~~Survival.
Niat awalnya one-shot, tapi karena kepanjangan dibagi jadi 3 bagian, ehehe.
Disclaimer: Characters © Crypton Future Media, AH Software, Internet, 1st Place, Yamaha, i-style Project.
Ah, lagi-lagi langit berubah warna menjadi jingga; tidak lama lagi matahari juga akan benar-benar hilang dari pandanganku. Gelap akan menyelimuti, begitu juga dengan mimpi. Dan hanya dalam waktu yang singkat, kegelapan akan berlalu begitu saja dan matahari akan menampakkan wujudnya. Satu hari berlalu dan satu hari datang menggantikannya—begitu saja.
Benar benar begitu saja.
Kesempatan demi kesempatan juga terus datang dan pergi begitu saja, ikut terhapus seiring dengan terhapusnya 'kemarin'. Dan bukannya kesempatan itu kubiarkan lewat; aku selalu berusaha menggunakan kesempatan-kesempatan tersebut. Aku hanya… mungkin belum beruntung.
Haruskah aku terus membiarkan waktu berlalu? Haruskah aku mengganti caraku untuk menggapai hal tersebut? Atau haruskah aku berhenti?
The Researcher
Part One
"Lagi-lagi aku melewatkan kesempatan di hari kemarin!"
Seorang gadis berambut lavender mengangkat alisnya heran. "Rasanya hal ini mulai menjadi rutinitas ya, Rin-chan?" ia berkata, "Kau datang ke depanku, melaporkan soal perkembangan upayamu—yang kebanyakan berupa keluhan kegagalan…"
"Ya, mau bagaimana lagi, Yukari-chan?! Memang begitu keadaannya," aku memukul meja di hadapanku dengan kepalan tanganku.
Ya. Selama ini aku mencari; terus mencari, menghabiskan hari-hari, membuang kesempatan yang ada untuk menemukan. Tetap saja, nihil. Aku bahkan tidak tahu lagi sudah berapa lama ini berlangsung, tapi sepanjang waktu ini aku belum berhasil menemukan. Menemukan… sesuatu. Sesuatu yang penting. Hal yang sampai sekarang belum berhasil kulakukan.
"Ini sudah berlangsung cukup lama, lho. Masa' kau belum juga berhasil menemukan hal yang mungkin ia sukai, sih?" kata Yukari. "Sekadar saran, mungkin kau harus membangkitkan jiwa stalker-mu dibandingkan terus menerus melakukan penelitian mengenai sifat laki-laki… atau apalah itu. Kau tidak akan membuang waktu dengan cara seperti itu."
"Ta-tapi…!" seketika aku mengeraskan suaraku, sama sekali tidak menyetujui saran Yukari. Jiwa stalker? Yang benar saja; aku bukan orang yang melakukan hal sejenis itu. Melakukan penelitian berdasarkan teori dan pemikiran yang ada akan berujung lebih baik dibandingkan dengan menguntit.
Singkat cerita, yang terjadi di sini adalah aku, Kagamine Rin, seorang gadis yang sekarang ini menduduki bangku kelas dua SMA, sedang berusaha untuk mencari tahu kegemaran seorang laki-laki. Tujuan utamanya hanya untuk memberikannya kado yang kira-kira akan ia sukai, tapi pada kenyataanya hal ini berlangsung terlalu lama—sudah berapa kali aku melewatkan ulang tahunnya dengan tidak memberikannya kado karena aku tidak tahu apa yang harus kuberikan?
Di hadapanku adalah Yuzuki Yukari, teman sejenis dan juga seumuran yang kutemui pada awal masa SMP, semenjak itu kami berdua menjadi teman yang cukup dekat. Dan karena itu, ia mengetahui betul keinginanku untuk memberikan… laki-laki itu kado. Yukari merupakan penasihatku dalam penelitian yang kulakukan. Dapat dikatakan, ia sudah lumayan banyak membantuku.
"Apanya lagi yang tapi, Rin-chan? Bukankah kau sudah membuang terlalu banyak waktu?" dengan ketus Yukari berkata. "Tidakkah kau menyadari kalau kau akan melewatkan ulang tahunnya lagi, Rin-chan? Serius—yang perlu kau lakukan adalah menjadi tak terlihat, dan pasang matamu pada Len-senpai. Perhatikan baik-baik apa yang ia lakukan, apa yang ia katakan, dan kau bisa mendapatkan jawabannya dari situ!"
Satu lagi yang harus kukatakan. Len, laki-laki yang sedari tadi kusebut. Ia merupakan kakak kelas, yang berarti ia menduduki kelas tiga sekarang. Ia adalah mantan ketua OSIS, tapi sampai sekarang orang-orang juga masih menghormatinya. Memang harus kuakui, ia memiliki wibawa… dan memang itulah yang membuatku sangat kagum padanya sejak SMP, atau mungkin lebih lama dari itu, entahlah. Tidak hanya dalamnya, penampilan luarnya pun dapat dikatakan baik. Tinggi dan bobot yang proporsional, wajah yang menawan, suara yang—
"Nah, aku tahu kau diteleportasi ke Dunia Len sesaat setelah aku menyebut namanya," tiba-tiba Yukari berkata, dan itu membuyarkanku dari… Dunia Len. "Benar 'kan?" ia menambahkan.
Seketika wajahku memanas. Dengan terbata-bata aku (berusaha) mengelaknya, "Bu-bukan, hanya sedang memikirkan… metode lain, kok."
Sepertinya usahaku berhasil karena Yukari tidak menggubris hal tersebut lagi. "Dan kau tidak ingin mempertimbangkan metode yang tadi kukatakan terlebih dulu?" tanyanya.
"Aku tidak akan melakukannya! Bukankah itu melanggar privasi seseorang?!" kataku membela diri. Mungkin lebih tepatnya, membela kebenaran; kebenaran yang kuyakini. Pikirku, memangnya siapa yang ingin privasinya dilanggar?
"Rin-chan, ini masalah waktu. Tahun depan Len-senpai sudah akan lulus dan kemungkinan besar menanjutkan kuliah entah di mana, mungkin tidak ada lagi kesempatan untuk bertemu sesering ini!" Yukari membalas. Ah, aku terpojok; kata-kata Yukari memang benar, aku benar-benar kehabisan waktu. Tapi tidakkah ada cara lain selain menguntitnya?
"Tapi… bagaimana bisa aku melakukannya?" Aku sama sekali tidak memiliki pengalaman stalking, pastinya, karena itu bukan hal yang benar maka aku tidak melakukannya. Kalaupun aku terpaksa harus melakukan itu demi membalap waktu, aku tak tahu cara melakukannya.
Yukari menghela napas lelah, "Tadi sudah kukatakan, jadilah tak terlihat. Kupikir itu bukan hal yang sulit mengingat keadaanmu sekarang ini…" Ia menghentikan perkataannya sesaat, namun aku tahu betul apa yang ia maksud—aku memang bukan anak yang menonjol dari segi mana pun, jadi wajar saja jika orang-tidak mengetahui keberadaanku. Dengan kata lain aku sudah cukup 'tak terlihat'. "Kemudian pasang matamu pada Len-senpai. Dia ini target utamamu, jadi tidak boleh meleset."
Selagi Yukari menjelaskan, aku menanggapinya dengan anggukan berulang, tanda mengerti. Tapi, apa pelaksanaannya semudah itu? "Tapi kalau aku ketahuan bagaimana?"
Yukari memberikanku pandangan heran. "Ya… Katakan saja kau sedang kebetulan lewat," jawabnya singkat. "Tapi ketahuan atau tidak ketahuan itu…"
"Bukannya itu hal terpenting dari penguntitan—jangan sampai terlihat?"
"Nah, kau tahu itu, kenapa tadi bertanya?" ia bertanya. "Sudahlah Rin-chan, pada dasarnya kau ini senang membuat hal mudah menjadi sulit, ya?"
"Bukan begitu! Mudah dan sulit itu relatif," balasku.
"Kenapa kau terus membantahku, sih? Kalau dari awal pikiranmu dijadikan lebih sempit, urusan Len-senpai ini tidak akan jadi sesulit ini," dengusnya. "Dengan bertanya langsung padanya, misalnya—kenapa kau tidak mau melakukannya?"
Bertanya langsung?! Tidak, tidak, tidak, itu terlalu terus terang. Lagipula bagaimana juga caranya mengumpulkan keberanian untuk melakukan hal itu?
"Lagipula Len-senpai itu kakakmu sendiri, Rin-chan! Apa sulitnya, sih?!"
…Yah.
Maaf, seharusnya aku mengatakannya dari awal, ya? Len itu memang kakakku. Kakak kandung dengan marga yang sama, ibu yang sama, ayah yang sama, dan tinggal di rumah yang sama. Bahkan kami lahir di tanggal yang sama walau beda satu tahun, kebetulan yang sangat tepat. Tapi ada sedikit masalah di sini. Mungkin bukan sedikit, tapi masalah tetaplah masalah.
Walaupun kami bersaudara, kami sama sekali tidak dekat dengan satu sama lain. Ini memang bawaan dari kecil, di mana kami sekolah di sekolah yang berbeda dan bermain dengan teman yang berbeda. Di waktu senggang pun kami jarang berbicara dengan satu sama lain karena aku lebih suka membaca buku dan Len sibuk dengan televisinya atau dengan teman-temannya di luar. Sifat yang kami miliki juga terlalu berkebalikan; aku lebih senang diam sedangkan Len cenderung banyak berbicara, aku tertutup sedangkan Len outgoing, aku cenderung malas untuk melakukan apa yang tidak ingin kulakukan dan Len selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik terhadap apa pun itu. Mungkin beberapa perbedaan sifat kami memang berasal dari perbedaan gender, seperti aku memerhatikan penampilan sedangkan Len 'apa adanya' (walaupun begitu, 'apa adanya' pun Len terlihat baik), aku juga memilih untuk menggunakan lensa kontak dan Len menggunakan kacamata (satu kesamaan: penglihatan kami sama-sama buruk, tapi sebaiknya tidak dihitung karena hal ini genetik), tapi perbedaan tetap saja perbedaan, bukan?
Perbedaan minat itu merupakan salah satu faktor penghambat komunikasi; orang dengan minat yang sama akan dengan mudah menemukan topik pembicaraan sedangkan yang tidak, tidak. Tapi di sisi lain, ada perkataan yang berbunyi "opposites attract". Keadaanku ini seperti terjepit di tengah-tengah.
Dan walaupun kami masuk ke sekolah yang sama sejak SMP, hal itu tidak mengubah hubungan kami. Yang dari awal memang tidak dekat tentu tidak bisa dekat dengan cepat, 'kan? Apalagi dengan aku yang seperti ini—kenapa jadi menyalahlan diri sendiri? Tapi bukan, memang bukan salahku. Sejak memasuki SMP, Len secara misterius 'menghilang' dari rumah—bukan dalam artian yang sebenarnya, tentu saja, tapi ia seperti… terus mendapatkan kesibukan yang sampai sekarang tidak kuketahui apa. Setiap aku berangkat sekolah, entah Len sudah berangkat terlebih dahulu atau belum bangun, dan saat pulang sekolah pasti Len belum pulang; ini masih berlangsung sampai sekarang. Tapi tidak ada yang keberatan dengan keadaan ini, kami sudah terbiasa.
Terbiasa tidak bertemu dan mengenali satu sama lain.
"Bagiku ini sulit, Yukari-chan."
Dan karena itu aku tidak bisa menganggap Len sebagai kakakku begitu saja—aku selalu melihatnya sebagai kakak kelas karena pada kenyataannya aku hanya bisa melihatnya di sekolah, hanya sebatas itu. Tapi di dalam pikiranku aku tahu, aku masih merasa bahwa Len itu kakakku; harus kuakui, kalau dia bukan kakakku pasti perasaanku terhadapnya sudah lebih dari sekedar kagum. Kalau diperhatikan, ini memang menyedihkan, tapi…
"Walaupun aku kurang mengerti tentang hubungan aneh kalian, tapi ayolah Rin-chan, tak ada salahnya mencoba berbicara dengannya. Atau kalau kau belum mau juga, buntuti Len-senpai. Aku serius; kau ini terdesak, sadarilah itu."
Ini akhir bulan November—sudah menjelang Desember, sementara Len (dan aku) berulang tahun tanggal 27. Kurang lebih satu bulan; waktuku hanya tinggal satu bulan. Namun tetap saja… "T-tunggu, mungkin aku dapat menambahkan fitur pada simulator Len-senpai yang kubuat—"
"Jujur saja, caramu untuk mencari tahu apa yang Len-senpai sukai dengan berusaha membuat 'kopian virtual' dirinya dengan sifat semirip mungkin dengan aslinya di komputer itu menurutku lebih mengerikan dibanding cara seorang stalker," dengan tegas Yukari berkata. "Masalahnya bukan itu; sekali lagi harus kukatakan kalau waktumu terbatas. Pikirkan ulang tentang ini, Rin-chan."
Atas saran dari Yukari, aku terus memikirkan ulang masalah itu sepanjang pelajaran. Biarlah kata-kata dari guru itu melewati kepalaku sebelum menghilang; kali ini saja, demi Len. Pemikiran itu berlanjut sampai jam sekolah berakhir. Sepanjang jalan pun aku terus berpikir; meyakinkan diri sendiri bahwa aku, mau tidak mau, harus mencari alternatif lain selain melanjutkan software simulator Len.
Kurasa aku perlu memberikan sedikit penjelasan tentang simulator Len ini. Software ini sebenarnya belum lama kubuat—hanya merupakan salah satu dari banyak upayaku untuk mencari apa yang disukai Len. Aku memprogramnya dengan meneliti dan membaca buku-buku tentang sifat manusia, terutama laki-laki. Sifat banyak dipengaruhi oleh cara seseorang dibesarkan, sehingga pencarian 'sifat' ini tidak begitu sulit. Bagaimanapun, walaupun aku tidak begitu dekat dengan Len, aku tahu masa kecil Len; hasil dari penggalian ingatan masa laluku. Selain itu, potongan-potongan informasi mengenai Len yang kudapatkan dari cerita teman di sekolah kukumpulkan dan kujadikan salah satu faktor penentu sifat yang dapat dihasilkan simulator Len. Sebenarnya informasilah yang sangat membantu pembuatan simulator Len yang sempurna, tapi agak sulit untuk mendapatkannya—sekali lagi aku bukan penguntit.
Ini membuatku bingung. Kusadari bahwa aku memang kehabisan waktu, tapi apakah sampai seburuk itu sampai aku harus menguntitnya? Pasti ada metode lain. Apa mungkin aku harus membaca lebih banyak buku?
Hingga aku sampai di rumah, pemikiran itu masih belum berhenti. Terus berpikir, sembari memakan jeruk di ruang keluarga. Ruang keluarga; itu namanya. Pada kenyataannya aku lebih sering mendapati diriku duduk sendirian di salah satu sofa yang ada. Tidak pernah sekalipun aku berada di sini ketika Ibu maupun Ayah ada di sini, begitu juga dengan Len. Dengan diriku sebagai pengecualian, keluargaku lebih sering berada di luar rumah, rumah hanyalah tempat untuk tidur. Terkadang ini membuatku sedikit kesal—untuk apa rumah sebesar ini?
Di saat yang bersamaan cahaya matahari meredup, pertanda bahwa malam akan datang. Lagi. Dan hari ini pun aku belum mendapatkan apa-apa. Benar 'kan? Waktu terus berjalan, sementara aku tetap di sini. Ah, apa sebaiknya kuturuti saja saran Yukari? Atau lupakan saja masalah kado itu?
Dan seketika pikiranku terbuyarkan dengan suara dari pintu depan—seseorang membuka kuncinya. Aku sama sekali tidak menaruh curiga, prasangkaku hanyalah seseorang telah pulang; entah Ibu atau Ayah. Setelah itu sebuah panggilan terdengar, "Apa ada orang di rumah?"
Itu bukan Ibu maupun Ayah. Dari suaranya, tentu itu Len. Len? Dalam rangka apa ia pulang secepat ini? Bukan, bukan itu yang harus kupikirkan; aku harus menjawab panggilannya, bukan? "Ada!" sahutku sambil melongok ke arah depan rumah.
Tak lama kemudian sosok tubuh Len muncul dari arah yang kupandang. Di tangannya terdapat beberapa kantung belanjaan, sementara di pundaknya masih menggantung tas sekolahnya yang berwarna biru tua. "Oh, ya," katanya ketika ia menemukanku duduk di sofa, "Tolong taruh ini di dapur, ya? Aku masih harus pergi." Dengan itu Len menaruh plastik-plastik tersebut beserta tas sekolahnya di sofa, dan setelah itu ia segera beranjak pergi. "Terima kasih!" katanya sebelum ia kembali menutup pintu.
Itu cepat. Terlalu cepat. Sementara aku masih memproses hal yang baru saja kulihat, Len sudah menghilang dari pandanganku. Ternyata memang bisa ya, aku dan Len berada di jarak sedekat itu. Ada rasa kecewa ketika aku menyadari bahwa ia tidak menyebutkan namaku, tapi… sebenarnya untuk apa ia pergi lagi, dan dengan terburu-buru seperti itu? Mungkin ia harus les untuk menghadapi ujian masuk, atau mungkin… bertemu dengan pacarnya? Kalau dipikir-pikir, aku tahu kalau Len selalu pulang lebih lama, tapi aku tidak pernah tahu apa yang sebenarnya dilakukannya.
Jujur saja, aku jadi sangat penasaran. Sepertinya aku tidak perlu bertanya kenapa, hal itu memakan waktu. Rasa penasaran ini tiba-tiba melonjak dan…
Kurasa aku belum terlambat untuk mengubah pikiranku, dan juga belum terlambat untuk kehilangan sosoknya. Dan dengan itu aku melompat dari sofa, kemudian berjalan ke arah pintu depan dan meninggalkan rumah ke arah di mana aku bisa melihat Len dari kejauhan.
Mungkin aku akan mendapatkan jawaban hari ini, mungkin juga tidak, tapi tak ada salahnya mencoba. Mungkin aku juga tidak akan bisa memaafkan diriku karena telah melakukan (atau setidaknya telah berniat untuk melakukan) hal ini—menguntit Len, tapi mungkin. Mungkin.
Mungkin pada akhirnya…
Aku hampir tidak bisa mempercayai diriku sendiri—aku benar-benar melakukan hal ini. Aku benar-benar membuat tubuhku terhalangi oleh orang-orang lainnya agar Len tidak menyadari keberadaanku. Aku benar-benar memasang mata dan telingaku, aku benar-benar memperhatikan gerak-geriknya; aku benar-benar menguntitnya.
Di sebuah outdoor café, Len sedang duduk berseberangan dengan pacarnya, Lily, membicarakan sesuatu yang hanya bisa samar-samar kudengar. Berbicara soal Lily, sebenarnya kabar bahwa Len berpacaran dengan Lily sudah kudapatkan sejak lama, namun baru kali ini aku bisa melihat sosok dan sifat Lily yang sebenarnya. Orang dengan penampilan fisik yang menawan, sikap yang baik dan ramah; pantas ia bisa mendapatkan laki-laki seperti Len. Tapi aku di sini bukan untuk Lily, tapi Len, sehingga yang akan kulakukan adalah mencari informasi tentang Len. Ia sedang bersama dengan pacarnya; seharusnya mereka melakukan hal yang menyenangkan bagi satu sama lain. Tidak sulit, tapi mungkin akan lebih baik lagi jika aku bisa mendengar perkataan mereka.
Kurasa aku mulai bisa menangkapnya, "Hahaha, lagi-lagi pisang, Len?" sambil tertawa kecil Lily berkata.
"Hei, tidak ada salahnya, 'kan? Pisang mengandung banyak gizi," dengan nada sedikit kesal Len menjawab. Aku mengerti, sepertinya Len menyukai pisang; tidak pernah terlintas di pikiranku sebelumnya. Hal ini harus kurekam di kepalaku.
"Kukira kau memilihnya hanya karena warna dari buahnya, mengingat rasa cintamu terhadap kuning," Lily menambahkan. "Aku tidak akan diduakan oleh benda itu, 'kan?"
"Kalau memang begitu, bukankah warna buah lemon juga kuning?" Len bertanya balik, "Tapi yang benar saja—menduakan seseorang dengan benda mati itu tidak bisa dimaafkan."
"Kau ini memang Len, ya?" sambil menyandarkan kepalanya pada tangannya yang ia letakkan di meja, Lily berkata.
"Kalau bukan Len, siapa lagi?"
Lily pun tertawa mendengarnya. "Mungkin saja ada orang yang menyamar sepertimu… Haha, sepertinya aku mulai melantur."
Kalau dipikir-pikir sebenarnya aku bisa saja menyamar menjadi seperti Len; dapat dibilang kami ini adalah versi perempuan atau laki-laki satu sama lain, tapi Len terlalu tinggi untuk menjadi sepertiku, dan aku terlalu pendek untuk menjadi Len. Dan saat aku berpikir demikian, Len menjawab Lily, "Bisa saja terjadi, kok."
"He, memangnya ada orang yang semirip itu denganmu?"
"Ada kok. Apa barangkali kau takut kalau misalnya diriku ada dua?" ia tersenyum mengatakan itu.
Lily pun membalasnya dengan senyuman, "Bukannya takut—aku hanya butuh satu Len, itu saja."
Tunggu, apakah tadi ia membicarakan tentangku—seseorang yang mirip dengannya itu tentu saja aku kan? Atau mungkin aku hanya terlalu besar rasa saja; Len tidak mungkin tiba-tiba membicarakanku, atau bahkan mengingatku.
Len terdiam sebentar sebelum membalas perkataan Lily. "Maksudku bukan begitu sih. Mungkin tidak seharusnya aku menanggapi lanturanmu, Lily."
"Memang dari awal tidak ada yang menyuruhmu untuk melakukan itu."
Topik pun berganti, namun pembicaraan mereka terus berlanjut. Entah bagaimana, rasanya mereka tidak berhenti juga mengobrol—apa memang itu yang dilakukan orang yang sedang berpacaran? Jika iya, wajar saja jika aku tidak mengetahuinya. Sekarang mereka sedang membicarakan soal universitas. Benar juga, aku tidak tahu universitas mana yang akan dituju Len, terlebih jurusannya, padahal mungkin dari situ aku bisa memberikan sesuatu yang dapat membantunya.
"Entahlah, tapi rasanya aku tidak ingin pergi jauh," kata Len sambil mengalihkan perhatiannya ke tempat lain. Dan tempat lain itu adalah arah di mana aku bersembunyi sekarang, sehingga mau tak mau aku harus bersembunyi untuk menyelamatkan diriku sendiri.
Tanpa berpikir panjang, aku melangkahkan kakiku ke sebuah toko, yang ternyata adalah gift shop. Hei, kebetulan, tapi apa yang harus kulakukan di sini? Apakah aku harus mencari kado untuk Len di sini? Setidaknya aku sudah mendapatkan beberapa petunjuk; pisang dan kuning, tapi karena pisang itu kuning, sebenarnya itu sudah merangkap keduanya. Hanya satu petunjuk, tapi ini membantu, bukan? Lagipula, Lily tadi menyatakan bahwa Len sangat menyukai pisang—mungkin aku harus mencari benda berbentuk pisang, seharusnya Len menyukainya.
Ide yang sangat brilian.
Aku menemukan beberapa suvenir berbentuk pisang, salah satunya adalah sebuah boneka pisang. Sebenarnya ini lucu, lembut dan empuk, tapi masa' aku memberikannya boneka? Juga ada gelas berbentuk pisang (tidak benar-benar pisang. Gelas itu berbentuk lingkaran seperti tabung, dan jelas-jelas bentuk pisang tidak seperti itu), namun kurasa gelas di rumah sudah terlalu banyak. Pada akhirnya aku membeli penggulung kabel headphone berbentuk pisang, tapi aku masih belum yakin dengan pilihan ini. Aku akan membeli benda ini terlebih dahulu, kemudian baru mencari tahu apakah Len sering menggunakan headphone-nya. Kalau tidak, ini akan kugunakan sendiri. Tidak akan ada yang dirugikan dengan cara ini.
Dan ya, ini artinya aku masih harus melanjutkan penguntitan ini. Aduh. Tapi setidaknya aku sudah mendapatkan ini.
Hari ini tidak terbuang sia-sia begitu saja.
"Yukari-chan! Lihat apa yang sudah kudapatkan!"
"Rin-chan?! Apakah pada akhirnya kau berhasil mendapatkan sesuatu?!" dengan wajah tak percaya yang dibuat-buat, Yukari berseru. "Simulator Len-senpai-nya sudah berfungsi?"
"Aku serius! Ini bukan soal simulator!" benar juga, aku sama sekali melupakan simulator Len kemarin. "Sebenarnya aku menuruti saranmu kemarin, Yukari-chan."
"Oh, benarkah?" kali ini wajah terkejutnya terlihat lebih nyata. "Pada akhirnya kau memberanikan diri untuk bertanya langsung padanya?"
"Bukan saran yang itu; saran yang satunya," ujarku. "Menguntitnya."
"'Kan?! Seperti apa yang sudah kubilang—jiwa stalker-mu harus dibangkitkan!" dengan semangat Yukari berkata. "Jadi, dalam bentuk apa hasil yang kau dapatkan ini?"
"Ini," aku merogoh sebuah kantung plastik kecil, kemudian menunjukkannya kepada Yukari. "Gulungan kabel headphone berbentuk pisang."
Yukari tersenyum melihatnya, "Tidak kusangka hasilnya akan senyata ini. Aku sudah membayangkan bahwa kau akan mengatakan kalau 'ternyata Len-senpai menyukai warna kuning', jujur saja. Sepertinya aku tidak boleh meremehkanmu, Rin-chan."
Aku tertawa kecil mendengarnya, "Mungkin benar—tunggu, dari mana kau tahu kalau Len-senpai menyukai warna kuning?"
Yukari berkedip bingung, "Bukannya itu jelas-jelas terlihat dari warna sepatunya, dan lain-lain?" Wah, benarkah itu? Bagaimana bisa aku tidak menyadarinya? Sebelum aku bisa melanjutkan pikiranku, aku terhenti karena tatapan yang diberikan oleh Yukari. Tatapan 'kau baru tahu? Yang benar saja,' "Rin-chan, Len-senpai itu kakakmu—"
"Bi… bisakah kau tidak mengungkit hal itu terus menerus? Kakakku atau bukan, aku tidak mengetahui banyak hal tentang Len-senpai, jadi jangan protes," kataku. "Lagipula, kau tidak ingin mendengarkan ceritaku mengenai penguntitan yang kulakukan kemarin?"
"Ah, aku berniat untuk menanyakannya tadi. Jadi silakan, Rin-chan, ceritakan tentang pengalamanmu kemarin."
Aku menarik napas sebagai pengawal, "Kemarin aku hanya sedang duduk-duduk di rumah sambil memikirkan soal metode mencari tahu informasi tentang Len-senpai."
"Kau benar-benar memikirkan kata-kataku, ya? Aku melihatmu berjalan seperti zombie saat pulang kemarin."
"…Apa benar aku terlihat seburuk itu?" aku bertanya pelan, namun tidak mengharapkan jawaban dan langsung melanjutkan ceritaku. "Iya, sampai rumah pun aku masih memikirkannya. Dan ketika aku sedang duduk-duduk, Len-senpai datang."
Yukari membuka mulutnya, namun tertahan. "Kau tahu, aku hampir lupa kalau kalian tinggal serumah. Lagipula kenapa kau memanggilnya 'Len-senpai' sih? Seperti orang asing saja. Setidaknya mulailah memanggilnya dengan panggilan lain, seperti 'Aniki', mungkin juga 'Nii-san' atau… 'Onii-chan'." Aku hendak protes, tapi Yukari mendahului, "Tidak perlu mengatakan kalau kau tidak dekat dengannya atau tidak terbiasa dengan panggilan itu, lanjutkan saja ceritanya."
"Iya, Len-senpai datang dan meletakkan belanjaannya di sofa, sebelum…" Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Rasanya aku tidak menyentuh barang belanjaan Len sama sekali sebelum pergi atau setelah pulang ke rumah. "Tunggu, apa belanjaannya masih ada di sofa, ya?"
"Rin-chan, lanjutkan ceritanya."
"Ah, iya. Lalu setelah itu Len-senpai pergi begitu saja. Dan… aku mengikutinya," jelasku. "Ternyata ia pergi menemui pacarnya, dan aku berhasil menguping pembicaraan mereka."
"Oh, kau berhasil menguping? Perkembangan yang baik. Teruskan," sambil menangguk Yukari berkata. "Apa yang mereka bicarakan?"
"Lily-senpai menyinggung soal Len-senpai menyukai pisang dan warna kuning. Dari situ aku mendapatkan informasi."
"Padahal kalau hanya tentang itu kau tidak perlu sejauh itu mencari informasinya, lho." Aku pun langsung memelototinya setelah ia selesai mengatakan itu. "Maaf, lanjutkan."
"Hm, Len-senpai juga mengatakan kalau memang ada orang yang mirip dengannya—apa mungkin yang ia maksud adalah aku?"
"Ya… kemungkinan besar memang kau, Rin-chan. Memangnya siapa lagi orang yang semirip itu dengan Len-senpai?" kata Yukari. "Tapi entah kenapa tidak banyak yang menyadarinya. Mungkin karena kacamata, ya?"
"Benar juga ya," gumamku pelan. Mungkin aku juga harus memakai kacamata agar terlihat mirip dengan Len, tapi… untuk apa aku memiripkan diriku dengan Len?
"Dan memangnya kenapa kalau Len-senpai membicarakan tentangmu secara tidak langsung?"
"Kukira ia sudah lupa tentang keberadaanku. Habis rasanya ia selalu tidak ada," kataku. "Yah, jadi ketika ia mengatakan itu, itu membuatku senang."
"Begitu? Ya, baiklah kalau begitu," ujarnya. "Dan kurasa aku harus mengatakan hal ini; Rin-chan, suatu hal yang sudah kau cari selama bertahun-tahun lamanya dapat kau temukan dalam waktu kurang dari lima jam. Coba kau dari awal menuruti nasihatku dan melakukannya dari dulu, pasti masalah ini sudah selesai sedari dulu."
"Bukan begitu! Begini saja sebenarnya aku masih merasa bersalah terhadap perbuatan yang telah kubuat," balasku.
"Hahaha, benarkah? Tak seharusnya begitu, Rin-chan."
"Tapi omong-omong aku ingin bertanya padamu; apakah kado yang kubeli ini sudah benar? Apakah ia akan menerimanya?"
"Kalau masalah pisangnya, kurasa ia akan menerimanya. Tapi yang harus kau cari tahu lagi adalah apakah ia akan menggunakannya. Agak sedih jika mengetahui bahwa kado yang telah kau berikan tidak digunakan," jelas Yukari.
"Aku juga memikirkan hal yang sama," kataku.
"Jadi, kurang lebihnya kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan selanjutnya, 'kan?"
Oh, tidak lagi.
