COMING HOME

DONGHAE X HYUKJAE

.

.

Fafic ini diremake dari sebuah novel yang juga berjudul COMING HOME karya Sefryana Khairil dari penerbit Gagas Media. Dijadikan dalam bentuk versi Boys Love dengan sedikit perombakan, pengurangan dan penambahan disana-sini disesuaikan dengan kebutuhan alur cerita.

Bagi yang kurang berkenan dengan sesuatu yang berhubungan dengan Remake dan Boys Love/Yaoi harap segera menyingkir demi kenyamanan bersama.

.

.

Thank You

.

.

Happy Reading

.

.

Hidup sendiri ternyata lebih gampang diucapkan ketimbang dijalani.

Mencari orang untuk dicintai sepenuh hati juga tak kalah rumitnya.

Tapi tak ada yang lebih sulit daripada, jatuh cinta kepada orang yang pernah membuatmu bersumpah tak akan pernah mencintai siapa pun lagi. Orang yang tak ingin lagi kau temui seumur hidup. Orang yang dulu pernah menduakan cintamu.

Orang yang bersamamu pernah bersumpah dihadapan Tuhan akan selalu mencintai selamanya.

Ya, dialah orang yang kumaksud.

Dia yang kusebut sebagai 'mantan suamiku'

.

.

BAB 1

Here comes the rain again

falling from thr stars

dranched in my pain again

becoming who we are

ass my memory rests

but never forgets what i lost

-" Wake Me Up When September End's" Green Day-

.

.

.

Aku, satu-satunya yang merasa seperti ini.

Rangkaian kereta api bergerak semakin pelan begitu memasuki Stasiun Busan, hingga akhirnya berhenti. Donghae mengenakan jaket dan ranselnya, tetapi masih tetap duduk di tempatnya, menunggu hiruk-pikuk di sekitarnya reda. Dipakaikannya topi biru muda bergambar minnie mouse di kepala Haru, gadis kecil yang masih tertidur pulas di sampingnya dan di usapnya punggungnya perlahan ketika anak itu mengeluarkan suara-suara –seperti mengigau. Donghae merasa tidak sedang tergesa, tidak sedang ditunggu. Bahkan, ia tidak mempunyai berbagai kemungkinan apa pun.

Saat menapakkan kaki di peron, Donghae menghentikan langkahnya. Di sekililingnya, penuh dengan orang berlalu-lalang cepat, membawa barang-barang. Sungguh, ia tidak tahu apa yang akan ditemuinya di kota ini. Membayangkannya pun tidak mampu. Suram, berbaur-baur, tak menentu. Dihatinya muncul perasaan gamang, tidak yakin dengan apa yang dijalaninya kini. Dunia sekitarnya menjadi terasa sempit, meninggalkan dirinya bersama anak yang tergolek di bahunya.

Di hadapannya, seorang perempuan hamil besar memeluk laki-laki yang baru datang. Wajah keduanya tampak berbinar. Walaupun sang laki-laki masih tampak lelah, terlihat bahagia. Ya, bahagia. Kebahagiaan. Donghae menyadari satu hal itu yang lama menghilang dari kehidupannya. Kapan kali terakhir ia merasakannya? Mungkin, beberapa tahun lalu dan itu pun tak pasti –ia benar-benar bahagia atau hanya ilusinya saja.

Di luar halaman Stasiun Busan, udara pagi lembut bercampur dingin menyeruak ke pori-pori kulitnya. Hari masih terlalu pagi, masih terasa hembusan angin dan percik air hujan sisa semalam. Laki-laki itu berdiri, tidak mau menunggu lama, Donghae lekas memillih taksi. Sopir pun segera membukakan pintu untuknya.

Setelah mengatakan tujuannya, Donghae menyandarkan punggung di sandaran jok yang tak terlalu empuk, Pusat kota Busan masih tampak lengang. Pertokoan sepanjang jalan masih tutup. Sesekali, terlihat orang berjalan pagi, menikmati udara pagi. Kendaraan umum sudah banyak melintas. pohon-pohon besar tampak menaungi jalan, tempat matahari bersembunyi di antara celah celah daunnya.

"Appa..."Haru disampingnya terbangun, masih menyandarkan kepalanya di lengan sang Appa. Matanya masih mengerjap-ngerjap dan mulut mungilnya menguap. "Kita sudah sampai, ne Appa"

Donghae mengusap perlahan rambut putrinya, "Iya, Chagi." Lalu, mengeluarkan sebungkus roti dari sakunya. "Makan dulu." Anak itu menerima dengan tangan lemas, "Haru juga ingin susu, Appa" katanya sambil membuka pembungkus roti.

Drrttt

Tangan Donghae yang hendak mebuka tas, terhenti. Dilihatnya nama 'Eomma' tertera di layar ponselnya. Tidak tahu kenapa ada perasaan enggan yang membuat ibu jarinya berlama-lama di layar untuk menjawab, tapi akhirnya ditekan juga.

"Ne, Eomma?" Ada yang tertahan dalam perasaannya saat memulai percakapan.

"Kau sudah sampai, Hae? Kenapa tidak memberi tahu Eomma?" Suara Ibu Donghae terdengar khawatir.

"Aku baru sampai Eomma, keretanya terlambat satu setengah jam,"

"Ah begitu,ya sudah" Suara Ibu Donghae sedikit lebih tenang. "Apa Haru baik-baik saja, Hae?" Donghae memindahkan ponsel ke telinga kanannya, pandangannya menelusuri kota di luar jendela. Sekilas dilihatnya Haru, gadis kecil yang tengah menikmati roti strawberry di sampingnya. "Ne, Eomma, Haru sedang memakan rotinya"

Merasa dirinya sedang dibicarakan, Haru menoleh, "Halmoni ne Appa?" bisiknya. Tapi, sang Ayah hanya tersenyum, membuatnya kembali duduk dengan mimik penasaran.

"Jangan lupa untuk memberi Haru vitamin, Eomma sudah taruh di kantong depan tasnya"

Donghae menghela napas panjang, "Ne Eomma"

"Kau tidak lupa jaket dang selimutnya Haru kan? Ingat, Haru itu kalau terkena udara dingin gampang terkena flu"

"Arraseo" Donghae tidak mendengar jelas apa yang baru saja dikatakan ibunya, pikirannya terlalu penuh untuk ditambahkan memori-memori baru.

"Kau itu, Hae, dari tadi hanya iya, iya saja jawabnya." Eomma mendesah kesal. "Hae, jujur Eomma masih bingung, untuk apa kau jauh-jauh ke Busan? Disana sudah tidak ada siapa-siapa. Kalau mau mencari kerja, di Seoul banyak kan'?

Donghae memijit kepalanya yang mulai terasa pening. Bingung harus menjelaskan bagaimana lagi kepada sang Eomma mengenai kondisinya. Sekilas diliriknya lagi Haru yang masih duduk tenang dengan rotinya sembari melihat keluar jendela.

Mendengar tak ada sahutan dari putranya, Eomma melanjutkan. "Hae, dinginkan kepalamu. Jangan terbawa amarah, tidak baik. Hidup yang bahagia itu kalau kau bisa melepaskan perasaan-perasaan buruk yang kau buat sendiri."

Donghae mengerjapkan mata, menahan gemuruh batinnya. "Eomma, sudah dulu ya. Nanti aku telepon lagi."

"Ya sudah, kau harus menjaga kesehatan. Jaga Haru juga. Kalau ada apa-apa, cepat telepon. Annyeong"

"Ne, Annyeong Eomma." Donghae meletakan ponselnya, kembali menghela napas. Terasa berat. Sangat berat. Persis jalan hidupnya yang dilalui kini.

"Appa tidak mau?" Haru menyodorkan rotinya.

Donghae melihat putrinya dan tersenyum. "Appa sudah kenyang, Haru. Haru saja yang habiskan ya."

Haru mengangguk-anggukan kepalanya, melanjutkan makannya dengan tenang. "Appa, Kapan kita akan pulang? Haru kangen sama Halmonie."

Donghae hanya tersenyum. Ia mengusap rambut putrinya. Kita sudah pulang, Sayang. Tapi, ia tahu Haru tidak akan mengerti mengapa mereka harus ke sini. Dan, ia sendiri juga tidak tahu berapa lama mereka akan di sini. Setahun, dua tahun, atau mungkin... selamanya.

.

.

.

Donghae berdiri memunggungi ruang keluarga yang luas dan lenggang. Perabotan rumah hampir semua ditutupi kain putih berdebu. Sepi, hening. Hanya terdengar plastik yang seluruhnya isinya dikeluarkan Haru, mencari sesuatu yang bisa dimainkan. Wajah mungil itu tampak serius menekuri satu-satu benda yang ditemukannya. Seisi rumah ini kebanyakan laki-laki-Ayah, Donghae dan satu Hyung-nya. Mainan yang mereka memiliki tidak jauh dari mobil-mobilan atau robot yang sudah buntung-buntung hasil rebutan saat mereka masih kecil.

Laki-laki itu memandang ke luar jendela kayu. Kali terakhir ia berdiri di sana, sekitar tiga tahun yang lalu, saat pemakaman Ayah. Saat itu, ia tidak berkata banyak, hanya menyimak ucapan belasungkawa, mendengar isak tangis, dan mencoba membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya. Sayangnya, tidak satu pun dari bayangannya terwujud. Dan, itulah yang paling menyesakkan dadanya kini, ketika begitu jauh ia melarikan diri, tetapi, ternyata tidak cukup jauh ia melarikann diri, tetapi, ternyata tidak cukup jauh melarikan semuanya.

Donghae memilih kembali ke kota ini bukan tanpa alasan. Ia menikmati masa kecilnya disini. Hidupnya bermula di kota ini hingga Senior High School pindah ke Seoul. Dulu, setiap pagi selalu tercium bau tanah basah yang disukainya. Di sisi taman, Ayah duduk dengan koran dan secangkir kopi. Kicau burung yang merdu. Berjalan bersama teman-teman menuju sekolah melewati jalan yang sebagian masih tanah berbatu. Kehidupan terasa begitu bersinar, begitu nyaman untuk dilewati, begitu tidak ingin cepat berakhir.

Tetapi, waktu begitu cepat berjalan. Kehidupan berubah arah. Sama seperti kebun di samping rumah yang sudah berubah warna. Kuntum-kuntum mawar berubah menjadi kecoklatan, kering. Rumput yang dulu selalu mencipatakan keindahan embun tampak menguning. Semak-semak lebat mengelilingi rumah dan alang-alang mengisi jalan setapak berkerikil menuju rumahnya. Tempayan yang biasanya diisi ikan hias, tidak lagi terurus. Benar-benar hampa. Mungkin, dulu dia sudah merasakan cukup banyak kebahagiaan sehingga kenyataan merasa perlu membawanya jatuh berdebum di tanah.

Donghae memejamkan matanya, berusaha menyingkirkan kekacauan hidupnya, tapi batinnya tetap tidak bisa tenang. Pikirannya tetap kusut. Ia kembali membuka mata dan tetap meringis menyadari kebahagiaan hilang satu per satu dari hidupnya. Dulu, ia pernah mengatakan, ketika sudah melangkah jauh,tidak mungkin menoleh kebelakang lagi. Namun, sekarang, justru sebaliknya. Sangat lucu-ironis.

Donghae membuka daun jendela lebih lebar, kemudia melangkah ke samping rumah. Ke sebuah ruangan gelap dan pengap berisi keramik-keramik pajangan yang rusak, serta sebuah mobil di balik kain parasut abu-abu. Tak ada lagi yang tersisa. Dongha berdiri di kegelapan ruangan itu.

Andai saja bisa mengendalikan kehidupan sendiri. Andari bisa memilih ingin hidup atau mati. Donghae merasa jantungnya berdebar kuat, mengalirkan gelisah. Matanya terpejam erat, mencoba melihat di mana ujung jalan yang di laluinya.

"Appa, lihat ini!"

Donghae membuka mata, melihat putrinya berdiri di pintu menunjukan boneka pororo miliknya dulu. Senyumnya terulas melihat keceriaan itu. Ia tidak memerlukan apa pu lagi. Tidak ingin menitipkan harapan terlalu tinggi. Ia akan membangun hidupnya dengan kekuatannya sendiri. Perjalanan masih belum berakhir. Entah sampai kapan dan dimana.

.

.

.

TBC

.

.

.

Bagaimana? Adakah yang berminat membaca lanjutan fanfic remake ini? Sebelumnya mohon maaf kepada kalian yang kurang nyaman dengan semua hal yang berbau ramake, apalagi ini dari novel yang mungkin hanya sedikit dari kalian yang pernah membacanya. Novel karya Sefryana Khairil ini bener-bener bikin aku 'ngebet' banget buat dijadiin HaeHyuk Versi. Jadi beginilah, selain untuk kenyamanan diri sendiri /karena versi aslinya straight/ aku pikir apa salahnya berbagi ke temen-temen HaeHyuk lain. Sekedar meramaikan ff HaeHyuk yang mulai melangka dan biar bisa jadi obat rindu karena HaeHyuk yang sedang mejalankan kewajiban sebagai warga negara Korea Selatan.

.

.

.

Big love

Cutie Monkey