'sup guys? Saya dengan amat sangat tidak bertanggung jawabnya kembali lagi dengan fic baru meskipun Double Trouble belom tamat :'D Maafkan hamba huhuhuhuu… lagi bener-bener kehilangan inspirasi buat fic yang satu itu, sementara yang ini berkoar-koar terus di balik benak saya minta untuk cepet ditulis :')))
Important note: All My Lives (bukan, bukan salah grammar, emang intentionally plural kok lives nya ;D) adalah lanjutan dari one-shot yang sebelumnya saya tulis di Hyungcaptor Seonho, yaitu With You (chapter 5). Jadi, daripada kalian repot-repot buka tab baru lagi, saya copy paste aja yah With You sebagai prolog untuk cerita ini hehehe. Bagi yang udah pernah baca With You, boleh langsung klik next chapter karena chapter yang ini memang cuma copasan doang, nothing new. Bagi yang belom, silahkan dibaca terlebih dahulu, dan semoga kalian suka ya!
.
.
.
All My Lives
Cast: Minhyun, Seonho, others
Pairing: eventual Minhyun x Seonho
Genre: Fantasy, family, slice-of-life, romance (slow burn ya, huehehe)
.
Prologue (With You)
.
Ia berlari menyusuri hutan sejauh mana keempat kakinya boleh membawanya pergi. Jejak bubuk mesiu tertiup bersama angin, menandakan bahwa pengejarnya sudah semakin dekat. Minhyun mengumpat dalam hati.
Pemburu kelas teri semacam ini jika berhadapan dengan wujud sebenarnya sudah bisa dipastikan tewas dalam hitungan detik belaka. Mungkin saja bertahan beberapa menit, ketika Minhyun sedang merasa bosan dan ingin bermain-main. Namun dalam keadaannya sekarang, jangankan menyerang balik, untuk membela diri saja tidak mampu. Satu-satunya pilihan yang tersisa hanyalah melarikan diri.
Seandainya ada sesama kaumnya yang mengetahui tentang hal ini, ia tak heran bila namanya menjadi bahan bulan-bulanan selama tujuh turunan. Sebagai makhluk yang menempatkan kebanggaan tiada tara pada kekuatan dan penampilan mereka, sosoknya yang kotor dilumuri tanah dan rerantingan, kabur dikejar oleh seorang manusia biasa sungguh sangat menyedihkan. Ia yakin para tetua akan memilih membunuhnya dengan taring mereka sendiri daripada harus menyaksikan pemandangan memalukan ini berlanjut lebih lama.
Cih. Persetan dengan rasa malu.
Lebih baik kehilangan muka daripada kehilangan nyawa, pikir Minhyun. Motto yang terbalik dari jalan hidup kaumnya. Tentu saja mudah menjunjung tinggi harga diri jika mempunyai banyak jiwa cadangan, sayangnya keunggulan tersebut tidak lagi berlaku padanya. Meskipun terhitung muda di kalangannya, 119 tahun yang ia lalui telah menggugurkan enam dari kesembilan jiwanya.
Tiga nyawa memang banyak jika dibandingkan dengan makhluk hidup lain yang umumnya hanya memiliki satu, tetapi bagi siluman rubah, jumlah itu sangatlah membahayakan.
Suara tembakan mengguncang penduduk hutan, menutupi erangan Minhyun dibalik kepakan sayap burung-burung liar. Sebuah peluru menancap tepat di persendian kaki belakangnya, memperlahan langkahnya secara drastis. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, ia bersembunyi ke dalam kumpulan semak belukar.
Minhyun menjilati lukanya, berharap bisa menghentikan pendarahan yang semakin menguras kesadarannya. Kabut yang menyelimuti benak membuatnya lupa akan jejak tetesan darah yang jelas terumbar. Peringatan yang ia dapatkan berupa sejenak pergerakan di sekitar hijau daun, dan dalam sekelibat, kedua matanya sudah dihadapkan dengan corong hitam senapan panjang.
Ia menggeram menunjukkan taringnya, kecemasan tergantikan oleh dengki dan amarah. Mengutuk rentetan kejadian yang menjebaknya dalam situasi ini. Lebih dari segalanya, ia marah kepada diri sendiri. Karena ia tidak mendengarkan ucapan orangtuanya. Karena ia dengan bodohnya percaya begitu saja pada umat manusia. Kini ia tahu bahwa mereka penuh dengan kebohongan, namun penyesalan memang selalu datang terlambat. Yang menunggunya hanyalah kematian belaka.
Dua jiwa yang tersisa, ia berjanji akan menggunakannya untuk membalas dendam kepada setiap manusia yang telah menyalahinya. Sampai ia menghembuskan napas terakhir.
"Jangan!"
Jeritan nyaring dari arah barat menembus atmosfir tegang antara sang pemburu dan incarannya. Seorang anak lelaki berlari sekuat tenaga lalu merentangkan tangannya, menjadikan tubuhnya sebagai perisai bagi rubah kecil yang terluka.
"Minggir," perintah sang pemburu dengan ketus. "Atau kamu yang kutembak."
Alih-alih menjauh, anak itu melangkah maju sampai keningnya menempel dengan ujung lubang senapan. "Silahkan. Tapi janji setelah menembak aku nanti, bapak harus melepaskannya."
"Dasar gila. Tidak kasihan pada orangtuamu, kalau kau mati begitu saja cuma demi seekor rubah?"
Tak disangka-sangka, Minhyun mendapati dirinya menyetujui perkataan kasar si pemburu. Anak ini tidak mungkin waras jika dia rela membuang nyawa satu-satunya begitu saja. Gila, atau terlalu bodoh. Seandainya dia berencana melawan pun, apa yang bisa dia lakukan? Ukuran tubuh sang pemburu dua kali lebih besar darinya. Seorang bocah kurus kering tanpa senjata dan seorang pria dewasa membawa senapan canggih. Sudah jelas siapa pemenangnya.
"Orangtuaku akan bangga! Toh tidak lama lagi aku memang akan mati. Paling tidak aku berhasil menyelamatkan rubah ini selagi masih bisa. Aku harap dia tumbuh besar dan sehat, makan makanan lezat tiap harinya, bermain dengan kawan-kawannya, dan melakukan semua hal yang tidak sempat kulakukan! Hidup, sebagai penggantiku!"
Setelah mengutarakan perasaannya dengan menggebu-gebu, anak itu jatuh berlutut sambil meremas dadanya. Napasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran dan wajahnya kian memucat.
Sang pemburu menurunkan senapan, mendecak kesal. "Bocah sinting. Kalau berani berkoar-koar kuatkan dulu tubuhmu. Incaran yang sekarat sama sekali tidak ada serunya. Sana pergi, dan jangan lupa bawa rubah sial itu."
Dengan kewalahan, anak itu merangkak dan mengulurkan lengannya perlahan, berusaha agar tidak menakuti sang rubah. Minhyun sendiri diam mematung, bingung. Insting mendorongnya untuk mencakar ataupun menggigit bagian tubuh yang terjulur di depannya, namun tangan itu terlihat begitu ringkih, lemah dan kecil.
"Shhh, sudah tidak apa-apa, sudah aman. Ayo sini keluar, biar aku bisa mengobatimu," bujuknya sembari menyelipkan wajah di sela-sela lubang semak. Dia tersenyum dengan lembut, meskipun getaran hebat yang melanda tubuhnya menghianati topeng tegar yang dikenakannya.
Tentu saja dia takut. Manusia mana yang tidak gentar melalui kejadian yang baru saja dia alami. Tetapi anak ini masih mencoba memendam ketakutannya, memasang senyuman demi menenangkan Minhyun. Menepikan rasa curiga dan waspada untuk sementara, ia beranjak meninggalkan semak-semak dan membiarkan dirinya diangkat kedalam gendongan.
Sang anak berdiri dengan susah payah, beberapa kali oleng sebelum akhirnya bisa berjalan walaupun sedikit goyah. Lengan kirinya menopang tubuh Minhyun sementara telapak kanan mengelus-elus bulunya dengan hati-hati, menghindari luka tembakan di kakinya.
"Pasti kamu kesakitan. Sabar ya." Dia meraba kepala sang rubah prihatin. "Biasanya waktu penyakitku kambuh parah dan rasanya sudah tidak kuat lagi, aku selalu membayangkan meja makan saat sarapan pagi. Bukan karena makannya lho, meskipun itu aku juga sangat suka. Tapi yang aku lebih suka yaitu Mama yang selalu mengomeli kita supaya jangan berebut makanan, padahal diam-diam Mama senang karena masakannya laris manis. Kalau Mama sudah mulai marah, Papa pasti menasihatiku untuk mengalah. Seonho kan sudah besar, katanya, harus bisa berbagi sama adiknya dong. Lalu Seungho, yang setiap kali mendengar ceramahan Papa, langsung membagi dua apapun itu yang kami perebutkan agar bisa dipuji Papa Mama. Padahal kalau ada menu yang dia tidak suka, sengaja dijatuhkan ke lantai jadi camilannya Mongshil."
Kekehan geli memotong singkat cerita kesehariannya. Sayangnya, tawa ringannya justru berkembang menjadi batuk yang mengguncang seluruh tubuh kurusnya. Dia meringkuk memeluk Minhyun, menunggu sampai serangan batuknya berhenti untuk melanjutkan perjalanan.
"Setiap pagi, aku bersyukur diberi satu lagi kesempatan membuka mata dan menghabiskan waktu bersama mereka," ujarnya lirih. "Jadi kamu pun, tidak boleh menyerah disini. Akan kukenalkan kamu kepada keluargaku, dan besok kita akan sarapan bersama-sama. Seungho sering mengeluh ingin dibelikan peliharaan baru karena Mongshil selalu ada disisiku. Kurasa dia tidak akan keberatan mendapat rubah, meskipun yang dipintanya adalah doberman."
Langkah yang berikutnya disambut gonggongan semangat seekor anjing kecil berwarna putih, terikat oleh tali ke sebuah pohon beringin. Dia berangsur maju menghampiri binatang tersebut, menunduk dan mengelusnya kemudian menarik benda yang terkait di kalung lehernya. Ditekannya tombol merah yang berada di tengah benda itu, diikuti dengan helaian napas lega. Tanpa melepaskan pegangannya dari Minhyun, anak itu tumbang, terhempas lunglai ke atas tanah.
"Kita harus bertahan," bisiknya samar, tertutupi oleh bisingnya anjing yang semakin gencar bersuara.
Namun ucapan sang anak menggema di telinga Minhyun. Begitu keras dan lantang, sehingga itulah hal terakhir yang diingatnya sebelum kesadarannya hilang.
.
.
Sekali. Dua kali. Tiga kali. Tarikan kecil di ujung ekornya tak kunjung berhenti, melarangnya menyelam kembali ke alam mimpi. Ia membuka mata, membiarkan pupilnya menyesuaikan asupan cahaya yang sekarang terasa terlampau kuat. Wajah bulat balita yang terkejut bukanlah sesuatu yang jatuh di dalam ekspektasinya. Belum lagi ditambah dengan suara cempreng menggelegar yang menyusul.
"Waahhh, rubahnya bangun! Mah, Pah, liat, rubahnya bangun!"
"Jangan diganggu, Seungho. Kata dokter rubahnya harus istirahat yang banyak supaya cepat sembuh."
"Kata pak dokter Kak Seonho juga harus istirahat yang banyak, tapi buktinya dia pergi jalan-jalan terus sama Mongshil. Curang! Seungho kan juga mau!"
"Kakak sering pergi ke hutan karena udaranya segar, bagus buat paru-parunya. Nanti kalau Seungho sudah masuk SD baru Mama ijinkan ikut kakak jalan-jalan. Kan sudah janji."
Minhyun mengambil kesempatan menyelinap keluar ruangan saat perhatian si balita sedang teralihkan oleh orangtuanya. Lukanya masih belum sepenuhnya pulih, sebab itu ia harus hati-hati berpijak, menumpukan berat badan kepada tiga kaki lainnya. Ketika mencapai teras, ia memandang hutan yang bersebrangan langsung dengan jalanan di depan rumah. Kediaman ini agaknya lumayan terpencil, dilihat dari sedikitnya bangunan maupun kendaraan yang beredar.
Udara pegunungan menerpa bulunya yang kini bersih dan halus, bebas dari lekatan lumpur dan debu. Ia berjalan di pinggir hutan dipimpin oleh indra penciumannya. Tujuannya satu.
"Hei Mongshil jangan cepat-cep—oh? Rubahnya…" Anak lelaki itu menautkan tali yang dipegangnya mengelilingi ranting terdekat dan segera berjongkok dihadapan Minhyun. "Kau sudah sadar rupanya, baguslah!"
Dia terlihat ceria dan berseri-seri, bertolak belakang dengan kondisinya di pertemuan mereka yang lalu. Setelah memastikan keadaan sang anak yang notabene adalah penolongnya, ia melangkah ke arah hutan.
Belum sempat menapak tanah, jalannya sudah dicegat. "Eh tunggu, kau mau kemana? Kakimu masih terluka, jangan kembali ke hutan dulu, bahaya."
Sentuhan hangat mendarat di tengkuk Minhyun. Anak itu membelainya. "Tinggalah bersamaku untuk sementara. Seungho begitu bersemangat ingin merebut Mongshil dariku, kau temani aku ya? Papa bahkan sudah menyiapkan kalung nama untukmu. Mama sibuk mencari apa makanan kesukaan rubah. Kalau kau rindu pada hutan, aku janji akan sering mengajakmu jalan-jalan setiap hari. Bagaimana, tidak buruk bukan?"
Ia mendengus, melengoskan kepala dan mengeluarkan kukunya. Garis demi garis ia cakarkan ke atas tanah sementara sang anak mengamati pergerakannya.
"Min…hyun? Minhyun? Itukah namamu? Wah, hebat sekali! Baru kali ini aku menemukan hewan yang bisa menuliskan namanya sendiri! Hahahaha! Minhyun, terdengar apik, aku suka itu!"
Sang rubah hanya bisa pasrah ketika tubuhnya dijunjung dan diputar-putar. Untung saja anak kecil tidak banyak mempermasalahkan perihal yang sebenarnya ada di luar nalar. Paling tidak ia bisa menyimpan nama aslinya, karena sejatuh-jatuhnya harga dirinya, ia tetap tidak sudi dipanggil dengan nama peliharaan.
"Salam kenal, namaku Yoo Seonho! Selamat bergabung di keluarga kami!"
Senyuman riang mendominasi seluruh paras Seonho saat mereka saling memandang. Tak ada yang bisa melihat, tetapi di benaknya, sudut bibir Minhyun terangkat sepersekian mili ke atas.
TBC
.
.
.
Di chapter ini, Seonho umur 12 tahun, Seungho 4 tahun, dan Minhyun 119 tahun :D
