum tipis, lalu membungkukkan badannya. Pemuda mungil itu berjalan menaiki jembatan penyebrangan, meninggalkan Kagami yang masih terlarut dalam pemikirannya sendiri. Ia baru mulai melangkah ketika mendengar sebuah pekikan dari seberang sana. Sontak Kagami memutar kepala ke sumber suara. Ia tercengang, dan di saat itu juga Kagami berharap bahwa yang dilihatnya ini hanya mimpi belaka.

.

Sudah lima hari semenjak petaka itu terjadi. Kuroko Tetsuya, yang baru beberapa saat terlepas dari pandangan Kagami, terpeleset dari tangga jembatan penyebrangan dan belum sadar hingga saat ini. Kagami sudah membawa Kuroko ke rumah sakit dan menghubungi orang tua pemuda itu, namun rasa bersalah itu masih merayapi Kagami. Seandainya saja ia mengabaikan penolakan Kuroko waktu itu, mungkin hal ini takkan terjadi.

Surai merah ini adalah salah satu pengunjung setia Kuroko setelah kedua orang tua pemuda azure itu. Kagami melangkah masuk ke dalam rumah sakit dan melempar senyum pada resepsionis yang sudah dikenalnya. Bau obat langsung menyambut Kagami di sana. Ia langsung menuju lift yang membawanya ke lantai dua, tempat Kuroko dirawat.

"Kau kemari lagi, Kagami?"

Sebuah suara di belakangnya itu membuat Kagami menoleh. Refleks ia membungkuk pada Kuroko Tetsuko, ayah Kuroko Tetsuya. Ia mengulum senyum. "Bagaimana keadaan Kuroko, Paman?"

Wajah Kuroko Tetsuko terlihat sumringah. "Baru saja Haruna memberi kabar bahwa Tetsuya sudah sadar," katanya senang. "Aku sudah tidak sabar ingin menemui Tetsuya!"

"Aku juga, Paman," tambah Kagami. Ia kembali mengulum senyum. Kuroko sudah sadar. Akhirnya Kagami bisa melihat manik azure itu lagi.

Lift yang membawa mereka kini sudah sampai di lantai dua. Kagami dan Tetsuko melangkah keluar dari ruangan kecil itu. Sosok Kuroko Haruna terlihat dari kejauhan. Tetsuko mempercepat langkahnya.

"Bagaimana keadaan Tetsuya?" tanya Tetsuko begitu berdiri di depan istrinya.

Haruna tersenyum, namun Kagami tahu bahwa itu adalah senyum terpaksa. Diam-diam Kagami menelan ludah. Perasaan tidak enak mulai menyelimutinya.

Wanita muda itu terlihat menundukkan kepalanya. "Tecchan baik-baik saja, tapi..."

"Tapi apa?" tanya Tetsuko tidak sabar.

Jemari Haruna saling meremas gelisah. "Sepertinya Tecchan..." Wanita itu menghela napas. Firasat buruk mulai merayapi Kagami. Jangan bilang kalau Kuroko...

"... hilang ingatan."

.

.

.

"Oi, Bakagami! Kenapa kau malah santai-santai di situ?! Ayo bantu kami!" teriak Hyuuga Junpei, kapten tim Seirin.

"Baik!" balas Kagami agak merinding. Ia mengambil barangnya yang dari tadi belum disentuh. Dilihatnya teman masa kecil Kuroko yang terdiam mematung. Kagami yakin orang itu kaget mendengar penjelasannya tadi, namun si surai merah itu hanya mengangkat bahu. "Kau mau percaya atau tidak, itu terserah padamu. Tapi kuharap kau bisa membantu kami mengembalikan ingatan Kuroko," ujarnya, namun surai crimson itu masih tidak bergeming. Kagami menghela napas, kemudian berlalu meninggalkan Akashi di bungalo.

Akashi masih setengah tidak percaya, tentu saja. Tapi, itulah yang terjadi dan Akashi tidak bisa mengelak darinya. Tetsuya-nya kehilangan ingatan, kenyataan itu tidak bisa diterimanya begitu saja. Akashi harus mengembalikan ingatan Tetsuya, apapun yang terjadi.


Kuroko merasa sedikit aneh. Sejak bertemu dengan Akashi Seijuurou, pemuda itu selalu muncul dimanapun Kuroko berada. Sejujurnya itu bukan masalah bagi Kuroko, tapi Kuroko merasa tidak enak dengan teman-teman satu klub-nya, seperti sekarang ini.

Akashi bersandar di ambang pintu sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Pemilik manik heterokrom itu masih setia menunggu latihan Kuroko seperti biasa. Hari ini adalah hari terakhir latihan musim panas klub basket Seirin, dan Akashi masih berpegang teguh pada tujuannya untuk mengembalikan ingatan Kuroko. Akashi harus membuat Kuroko sembuh apapun caranya.

Bunyi peluit panjang mengakhiri latihan tambahan siang ini. Anak-anak klub basket itu diberi kesempatan untuk beristirahat sebelum pulang di sore harinya. Akashi yang sejak tadi tidak bergeming kini berjalan menghampiri Kuroko yang sedang bersandar di dinding sambil menyeka peluhnya. "Kau lelah?" tanyanya perhatian.

Kuroko menggeleng pelan. "Tidak, Akashi-kun. Terima kasih sudah menanyakan itu padaku." Si surai azure itu bangkit lalu melangkah keluar gym. "Jadi, kemana lagi kita akan pergi?" tanyanya.

Akashi mendengus dan terkekeh pelan. "Kau benar-benar ingin menghabiskan waktumu denganku, nee?" godanya. Pemuda dengan manik senada dengan langit musim panas itu memang minim ekspresi, namun Akashi tahu jika pipi Kuroko merona sekarang. Ia mempercepat langkahnya dan meninggalkan Akashi yang sedang tersenyum-senyum sendiri di sana.


Akashi mengajak Kuroko menyusuri pantai sampai mereka tiba di tanggul dengan bukit menjulang di sisi kanannya. Sang raja siang mulai condong ke barat. Akashi merogoh ponselnya dan menatap angka besar yang tertera di layarnya. Pukul setengah empat. Rombongan Seirin kembali pukul lima, itulah yang dikatakan pelatih pada Akashi tadi. Setidaknya ada lumayan banyak waktu yang akan dihabiskan Akashi bersama si surai azure sebelum pemuda itu pulang.

Sambil menggenggam tangan Kuroko erat, Akashi menaiki tangga dan naik ke atas tanggul. Lengkingan camar mengisi kesunyian di antara mereka berdua. Akashi membimbing Kuroko untuk duduk di sampingnya dan membiarkan kaki mereka bebas menggantung. Pemilik manik heterokrom itu menghirup napas dalam-dalam, membiarkan angin laut mengisi rongga paru-parunya. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Kuroko.

Kuroko menatapnya heran. "Akashi-kun?"

Kelopak mata Akashi menutup sepasang manik heterokromnya. "Biarkan aku seperti ini, sebentar saja."

Kuroko memiringkan kepalanya, lalu tersenyum simpul. Akhirnya mereka tetap seperti itu sampai semburat senja mulai memoles birunya langit.


Kuroko terbangun karena ponsel yang berada di saku celananya bergetar. Ia mengucek sebelah matanya lalu menguap pelan. Ternyata angin laut begitu memanjakannya sampai ia tertidur di sana. Bahunya masih terasa berat. Diliriknya Akashi Seijuurou yang masih terlelap di sana. Bibir Kuroko membuat sebuah kurva. Dengan hati-hati ia mengeluarkan ponselnya agar Akashi tidak terbangun.

Satu pesan masuk dari Kagami Taiga.

From : Kagami-kun

Subject : Ayo cepat!

Kau kemana? Ayo siap-siap! Pelatih sudah mencarimu dari tadi.

- END -

Kuroko mengerling ke arah angka yang tertera di sudut kanan atas layar ponselnya. Pukul lima kurang dua puluh. Pantas saja mereka sudah mencarinya. Sepertinya tidur siang Kuroko sedikit lebih lama—sebenarnya ia tidur selama kurang lebih tujuh puluh menit—dari biasanya. Ia menghela napas. Kelopaknya menyembunyikan sepasang iris azure yang sewarna dengan surainya, menikmati angin laut yang menghembus pelan. Suara para camar yang bersautan menyatu dengan desir ombak yang menerpa daratan. Cahaya senja yang lembut membuat Kuroko menjadi hangat. Sekali lagi ia melirik Akashi yang masih tertidur tenang di bahunya. Kuroko ingin terus seperti ini, tapi kali ini ia harus pulang. Ia tidak ingin pergi, namun sayangnya tempat ini bukanlah rumahnya.

"Kita bisa meluapkan semua emosi kita di sini karena ini adalah tempat kita. Dan walaupun kita berpisah, kita akan bertemu kembali di sini karena di sinilah rumah tempat kita pulang."

Kuroko mengernyit. Kepalanya sakit seiring suara itu menggema di benaknya. Apa itu tadi? Apakah ada kepingan memori yang kembali Kuroko ingat? Ia berusaha untuk mengingat lebih jauh lagi, tapi itu percuma. Usahanya itu hanya menambah rasa sakit di kepalanya. Ia merenung. Rumah tempat kita pulang...

"Ada apa, Tetsuya?"

Kuroko menoleh, tak menutup fakta bahwa ia sedikit terkesiap tadi. Surai azure itu tampak terlalu berkonsentrasi pada dunianya sendiri sampai tak menyadari bahwa bahunya lebih ringan dari sebelumnya. Ia tersenyum tipis, lalu menggeleng.

"Sepertinya kau menggumamkan sesuatu tadi," kata Akashi bersikeras. "Apa ada masalah?"

Kuroko tetap menggeleng. "Aku tidak apa-apa, Akashi-kun," jawabnya singkat. Hanya saja, sepertinya aku mengingat sesuatu dari masa laluku, tambahnya dalam hati.

"Benarkah?" Akashi berdiri, lalu mengulurkan tangannya. "Kalau begitu kita harus kembali. Langit semakin gelap dan aku yakin teman-temanmu sudah menunggu."

"Hai." Kuroko menyambut uluran tangan Akashi dan menuruni tanggul. Bayangan mereka yang memanjang karena mentari yang sudah beranjak pulang ke peraduannya seolah terukir di pasir pantai yang mulai sepi.


"Terima kasih karena sudah mengajakku berkeliling, Akashi-kun," ucap Kuroko sambil membungkuk pada Akashi. Ia berada beberapa langkah di belakang rombongan yang sedang menunggu bus mereka.

"Kau terlalu formal, Tetsuya." Akashi mengacak-acak surai azure Kuroko pelan. "Sama seperti biasa."

"Eh?"

"Ayo, Kuroko! Bus kita sudah datang!" teriak Kagami yang sudah berada di ambang pintu bus.

"Hai!" balas Kuroko. "Aku pergi dulu, Akashi-kun. Sampai jumpa di lain waktu." Ia kembali membungkuk lalu melangkah menuju busnya. Namun, langkahnya terhenti ketika Akashi menahan sebelah tangannya.

"Ada apa, Akashi-kun?"

Akashi hanya diam. Beberapa detik kemudian, ia menarik Kuroko mendekat dan mengecup kening si surai azure. Kuroko terkesiap. Sepertinya wajahnya merona sekarang.

"Akan kukembalikan semua ingatanmu, Tetsuya. Aku janji," bisiknya sembari meletakkan sebuah benda di genggaman Kuroko. "Sore ja, mata nee." Ia tersenyum dan mengangkat sebelah tangannya, kemudian melangkah pergi dari tempat itu.

Kuroko masih tercengang dengan apa yang dilakukan Akashi tadi. Ia membuka genggaman tangannya. Sebuah cangkang kerang dengan salah satu ujung berbentuk runcing itu berada di sana. Di dalam cangkang itu terselip secarik kertas. Kuroko mengambilnya dan membaca isi kertas itu. Seketika saja Kuroko kembali merona.

"Oi, Kuroko! Apa yang kau lakukan di situ?! Ayo berangkat!"

Aishiteru, Kuroko Tetsuya. Daijoubu, kimi no omoide wa sugu ni modoru kara.**


Akashi terheran-heran dengan keadaan mansionnya yang begitu sepi tanpa ada tanda kehidupan. Di mansion Akashi yang ini memang hanya ada sedikit maid yang bekerja, namun biasanya setidaknya ada seorang yang menyambutnya begitu pulang. Bukannya Akashi berharap agar kepulangannya disambut, hanya saja ini sedikit aneh begitu mendapati mansion besar ini lengang.

Sayup-sayup Akashi mendengar suara orang berbincang dari ruang tamu. Ia merasa lega karena masih ada kehidupan di mansionnya ini. Surai crimson itu melanjutkan langkahnya menuju kamar. Sebuah kurva terlukis di wajahnya. Ia senang dengan reaksi Kuroko tadi. Sudah lama Akashi tidak melihat Kuroko berwajah seperti itu. Dan sekarang Akashi bertanya-tanya bagaimana ekspresi Kuroko setelah membaca tulisannya di kertas yang diselipkan di dalam cangkang kerang yang Akashi berikan padanya tadi.

"Kau sudah pulang, Seijuurou?"

Akashi menoleh. Terlihat Akashi Shizuo—ayah Akashi Seijuurou—yang berada di ruang tamu duduk berseberangan dengan pria tinggi besar dan memiliki wajah ke-eropa-an. "Hai, Otousama. Ada yang bisa Seijuurou bantu?"

Shizuo tersenyum. "Bisakah kau kemari sebentar?"

Akashi mengangguk, lalu duduk di sebelah Shizuo. "Ada apa, Otousama?"

"Perkenalkan, dia Monsieur Raoul Tresson, kepala Lembaga Pendidikan Perancis dan kerabat lama Otousama."

"Bonjour, Monsieur Seijuurou," sapa pria itu dengan logat perancisnya yang kental sambil mengulurkan tangannya.

Akashi menjabat tangan pria itu. "Bonjour, Monsieur Raoul. Senang bertemu dengan Anda," balasnya.

Shizuo berdeham pelan. "Baiklah, maksud Raoul datang kemari adalah memintamu untuk mengenyam pendidikan di lembaganya. Karena itu, Seijuurou..." Shizuo tersenyum lebar, "... kau akan berangkat ke Perancis musim panas tahun depan."

.

.

.

To be Continued


A/N

* Kalau begitu, sampai jumpa di sekolah nanti.

** Aku mencintaimu, Tetsuya. Tenang saja, ingatanmu pasti kembali.

Italic : flashback

.

.

Eh, ehm... Konnichiwa, minna-san! Kitsuneshi Rei-ssu. Saya masih tidak percaya kalau saya benar-benar mempublish fic ini mengingat keadaan saya yang (cukup) memprihatinkan pasca tes akademik untuk menentukan arah peminatan di SMA.

Yak, tolong maklumi saya yang sedang konslet ini, minna-san. Ngomong-ngomong, ini adalah fic ketiga yang saya publish di sini. Saya sempat takjub sendiri begitu sadar bahwa saya yang (sekarang) cukup krisis ide bisa ngebut membuat fic ini.

Saya sangat berterimakasih pada San-senpai yang selalu memberi saya semangat semenjak tahun ajaran baru ini, Hai-niichan yang sering meledek saya saat merangkum fillum yang kebanyakan berisi makhluk bernama cacing (padahal dianya juga geli sama cacing), teman-teman saya, dan para reader-tachi yang sudah mau membaca/me-review/mem-fav/mem-follow fic saya yang gaje ini.

Well, seperti biasa : review, please? ;)